Keadaan kampus siang ini sangat cerah dan panas dengan awan yang terlihat seperti es krim vanila berkumpul menjadi satu. Bagaimana bisa kota Bandung, yang terkenal dingin, mempunyai panas semenyengat ini? Salah satu alasanku memilih universitas di daerah Bandung adalah untuk menghindari panasnya Jakarta, dan tentu saja mengikuti Saras. Aku dan Saras mempunyai mimpi bersama yaitu mempunyai studio game yang keren. Kebetulan universitas yang kami pilih mempunyai jurusan game yang cukup terkenal. Benar-benar menarik perhatian kami berdua.
“Es krim vanila pasti enak nih dimakan siang-siang begini,” seruku membayangkan bagaimana es krim vanila dapat memanjakan lidah dan kerongkonganku yang menderita akibat serangan panas siang hari. Tapi, ngomong-ngomong kemana si Saras, ya? dicariin dari tadi enggak ketemu. Aku mengedarkan pandanganku mencari Saras. Namun, yang kutemukan adalah seorang perempuan cantik berkulit sawo matang, berpakaian hitam-hitam dari atas sampai bawah dengan pita merah di lengan sebelah kiri menandakan ia adalah seorang senior, rambut panjang hitam nan ikal sepunggung, berjalan menghampiriku.
“Raditya Abimanyu,” celetuknya membaca papan namaku yang menggantung dengan bebas di depan dada. “Lo kenapa kayak kucing hilang gitu sih celingak-celinguk. Enggak ke kantin? Waktu istirahat keburu habis lho,” kini ia menatap lurus ke mataku, tepat sasaran.
“Iya, Teh. Saya sebenarnya juga lagi nyari kantinnya dimana. Ketinggalan rombongan tadi,” kataku setengah berbohong sambil memasang senyum kuda, karena tujuan sebenarnya adalah mengajak Saras makan siang bersama. Aku yakin dia sedang terjebak di suatu tempat. Entah karena kecerobohannya atau ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Yaudah, ayok bareng. Gue juga mau ke kantin sebelum penuh sama mahasiswa baru. Oh hmm mungkin udah penuh sekarang,” serunya sambil melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Lalu berjalan mendahuluiku dan melambaikan tangan seolah mengajak untuk mengikutinya menuju kantin.
“Kar! Sekar, sini!” Salah satu senior yang duduk di salah satu meja kantin yang panjang, terdiri dari delapan kursi dengan dua kursi yang masih kosong, memanggil sang senior cantik yang mengajakku ke kantin bersama. Oh, namanya Sekar. Nama yang… anggun. Sekar merespon panggilan temannya dengan lambaian tangan.
“Duduk sini aja, Kar. Meja lain udah penuh soalnya.” Sekar yang ditawari duduk di salah satu bangku yang kosong, dan tentu saja aku yang mendengar percakapan tersebut, secara otomatis mengedarkan pandangan ke penjuru kantin. Hmmm memang sudah tidak ada lagi bangku kosong. Semuanya terisi penuh dengan para mahasiswa baru dan para senior.
“Oi, maba! lo bisa ikut gabung sama kita. Daripada makan berdiri,” sahut sang senior menyadari kebingunganku untuk memutuskan dimana akan duduk. Sekar menepuk pundakku dan memberikan gestur untuk segera duduk bersama teman-temannya. Tadinya, aku sungkan karena aku terlalu mencolok, satu-satunya junior yang berada diantara senior, menggunakan atribut ospek pula. Tapi rasa sungkanku mendadak hilang ketika salah satu senior berkata, “mood-nya Brian lagi jelek banget ya? Seharian ini cuma motret sama nyebat.” Oke, nice timing. Aku bisa mengorek informasi tentang Brian dari para senior ini.
“Punteun, Teh. Ngomong-ngomong tentang kang Brian, dia senior yang tadi megang kamera kan, Teh? Rambut sebahu dan dikuncir?” tanyaku memulai percakapan.
“uuuuu ada yang tertarik sama Brian nih, tapi sayang banget Brian straight,” celetuk salah satu senior yang mengundang tawa satu meja.
“Tapi karena lo tampan dan diomongin seluruh senior perempuan pagi ini, gue akan kasih info yang lo mau. Jadi, Raditya Abimanyu, lo mau tau apa soal Brian?” celetuk Sekar yang membuatku memperoleh info bahwa aku sudah menjadi bahan omongan seluruh senior perempuan pagi ini secara tidak langsung. Tentu saja aku tidak kaget, karena sudah dari dulu kejadian yang sama terus berulang. Awal masuk sekolah, jadi bahan omongan karena terlalu tampan, lalu secara tidak langsung menjadi populer padahal aku tidak melakukan apapun. “Lo pasti pernah menyelamatkan negara ya di kehidupan sebelumnya? Makanya hidup lo adem-adem aja sekarang,” begitu kata Saras yang menjadi saksi kehidupanku sejak kecil.
