Hujan masih mengguyur deras. Aku dan Elis masih duduk berteduh.
''Oh ya, Lis,'' aku menoleh padanya. Elis pun melihat padaku disertai seulas senyum yang senantiasa mendamaikan hati, “kalau sudah lulus kuliah nanti, apa yang lebih dulu ingin Elis lakukan?''
Elis menyudahi bertemunya pandangan kami dengan menatap ke arah depannya, jalan beraspal basah yang ramai dilalui kendaraan.
''Sebenarnya, Elis pengen lanjut S2 ke luar negeri. Aa sendiri?''
"Kok pake sebenarnya segala?"
Elis menggeleng pelan. Terlihat resah. "Nggak taulah, A. Itu kan cuma keinginan Elis, dan belum tentu kesampaian. Kalau Aa gimana?"
&n
Aku berbaring di atas kasur. Setelah mandi tadi, aku diam termangu merasakan tubuhku yang terus menggigil sampai terdengar bunyi getaran dari ponselku.Sebuah pesan masuk. Dan tiba-tiba saja aku merasa yakin bahwa Elis yang mengirimnya. Kuraih ponsel itu segera. Dengan berdebar-debar penuh harap bahwa pesan itu benar-benar dari Elis, kuusap layar sentuh ponselku. Apa ya, kira-kira, yang Elis tuliskan dalam pesan ini?“Mas Bram sudah baca surat dari Sulis?”Aku langsung lemas saat menemukan nama Sulis di sana. Bagaimanapun, aku harus membalasnya. "Sudah." Jawabku singkat. Bingung harus mengetik kata-kata apa lagi. "Terus gimana?" Aku lebih dulu memutar otak sebelum mengetik sesuatu, hingga akhirnya kuketikkan kalima
“Tapi, Pak, kakaknya Edo dulu mati di sekolah ini karena dibunuh oleh murid SMK Tunas Bangsa,” tukas Derryl, mencoba memberi alasan agar aku membenarkan rencana itu. “Oh, ya? Lalu apakah tawuran akan terus jadi semacam tradisi karena dari generasi ke generasi dua sekolah ini masih saling menyimpan dan membalas dendam? Apapun itu, saya harap, tidak ada satu pun siswa di kelas ini yang ikut tawuran.” Ucapku tegas. Seisi kelas hening. Sebagian dari mereka diam menunduk. Hanya Derryl yang kemudian berdiri, menyandang tas, lalu berjalan ke arahku diikuti dua orang temannya. “Maaf, Pak. Saya nggak bisa. Yang mati itu sepupu Edo, Pak, dan Edo adalah sahabat saya! Saya nggak bisa maafin mereka!” Derryl menatapku tajam, menggeleng-geleng, lalu memimpin
Dengan berbalut lelah yang sangat, aku kembali ke rumah indekos. Penat pun terobati ketika kulihat Asep muncul bersama piring berisi gorengan yang dibawanya. Pikiranku sedikit tenang melihat senyum cerianya dan aroma pisang goreng yang sepertinya lezat. “Aa Bram, kata Umi, malam ini Aa mesti ngajarin Asep matematika. Besok, Asep ada ulangan.” Katanya.Kuacak-acak rambut Asep yang berpotongan mohawk, yang belakangan memang sedang trend bagi remaja pria. Ah, lengket! “Sejak kapan rambut Asep kayak gini?” tanyaku saat mencium aroma kuat hair wax dari tanganku.“Aa nggak tahu, ya, kan Asep mau jadi rocker!”“Rocker?” ulangku sambil tertawa miris. “Loh, kenapa? Aa ng
Kini semuanya seakan terlambat. Elis sudah menganggapku telah ‘terikat’ dengan gadis lain. Penyesalan ini membuatku menghindar ketika Elis menatapku dengan sorot mata menyimpan sesuatu : entah amarah, kesal, atau kecewa. “Elis ... Elis akan kasih keputusan itu sekarang, Abi,” kata Elis tiba-tiba sambil berdiri dan menunduk di hadapan ayahnya. “Insya Allah, Elis pun siap jadi istri Kang Hafiz.” Berbanding terbalik denganku, kudengar Abi mengembuskan napas lega seraya berucap, “Alhamdulillaah!”Aku bingung, tak tahu harus berbuat atau berbicara apa. Pura-pura senang? Atau pura-pura sedih? Atau gabungan dari keduanya?“Nah, Bram, Elis sudah bilang setuju. Artinya, nggak lama lagi setelah Elis lulus S1, mudah-mudahan Abi bisa segera menggendong cucu.” Ungkap Abi sambil ters
