"Johan, ayo pulang!"
Johan yang baru datang dari masjid terkejut melihat Teddy tergesa-gesa mengajaknya pulang. Beberapa lips mark nampak masih berserakan di bagian tubuh Teddy."Bos, ada banyak bekas lipstik di pipi, leher, dan itu lagi!" Johan menunjuk dahi Teddy.Alangkah terkejutnya Teddy saat menatap wajahnya di spion mobil. Bibir merah yang berada di bibir Nikita tidak waterproof."Sial.." Teddy bingung membersihkan sisa-sisa warna merah di tubuhnya."Beres bos..."Perjalanan dari bar Nikita menuju rumah lebih kurang dua jam. Teddy benar-benar ingin istirahat dari kepenatan dunia yang dia hadapi."Apakah perlu mengunjungi tempat lain bos?""Kurasa tidak. Aku hanya ingin pulang.." jawab Teddy sambil merebahkan tubuhnya."Baik..Nanti kira-kira sebelum jalan naik ke gunung, saya mau minta izin solat sebentar bos..""Iya..""Barangkali bos mau ikut?""Aku tidak butuh solat. Itu hanya untuk oranTit..tit..Alarm Teddy bersuara nyaring berkali-kali. Mimpi yang indah membuat Teddy enggan untuk beranjak dari ranjang empuknya.Namun suara alarm itu berbunyi tidak hanya sekali dan tidak mau berhenti."Berisiiikkk.." Teddy berteriak sambil mencari ponselnya."Ainaa...." Tangan Teddy mencari-cari Aina yang ada di sebelahnya.Nihil. Aina tidak ada!Tentu saja Aina sudah beranjak pergi. Matahari sudah meninggi. Hanya Teddy saja yang belum menyapa dunia.Ia segera bangkit dan membuka pintu di balkoni kamarnya.Semua pembantu sudah hilir mudik mengerjakan tugasnya masing-masing. Bahkan Johan sudah nampak mengelap mobil hitamnya.Sambil melambaikan tangan pada Teddy, Johan memberikan salam."Pagi bos!""Iyaa..." "Tumben anak itu tidak pernah kesiangan sekarang..." batin Teddy.**Setelah minum secangkir kopi dan roti, Teddy beranjak melakukan aktivitas hariannya.Tapi tunggu dulu, ia sepertinya melupakan sesuatu!Sally! Wanita berambut bergelombang itu pasti sedang menunggunya.Benar sa
"Untuk kali ini pergi dariku Teddy..." Novan menggertak Teddy yang masih menerkam lehernya. "Aku tidak akan melepaskanmu kali ini..." Johan yang melihat pertikaian itu segera mendekat. Bukan melerai, Johan malah berusaha mendekati Aina lagi dengan hati-hati. "Aina..." panggil Johan lirih. "Johan, pergi dari sini..." Aina sengaja mengusir Johan agar tidak menambah keruh suasana. "Novan, cepat enyahkan wajahmu dari rumahku!" Teddy melepaskan Novan dengan melemparnya ke tanah. Aina buru-buru membantu Novan dan membelanya. "Apa yang kamu lakukan?" Dengan lantang Aina menghadapi Teddy. Teddy sangat terkejut melihat tingkah Aina yang menjadi sangat frontal padanya. "Bukan urusanmu Aina..." Teddy segera pergi ke dalam rumah tanpa menghiraukan Aina. Ia merasa harga dirinya dibuat mainan oleh Aina di hadapan manusia yang ia benci, Novan. "Dasar wanita tidak tahu diri..." guman Teddy. "Novan..."
"E..TT.." papa Aina sedikit terkejut. "Benar sekali Om Tanto, saya adalah ET..." Siapa yang tak kenal Elman Teddy atau ET? Seantero kota bahkan hampir bos besar atau pengusaha besar di kota ini kenal dengan Teddy. "Naaa.. sin niii...." Aina memegang tangan papanya dengan erat. "Tenang om, saya tidak akan menyakiti Aina..." Teddy memegang tangan Aina. "Kita sudah berakhir..." Aina bicara dengan ketus. "Siapa yang bilang? Masih ada satu hari lagi Ainaa...." Teddy mengingatkan kesempatan untuk menjadi suami istri masih ada satu hari. Setidaknya Teddy ingin mengakhirinya dengan sangat spesial. "Pergi dari sini..." Aina mendorong tubuh Teddy. "Kamu tidak boleh mengusir suamimu sendiri Ainaa..." Aina menangis. Ia merasa sangat malu pada papanya. Apa yang telah ia lakukan dengan Teddy adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. "Kamu tahu aku sedang berduka.. Papaku sedang sakit, jadi aku moh
Teddy terdiam, ia membalas Aina dengan tidak menjawab semua pertanyaan yang keluar dari mulut Aina. Meski berkali-kali Aina minta jawaban. Tapi Teddy berusaha untuk diam. Terlebih, ia merasa hasratnya untuk melakukan hubungan suami istri tidak terbendung lagi. "Tuan, apakah kita sudah sampai?" mata Aina terkejut saat Teddy membawanya ke sebuah restoran mewah di tepi pantai. "Hmm..." Teddy segera membukakan pintu untuknya. Aina yang keriangan melihat pantai segera berlari meninggalkan Teddy di parkiran. "Dasar anak-anak!" Teddy berguman. Sejenak Aina tersadar ia tidak bisa masuk ke restoran itu karena tidak memiliki kartu reservasi. "Maaf Nona, Anda dilarang masuk!" Dua orang penjaga melarang Aina masuk area restoran. Aina tercegat begitu lama di depan sekuriti. Sementara Teddy memang sengaja untuk memperlambat jalannya. "Tuaann.." Aina melambai-lambaikan tangannya. "Dia bersamaku..."