“Semuanya, Teh. Semua yang teteh tau tentang kang Brian,” pintaku, disusul dengan para senior yang saling bertatapan dan mengangguk berbarengan tanpa aba-aba.
“Oke. Sebenarnya ini sudah jadi rahasia umum satu fakultas. Namanya Febrian Bayu Aji, panggilannya Brian. Dia anak tunggal. Anak BEM bagian publikasi dan dokumentasi. Brian terkenal kejam, mau cewek atau cowok ga ada yang berani macam-macam. Dia juga raja tega. Dia ga akan segan nolak cewek-cewek yang nembak dia, tapi dia straight, alias normal, alias masih suka cewek. Mantan pacarnya dulu manis banget. Menurut gosip sih, mereka putus dua tahun lalu karena LDR Bandung-Jepang setelah pacaran 3 tahun. Sebentar kayaknya gue masih inget akun media sosialnya,” jelas Sekar yang sekarang sibuk mengetik di ponselnya, mencari media sosial mantan pacar Brian, lalu tak lama menunjukkannya padaku.
Aku mengangguk sembari mencerna informasi yang diberikan Sekar. Sekarang tanganku sibuk men-scroll sosial media mantan pacar Brian. For God's sake! Kenapa mirip Saras ya? Perawakannya, vibes-nya, semua mirip Saras. Aku terdiam memandangi foto yang ada di depan mataku. Mencerna, mencari pembenaran, bahwa yang ada di foto itu benar-benar mirip Saras.
“Brian termasuk cowok yang akan bucin sama pasangannya kalau beneran sayang. Tapi setelah putus, rekor pacarannya benar-benar singkat. Bayangin aja, hubungan macam apa yang berlangsung hanya satu jam? Gila. Oiya, Brian juga jarang banget senyum. Pokoknya yang bisa bikin dia senyum dengan tulus patut dikasih penghargaan,” sahut Sekar melanjutkan sambil menyeruput es teh manis di depannya, yang tak lama menyadari bahwa aku terdiam memandangi foto mantan pacar Brian.
“Dit, lo gapapa? Kok tiba-tiba diem gitu sih? Kenapa? lo kenal sama mantan pacarnya Brian?” sahut Sekar yang tiba-tiba menyenggol lenganku dan memberondongiku dengan pertanyaan.
“Teteh-teteh, makasih banget nih informasinya. Saya izin ke perpus dulu. Tadi lupa sempet disuruh sama senior cowok yang disana buat ambil bukunya dia,” jelasku yang tentu saja bohong, sambil menunjuk senior cowok tidak dikenal dikejauhan. Aku harus menemukan Saras dan memberitahunya tentang informasi berharga yang aku peroleh ini. Duh, Saras kemana ya? Jam istirahat sudah mau habis dan kami belum sempat makan apapun.
Di depanku saat ini ada salah satu penjual es krim yang tempatnya selalu ramai oleh mahasiswa. “Hmm, gue beli es krim dulu deh baru nyari Saras. Anak itu seneng banget tiba-tiba hilang deh,” gerutuku sambil melangkahkan kaki ke tempat penjual es krim.
Waktu istirahat, sebuah waktu yang berharga bagi mahasiswa baru di universitas kami yang sedang dalam masa orientasi. Pasalnya, para senior tidak akan mengijinkan kami untuk ke toilet kecuali pada waktu istirahat. Toilet wanita yang hanya memiliki 4 bilik tersebut selalu ramai. Aku memasuki bilik toilet ke-4 dari pintu masuk. Saat aku berada di dalamnya untuk menuntaskan urusanku, sayup-sayup terdengar percakapan beberapa wanita dari luar.“Tadi dengar, kan? Katanya kita harus nulis surat cinta dan cokelat buat senior, terus kasih ke mereka di hari ke-4 ospek.”“Lo udah tau mau kasih surat ke siapa?”“Gue kayaknya mau kasih ke kakak-kakak yang pegang kamera tadi deh. Yang rambut sebahu itu loh. Dia keren banget! Tipe gue.”“Lo ya
Aku terdiam sambil melipat tanganku di depan meja belajar, ditemani dengan secarik kertas kosong dan sebuah amplop merah muda yang sudah aku siapkan untuk surat cinta. Kata-kata apa yang harus aku gunakan? Memikirkan rangkaian kata-kata untuk surat cinta membuat kepalaku pusing. Ini lebih sulit dibandingkan dengan memikirkan konsep game terbaru yang akan aku dan Radit rancang di masa depan.Halo, Kang Brian… Perkenalkan, aku Saras…“Ewh, ayolah Saras, ini bukan surat untuk sahabat pena atau kencan buta. Pikirkan hal yang kira-kira bisa bikin Brian terkesan,” rutukku. Aku mengacak-acak rambutku, pusing. Kira-kira Brian suka hal berbau apa ya? Atau sesuatu yang dapat membuatnya terkesan. Hmm kutipan?
