Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya.
“Biasa ya, Pak.”
“Siap, Neng.”
Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal.
Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Hallo! Jika kalian menyukai part ini, silahkan pertimbangkan untuk memberikan vote, rating dan komen^^ Thank youuu!!!
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Ayo semuanya lari! Enggak ada yang jalan ya! Lari semuanya lari!” teriak para senior, dengan pakaian serba hitam dilengkapi pita merah yang terikat di lengan mereka, sudah berdiri di ambang pintu gerbang kampus. Ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus yang akan menjadi almamaterku kelak. Tentu saja sebagai mahasiswa baru yang sedang dalam masa orientasi. Kami menggunakan kemeja putih dengan bawahan hitam dan tak lupa dengan beragam aksesoris yang sudah ditentukan oleh panitia masa orientasi, yang sejujurnya membuatku risih. Aku berlari melewati para senior galak yang terus berteriak. Entah mereka benar-benar galak atau berusaha memunculkan kesan galak. Hanya mereka dan teman-temannya yang tahu.Setelah berlari mengikuti rombongan mahasiswa baru, tanpa sadar aku sampai di sebuah danau. Danau tersebut terletak di tengah area kampus. Semua murid baru yang sedang dalam masa orientasi
Keadaan kampus siang ini sangat cerah dan panas dengan awan yang terlihat seperti es krim vanila berkumpul menjadi satu. Bagaimana bisa kota Bandung, yang terkenal dingin, mempunyai panas semenyengat ini? Salah satu alasanku memilih universitas di daerah Bandung adalah untuk menghindari panasnya Jakarta, dan tentu saja mengikuti Saras. Aku dan Saras mempunyai mimpi bersama yaitu mempunyai studio game yang keren. Kebetulan universitas yang kami pilih mempunyai jurusan game yang cukup terkenal. Benar-benar menarik perhatian kami berdua.“Es krim vanila pasti enak nih dimakan siang-siang begini,” seruku membayangkan bagaimana es krim vanila dapat memanjakan lidah dan kerongkonganku yang menderita akibat serangan panas siang ha
Waktu istirahat, sebuah waktu yang berharga bagi mahasiswa baru di universitas kami yang sedang dalam masa orientasi. Pasalnya, para senior tidak akan mengijinkan kami untuk ke toilet kecuali pada waktu istirahat. Toilet wanita yang hanya memiliki 4 bilik tersebut selalu ramai. Aku memasuki bilik toilet ke-4 dari pintu masuk. Saat aku berada di dalamnya untuk menuntaskan urusanku, sayup-sayup terdengar percakapan beberapa wanita dari luar.“Tadi dengar, kan? Katanya kita harus nulis surat cinta dan cokelat buat senior, terus kasih ke mereka di hari ke-4 ospek.”“Lo udah tau mau kasih surat ke siapa?”“Gue kayaknya mau kasih ke kakak-kakak yang pegang kamera tadi deh. Yang rambut sebahu itu loh. Dia keren banget! Tipe gue.”“Lo ya
Aku terdiam sambil melipat tanganku di depan meja belajar, ditemani dengan secarik kertas kosong dan sebuah amplop merah muda yang sudah aku siapkan untuk surat cinta. Kata-kata apa yang harus aku gunakan? Memikirkan rangkaian kata-kata untuk surat cinta membuat kepalaku pusing. Ini lebih sulit dibandingkan dengan memikirkan konsep game terbaru yang akan aku dan Radit rancang di masa depan.Halo, Kang Brian… Perkenalkan, aku Saras…“Ewh, ayolah Saras, ini bukan surat untuk sahabat pena atau kencan buta. Pikirkan hal yang kira-kira bisa bikin Brian terkesan,” rutukku. Aku mengacak-acak rambutku, pusing. Kira-kira Brian suka hal berbau apa ya? Atau sesuatu yang dapat membuatnya terkesan. Hmm kutipan?
