“Gimana mood lo hari ini, Bri?” Sekar menghampiri Brian dan menyodorkan minuman botol yang baru saja ia beli di kantin. “Nih, seperti biasa less sugar.”
Brian yang sedang membersihkan lensa kameranya pun memberi jeda dan menerima minuman pemberian Sekar. “Lo kenapa sih mau tau mood gue banget? Berisik!” sahutnya. Sekar yang mendengar itu pun mendengus kesal. Pasalnya, gara-gara mood Brian yang sering hancur tiba-tiba dapat langsung membuat suasana tegang secara drastis. Para panitia masa orientasi, yang bertanggung jawab agar acara berlangsung dengan lancar, kesulitan untuk mencairkan suasana.
“Ya makanya, mood lo tuh dikendaliin. Jangan ngerugiin orang,” sahut Sekar dengan sedikit menggertakkan giginya. Tahan, Kar, tahan. Jangan sampai mood Brian hancur gara-gara debat sama lo. Sekar memberi peringatan pada dirinya sendiri, lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya.
“Daripada lo disini ngurusin urusan orang, mending lo bantuin penanggung jawab acara deh. Antisipasi aja kalau tiba-tiba mood gue hancur lagi.” Brian menepuk pundak Sekar, memberinya kerlingan jahil dan berlalu pergi.
“Beberapa hari yang lalu ada mahasiswa baru yang kepo sama lo, Bri. Dia nanya langsung ke gue semua hal tentang lo.” Brian menghentikan langkahnya ketika mendengar perkataan Sekar, membalikkan badannya, dan kembali duduk. Ia mulai membuka botol minuman yang diberikan Sekar.
“Siapa?” sahutnya dingin sembari mulai meneguk minumannya.
“Raditya Abimanyu. Lo bakal langsung tau dia yang mana karena dia yang paling tampan diantara mahasiswa baru fakultas kita. Badannya juga atletis. Terus senyumnya manis banget,” jelas Sekar yang otomatis tersenyum berbunga-bunga sembari menjelaskan ciri-ciri fisik dari seorang Raditya Abimanyu.
“Oke, Sekar. Gue enggak peduli ciri-ciri fisiknya dia, yang perlu gue tau kenapa dia kepo sama gue? Mau nantangin? Gue sih enggak keberatan,” sahut Brian enteng. Sekar memutar bola matanya jengkel. Brian sangat percaya diri jika menyangkut tantangan aktivitas fisik karena ia percaya bahwa ia tidak akan kalah. Sekar sudah sering mendengar Brian memamerkan kepercayaan dirinya. Namun, ia tetap masih belum terbiasa.
“Gue punya feeling dia enggak mau nantangin lo sih, Bri. Cuma kepo aja. Kayaknya dia ngumpulin informasi tentang lo bukan buat diri sendiri. Ya lo tau lah maksud gue apa.”
“Terus lo cerita apa tentang gue?”
“Rumor. Gosip-gosip dan fakta lo yang udah jadi rahasia umum. Hitung-hitung sebagai prolog perkenalan. Biar seenggaknya dia bisa waspada sedikit kalau suatu saat berurusan sama lo.”
Brian terdiam.
“Kira-kira dia mau ngasih informasi tentang gue ke siapa ya?” sahut Brian sangat pelan.
“Hah? Lo ngomong apa, Bri?”
“Enggak, enggak ada. Udah ya gue mau ke sekre BEM dulu.” Brian berlalu pergi membawa berbagai pemikiran tentang kemungkinan-kemungkinan dari pertanyaan ‘mengapa seorang mahasiswa baru bernama Raditya Abimanyu mengumpulkan informasi tentangnya?’. Radar kewaspadaannya menyala. Pasalnya, sudah lama tidak ada yang bertanya hal-hal seputar dirinya. Apalagi langsung bertanya pada orang yang termasuk dalam lingkar pertemanannya. Ia harus mengetahui jawabannya hari ini.
****
“Radit!!!” panggilku seraya mendaratkan lengan kananku pada pundak Radit.
“Hey, what’s up, young lady! Seneng amat nih kayaknya.”
“Gue punya feeling bagus buat hari ini, Dit. Enggak ada jaminan surat gue bakal selamat sih, tapi semoga aja beneran dibaca sama Brian atau seengganya diintip dikit lah. Oiya, lo kasih surat cinta ke siapa akhirnya?” tanyaku penasaran. Semoga pilihannya kali ini tidak random. Pasalnya, Radit akan memilih sesuatu atau seseorang secara acak jika ia dalam keadaan terdesak.
