Aku terdiam sambil melipat tanganku di depan meja belajar, ditemani dengan secarik kertas kosong dan sebuah amplop merah muda yang sudah aku siapkan untuk surat cinta. Kata-kata apa yang harus aku gunakan? Memikirkan rangkaian kata-kata untuk surat cinta membuat kepalaku pusing. Ini lebih sulit dibandingkan dengan memikirkan konsep game terbaru yang akan aku dan Radit rancang di masa depan.
Halo, Kang Brian… Perkenalkan, aku Saras…
“Ewh, ayolah Saras, ini bukan surat untuk sahabat pena atau kencan buta. Pikirkan hal yang kira-kira bisa bikin Brian terkesan,” rutukku. Aku mengacak-acak rambutku, pusing. Kira-kira Brian suka hal berbau apa ya? Atau sesuatu yang dapat membuatnya terkesan. Hmm kutipan? tapi sepertinya Brian bukan tipe orang yang puitis.
Setelah usaha memutar otak yang tidak membuahkan hasil, aku menyerah dan memutuskan untuk menghubungi Radit. Siapa tahu saja ia tahu tentang hal-hal yang disukai Brian. Sesuatu yang membuat Brian tidak mecabik-cabik suratku dan berakhir di tempat sampah. Apakah harapan agar Brian menyimpan suratku adalah hal yang tidak dapat terpenuhi? Memikirkannya saja sudah membuatku lesu. Sudah bagus jika suratku nantinya tidak berakhir di tempat sampah dengan keadaan mengenaskan.
“Halo, Dit! Gue pusing banget sumpah. Lo bisa bayangin enggak udah berapa banyak kertas yang gue buang untuk menyempurnakan mahakarya surat cinta buat Brian?” seruku setelah tak lama Radit mengangkat teleponnya. Aku memandangi gumpalan-gumpalan kertas yang sudah tidak tahu berapa banyak, berserakan di lantai.
“Ya ampun, Ras. Santai aja kali. Lo kan pakarnya soal ini. Coba inget-inget udah berapa orang di sekolah kita yang pake jasa lo buat nulis surat cinta ke gebetan mereka.”
“Tapi, Dit, gue kan enggak suka sama gebetan mereka. Jadi gue bisa lancar nulisnya. Ini Brian, Dit! Laki-laki yang gue puja-puja dari awal ospek. Ditambah lagi gue enggak siap melihat surat gue tidak berbentuk di tempat sampah. Coba lo inget-inget deh, Dit. Ada enggak informasi tentang hal-hal yang bisa bikin Brian terkesan?”
“Satu-satunya informasi yang gue punya udah pernah gue kasih tahu di depan toilet, Ras. Enggak ada lagi. Gue belum dapet spill dari sumber terpercaya lagi. Oiya, gue lupa kasih tahu. Brian jarang senyum. Pokoknya yang bisa bikin dia senyum tulus patut diacungi jempol. Tuh, Ras. PR lo disitu. Gimana caranya lo harus bisa bikin Brian senyum kalau mau deket sama dia,” jelas Radit yang malah membuatku lebih tertekan.
“Pake insting lo coba, Ras. Biasanya insting cewek lebih tajam tau. Apalagi soal lawan jenis,” lanjutnya.
“Kalau insting gue kuat, pasti gue udah sadar kalau akan ditinggalin sama yang dulu-dulu kali, Dit. Mana gue tau kalau mereka akan ninggalin gue setelah nyatain perasaan cinta. Kalau lo enggak kasih tau polanya, kayaknya gue enggak akan tau deh,” keluhku pada Radit. Entah mengapa Radit selalu bisa lebih tahu tentang segala sesuatu yang terjadi kepadaku. Persoalan asmaraku, misalnya.
Namaku Saraswati Mahiswara, seorang gadis yang sangat mudah jatuh cinta. Aku merasa sepertinya semesta mengutukku untuk tidak dapat mendengar pernyataan cinta yang tulus dan dapat dilakukan berkali-kali. Setiap laki-laki yang mengungkapkan perasaannya seperti “aku suka kamu” atau “aku sayang kamu” akan menghilang tanpa kabar setelahnya. Kalau kata Radit, “lo di-ghosting, Ras. Kalau mereka beneran suka atau sayang lo, mereka enggak akan hilang gitu aja. Apalagi dengan jeda satu hari. Hari ini bilang suka, besoknya hilang kayak ninja.”
