Ini uangku, MasPart 48 pov Bu Ros / pura-pura sakitKukira punya menantu berduit bisa membuat hidupku senang. Tak masalah wajahnya kurang, yang penting dompetnya. Tapi aku salah, justru Bulbul lebih parah dari Mita. Tau begini ngapain juga kurestui Aga menikahinya. Setelah nikah, Bulbul menunjukan taringnya.Aku harus duduk bersilang kaki layaknya nyonya besar. Jika aku terlihat membersihkan kaca, bu Eli semakin menginjaku. Aku tahu ia sangat suka melihat aku dan Ima malu atau terlihat bodoh."Bul, bisa beliin Ibu ayam bakar? Lapar nih," pintaku sambil memegang perut."Di dapur ada telur dan sambal terasi sachet, untuk menghemat biaya makan itu aja dulu, Bu, nanti setelah aku balik modal karena biaya pernikahan dan kontrak rumah ini, Ibu pasti kubelikan ayam bakar," jawab Bulbul yang membuatku kecewa.Hanya sepotong ayam bakar aku harus nunggu ia balik modal? Kok Bulbul lebih parah pelitnya dari Mita. Sebelum nikah uang lancar, tapi setelah nikah pelitnya minta ampun. Huh! Sudah muka
Ini uangku, MasPart 49 ( pov Tia / Uang mama )Pov Tia"Ma, ini uang Mama." Kusodorkan uang seratus lima puluh ribu ke Mama. "Loh, emang kamu nggak jadi beli bajunya?" tanya mama sambil mencuci piring melihatku sekilas."Nggak, tadi Opa yang beliin, kata Opa, kembalikan uang Mama.""Ooh, pegang aja dulu, tanggung nih, Mama lagi nyuci piring.""Ya, Ma." Kumasukan uang ini ke saku celanaku.Semenjak mama dan papa cerai, kulihat mama tampak bahagia. Beda dengan raut wajah mama saat tinggal di rumah nenek. Bahkan dulu, aku sering melihat mama menangis di kamar. Nenek dan Bi Ima selalu bicara kasar."Kok diam?" Alis mama bertaut melihatku."Nggak ada, oh ya, Ma, aku boleh ke tempat Mimi?"Bosan di rumah tak ada teman. Semenjak Mimi pindah ke sebelah, rasanya aku punya teman lagi. Efek sekolah daring membuatku bosan."Lagian sebentar lagi malam, kenapa nggak besok aja?""Kan dekat, Ma, cuma balik dinding pagar kok, lagian aku pengen ketemu Papa."Akhir-akhir ini papa tampak sibuk. Aku dat
Ini uangku, MasPart 50 ( uangku bukan uang mantan suamiku )"Berasnya bagus, Bulbul tidak bohong, Mit," ucap Ibu mengambil sepiring nasi lengkap dengan lauknya, lalu duduk dekatku sedang nonton televisi."Syukurlah, Bu," jawabku lalu meneguk kopi."Ibu perhatikan nih, Bulbul tu wanita pintar, buktinya, Ima dan Bu Ros bisa diperbudaknya. Senang lihat Ima memegang sapu pel, apa lagi Ibu sindir masalah ia cari pembantu, iiih! malu-maluin.""Iya ya, Bu, setau aku, Ima paling pantang pegang sapu atau pun mengerjakan pekerjaan rumah.""Biar rasa mereka, Ibu baru puas meskipun yang membalas bukan kamu, itu namanya karma, sayang aja kamu tak bisa sehebat Bulbul, bertahun-tahun tahaaaaan aja."Mulai lagi nih ucapan pedas ibu. Meskipun itu benar, tetap saja menyayat hati. Tapi, Allah punya cara lain membalas, mungkin ini hikmah bagiku agar tak perlu membalas kejahatan. Allah itu tidak tidur.Namun sebagai manusia, kadang pikiranku berubah."Tia belum pulang, Mit?" tanya ayah."Belum, Yah, mung