“Gimana mood lo hari ini, Bri?” Sekar menghampiri Brian dan menyodorkan minuman botol yang baru saja ia beli di kantin. “Nih, seperti biasa less sugar.”Brian yang sedang membersihkan lensa kameranya pun memberi jeda dan menerima minuman pemberian Sekar. “Lo kenapa sih mau tau mood gue banget? Berisik!” sahutnya. Sekar yang mendengar itu pun mendengus kesal. Pasalnya, gara-gara mood Brian yang sering hancur tiba-tiba dapat langsung membuat suasana tegang secara drastis. Para panitia masa orientasi, yang bertanggung jawab agar aca
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui
Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da
Naraya Wibisono, gadis konglomerat yang memilih untuk masuk ke sekolah biasa karena tidak menyukai persaingan anak-anak kelas elit yang sudah menjadi makanannya sehari-harinya. Ia muak dan mencari pelarian dengan masuk ke sekolah biasa agar ia dapat merasakan hidup normal. Untungnya, walaupun orang tuanya tegas, mereka selalu mendukung apa yang Nara lakukan. Sehingga, gadis itu bisa fokus pada pengembangan dirinya sendiri. Nara mempunyai pribadi yang sangat baik dan mudah menaruh kepercayaan. Banyak yang menyukainya, namun banyak juga yang tidak. Nara beberapa kali menghadapi insiden perundungan oleh senior-senior perempuan. Awalnya mereka hanya merampas dompet Nara beserta isinya. Nara, yang merasa hal itu bukan apa-apa, memutuskan untuk menuruti keinginan mereka. Namun, makin lama hal itu membuatnya muak dan ia memutuskan untuk melawan. Ketika Nara mulai melawan, mereka menarik Nara ke toilet perempuan saat pulang sekolah. Untungnya, pada waktu itu adalah tugas pi
Suasana canggung seakan menyelimuti Sekar dan Radit setelah pemuda itu melontarkan pertanyaan mengenai kejadian baru-baru ini. Senyum Sekar yang tadinya cerah, mendadak berubah. Ada rasa sedih dan bersalah disana. Namun, ia masih tetap berusaha tersenyum di hadapan Radit. “Kamu lihat sampai mana?” tanya Sekar. Berusaha mempertahankan senyumnya. “Sampai Teteh membuang minuman kaleng yang masih penuh ke tempat sampah.” Sekar memasang ekspresi ‘kok kamu bisa tahu kalau minuman kaleng itu penuh?’ pada Radit. Radit langsung menjelaskan kalau ia sempat mengambil minuman kaleng tersebut dan ternyata isinya masih penuh. Ia tidak mungkin bilang secara terus terang kalau ia sedang mengikuti Brian dan mengumpulkan bukti sekecil apapun yang berhubungan dengan pemuda itu. “Aaah kamu lihat semuanya, ya. Kalau begitu, nggak ada alasan lagi buatku untuk menutupinya. Sejujurnya, aku lelah menyimpan ini sendirian.” Sekar menghela nafasnya panjang. Tubuhnya yang tadinya menegan
Awan mendung menyelimuti langit dengan selimut kelabunya. Udara yang sejuk dan dingin menyapa hidung, lalu memberikan sensasi sejuk dan dingin pada tubuh Radit dan Saras yang sedang melangkahkan sepasang kaki mereka dengan lunglai, menuju kampus untuk menghadiri kelas pagi. Dua remaja itu terlihat mengantuk seperti orang yang kurang tidur. “Hoahm.” Mereka menguap secara bersamaan, lalu saling tatap satu sama lain dan tertawa. “Lo kurang tidur juga, Ras?” tanya Radit yang mulai mengalungkan lengannya pada lengan Saras. Udara dingin ini benar-benar membuatnya ingin mencari kehangatan. “Iya nih. Gara-gara tugas Nirmana, gue bikin beberapa opsi buat asistensi sampai jam 5 subuh. Kenapa harus kelas pagi sih? Jam 7 pula. Hoahm,” gerutu Saras dan kembali menguap. Radit tersenyum dan merasa gemas melihat sahabatnya yang menggerutu. “Kalau lo kurang tidur kenapa, Dit? Pasti main game sampai pagi, ya?” tuduh Saras dengan mencolek-colek pipi Radit yang hanya dibalas ta