“Tenang aja, Ras. Kali ini pilihan gue enggak random kok,” sahutnya seperti bisa membaca pikiranku.
“Jadi, siapakah wanita beruntung itu?”
“Lebay deh. Gue mau kasih ke senior yang namanya Sekar. Hitung-hitung ucapan terima kasih gue karena dia sudah kasih banyak informasi tentang mas crush lo,” ucapnya seraya mengerling jahil.
“Akhirnya, setelah dua jenjang pendidikan, seorang Raditya Abimanyu tidak lagi memberikan surat cintanya pada orang-orang random,” godaku. Tentu saja aku harus menggoda Radit mengenai pencapaiannya sekarang. Pasalnya, sejak masa orientasi SMP dan SMA, Radit tidak pernah benar-benar jelas memutuskan akan mengirimkan surat cintanya kepada siapa. Ia pasti akan dengan malas menunjuk seorang senior secara random dan menuliskan isi surat cinta seadanya. Baru kali ini aku melihat Radit benar-benar memutuskan Sang Penerima. Walaupun katanya sebagai tanda terima kasih saja, tetapi tetap ini sebuah kemajuan.
Radit menjentikkan jarinya pada dahiku, “Sstt! Bisa enggak sih jangan heboh??” ucapnya dengan jari telunjuk di depan bibirnya. Mengisyaratkanku untuk menurunkan kadar kesenanganku.
“Please, lo harus kenalin gue sama Teh Sekar. Gue penasaran banget. Siapa sih yang bisa bikin Radit beneran nulis surat cinta?”
“Ras, isi surat cinta gue cuma ucapan terima kasih. Stop lebay deh.”
Tanpa terasa kami sudah sampai di lapangan basket yang terletak di depan gedung fakultas, tempat dimana semua mahasiswa baru berkumpul untuk senam pagi dan juga games. Pagi itu, segala sesuatu yang terjadi terasa begitu cepat. Entah karena aku tidak fokus atau aku benar-benar menikmati hari terakhir masa orientasi ini. Yang jelas, pikiranku tak bisa berpaling dari Brian. Aku benar-benar jatuh hati padanya dan aku pun juga sudah memberikan peringatan pada hatiku sendiri, bahwa aku akan benar-benar sakit jika patah hati mengunjungiku.
Bagiku, duniamu akan sangat berbeda ketika kamu menyukai seseorang. Segala hal sepele yang dilakukannya akan berdampak kepadamu. Terutama pada perasaanmu. Rasa suka, sedih, senang, gundah, semua bergantung pada dirinya. Imajinasimu tentangnya ataupun bagaimana cara dia meresponmu dapat benar-benar mempengaruhimu. Seolah dia adalah planet dan dirimu adalah satelitnya. Atau dia adalah matahari dan dirimu adalah salah satu planet yang mengitarinya. Kamu membutuhkannya dan dia adalah pusat duniamu. Alasan mengapa kamu ada.
Hari ini, dari awal senam pagi hingga waktu penyerahan surat cinta makin dekat, aku belum melihat Brian. Jika ternyata Brian tidak masuk hari ini, entah hal itu akan menguntungkan untukku atau malah menjadi sebuah kerugian. Karena, kalau tidak hari ini aku menyerahkan surat cintaku, aku tidak menjamin akan punya keberanian lagi di lain hari.
“Berhubung lo mau tau yang namanya Sekar, itu orangnya,” ucap Radit membuyarkan lamunanku. Diantara banyaknya orang di kantin saat jam makan siang, Radit menunjuk satu orang. Wanita dengan kulit hitam manis, rambut hitam ikal yang panjang, dan mempunyai senyum manis dengan baris gigi yang rapi. Ia terlihat satu meja dengan sosok yang aku kenal, Febrian Bayu Aji. Entah mengapa aku menghela nafas lega. Untunglah Brian hanya bolos saat pagi hari.
“Oh, Ras. Gue enggak sadar kalau Sekar sama Brian ternyata temenan. Kalau lo butuh informasi tentang Brian lagi, bilang gue. Karena gue sudah menemukan sumber informasi terpercaya hahaha,” celetuk Radit yang otomatis membuat jitakanku mendarat mulus di kepalanya.
****
Para mahasiswa baru berkumpul di pelataran danau setelah makan siang. Agenda selanjutnya adalah menyerahkan surat cinta beserta cokelat kepada salah satu senior pilihan yang tentu saja bebas kami pilih. Jantungku berdetak cepat layaknya orang-orang yang habis berlari. Tiba-tiba saja aku panik. Seluruh kepercayaan diriku yang sudah aku kumpulkan saat malam hari perlahan sirna.