Sebulan kemudian.."Selamat pagi Papa..." Aina memeluk papanya yang sudah terbangun."Ayo pa kita mencari udara segar..."Mata Aina masih sembab. Sisa tangisan semalam yang membuat Aina harus meneruskan kehidupan setelah mendapatkan luka yang terlampau dalam."Naa...." panggil papa."Ituuuu.." Aina melihat sesuatu yang ditunjuk oleh papanya."Selamat pagi om..." "Ada apa?" tanya Aina keheranan.Aina tidak menduga Teddy sudah terbangun pukul lima pagi. Tidak. Mungkin ia sudah bangun lebih pagi lagi karena jarak tempuh Istana Putih ke rumah Aina hampir dua jam."Apa ini?""Buku catatanmu yang tertinggal di kamarmu..." Teddy memberikan sebuah kotak yang berisi buku-buku Aina."Terimakasih..."Aina sedikit canggung saat Teddy menyerahkan buku itu. Kini dunia mereka memang tidak saling bersinggungan. Teddy yang sibuk mengurusi bisnisnya, sedangkan Aina masih fokus merawa
"Tuaann..." Bik Asih dan yang lain segera membawa Teddy ke mobil.Aina masih terdiam tak bisa berkata-kata. Iq masih belum tersadar sepenuhnya."Aina..Aina.." Bik Asih beberapa kali memanggilnya."Aina apa kamu mau ikut?" Bik Asih masih membuka pintu mobil."Ah, apa?" Aina tersadar jika ia baru saja melamun."Ayo ikut.." Bik Asih mengajak Aina untuk duduk di belakang."Tapi aku mau pulang Bik..." Aina mendekati mobil besar yang membawa Teddy."Ainaa..." Teddy memanggil-manggil nama Aina."Ainaa...." suara Teddy makin melemah.Melihat kondisi Teddy yang masih demam, hati Aina luluh. Dengan berat hati ia harus ikut rombongan mengantarkan Teddy ke rumah sakit.Kondisi Teddy hampir tak sadarkan diri. Tangannya mencari-cari tangan Aina."Aina..." ia berbisik lirih."Aina, kamu duduk saja di samping Tuan.." Bik Asih menggeser tempat duduknya.Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, tangan Teddy terus m
"Bagaimana dokter?" Novan kelihatan cemas saat menunggu kabar."Pasien hanya mengalami kelelahan..Sangat perlu istirahat yang cukup..""Syukurlah. " ucap Novan penuh kelegaan."Kapan bisa dipindahkan ke ruang rawat inap Dok?" Teddy bertanya."Kita lihat dan observasi dulu kondisinya dalam kurun waktu tiga jam.. Kalau kondisi pasien membaik, bisa langsung pulang malam ini.." "Oh ya satu lagi, karena masih hamil muda tolong perhatikan kondisi psikis pasien.."Teddy dan Novan saling berpandangan. Tidak pernah terbersit pikiran sekecil biji padi jika Aina sedang mengandung."Apakah Anda belum tahu jika istri Anda hamil?" dokter balik bertanya pada Novan."Bb..bel beluum dok.." Novan menjawab dengan gugup.Novan pura-pura terkejut sekaligus gembira di hadapan sang dokter."Bagaimana bisa Aina hamil?" batin Novan.Saat dokter berlalu, Teddy mulai gelisah. Keinginannya untuk melihat Aina mak
"Aina..." suara itu mendatangi Aina dari dekat."Ainaa..."Sebuah tangan menghampiri pundak kanan Aina. Ya, Aina tahu siapa si pemilik tangan besar itu. Dengan sebesar apapun tenaga yang Aina keluarkan, sudah pasti ia tak kuasa melawan."Kenapa kamu masih di sini....??" Bulu kuduk Aina merinding tegak."Bukankah kamu sudah pergi tadi..." Aina hampir menangis ketakutan."Aina.. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendirian?" "Tidak..aku ingin Bik Onat..Bukan kamu..." Aina mengelak."Sama saja..." katanya."Kemarilah Aina..." Kedua tangannya terbuka lebar. Siap untuk menjadi sandaran Aina saat kesepian seperti ini."Apa yang kamu inginkan dariku?" tanya Aina sambil melawan rasa takut."Tenang.. Aku hanya ingin menjaga anakku, bukan mengganggumu...""Aku tidak mau anak ini...." Aina menangis.Berkali-kali ia memukul perutnya. Aina yang terlalu banyak bergerak membuat infusnya lepas dan berdarah. Rasa sakit harus ia terima."Aduuuhhh.. sakiitt...." Aina merintih.Beberapa tetes darah mulai
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.