Aku seperti terbangun dari tidur. Perlahan aku membuka mata. Alhamdulillah penglihatanku kini jelas sudah. Kulihat Pak Tris duduk di sebelahku. Saat kulihat sekeliling ruangan, ternyata kami hanya berdua. Tak ada orang lain lagi di kamar perawatan berdinding putih bersih dan beraroma khas obat-obatan ini.
“Alhamdulillah, Bram sekarang sudah sadar.” Sambut Pak Tris dengan senyum hangat. “Bukan hanya Bram yang cedera. Banyak siswa-siswa kita yang terluka. Polisi telah mengamankan anak-anak yang menyerang sekolah kita. Sekarang sekolah sudah aman meski dalam seminggu ke depan akan diliburkan.”
“Semoga ke depannya, kita bisa lebih waspada, ya, Pak. Jangan sampai terulang lagi kejadian itu. Kasihan anak-anak yang nggak tau apa-apa,” ucapku lemah.
&l
Namun, Sulis mengurungkannya ketika seseorang perlahan-lahan mengetuk pintu kamar. “Assalaamualaikum,” Kepala Elis tersembul sedikit ketika pintu didorong dari luar. “Waalaikum salam,” sahutku dan Sulis, hampir bersamaan.Kulihat Elis tersenyum saat mengetahui Sulis ada bersamaku di ruangan ini. Sebaliknya, begitu melihat kedatangan Elis, Sulis cepat-cepat berdiri dari duduknya dengan sikap canggung. “Nggg, maaf, Mas Bram, kalau begitu Sulis di luar dulu, ya,” katanya.“Lho, mau ke mana? Saya Cuma sebentar, kok, cuma mau nganterin titipan dari Umi untuk Aa Bram.”Setelah meletakkan buah-buahan dalam plastik transparan
Suara muadzin dari masjid rumah sakit yang menyuarakan azan Subuh menyempurnakan kesadaranku, pagi ini. Baru jam lima, tetapi di luar sana rona fajar pagi sudah mulai terlihat.Ayah Fajrin yang menjagaku sudah bangun lebih dulu. Beliau sengaja membuka jendela kamar, membiarkan angin pagi yang segar mengembus dan menyapu wajahku. Setelah menungguku bertayamum sebelum sholat Subuh, Bapak meninggalkanku untuk sholat di mesjid. Beliau pun sempat meminta izin pada perawat ruangan, yang datang untuk mengecek keberadaan pasien dan mengantarkan segelas susu hangat.Bapak belum kembali ke kamar begitu aku selesai sholat. Di luar sana, aktifitas rumah sakit di pagi menjelang siang ini sudah kembali ramai. Sesekali, lalu-lalang perawat yang membawa pasien disertai rombongan keluarganya terlihat melalui jendela kamarku. Namun, hiruk-pikuk itu makin tak membuatku nyaman. Aku kian merasa tak berteman. Sendiri. Hampa.Kuraih ponsel yang kutaruh di bawah bantal. Tak tahan
Setelah itu, perlahan Sulis berdiri dari duduknya. Memandangku lagi dengan daerah sekitar mata yang kali ini benar-benar basah, lalu mengeratkan pegangannya pada tasnya. Bersiap untuk pergi.“Sulis, tunggu!” cegahku akhirnya. Tak mungkin aku membiarkan gadis yang tak bersalah itu benar-benar pergi dengan hati terluka, tanpa sepatah kata pun penjelasan dariku. “Maafkan aku, Lis. Aku nggak tahu harus memohon maaf padamu dengan cara apa. Semua ini terjadi di luar kehendakku. Aku nggak pernah tahu kalau selama ini Fajrin memilihku untuk menemani hidupmu.”Kudengar Sulis menghela napas, dan tersenyum menatapku saat mengembuskannya pelan.“Ya. Sulis mengerti itu, Mas.” Katanya. “Mas Bram nggak perlu minta maaf, bukankah semua ini terjadi karena niat Bapak? Hmm, seharusnya dulu Mas Bram bilang saja terus terang sama Bapak, bahwa Mas Bram nggak bisa menerima keinginan Mas Fajrin. Ah, tapi sudahlah, Sulis mengerti kok kebingungan
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di