“Dit, asli gue takut banget. Nih, coba pegang tangan gue. Dingin banget, Dit!” seruku panik yang mengundang gelak tawa Radit.
“Hahahaha ya ampun, Ras. Santai aja. Inhale, exhale. Tenang aja, surat lo ga akan berakhir mengenaskan di tempat sampah kok. Percaya sama gue,” ucap Radit dengan percaya diri.
“Kok lo bisa PD bilang gitu, Dit?”
Radit mengangkat bahunya, “feeling? Udah, percaya aja sama gue. Surat lo ga akan berakhir tragis. Gue mau kasih surat gue dulu ke Sekar, habis itu gue bantu do’a buat lo, Ras,” serunya jahil dan berlalu pergi setelah menepuk punggungku.
Aku mengamati sekeliling, mempelajari situasi. Apakah ada yang memberikan surat cinta pada Brian selain diriku. Hanya sebagai antisipasi saja kalau-kalau aku melihat surat mereka dicabik-cabik olehnya. Lima menit berlalu, sepuluh menit berlalu. Tidak ada yang memberikan surat cinta pada Brian. Hal ini membuatku makin panik. Haruskah aku memberikannya? atau mundur saja? Beberapa mahasiswi baru yang memegang surat mereka tampak ragu untuk memberikannya pada Brian, beberapa dari mereka memutuskan untuk menyerah.
“Ras, ayolah. Udah gapapa kasih aja. Surat gue udah diterima Sekar, dia ngajakin kita makan ramen yang ada di depan kampus setelah selesai ospek,” celetuk Radit yang ternyata sudah selesai menjalankan tugasnya dan membawa kabar yang cukup membuatku kaget.
“Sebentar, kalau ada Sekar berarti kemungkinan ada Brian dong, Dit?”
“Bingo! Makanya, Saras, kasih surat lo sekarang biar seenggaknya nanti lo bisa ngobrol sama Brian. Cepetan!” Radit mendorongku ke arah dimana Brian berada. Sang calon penerima surat sedang sibuk mengabadikan momen dengan kameranya. Aku, dengan perlahan, menghampiri. Tak sadar beberapa pasang mata juga mengikuti langkahku.
Percaya atau tidak tanganku super duper dingin, lidahku kelu, dan tanpa sadar langkah demi langkah yang ku pijak membawaku lebih dekat padanya. Brian menghentikan kegiatannya saat melihatku. Aku berdiri menatapnya dengan menggenggam surat cinta beserta cokelat di kedua tanganku. Tatapannya seakan dapat mempengaruhi semua indera yang ada pada tubuhku, aku terpaku. Tidak lama kemudian, ia beralih kembali dengan kameranya. Mengacuhkanku yang berdiri terdiam. Saras, kemana kepercayaan diri lo yang sudah susah payah lo kumpulin buat hari ini? Aku merutuki diriku sendiri, tentu saja dalam hati.
Sudah saatnya aku sadar. Kembali ke kenyataan. Aku menggeleng dan menarik nafas yang dalam untuk mengumpulkan kembali kepercayaan diri dan keberanianku, melangkah maju menghampiri Brian. Tanganku terulur menyerahkan surat cintaku. Brian kembali melihatku, kali ini dengan tatapan yang susah untuk dijelaskan.
“Sorry, gue bukan tukang pos,” ucapnya dingin. Memecah kesadaranku. Suratku, ditolak.
“Eeyy, Bri. Terima aja lah. Lo doang yang enggak dapet surat cinta, lho. Enggak ada yang berani. Tuh liat,” kata seorang senior wanita berambut ikal panjang dan berkulit hitam manis merangkulnya dari samping. Brian mengedarkan pandangannya. Melihat para mahasiswi baru membawa surat cinta mereka, tetapi tidak berani mendekati dirinya.
“Sekar, lo bisa enggak sih enggak usah deket-deket gue? Risih tau. Lagian, mau terima surat atau enggak 'kan urusan gue. Bukan lo,” ucap Brian melepas rangkulan sang senior yang aku tahu bernama Sekar.
“Bri, lo appreciate dong. Dia doang lho yang berani ada di hadapan lo sekarang.”
Brian mengambil paksa suratku, melayangkannya di udara untuk menunjukkannya pada Sekar. “Nih. udah puas, 'kan? Pergi sana.” Sekar tersenyum jahil.
