Sudah dari beberapa menit lalu Lauren dan Matthias saling mendiami, merasa bingung harus memulai obrolan dari mana. Suasana di sana sangat canggung. Sesekali Matthias melirik Lauren yang duduk di sebelah nya, dari tadi wanita itu menunduk seraya memainkan jemari tangannya.Dengan memberanikan diri, Matthias menggenggam tangan Lauren membuat wanita itu pun menatap nya. "Kamu mau dengar dari yang mana? Tanyakan saja, saya akan berusaha jawab kalaupun saya tahu," ucap nya dengan senyuman tipis, berusaha tidak memberikan tekanan. Hembusan nafas lirih keluar lewat celah bibir Lauren. "Apa benar Matthew sempat punya anak dengan Anne? Jadi sekarang Anne sedang hamil ya?" Inilah yang dari tadi terus mengganggu pikiran Lauren, merasa tidak bisa menahan rasa ingin tahunya lagi. Melihat pria di dekat nya itu menggangguk, membuat dada Lauren seperti dihantam sesuatu. Ternyata Ia tidak salah dengar, rasanya sakit sekali mengetahui kenyataan ini. Padahal Lauren sudah berusaha sekuat mungkin menah
"Kita mau kemana?" pertanyaan itu Lauren lontarkan lantaran Matthias tiba-tiba mengajaknya pergi padahal Ia sedang mengerjakan tugas. Sekarang mereka sedang di perjalanan, dan Lauren masih tidak tahu tujuan mereka.Matthias menoleh sekilas lalu kembali fokus menyetir. "Ke tempat proyek pengerjaan Matthew, sekalian saya mau cek sudah sejauh mana dia mengerjakan. Kamu juga sudah lama kan gak ketemu dia? Dia sudah berapa hari gak pulang?"Jika dihitung mungkin sudah mau empat hari Matthew tidak pulang, bahkan di kantor pun tidak bertemu. Lauren sih tidak masalah, malahan merasa senang karena jika bertemu mungkin Ia tidak akan tahan untuk menonjok wajah suaminya yang brengsek itu. Walaupun begitu, terkadang pria itu masih sesekali mengirim pesan memberitahu kesibukannya."Kayanya dia benar-benar ingin proyek besar ini berjalan sukses, makanya fokus ngerjain sampai ngorbanin banyak waktu," kata Matthias kembali membuka suara, kali ini Ia tidak terlalu ingin mengompori tahu jika suasana hat
Kecelakaan di tempat bekerja itu sudah biasa, apalagi sedang mengerjakan proyek bangunan tinggi. Tetapi Matthew merasa frustasi karena baru kali ini musibah menimpa nya, Ia sebagai pemimpin tentu saja yang paling besar tanggung jawab nya. "Selama dua minggu ini semua baik-baik saja, baru kali ini saja ada kecelakaan begitu," ujar Matthew seraya mengusap wajahnya kasar, tanda sedang frustasi. Apalagi Ia sudah dikabari bawahannya, jika pekerja yang jatuh dari lantai atas gedung itu meninggal karena kehabisan darah. Matthias mendekat lalu menepuk pelan bahu adiknya berusaha menenangkan. "Tenang lah, jangan terlalu dipikirkan karena akan berpengaruh ke masa depan proyek kamu. Tetap lanjutkan saja, tapi kamu juga harus ganti rugi pada keluarga korban sebagai kompensasi," ujar nya. Mengingat itu, membuat Matthew meringis pelan karena baru teringat. Sial, kenapa bisa-bisanya Ia melupakan membuat kontrak di atas matrai perjanjian dahulu dengan para pekerjanya ya? Matthew terlalu gegabah, b
Ternyata masalah yang terjadi di proyek pembangunan yang ditanggung jawabi Matthew cukup rumit. Belum selesai satu, masalah lain sudah datang membuat pria itu dibuat frustasi sendiri. Tidak menyangka masalah akan datang di pertengahan, padahal saat awal semua lancar-lancar saja. Siang itu, Matthew memutuskan datang ke kantor untuk bertemu Kakak nya. "Pak Matthias ada kan di dalam?" tanya Matthew pada sekertaris berkaca mata itu. "Ada Pak, kebetulan di dalam juga ada Bu Lauren. Sepertinya mereka sedang makan siang bersama," jawab sekertaris itu ramah. Kernyitan terlihat di kening Matthew saat mendengar itu, tidak menyangka kedekatan di antara istri dan Kakak nya malah semakin lengket. Ia sudah lama tidak memperhatikan mereka karena terlalu sibuk dengan proyek nya, Matthew merasa kecolongan membuat nya jadi berpikir aneh-aneh. Dengan perasaan berdebar, Matthew pun membuka pintu ruang kerja itu begitu saja tanpa mengetuk nya dahulu. Pandangannya langsung tertuju ke arah sofa, dimana d
