Laras terus saja melangkah menyusuri koridor rumah sakit, tadi arah kemana mereka membawa Om Baskoro ya? Laras sempat tertinggal jauh."Cari siapa dek?" Seorang petugas rumah sakit bertanya pada Laras yang memang sedang kebingungan."Anu, e .... tadi aku seperti lihat orang yang aku kenal, terbaring sakit dan di bawa sama petugas, apa korban kecelakaan ya?""Oh, coba ke UGD, mungkin berada di sana? lewat sini, lurus saja, terus belok kiri.""Wah, terima kasih, Pak.""Iya, sama-sama."Laras segera menuju ke arah yang tadi di sebutan. Benar saja, unit gawat darurat ini, terlihat sepi, Laras melangkah ke bagian resepsionis"Selamat siang, boleh tanya, Mbak? apa.ada korban kecelakaan hari ini?""Nama pasien?""Maaf belum pasti sih, Mba. Tadi saya cuma lihat sekilas saja.""Wah, Mbaknya gimana? memang tadi ada pasien baru, tapi belum memberikan keterangan.""Oh ya, sudah maaf ya , Mbak."Laras langsung pergi dari tempat tersebut karena, merasa pasti bukan Om Baskoro yang baru saja dikenaln
Ardi menatap senjata di depannya, lewat matanya, pistol itu tak berisi penuh, baru saja peluru itu di keluarkan dengan cepat, terlihat penutup peluru itu tak begitu rapat.Tapi Ardi curiga, justru ada sebuah senjata lagi di balik tubuh komandan Intel ini."Apa yang harus aku jawab." Akhirnya Ardi membuka suara."Aku suka dengan caramu? pertama yang aku tanyakan, apa tujuan kalian melakukan hal ini?""Uang." Ardi langsung menjawabnya, "kami bukan pecandu, aku masih punya otak, dunia ini gersang bukan? tak mudah orang sepertiku, mendapatkan uang banyak sekali gayung."Tito tersenyum. Dirinya paham siapa Ardi, jagoan dalam trek, dan menjadi DPO karena trek liar ini, tapi itu sudah berlalu cukup lama."Kau tahu bukan? siapa yang sedang aku incar? Baskoro. dan kalian terus melindunginya."Tommy terdiam, kejadian semalam sebelum Baskoro tertembak memang dirinya malah melindungi Baskoro dari para sniper.Tito melirik pada Tommy."Kali ini, kau tak bisa bohong lagi padaku , Tommy."Perbincang
Laras terus sibuk dengan dirinya sendiri, mencari info pada lobbi depan, dan tiga hari lagi sudah di minta untuk hadir bekerja. Laras pun pergi meninggalkan Rumah sakit, dia menuju taman kota, sambil membawa sebungkus es kirim, Laras ingin menikmati es krim sambil duduk di taman.Teringat dirinya dengan masa lalunya, masa kecil yang sama sekali tak mengenal sosok seorang Ayah, bila dirinya bertanya pada mamanya, selalu menjawab, ayah Laras sudah meninggal, bahkan Laras tak tahu nama ayahnya sendiri. Laras kecil, selalu mengikuti kemanapun mamanya pergi, bekerja ataupun ke rumah teman-teman mamanya, dirinya tak akrab dengan Puspa, karena kakaknya sama sekali tak mau bermain dengan Laras."Mah, Laras kangen, telepon ah," gumam Laras dan segera menghubungi mamanya. Tapi suara dering ponsel mamanya terdengar sangat dekat."Kau ini! Mama cari-cari, aku pikir kau ke cafe." celutuk Kartika dari belakang Laras "Mama!"Kartika segera duduk dekat anaknya. Laras langsung memeluk Kartika."Ngga
"Sialan!!"Lelaki yang kena tendang Laras, masih meringkuk di jok belakang mobil. "Apa perlu ke rumah sakit?""Nggak usah!!! Kurang ajar gadis itu!!" Sumpah serapah dari lelaki tersebut, masih merasakan sakit yang teramat sangat pada alat vitalnya.Kedua temannya malah tertawa ngakak, semakin panjang lah sumpah serapah dari lelaki yang malu karena kalah oleh tendangan gadis itu.Sementara itu, Kartika sudah berada di rumah judi lagi, kali ini dirinya tidak ikut bermain, Kartika sedang menangis!Ci Amoy, sedang memeluk pundak sahabatnya itu, dirinya pun paham atas kesedihan dan duka lara Kartika. Bagaimana hidupnya harus membawa Laras yang sangat memukul kehidupannya. "Sabar, Tika. Lu baru segitu hidup lu, lah gue, sampai tuek, anak semua pergi, laki gue juga pergi, aku tak punya siapa-siapa, hanya lu yang gue punya, tahu?" Ci Amoy, berkata sambil berlinang air mata."Katanya hanya aku yang kau punya, tapi kenapa aku selalu jadi sainganmu." Dalam isaknya Kartika bicara seraya mengusa
Matahari telah menyinari alam, terlihat embun sisa semalam di rerumputan. Terlihat Tommy, sedang berolah raga, celana trening dan kaus tanpa lengan, menjadi outfit favoritnya. Keringatnya sudah membasahi tubuhnya yang terlihat kekar, kulit putih dan mulus membuat siapa saja pasti akan melirik lelaki tampan blasteran Belanda - Indo ini.Napasnya terdengar semakin memburu, ini sudah ke empat kalinya, Tommy sudah memutari komplek perumahan.Tak jauh dari dirinya, tiba-tiba ekor mata Tommy, melihat sekelebat tubuh ramping sedang menggenjot sepedanya dengan santai. Tubuhnya yang langsing ditambah kaki yang jenjang bercelana pendek itu mencuri perhatian Tommy."Nice ..." gumamnya, melihat penampakan yang menarik hatinya.Saat wanita itu menengok Tommy, dan tersenyum. "Hai! kita jumpa lagi di sini.""Jumpa? kita pernah ketemu? di mana?" jawab Tommy bingung. Gadis cantik itu berhenti, dan menatap Tommy lekat-lekat."Aku yang menangkapmu, waktu kau duduk menikmati mie dalam sebuah cup.""What!