“Tenang aja, Brian cuma dingin di luar kok,” bisik Sekar seraya menepuk pundakku, lalu melenggang pergi.
Brian menatapku yang tidak bergeming setelah menyerahkan surat cinta.
“Gue udah terima surat lo. Lo ngapain masih disini?” ucapnya dingin. Tak lama tangannya melambai mengisyaratkanku untuk menghilang dari pandangannya. Tapi, aku harus memastikan bahwa suratku tidak berakhir mengenaskan.
“Kang, tolong banget suratnya dibaca ya? Sekilas juga gapapa,” ucapku memelas. Brian menghela nafasnya, geram. Ia melipat suratku lalu memasukkannya ke dalam saku kemeja flanelnya.
“Udah, kan? Sekarang pergi sebelum gue berubah pikiran,” ucapnya sambil menepuk saku kemeja tempat surat cintaku kini bersarang. “Cokelatnya lo makan aja. Gue enggak suka manis.”
Aku membalikkan badanku, berjalan menjauhinya dengan harapan ia benar-benar membaca suratku. Perlahan suhu tubuhku kembali normal, tidak sedingin sebelumnya. Kalau ditanya mengapa surat cinta itu berarti untukku, aku tidak dapat memberikan jawaban pasti. Namun, aku berharap surat itu bisa menjadi permulaan untuk dapat mengenal Brian lebih jauh. Mengetahui sisinya yang lain.
Hari ini terasa lebih lama dari hari-hari ospek sebelumnya. Apa karena ini adalah hari terakhir? Atau karena aku terlalu overthinking tentang Brian? Kalau dipikir-pikir, rasa gugupku mengalihkan semuanya. Aku jadi tidak bisa membedakan mana kenyataan dan tidak. “Dit, gue bener-bener udah kasih surat cinta ke Brian, ‘kan?” Aku bertanya hal ini pada Radit untuk memastikan kenyataan. “Udah, Ras. It’s done. Ini ke 30 kalinya lo nanya hal serupa. Everything's gonna be okay. Udah, ah! Jangan overthinking.” Radit merangkul p
Aku, Radit, dan Sekar menghabiskan hari terakhir ospek dengan hangout bersama di restoran ramen. Siapa sangka restoran ini mempunyai banyak boardgame. Alhasil, kami bermain sampai makan malam tiba. Sebenarnya aku sedikit kecewa. Ekspektasiku untuk bertemu Brian hari ini sirna. Kunciran pita merah yang aku anggap sebagai jimat keberuntungan, kali ini tidak berfungsi. Hmm, kalau dipikir-pikir berfungsi sedikit, sih. Aku bisa mendapatkan info tentang kecerobohan Brian di balik kesan seramnya. Makan malam pun tiba. Aku, yang sudah tidak mempunyai ekspektasi apapun lagi, akhirnya memesan kembali Ramen Katsu untuk makan malam. Sekarang aku tahu mengapa Brian sangat menyukai menu ramen ini. Setelah aku bandingkan dengan ramen milik Sekar dan
Sejak kejadian di restoran ramen satu minggu yang lalu, aku dan Radit menjalani hari-hari kami sebagai mahasiswa resmi dengan tenang. Benar-benar tenang. Saking tenangnya, kami tidak bertemu lagi dengan Sekar dan Brian. Namun, pernah sekali aku melihat mereka berdua berjalan dengan arah yang berlawanan tanpa bertegur sapa, seakan tak pernah mengenal. Apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu? Hal ini sangat mengusikku. Aku memutuskan untuk bertanya pada Radit. Namun, ia juga tidak mendapatkan petunjuk apapun. Bahkan sangat sulit untuk menyapa Sekar, seakan sang pemilik rambut ikal nan indah itu menghindar dari Radit. Aku pun merasa hampa. Tidak melihat Brian selama satu minggu penuh rasanya seperti satu tahun. Hari kamis ini, kelasku berlangsung seharian. Rasanya benar-benar melelahkan. Tadinya aku ingin mengajak Radit untuk mencari cemilan-cemilan baru di minimarket fakultas. Tapi, aku baru sadar kalau kelasnya hari ini hanya berlangsung setengah hari. Akhirnya aku memutusk