Apa yang dikatakan Radit ada benarnya. Karena hal tersebut terjadi berulang kali, secara tidak langsung membuatku takut untuk mendapat pernyataan cinta. Sebab aku harus mempersiapkan hatiku untuk kehilangan orang tersebut. Resiko yang harus ditanggung oleh orang-orang yang mudah jatuh cinta adalah harus siap untuk mudahnya patah hati.
“Yaudah deh, Dit. Gue nyoba nyari info dari sosial medianya. Siapa tahu aja ada clue yang bisa gue pake,” kataku menyerah seraya menutup telepon. Seseorang seperti Brian kira-kira menyukai hal apa ya? Jari tanganku sudah sibuk mengetik nama Febrian Bayu Aji pada kolom pencarian sosial media.
“Let’s see. Di twitter-nya ada banyak retweet tentang bola, khas laki-laki pada umumnya. Tapi masa gue ngomongin bola sih di surat cinta. Enggak... enggak... coba cari lagi,” aku menggeleng membayangkan isi surat cintaku yang berisi segala macam tentang tim sepak bola kesukaan Brian dan kembali sibuk menggali informasi sebanyak mungkin dari sosial medianya. Beralih dari satu sosial media ke sosial media yang lain. Melihat satu per satu foto baru hingga foto lamanya. Sosial media memang super hebat. Kita bisa memperoleh segala informasi dari orang tertentu hanya dengan satu kali scroll sosial media mereka. Seperti menguliti. Mengetahui perasaan, apa yang mereka sukai dan tidak, kegiatan mereka, apakah mereka menikmati hidup atau tidak, kehidupan masa lalu mereka, semuanya. Sosial media seperti ‘cermin’ bagi mereka yang memilikinya.
Begitu juga dengan Brian. Namun, ‘cermin’ Brian tidak selengkap ‘cermin’ lainnya. Aku hanya dapat melihat hal yang ia sukai, walaupun itu memang tujuanku, tapi akan lebih baik kalau aku dapat tahu perasaannya akan suatu hal. Kira-kira Brian akan sedih karena apa ya? kira-kira Brian akan tersenyum karena apa? Pertanyaan demi pertanyaan tentang hal-hal yang mempengaruhi perasaannya memenuhi kepalaku. Aku ingin lebih mengenalnya. Bukan hanya sekedar tahu hal-hal yang terlihat, namun aku ingin mengetahui tentang hal-hal yang tidak terlihat juga. Baru kali ini menulis surat cinta terasa begitu rumit.
Aku menemukan satu foto yang menarik perhatianku. Brian yang aku tahu sangat dingin dan raja tega, juga tidak pernah tersenyum, di foto ini ia tersenyum gembira. “Loh foto ini kan saat konser Coldplay tahun lalu.” Aku mengetahuinya karena aku datang ke konser tersebut bersama Radit. Kami bolos dari bimbel sepulang sekolah dan pergi menonton konser, jelas saja tanpa izin dari orang tua, yang membuat kami akhirnya diawasi selama dua minggu.
“Ah! Coldplay! Kenapa enggak kepikiran?! Tinggal tulis lirik Coldplay yang mewakili perasaan saat ini dan voila surat cintaku jadi.” Aku menepuk tanganku senang. Genius. Kepercayaan diriku naik seratus kali lipat dari sebelumnya. Dengan begini, Brian tidak akan membuang surat cintaku kan?
****
Dear, Brian
My heart is yours
It's you that I hold on to
Yeah, that's what I do
And I saw sparks
Sing it out
Aku membaca ulang kembali isi surat cintaku sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam amplop berwarna merah muda dengan stiker bunga tulip putih. Akhirnya hari ini tiba. Hari dimana para mahasiswa baru menyerahkan surat cinta dan coklat kepada senior yang mereka pilih. Sekaligus hari ini merupakan hari penutupan masa orientasi sebelum kami, mahasiswa baru, resmi menghadiri perkuliahan formal. Aku mengambil tas dan memasukkan barang-barangku yang harus dibawa hari ini, tanpa terkecuali, surat cinta dan coklat.