“Gimana mood lo hari ini, Bri?” Sekar menghampiri Brian dan menyodorkan minuman botol yang baru saja ia beli di kantin. “Nih, seperti biasa less sugar.”Brian yang sedang membersihkan lensa kameranya pun memberi jeda dan menerima minuman pemberian Sekar. “Lo kenapa sih mau tau mood gue banget? Berisik!” sahutnya. Sekar yang mendengar itu pun mendengus kesal. Pasalnya, gara-gara mood Brian yang sering hancur tiba-tiba dapat langsung membuat suasana tegang secara drastis. Para panitia masa orientasi, yang bertanggung jawab agar aca
Hari ini terasa lebih lama dari hari-hari ospek sebelumnya. Apa karena ini adalah hari terakhir? Atau karena aku terlalu overthinking tentang Brian? Kalau dipikir-pikir, rasa gugupku mengalihkan semuanya. Aku jadi tidak bisa membedakan mana kenyataan dan tidak. “Dit, gue bener-bener udah kasih surat cinta ke Brian, ‘kan?” Aku bertanya hal ini pada Radit untuk memastikan kenyataan. “Udah, Ras. It’s done. Ini ke 30 kalinya lo nanya hal serupa. Everything's gonna be okay. Udah, ah! Jangan overthinking.” Radit merangkul p
Aku, Radit, dan Sekar menghabiskan hari terakhir ospek dengan hangout bersama di restoran ramen. Siapa sangka restoran ini mempunyai banyak boardgame. Alhasil, kami bermain sampai makan malam tiba. Sebenarnya aku sedikit kecewa. Ekspektasiku untuk bertemu Brian hari ini sirna. Kunciran pita merah yang aku anggap sebagai jimat keberuntungan, kali ini tidak berfungsi. Hmm, kalau dipikir-pikir berfungsi sedikit, sih. Aku bisa mendapatkan info tentang kecerobohan Brian di balik kesan seramnya. Makan malam pun tiba. Aku, yang sudah tidak mempunyai ekspektasi apapun lagi, akhirnya memesan kembali Ramen Katsu untuk makan malam. Sekarang aku tahu mengapa Brian sangat menyukai menu ramen ini. Setelah aku bandingkan dengan ramen milik Sekar dan
Sejak kejadian di restoran ramen satu minggu yang lalu, aku dan Radit menjalani hari-hari kami sebagai mahasiswa resmi dengan tenang. Benar-benar tenang. Saking tenangnya, kami tidak bertemu lagi dengan Sekar dan Brian. Namun, pernah sekali aku melihat mereka berdua berjalan dengan arah yang berlawanan tanpa bertegur sapa, seakan tak pernah mengenal. Apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu? Hal ini sangat mengusikku. Aku memutuskan untuk bertanya pada Radit. Namun, ia juga tidak mendapatkan petunjuk apapun. Bahkan sangat sulit untuk menyapa Sekar, seakan sang pemilik rambut ikal nan indah itu menghindar dari Radit. Aku pun merasa hampa. Tidak melihat Brian selama satu minggu penuh rasanya seperti satu tahun. Hari kamis ini, kelasku berlangsung seharian. Rasanya benar-benar melelahkan. Tadinya aku ingin mengajak Radit untuk mencari cemilan-cemilan baru di minimarket fakultas. Tapi, aku baru sadar kalau kelasnya hari ini hanya berlangsung setengah hari. Akhirnya aku memutusk
Jantung Saras berdebar dengan cepat seperti habis lari maraton. Ia berkali-kali melihat arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul 18:30. Ia datang 30 menit lebih awal di warung sushi yang berada di depan kampus, tempat ia dan Sekar akan bertemu. Kakinya bergerak gelisah. Ia benar-benar penasaran hal apa yang ingin Sekar bagikan padanya. Entah soal Brian atau bukan, yang jelas Saras benar-benar merasa bersemangat dan sedikit ada campuran rasa penasaran dan gelisah. Mengetahui fakta bahwa Sekar memutuskan untuk terbuka pada dirinya, walau hanya sedikit, membuatnya merasakan berbagai macam perasaan dalam waktu yang bersamaan. Saras melihat Sekar berlari dari kejauhan. Gerimis mengiringi langkah tiap langkah larinya. “Udah lama nunggu, Ras? Maaf nih agak telat.” Sekar duduk di bangku tepat menghadap Saras, lalu meletakkan tasnya di atas meja. Tangannya terangkat menggapai tiap helai rambut i