Jantung Saras berdebar dengan cepat seperti habis lari maraton. Ia berkali-kali melihat arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul 18:30. Ia datang 30 menit lebih awal di warung sushi yang berada di depan kampus, tempat ia dan Sekar akan bertemu. Kakinya bergerak gelisah. Ia benar-benar penasaran hal apa yang ingin Sekar bagikan padanya. Entah soal Brian atau bukan, yang jelas Saras benar-benar merasa bersemangat dan sedikit ada campuran rasa penasaran dan gelisah. Mengetahui fakta bahwa Sekar memutuskan untuk terbuka pada dirinya, walau hanya sedikit, membuatnya merasakan berbagai macam perasaan dalam waktu yang bersamaan. Saras melihat Sekar berlari dari kejauhan. Gerimis mengiringi langkah tiap langkah larinya. “Udah lama nunggu, Ras? Maaf nih agak telat.” Sekar duduk di bangku tepat menghadap Saras, lalu meletakkan tasnya di atas meja. Tangannya terangkat menggapai tiap helai rambut i
Sebuah ruangan yang menyimpan kegelapan di pagi hari. Pada tirai yang hanya terbuka setengah, mempersilahkan sinar matahari masuk melalui celah-celahnya. Di sudut meja belajar sang pemilik kamar, terpampang dengan rapi sebuah foto kelulusan SMA dua sejoli yang memiliki hati satu sama lain, tersenyum sumringah dan saling membagi peluk dengan menggunakan toga, dibingkai sedemikian rupa dengan catatan kecil yang sengaja ditempelkan pada bingkai kacanya. “Satu langkah lagi menuju mimpi kita! -Brian & Nara.” Begitu isi catatan kecil tersebut dengan tulisan tangan indah bertinta hitam yang berhiaskan satu hati kecil di akhir kalimat. Sepasang kaki berjalan pelan menuju sudut meja belajar, menggapai foto berbingkai tersebut dengan hati-hati seakan merupakan benda yang paling rapuh di dunia. “Selamat pagi, Nara,” ucap sang pemilik kamar. Ucapan selamat pagi yang
Hari ini kelas Radit dan Saras hanya setengah hari. Setelah selesai kelas, mereka langsung meluncur ke kost Radit. Menurut Saras, kost Radit adalah tempat yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah rumit, karena kost Radit mempunyai halaman outdoor yang sangat luas dengan gazebo-gazebo kecil bernuansa kayu. Gazebo-gazebo kecil—yang terletak di lantai 4—tersebut digunakan penghuni kost untuk berdiskusi atau mengerjakan tugas. “Dit, makin lama gue makin nggak tahan deh. Pertanyaan Sekar bikin gue gelisah. Kalau seandainya ternyata gue punya saudara kembar, gimana? Tapi, Mama Dru nggak pernah cerita sama sekali soal itu.” Saras berjalan mondar-mandir gelisah. “Ya mungkin memang ada yang mirip aja sama lo di lingkar pertemanan mereka. Kita ‘kan nggak tau, Ras.” Radit, yang duduk di bangku gazebo, mengangkat bahunya dan mulai menyebutkan beberapa kemungkinan. “Yang mengganjal adalah lo juga pernah bilang kalau gue mirip sama mantannya Brian. Siapa nama
‘Apa yang kamu rasakan ketika jatuh cinta?’ Hmm. Kalau aku, aku akan menjadi sangat bersemangat. Semua yang aku lihat tentangnya menjadi lebih indah. Segala hal tentangnya, bahkan yang terkecil sekalipun, menjadi sangat spesial. Seperti sebuah sponge, aku akan menyerap energi yang ia keluarkan. Sebagian dari dirinya, merasuk dan menyatu dengan diriku. Semua yang ia lakukan akan mempengaruhi perasaanku dalam melakukan berbagai hal. Tapi, pernah tidak terpikirkan olehmu mengapa cinta yang sederhana bisa berubah menjadi rumit? Padahal dari sudut pandang cinta semuanya serba merah muda. Serba cerah tanpa kelabu. Sejak kapan warnanya berubah menjadi seperti awan yang mendung? Aku bertanya pada Radit mengenai kegelisahanku ini. “Dit, sejak kapan ya cinta yang harusnya sederhana mendadak menjadi rumit?” Gelak tawa Radit menggema di seluruh kantin semi-outdoor siang itu, membuat banyak pasang mata menoleh ke arah kami. Aku menyentil jidat Radit, me
