Sebulan kemudian..
"Selamat pagi Papa..." Aina memeluk papanya yang sudah terbangun."Ayo pa kita mencari udara segar..."Mata Aina masih sembab. Sisa tangisan semalam yang membuat Aina harus meneruskan kehidupan setelah mendapatkan luka yang terlampau dalam."Naa...." panggil papa."Ituuuu.." Aina melihat sesuatu yang ditunjuk oleh papanya."Selamat pagi om...""Ada apa?" tanya Aina keheranan.Aina tidak menduga Teddy sudah terbangun pukul lima pagi. Tidak. Mungkin ia sudah bangun lebih pagi lagi karena jarak tempuh Istana Putih ke rumah Aina hampir dua jam."Apa ini?""Buku catatanmu yang tertinggal di kamarmu..." Teddy memberikan sebuah kotak yang berisi buku-buku Aina."Terimakasih..."Aina sedikit canggung saat Teddy menyerahkan buku itu. Kini dunia mereka memang tidak saling bersinggungan. Teddy yang sibuk mengurusi bisnisnya, sedangkan Aina masih fokus merawa"Tuaann..." Bik Asih dan yang lain segera membawa Teddy ke mobil.Aina masih terdiam tak bisa berkata-kata. Iq masih belum tersadar sepenuhnya."Aina..Aina.." Bik Asih beberapa kali memanggilnya."Aina apa kamu mau ikut?" Bik Asih masih membuka pintu mobil."Ah, apa?" Aina tersadar jika ia baru saja melamun."Ayo ikut.." Bik Asih mengajak Aina untuk duduk di belakang."Tapi aku mau pulang Bik..." Aina mendekati mobil besar yang membawa Teddy."Ainaa..." Teddy memanggil-manggil nama Aina."Ainaa...." suara Teddy makin melemah.Melihat kondisi Teddy yang masih demam, hati Aina luluh. Dengan berat hati ia harus ikut rombongan mengantarkan Teddy ke rumah sakit.Kondisi Teddy hampir tak sadarkan diri. Tangannya mencari-cari tangan Aina."Aina..." ia berbisik lirih."Aina, kamu duduk saja di samping Tuan.." Bik Asih menggeser tempat duduknya.Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, tangan Teddy terus m
"Bagaimana dokter?" Novan kelihatan cemas saat menunggu kabar."Pasien hanya mengalami kelelahan..Sangat perlu istirahat yang cukup..""Syukurlah. " ucap Novan penuh kelegaan."Kapan bisa dipindahkan ke ruang rawat inap Dok?" Teddy bertanya."Kita lihat dan observasi dulu kondisinya dalam kurun waktu tiga jam.. Kalau kondisi pasien membaik, bisa langsung pulang malam ini.." "Oh ya satu lagi, karena masih hamil muda tolong perhatikan kondisi psikis pasien.."Teddy dan Novan saling berpandangan. Tidak pernah terbersit pikiran sekecil biji padi jika Aina sedang mengandung."Apakah Anda belum tahu jika istri Anda hamil?" dokter balik bertanya pada Novan."Bb..bel beluum dok.." Novan menjawab dengan gugup.Novan pura-pura terkejut sekaligus gembira di hadapan sang dokter."Bagaimana bisa Aina hamil?" batin Novan.Saat dokter berlalu, Teddy mulai gelisah. Keinginannya untuk melihat Aina mak
"Aina..." suara itu mendatangi Aina dari dekat."Ainaa..."Sebuah tangan menghampiri pundak kanan Aina. Ya, Aina tahu siapa si pemilik tangan besar itu. Dengan sebesar apapun tenaga yang Aina keluarkan, sudah pasti ia tak kuasa melawan."Kenapa kamu masih di sini....??" Bulu kuduk Aina merinding tegak."Bukankah kamu sudah pergi tadi..." Aina hampir menangis ketakutan."Aina.. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendirian?" "Tidak..aku ingin Bik Onat..Bukan kamu..." Aina mengelak."Sama saja..." katanya."Kemarilah Aina..." Kedua tangannya terbuka lebar. Siap untuk menjadi sandaran Aina saat kesepian seperti ini."Apa yang kamu inginkan dariku?" tanya Aina sambil melawan rasa takut."Tenang.. Aku hanya ingin menjaga anakku, bukan mengganggumu...""Aku tidak mau anak ini...." Aina menangis.Berkali-kali ia memukul perutnya. Aina yang terlalu banyak bergerak membuat infusnya lepas dan berdarah. Rasa sakit harus ia terima."Aduuuhhh.. sakiitt...." Aina merintih.Beberapa tetes darah mulai
Tiga bulan telah berlalu. Aina berusaha beradaptasi dengan kehamilannya yang makin membesar. Meski ia awalnya tidak menerima, kini ia sudah makin terbiasa oleh perubahan tubuhnya.Yang paling mengejutkan adalah ketika mengetahui Aina hamil, justru papa Aina kesehatnnya semakin membaik."Ainaa..." panggil papanya."Iya paa..." Aina masih sibuk berkutat dengan laptopnya."Kapan waktumu kontrol kandungan?" "Besok malam Pa..ke dokter Rini..." jawab Aina."Papa mau ikut boleh?" Aina yang fokus mengerjakan pekerjaannya tiba-tiba terhenti sejenak. Memandangi papanya yang begitu antusias ikut."Tapi pa..." "Karena papa pakai kursi roda ya?" Aina menjadi tidak enak hati. Papa pasti merasa ia menjadi beban Aina untuk ikut periksa kandungan."Bisa pa.. tapi kita ajak seseorang ya?" pinta Aina."Siapapun temannya papa mau-mau saja. Asalkan ada yang bantu mendorong..hehe""Bagaimana kalau sama aku saja