Astaghfirullaahaladziim! Siapa para remaja asing itu? Berbulan-bulan mengajar di sini, aku tak pernah melihat tampang mereka. Aku tak mengenal mereka! Berbaur dengan para siswa dari SMU Insan Kamil, mereka saling adu jotos setelah berhasil menerobos pos satpam yang setahuku biasanya selalu dijaga ketat oleh petugas kemananan. Apa yang harus kulakukan? Para guru! Ke mana mereka semua?! Kulihat dari jauh, pintu ruangan guru tertutup rapat, dimana seharusnya mereka tak tinggal diam dengan keributan berdarah ini! “Kalian! Kembali ke kelas masing-masing! Tutup pintu! Cepat!” teriakku pada siswi-siswi yang masih berkeliaran di luar dan sebagian di antaranya berlarian menuju kelas. Dengan gemetar dan nyali yang tak seberapa besar, kukawal beberapa siswi yang masih di luar hingga masuk ke kelas mereka dan kupastikan pintu-pintu itu terkunci ra
Aku seperti terbangun dari tidur. Perlahan aku membuka mata. Alhamdulillah penglihatanku kini jelas sudah. Kulihat Pak Tris duduk di sebelahku. Saat kulihat sekeliling ruangan, ternyata kami hanya berdua. Tak ada orang lain lagi di kamar perawatan berdinding putih bersih dan beraroma khas obat-obatan ini. “Alhamdulillah, Bram sekarang sudah sadar.” Sambut Pak Tris dengan senyum hangat. “Bukan hanya Bram yang cedera. Banyak siswa-siswa kita yang terluka. Polisi telah mengamankan anak-anak yang menyerang sekolah kita. Sekarang sekolah sudah aman meski dalam seminggu ke depan akan diliburkan.” “Semoga ke depannya, kita bisa lebih waspada, ya, Pak. Jangan sampai terulang lagi kejadian itu. Kasihan anak-anak yang nggak tau apa-apa,” ucapku lemah. &l
Namun, Sulis mengurungkannya ketika seseorang perlahan-lahan mengetuk pintu kamar. “Assalaamualaikum,” Kepala Elis tersembul sedikit ketika pintu didorong dari luar. “Waalaikum salam,” sahutku dan Sulis, hampir bersamaan.Kulihat Elis tersenyum saat mengetahui Sulis ada bersamaku di ruangan ini. Sebaliknya, begitu melihat kedatangan Elis, Sulis cepat-cepat berdiri dari duduknya dengan sikap canggung. “Nggg, maaf, Mas Bram, kalau begitu Sulis di luar dulu, ya,” katanya.“Lho, mau ke mana? Saya Cuma sebentar, kok, cuma mau nganterin titipan dari Umi untuk Aa Bram.”Setelah meletakkan buah-buahan dalam plastik transparan
Suara muadzin dari masjid rumah sakit yang menyuarakan azan Subuh menyempurnakan kesadaranku, pagi ini. Baru jam lima, tetapi di luar sana rona fajar pagi sudah mulai terlihat.Ayah Fajrin yang menjagaku sudah bangun lebih dulu. Beliau sengaja membuka jendela kamar, membiarkan angin pagi yang segar mengembus dan menyapu wajahku. Setelah menungguku bertayamum sebelum sholat Subuh, Bapak meninggalkanku untuk sholat di mesjid. Beliau pun sempat meminta izin pada perawat ruangan, yang datang untuk mengecek keberadaan pasien dan mengantarkan segelas susu hangat.Bapak belum kembali ke kamar begitu aku selesai sholat. Di luar sana, aktifitas rumah sakit di pagi menjelang siang ini sudah kembali ramai. Sesekali, lalu-lalang perawat yang membawa pasien disertai rombongan keluarganya terlihat melalui jendela kamarku. Namun, hiruk-pikuk itu makin tak membuatku nyaman. Aku kian merasa tak berteman. Sendiri. Hampa.Kuraih ponsel yang kutaruh di bawah bantal. Tak tahan