Selepas mengobrol panjang dengan Kakak nya, Matthew ingin bertemu dulu dengan istrinya. Mereka sudah beberapa hari tidak bertemu karena Ia yang terlalu sibuk mengurus proyek. Sayangnya saat baru bertemu lagi malah terlibat pertikaian kecil karena Ia yang cemburu, padahal Matthew sangat rindu dengan Lauren. Saat memasuki ruang kerja Lauren, Matthew sempat menjadi perhatian beberapa orang yang menyadari kehadiran nya. Ia hanya bersikap acuh, memperhatikan sekitar mencari sang istri. Setelah menemukannya, berjalan pelan mengendap ingin mengejutkan. Benar saja saat Ia peluk leher Lauren dari belakang, tubuh perempuan itu tersentak terkejut. Kepala Lauren menoleh ke samping untuk melihat, hembusan nafas kasar keluar lewat celah bibir nya karena ternyata itu adalah suaminya. Jujur saja Lauren sempat mengira Matthias, tapi tidak mungkin kan pria itu se-nekad itu? "Matthew, aku kira siapa. Kamu belum pulang?" tanyanya seraya melepaskan tangan pria itu yang sempat memeluk leher nya. "Belum,
Kejadian se-malam dimana Matthias dan Lauren yang terciduk sedang bermesraan di dapur oleh mbok Tati membuat dua orang itu tidak bisa tenang. Lauren lah yang terlihat jelas, perempuan itu pagi ini jadi banyak diam dengan kepala menunduk. Sedangkan Matthias? Bersikap tenang dan santai, walau di dalam hati ada sedikit was-was."Selamat pagi semuanya, aku pulang!" sapa Matthew dengan suara menggema nya, membuat perhatian semua orang di meja makan teralih pada pria yang baru pulang lagi itu.Matthew terlebih dahulu menghampiri Mama nya yang selalu tersenyum hangat pada nya, menyalami tangan dan mengecup kening nya sayang. "Gimana kabar Mama selama aku gak pulang ke rumah? Baik, kan?" tanya Matthew yang selalu berlagak menjadi anak berbakti."Mama baik kok, sehat juga. Kamu memang sesibuk itu ya sampai gak pulang-pulang? Padahal jarak dari proyek ke rumah juga cuman satu jam." Mama nya sesekali melirik Lauren yang terlihat acuh dan tetap sarapan. Sebenarnya yang Ia pikirkan menantu nya itu
Ada perasaan mengganjal di hati Lauren setelah kejadian tadi di meja makan. Hatinya merasa tidak nyaman saat mertuanya meminta Matthias untuk segera menikah. Apakah Ia cemburu dan merasa tidak rela? Jika pun begitu, berarti Lauren memang sudah jatuh hati pada Kakak Iparnya itu."Lauren, kenapa diam saja dari tadi?" tanya Matthias seraya mengusap telapak tangan wanita itu yang berada di atas pangkuan. Membuat Lauren yang dari tadi menatap keluar kaca mobil pun beralih menjadi kepadanya. "Kalau kamu kepikiran perkataan Mama tadi, jangan dianggap serius, abaikan saja," lanjut nya.Ternyata pria itu sangat peka, membuat Lauren sedikit malu karena perasaannya tidak bisa disembunyikan. Lauren lalu berusaha tersenyum. "Tapi kata Mama ada benar nya juga, sudah waktunya Kakak menikah," ucap nya dengan tidak ikhlas."Ya sudah kalau begitu, jadi kapan kamu mau menikah dengan saya?"Kedua bola mata Lauren terbelak mendengar itu, Ia bahkan sampai tersedak ludahnya sendiri sanking salah tingkah nya
Dengan terpaksa Matthias pun melepaskan bibir nya dari Lauren, terlihat benang saliva keduanya yang tertaut menandakan sudah lama mereka berciuman. Dengan malas, mereka pun melirik ke arah pintu, dimana Matthew yang berdiri di sana dengan ekspresi wajah garang nya. "Dasar tidak sopan, sudah berapa kali kan saya bilang jika di kantor harus bersikap profesional!" ujar Matthias dengan suara tegas nya. Namun sepertinya perkataannya yang santai itu mampu membuat Matthew semakin menyulut emosi. Dengan langkah tergesa Matthew berjalan mendekati dua orang di sofa itu, bahkan mereka belum berganti posisi sedikit pun membuat nya frustasi karena merasa sedang di permainkan. Matthew lalu menarik tangan Lauren, hingga membuat wanita itu beranjak dari pangkuan Matthias seraya mengeluh kesakitan. "Dasar istri durhaka, apa-apaan kamu Lauren hah?!" cerca Matthew dengan nafas memburu nya. Melihat lipstik merah di bibir istrinya sampai belepotan karena ulah Kakak nya sendiri, membuat dada nya panas.