Sejujurnya hari ini benar-benar membuatku gelisah. Bayangan tentang bagaimana reaksi Brian saat menerima suratku bertengger di pikiranku sejak semalam. Entah dari mana kepercayaan diriku muncul dan memutuskan untuk menulis lirik lagu Coldplay yang berjudul Sparks. Perjalanan ke kampus sungguh berbeda hari ini. Cuaca pagi yang cerah dan udara pagi yang segar, seolah mendukung dan menenangkanku. Aku menggunakan earphone dan mulai memutar musik. Salah satu lirik dari Everglow yang dibawakan oleh Coldplay menyadarkanku, meyakinkanku, dan secara tidak langsung memberiku kekuatan. Aku tidak ingin menyesal melewatkan kesempatan ini. Karena mungkin bisa saja ini adalah kesempatanku untuk lebih mengenalnya. Mengenal bagaimana Febrian Bayu Aji yang sesungguhnya. Aku ingin melihat sisi lain dirinya.
So if you love someone, you should let them know.
“Gimana mood lo hari ini, Bri?” Sekar menghampiri Brian dan menyodorkan minuman botol yang baru saja ia beli di kantin. “Nih, seperti biasa less sugar.”Brian yang sedang membersihkan lensa kameranya pun memberi jeda dan menerima minuman pemberian Sekar. “Lo kenapa sih mau tau mood gue banget? Berisik!” sahutnya. Sekar yang mendengar itu pun mendengus kesal. Pasalnya, gara-gara mood Brian yang sering hancur tiba-tiba dapat langsung membuat suasana tegang secara drastis. Para panitia masa orientasi, yang bertanggung jawab agar aca
Hari ini terasa lebih lama dari hari-hari ospek sebelumnya. Apa karena ini adalah hari terakhir? Atau karena aku terlalu overthinking tentang Brian? Kalau dipikir-pikir, rasa gugupku mengalihkan semuanya. Aku jadi tidak bisa membedakan mana kenyataan dan tidak. “Dit, gue bener-bener udah kasih surat cinta ke Brian, ‘kan?” Aku bertanya hal ini pada Radit untuk memastikan kenyataan. “Udah, Ras. It’s done. Ini ke 30 kalinya lo nanya hal serupa. Everything's gonna be okay. Udah, ah! Jangan overthinking.” Radit merangkul p
Aku, Radit, dan Sekar menghabiskan hari terakhir ospek dengan hangout bersama di restoran ramen. Siapa sangka restoran ini mempunyai banyak boardgame. Alhasil, kami bermain sampai makan malam tiba. Sebenarnya aku sedikit kecewa. Ekspektasiku untuk bertemu Brian hari ini sirna. Kunciran pita merah yang aku anggap sebagai jimat keberuntungan, kali ini tidak berfungsi. Hmm, kalau dipikir-pikir berfungsi sedikit, sih. Aku bisa mendapatkan info tentang kecerobohan Brian di balik kesan seramnya. Makan malam pun tiba. Aku, yang sudah tidak mempunyai ekspektasi apapun lagi, akhirnya memesan kembali Ramen Katsu untuk makan malam. Sekarang aku tahu mengapa Brian sangat menyukai menu ramen ini. Setelah aku bandingkan dengan ramen milik Sekar dan
Sejak kejadian di restoran ramen satu minggu yang lalu, aku dan Radit menjalani hari-hari kami sebagai mahasiswa resmi dengan tenang. Benar-benar tenang. Saking tenangnya, kami tidak bertemu lagi dengan Sekar dan Brian. Namun, pernah sekali aku melihat mereka berdua berjalan dengan arah yang berlawanan tanpa bertegur sapa, seakan tak pernah mengenal. Apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu? Hal ini sangat mengusikku. Aku memutuskan untuk bertanya pada Radit. Namun, ia juga tidak mendapatkan petunjuk apapun. Bahkan sangat sulit untuk menyapa Sekar, seakan sang pemilik rambut ikal nan indah itu menghindar dari Radit. Aku pun merasa hampa. Tidak melihat Brian selama satu minggu penuh rasanya seperti satu tahun. Hari kamis ini, kelasku berlangsung seharian. Rasanya benar-benar melelahkan. Tadinya aku ingin mengajak Radit untuk mencari cemilan-cemilan baru di minimarket fakultas. Tapi, aku baru sadar kalau kelasnya hari ini hanya berlangsung setengah hari. Akhirnya aku memutusk