"Ainaa..." Johan terkejut melihat kehadiran Aina di Istana Putih."Kenapa kamu ada disini? Ayo masuk.." Johan hanya melihat Aina terdiam di dekat parkiran mobil sendirian. Melihat Aina yang sudah mulai membesar perutnya, ia merasa sesuatu yang tidak biasa. Bagaimanapun Aina adalah wanita yang mungkin saja masih terasa spesial di hatinya."Tidak.. Aku akan menunggu disini saja.. Aku tidak diundang..."Sementara makin banyak tamu undangan Teddy yang datang. "Ainaa...." "Ayo bangun..." Johan mengulurkan tangannya agar Aina mau berdiri.Sikap Aina yang kadang-kadang keras kepala membuat Johan terkadang harus menahan kesabaran."Tidak...""Ayo. Jangan disini saja..Masuk saja ke kamarmu!""Kamar? Bukankah aku bukan siapa-siapa lagi disini?" batin Aina."Disini banyak orang yang lewat.." Johan sedikit memaksa Aina."Ya sudah.." sambil sedikit emosi akhirnya Aina mau juga menuruti Johan.**Suasana pesta semakin meriah ketika malam makin larut. Aina masih tidak bisa memejamkan mata. Suara d
"Ayo ikut denganku.." Teddy sedikit memaksa Aina. "Aku tidak mau! Bukankah aku sudah bilang berkali-kali..." Teddy makin kesal dengan Aina yang lebih keras kepala dari sebelum-sebelumnya. "Akan kuantar dengan mobilmu..." Setelah perdebatan panjang akhirnya Aina mau mengikuti perintah Teddy untuk bersamanya. Meski raut wajah Aina masih terlihat kesal dengan paksaan dari Teddy. "Duduklah.." Teddy membukakan pintu. "Sekarang diam.. Jangan menangis atau marah padaku!" Tidak seperti bayangan Aina, Teddy malah membawanya kembali ke Istana Putih. Aina ingin sekali untuk berteriak namun ia tak kuasa melihat wajah Teddy yang terlihat merah padam. Sepanjang jalan, Teddy pun juga terdiam. Ia hanya melihat jalanan dan tidak menoleh sedikitpun pada Aina. Ini adalah salah satu siasatnya agar Aina diam. Bik Asih terkejut saat melihat Teddy bersama Aina lagi. "Ainaa...." Bik Asih memeluk Aina yang da
"Antar aku pulang, aku rindu papa..." Aina berusaha untuk tidak menggunakan emosi saat berbicara dengan Teddy."Pukul berapa sekarang?" "Sebelas siang.." jawab Aina."Sebentar..." Teddy segera bangun dan merapikan bajunya. Ia bergegas ke kamar mandi. Sementara Aina tertatih-tatih untuk berdiri."Aina kamu harus kuat..." Aina membisikkan pada dirinya sendiri."Ainaa..." Teddy memanggil Aina dari dalam kamar mandi."Ambilkan handukku di dekat meja."Aina berjalan perlahan untuk mengambilkan handuk warna putih."Masuklah..pintu tidak dikunci..." suara Teddy bersamaan dengan suara shower yang sangat deras."Ini ditaruh dimana?" samar-samar Aina melihat Teddy yang tengah membersihkan tubuhnya."Disini saja.." Teddy mengambil handuk dari tangan Aina."Tolong jangan kesini.." kata Aina sambil memalingkan wajahnya."Bukankah kamu sudah melihat semuanya?" Teddy ter
"Selamat Pak.. Bayi Anda laki-laki, beratnya 1 kg." Teddy melihat bayi mungilnya yang jika digendong hanya dua telapak tangan manusia dewasa. Ia menangis melihat anak yang baru saja dilahirkan dari rahim wanita yang ia cintai. "Pak, bisa diadzani dulu bayinya.." dokter spesialis anak mendekatkan bayi itu dengan Teddy. "Dokter, tolong adzani anak saya..." Teddy menangis. "Baik Pak.." Suara lantunan adzan dan iqamah dari dokter kandungan membuat bayi Aina bergerak-gerak perlahan. Teddy melihat anaknya yang masih berada di dalam inkunator. "Sementara anak bapak akan kami letakkan di NICU sampai berat badan janin bisa dibawa pulang ya Pak.. Banyak-banyak berdoa semoga buah hati bapak tetap sehat..." Dokter dan perawat berlalu membawa bayi mungil itu ke ruang NICU. Teddy masih berada di ruang operasi menemani Aina yang dibius total. "Ainaa.. anak kita sudah lahir..." Teddy berbisik. "Mari Pak, ibu Aina akan kam
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.