Sebuah ruangan yang menyimpan kegelapan di pagi hari. Pada tirai yang hanya terbuka setengah, mempersilahkan sinar matahari masuk melalui celah-celahnya. Di sudut meja belajar sang pemilik kamar, terpampang dengan rapi sebuah foto kelulusan SMA dua sejoli yang memiliki hati satu sama lain, tersenyum sumringah dan saling membagi peluk dengan menggunakan toga, dibingkai sedemikian rupa dengan catatan kecil yang sengaja ditempelkan pada bingkai kacanya. “Satu langkah lagi menuju mimpi kita! -Brian & Nara.” Begitu isi catatan kecil tersebut dengan tulisan tangan indah bertinta hitam yang berhiaskan satu hati kecil di akhir kalimat. Sepasang kaki berjalan pelan menuju sudut meja belajar, menggapai foto berbingkai tersebut dengan hati-hati seakan merupakan benda yang paling rapuh di dunia. “Selamat pagi, Nara,” ucap sang pemilik kamar. Ucapan selamat pagi yang
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui
Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da
Naraya Wibisono, gadis konglomerat yang memilih untuk masuk ke sekolah biasa karena tidak menyukai persaingan anak-anak kelas elit yang sudah menjadi makanannya sehari-harinya. Ia muak dan mencari pelarian dengan masuk ke sekolah biasa agar ia dapat merasakan hidup normal. Untungnya, walaupun orang tuanya tegas, mereka selalu mendukung apa yang Nara lakukan. Sehingga, gadis itu bisa fokus pada pengembangan dirinya sendiri. Nara mempunyai pribadi yang sangat baik dan mudah menaruh kepercayaan. Banyak yang menyukainya, namun banyak juga yang tidak. Nara beberapa kali menghadapi insiden perundungan oleh senior-senior perempuan. Awalnya mereka hanya merampas dompet Nara beserta isinya. Nara, yang merasa hal itu bukan apa-apa, memutuskan untuk menuruti keinginan mereka. Namun, makin lama hal itu membuatnya muak dan ia memutuskan untuk melawan. Ketika Nara mulai melawan, mereka menarik Nara ke toilet perempuan saat pulang sekolah. Untungnya, pada waktu itu adalah tugas pi
Suasana canggung seakan menyelimuti Sekar dan Radit setelah pemuda itu melontarkan pertanyaan mengenai kejadian baru-baru ini. Senyum Sekar yang tadinya cerah, mendadak berubah. Ada rasa sedih dan bersalah disana. Namun, ia masih tetap berusaha tersenyum di hadapan Radit. “Kamu lihat sampai mana?” tanya Sekar. Berusaha mempertahankan senyumnya. “Sampai Teteh membuang minuman kaleng yang masih penuh ke tempat sampah.” Sekar memasang ekspresi ‘kok kamu bisa tahu kalau minuman kaleng itu penuh?’ pada Radit. Radit langsung menjelaskan kalau ia sempat mengambil minuman kaleng tersebut dan ternyata isinya masih penuh. Ia tidak mungkin bilang secara terus terang kalau ia sedang mengikuti Brian dan mengumpulkan bukti sekecil apapun yang berhubungan dengan pemuda itu. “Aaah kamu lihat semuanya, ya. Kalau begitu, nggak ada alasan lagi buatku untuk menutupinya. Sejujurnya, aku lelah menyimpan ini sendirian.” Sekar menghela nafasnya panjang. Tubuhnya yang tadinya menegan
Awan mendung menyelimuti langit dengan selimut kelabunya. Udara yang sejuk dan dingin menyapa hidung, lalu memberikan sensasi sejuk dan dingin pada tubuh Radit dan Saras yang sedang melangkahkan sepasang kaki mereka dengan lunglai, menuju kampus untuk menghadiri kelas pagi. Dua remaja itu terlihat mengantuk seperti orang yang kurang tidur. “Hoahm.” Mereka menguap secara bersamaan, lalu saling tatap satu sama lain dan tertawa. “Lo kurang tidur juga, Ras?” tanya Radit yang mulai mengalungkan lengannya pada lengan Saras. Udara dingin ini benar-benar membuatnya ingin mencari kehangatan. “Iya nih. Gara-gara tugas Nirmana, gue bikin beberapa opsi buat asistensi sampai jam 5 subuh. Kenapa harus kelas pagi sih? Jam 7 pula. Hoahm,” gerutu Saras dan kembali menguap. Radit tersenyum dan merasa gemas melihat sahabatnya yang menggerutu. “Kalau lo kurang tidur kenapa, Dit? Pasti main game sampai pagi, ya?” tuduh Saras dengan mencolek-colek pipi Radit yang hanya dibalas ta