Jantung Saras berdebar dengan cepat seperti habis lari maraton. Ia berkali-kali melihat arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul 18:30. Ia datang 30 menit lebih awal di warung sushi yang berada di depan kampus, tempat ia dan Sekar akan bertemu. Kakinya bergerak gelisah. Ia benar-benar penasaran hal apa yang ingin Sekar bagikan padanya. Entah soal Brian atau bukan, yang jelas Saras benar-benar merasa bersemangat dan sedikit ada campuran rasa penasaran dan gelisah. Mengetahui fakta bahwa Sekar memutuskan untuk terbuka pada dirinya, walau hanya sedikit, membuatnya merasakan berbagai macam perasaan dalam waktu yang bersamaan. Saras melihat Sekar berlari dari kejauhan. Gerimis mengiringi langkah tiap langkah larinya. “Udah lama nunggu, Ras? Maaf nih agak telat.” Sekar duduk di bangku tepat menghadap Saras, lalu meletakkan tasnya di atas meja. Tangannya terangkat menggapai tiap helai rambut i
Sebuah ruangan yang menyimpan kegelapan di pagi hari. Pada tirai yang hanya terbuka setengah, mempersilahkan sinar matahari masuk melalui celah-celahnya. Di sudut meja belajar sang pemilik kamar, terpampang dengan rapi sebuah foto kelulusan SMA dua sejoli yang memiliki hati satu sama lain, tersenyum sumringah dan saling membagi peluk dengan menggunakan toga, dibingkai sedemikian rupa dengan catatan kecil yang sengaja ditempelkan pada bingkai kacanya. “Satu langkah lagi menuju mimpi kita! -Brian & Nara.” Begitu isi catatan kecil tersebut dengan tulisan tangan indah bertinta hitam yang berhiaskan satu hati kecil di akhir kalimat. Sepasang kaki berjalan pelan menuju sudut meja belajar, menggapai foto berbingkai tersebut dengan hati-hati seakan merupakan benda yang paling rapuh di dunia. “Selamat pagi, Nara,” ucap sang pemilik kamar. Ucapan selamat pagi yang
Hari ini kelas Radit dan Saras hanya setengah hari. Setelah selesai kelas, mereka langsung meluncur ke kost Radit. Menurut Saras, kost Radit adalah tempat yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah rumit, karena kost Radit mempunyai halaman outdoor yang sangat luas dengan gazebo-gazebo kecil bernuansa kayu. Gazebo-gazebo kecil—yang terletak di lantai 4—tersebut digunakan penghuni kost untuk berdiskusi atau mengerjakan tugas. “Dit, makin lama gue makin nggak tahan deh. Pertanyaan Sekar bikin gue gelisah. Kalau seandainya ternyata gue punya saudara kembar, gimana? Tapi, Mama Dru nggak pernah cerita sama sekali soal itu.” Saras berjalan mondar-mandir gelisah. “Ya mungkin memang ada yang mirip aja sama lo di lingkar pertemanan mereka. Kita ‘kan nggak tau, Ras.” Radit, yang duduk di bangku gazebo, mengangkat bahunya dan mulai menyebutkan beberapa kemungkinan. “Yang mengganjal adalah lo juga pernah bilang kalau gue mirip sama mantannya Brian. Siapa nama
‘Apa yang kamu rasakan ketika jatuh cinta?’ Hmm. Kalau aku, aku akan menjadi sangat bersemangat. Semua yang aku lihat tentangnya menjadi lebih indah. Segala hal tentangnya, bahkan yang terkecil sekalipun, menjadi sangat spesial. Seperti sebuah sponge, aku akan menyerap energi yang ia keluarkan. Sebagian dari dirinya, merasuk dan menyatu dengan diriku. Semua yang ia lakukan akan mempengaruhi perasaanku dalam melakukan berbagai hal. Tapi, pernah tidak terpikirkan olehmu mengapa cinta yang sederhana bisa berubah menjadi rumit? Padahal dari sudut pandang cinta semuanya serba merah muda. Serba cerah tanpa kelabu. Sejak kapan warnanya berubah menjadi seperti awan yang mendung? Aku bertanya pada Radit mengenai kegelisahanku ini. “Dit, sejak kapan ya cinta yang harusnya sederhana mendadak menjadi rumit?” Gelak tawa Radit menggema di seluruh kantin semi-outdoor siang itu, membuat banyak pasang mata menoleh ke arah kami. Aku menyentil jidat Radit, me