Salah satu cara membasmi waktu yang paling tepat ketika menunggu untuk menonton film di bioskop adalah bermain di pusat permainan. Di Mall dekat Universitas Siliwangi, kampus Saras dan Radit, juga Brian dan Sekar, mempunyai pusat permainan bernama Game Zone yang selalu ramai dikunjungi mahasiswa maupun anak-anak disaat weekday dan weekend. Game Zone juga merupakan tempat dimana Saras dan Radit mengumpulkan banyak tiket permainan yang nantinya akan mereka tukarkan menjadi berbagai barang. Saat ini, mereka sedang mengumpulkan tiket untuk menukarkannya dengan joystick terbaru. Saras tidak menyangka ia akan mendatangi pusat permainan ini bersama Brian, laki-laki yang sudah merebut hatinya sejak hari pertama masa orientasi. Dua pasang kaki melangkah dengan cepat menuju pusat permainan dan berhenti di tempat penukaran tiket. Di sini, mereka akan menukarkan uang mereka menjadi sebuah kartu yang dapat digunakan untuk mengakses seluruh per
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui
Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da
Naraya Wibisono, gadis konglomerat yang memilih untuk masuk ke sekolah biasa karena tidak menyukai persaingan anak-anak kelas elit yang sudah menjadi makanannya sehari-harinya. Ia muak dan mencari pelarian dengan masuk ke sekolah biasa agar ia dapat merasakan hidup normal. Untungnya, walaupun orang tuanya tegas, mereka selalu mendukung apa yang Nara lakukan. Sehingga, gadis itu bisa fokus pada pengembangan dirinya sendiri. Nara mempunyai pribadi yang sangat baik dan mudah menaruh kepercayaan. Banyak yang menyukainya, namun banyak juga yang tidak. Nara beberapa kali menghadapi insiden perundungan oleh senior-senior perempuan. Awalnya mereka hanya merampas dompet Nara beserta isinya. Nara, yang merasa hal itu bukan apa-apa, memutuskan untuk menuruti keinginan mereka. Namun, makin lama hal itu membuatnya muak dan ia memutuskan untuk melawan. Ketika Nara mulai melawan, mereka menarik Nara ke toilet perempuan saat pulang sekolah. Untungnya, pada waktu itu adalah tugas pi
Suasana canggung seakan menyelimuti Sekar dan Radit setelah pemuda itu melontarkan pertanyaan mengenai kejadian baru-baru ini. Senyum Sekar yang tadinya cerah, mendadak berubah. Ada rasa sedih dan bersalah disana. Namun, ia masih tetap berusaha tersenyum di hadapan Radit. “Kamu lihat sampai mana?” tanya Sekar. Berusaha mempertahankan senyumnya. “Sampai Teteh membuang minuman kaleng yang masih penuh ke tempat sampah.” Sekar memasang ekspresi ‘kok kamu bisa tahu kalau minuman kaleng itu penuh?’ pada Radit. Radit langsung menjelaskan kalau ia sempat mengambil minuman kaleng tersebut dan ternyata isinya masih penuh. Ia tidak mungkin bilang secara terus terang kalau ia sedang mengikuti Brian dan mengumpulkan bukti sekecil apapun yang berhubungan dengan pemuda itu. “Aaah kamu lihat semuanya, ya. Kalau begitu, nggak ada alasan lagi buatku untuk menutupinya. Sejujurnya, aku lelah menyimpan ini sendirian.” Sekar menghela nafasnya panjang. Tubuhnya yang tadinya menegan
Awan mendung menyelimuti langit dengan selimut kelabunya. Udara yang sejuk dan dingin menyapa hidung, lalu memberikan sensasi sejuk dan dingin pada tubuh Radit dan Saras yang sedang melangkahkan sepasang kaki mereka dengan lunglai, menuju kampus untuk menghadiri kelas pagi. Dua remaja itu terlihat mengantuk seperti orang yang kurang tidur. “Hoahm.” Mereka menguap secara bersamaan, lalu saling tatap satu sama lain dan tertawa. “Lo kurang tidur juga, Ras?” tanya Radit yang mulai mengalungkan lengannya pada lengan Saras. Udara dingin ini benar-benar membuatnya ingin mencari kehangatan. “Iya nih. Gara-gara tugas Nirmana, gue bikin beberapa opsi buat asistensi sampai jam 5 subuh. Kenapa harus kelas pagi sih? Jam 7 pula. Hoahm,” gerutu Saras dan kembali menguap. Radit tersenyum dan merasa gemas melihat sahabatnya yang menggerutu. “Kalau lo kurang tidur kenapa, Dit? Pasti main game sampai pagi, ya?” tuduh Saras dengan mencolek-colek pipi Radit yang hanya dibalas ta