Kartika dan Ardi kaget saat tahu, Laras sudah ada di antara mereka.""Hai , kamu, kenapa. tahu mama di sini?" tanya Kartika khawatir Laras mendengar pembicaraan tadi."Lukman yang bilang,"Ardi memandang Lukman, ah, tentu saja, dia tak tahu apa-apa makanya memberitahukan ada Kartika di cafe.Ardi berganti memandang Laras, gadis yang sekarang lebih menguasai isi hatinya, di lemparnya senyum manis padanya."Mau apa kau kemari?" tanya Ardi."Ih, galak banget sih .... " Laras malah meledek Ardi dengan tatapan mautnya."Mama mau pergi saja, " Kartika tahu sinyal itu dari mereka."Mah ..." Ardi dan Laras bebarengan memanggil Kartika . Seketika Kartika menghentikan gerakannya dan memandang keduanya."Jangan begitu, mama mau ke rumah Ci Amoy.""Judi lagi, Mah?" sindir Laras."Sekarang mama bantuin, Ahok. lumayan. bisa untuk yang lainnya. mama sudah kurangi main mahyong. Laras ingat, jangan terlalu lama di sini. sebentar lagi Puspa pasti datang. aku tak mau kau bertengkar dengan kakakmu, paha
Setelah Laras menjauh dari cafe, sikapnya pun kembali seperti biasa lagi.Ridho memandang perubahan pada Laras."Kenapa nggak gandeng tanganku lagi?""Nggak lah, maaf ya, tadi aku bersikap seperti itu." "Oh, jadi cuma di depan mereka? siapa sih ?""Ah, sudahlah." Laras segera menuju parkiran dan hendak pergi."Tunggu, kau mau kemana? aku belum tanya padamu, apa jadi kerja di kantor temanku?" kalau jadi ayo, kita ke sana.""Nanti deh, saat ini aku mau ke rumah sakit dulu, ada pembagian seragam hari ini.""Jadi tawaranku ditolak nih?""Buat cadangan dulu, aku coba kerjaan yang ini dulu, maaf ya , Ridho.""Ya udah, nggak apa-apa sih," ucap lelaki itu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal."Aku pergi dulu, ya, dah ..." pamit Laras, dan segera melajukan motor metiknya.Ridho, hanya mengangguk saja. Dalam batinnya, bagaimanapun, aku harus bisa taklukkan Laras. 'Gue, jatuh cinta sama lu, Ras' kata-kata itu selalu dalam pikirannya.***Ardi langsung melepaskan kausnya, tampak tubuh keka
Apa kabar dengan Baskoro?Heri dan beberapa rekan kerjanya, menyembunyikan Baskoro, tuan besarnya, di tempat yang tak semua orang tahu. Keadaannya masih belum stabil. Peluru yang hampir saja mengenai jantungnya. berakibat fatal, harus banyak masa pemulihan. Bahkan ada sebuah peluru yang menyerempet di bagian lehernya. Hal tersebut mengakibatkan Baskoro tak bisa lancar bersuara, pita suaranya terganggu. Pria gaek tersebut duduk di kursi roda, tubuhnya sedikit lebih kurus, wajah pasinya masih mendominasi.Baskoro hanya bisa mengangguk dan menggeleng saja. Semua dilaluinya dengan sabar. Walaupun ada rasa marah dalam dadanya. Mengetahui siapa pelaku dibalik semua ini.Heri sang pengawal setianya, berencana akan menyusup ke dalam vila milik tuannya tersebut. Keadaannya sudah agak redup, pasti penjagaan mereka sedikit kacau.Baskoro tak bisa lagi berkata-kata lagi, villanya sudah dikuasai seseorang, Baskoro tetap akan rebut kembali semua ini. Tak menyangka, sahabatnya sendiri yang merencan