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui
Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da
Naraya Wibisono, gadis konglomerat yang memilih untuk masuk ke sekolah biasa karena tidak menyukai persaingan anak-anak kelas elit yang sudah menjadi makanannya sehari-harinya. Ia muak dan mencari pelarian dengan masuk ke sekolah biasa agar ia dapat merasakan hidup normal. Untungnya, walaupun orang tuanya tegas, mereka selalu mendukung apa yang Nara lakukan. Sehingga, gadis itu bisa fokus pada pengembangan dirinya sendiri. Nara mempunyai pribadi yang sangat baik dan mudah menaruh kepercayaan. Banyak yang menyukainya, namun banyak juga yang tidak. Nara beberapa kali menghadapi insiden perundungan oleh senior-senior perempuan. Awalnya mereka hanya merampas dompet Nara beserta isinya. Nara, yang merasa hal itu bukan apa-apa, memutuskan untuk menuruti keinginan mereka. Namun, makin lama hal itu membuatnya muak dan ia memutuskan untuk melawan. Ketika Nara mulai melawan, mereka menarik Nara ke toilet perempuan saat pulang sekolah. Untungnya, pada waktu itu adalah tugas pi
Suasana canggung seakan menyelimuti Sekar dan Radit setelah pemuda itu melontarkan pertanyaan mengenai kejadian baru-baru ini. Senyum Sekar yang tadinya cerah, mendadak berubah. Ada rasa sedih dan bersalah disana. Namun, ia masih tetap berusaha tersenyum di hadapan Radit. “Kamu lihat sampai mana?” tanya Sekar. Berusaha mempertahankan senyumnya. “Sampai Teteh membuang minuman kaleng yang masih penuh ke tempat sampah.” Sekar memasang ekspresi ‘kok kamu bisa tahu kalau minuman kaleng itu penuh?’ pada Radit. Radit langsung menjelaskan kalau ia sempat mengambil minuman kaleng tersebut dan ternyata isinya masih penuh. Ia tidak mungkin bilang secara terus terang kalau ia sedang mengikuti Brian dan mengumpulkan bukti sekecil apapun yang berhubungan dengan pemuda itu. “Aaah kamu lihat semuanya, ya. Kalau begitu, nggak ada alasan lagi buatku untuk menutupinya. Sejujurnya, aku lelah menyimpan ini sendirian.” Sekar menghela nafasnya panjang. Tubuhnya yang tadinya menegan
Awan mendung menyelimuti langit dengan selimut kelabunya. Udara yang sejuk dan dingin menyapa hidung, lalu memberikan sensasi sejuk dan dingin pada tubuh Radit dan Saras yang sedang melangkahkan sepasang kaki mereka dengan lunglai, menuju kampus untuk menghadiri kelas pagi. Dua remaja itu terlihat mengantuk seperti orang yang kurang tidur. “Hoahm.” Mereka menguap secara bersamaan, lalu saling tatap satu sama lain dan tertawa. “Lo kurang tidur juga, Ras?” tanya Radit yang mulai mengalungkan lengannya pada lengan Saras. Udara dingin ini benar-benar membuatnya ingin mencari kehangatan. “Iya nih. Gara-gara tugas Nirmana, gue bikin beberapa opsi buat asistensi sampai jam 5 subuh. Kenapa harus kelas pagi sih? Jam 7 pula. Hoahm,” gerutu Saras dan kembali menguap. Radit tersenyum dan merasa gemas melihat sahabatnya yang menggerutu. “Kalau lo kurang tidur kenapa, Dit? Pasti main game sampai pagi, ya?” tuduh Saras dengan mencolek-colek pipi Radit yang hanya dibalas ta