Ini uangku, MasPart 51 ( jika tak salah kenapa harus takut? )Rasanya tak percaya Tia berani bicara lantang ke mas Aga. Selama ini aku tak pernah mengajari melawan orang tua. Jika tak suka diam tapi jangan membantah apa lagi berbicara kasar. Tapi, kali ini ajaranku diabaikan. "Jadi ini ajaran Mamamu! Sudah merasa benar dan pintar hingga bicara keras?" Mas Aga melototi Tia. Tapi Tia sama sekali tidak berpaling. Sungguh, ini diluar dugaan, ini pertama kalinya Tia melihat papanya seperti tak ada rasa hormat."Iya! Aku merasa benar dan pintar, setidaknya aku tidak melalukan seperti yang Papa dan saudara Papa itu lakukan." Justru Tia terus melawan.Aku melihat Tia, tak ada niat melarangnya bicara. Aku ingin tahu apa isi pemikiran putriku itu hingga ia bersikap tidak seperti biasanya. Sebentar lagi ia naik kelas 2 SMP, umurnya sekarang sudah cukup mengerti yang terjadi. Dan Tia bukan tipe anak yang membantah, kecuali jika ada sesuatu yang menurutnya tidak wajar."Diam!" bentak mas Aga. Su
Ini uangku, MasPart 52 ( ada maunya )"Cepat masuk Mita! Jangan biarkan Tia jembatan mereka mengambil uangmu." Ibu sengaja berucap lantang. Ini pasti untuk menekan mantan suamiku dan keluarganya. "Iya, Bu," jawabku terus melangkah masuk pagar rumah.Kulihat sekilas, mas Aga menatapku dan Tia. Sementara Bulbul dan ibu mas Aga, mulai melangkah masuk rumah. Tapi ibu mas Aga melirik sinis sesaat. Aku tau ia tak suka dengan ucapan ibuku.***"Tuh, apa yang Ibu bilang, terjadi kan kekhawatiran Ibu. Makanya, ucapan Ibu di dengar!" Ibu duduk. Suara ibu lantang hingga ayah terbangun dan ke luar dari kamar."Ada apa sih, Bu?" tanya ayah sambil melangkah ke sofa."Ayah, Ibu benar, tolong jangan menyalahkan Ibu," jawabku sebelum terjadi perdebatan antara ibu dan ayah."Akhirnya nyadar juga, tapi Ibu heran deh, kok nyadarnya udah lamaaaaa kali," cerocos ibu. Wajar ibu kesal. Aku sudah sering diingatkan. Tapi aku terus menanggapi dengan pikiran positif. Kadang pikiran baik itu membuatku tak wasp
Ini uangku, MasPart 53 ( keputusan Tia )Pov Aga Aku harus mendapatkan hak asuh Tia. Tia bisa membantuku memenuhi kebutuhan ibu dan Ima. Lagian apa salahnya, toh ia juga cucu ibuku. "Kamu punya ot*k nggak sih? Mau rebut hak asuh anak karena uang? Mau jadikan anakmu sapi perah?" Mita melototiku, amarahnya sangat besar seperti aku ini seorang bapak pecundang. Lagian apa salahnya anak membantu bapak? Toh Tia anak kandungku."Santai aja, Mit, kamu tak bisa melarangku, Tia juga anakku, aku tau nih, kamu takut tabungan Tia beralih padaku? Bilang aja sumber keuanganmu berkurang.""Kamu kira aku manusia kekurangan uang sepertimu! Seandainya aku kekurangan, anak pun tak mungkin kubebani, beda sama kamu, lelaki sok punya harga diri tapi cuma numpang sama istri, apa kamu nggak punya malu? Atau urat malumu sudah putus dari lahir?""Mita!" Kuangkat tanganku ingin menamparnya. Ucapanya sudah sangat keterlaluan dan menginjakku. "Apa? Mau tampar aku? Kamu kira dirimu siapa seenaknya melayangkan t
Ini uangku, MasPart 54 ( pov Aga: aku muak dibilang anak durhaka!)"Kok diam, Bu? Ada apa dengan tiga hari lagi?" tanyaku lagi karena belum dijawab."Oh, itu, Ga, tiga hari lagi Ibu berencana mengadakan syukuran buat pernikahan kalian," jawab ibu."Iya, Mas, warga sini juga harus tau kalau kamu bukan suami Mbak Mita lagi, tapi suami Bulbul," ucap Ima."Tapi aku tak punya uang buat acara syukuran, Ibu tau itu kan?"Buat apa mengadakan acara syukuran jika yang datang dikasih makan angin. Aku tak yakin Bulbul mau, uangnya banyak terpakai."Nanti kita bicarakan lagi ke Bulbul, mana tau ia mau.""Jangan, Bu, aku tak enak dengan Bulbul, pasti ia marah dan aku nggak mau ia malah minta cerai, aku cinta Bulbul, Bu."Jujur dan terbuka lebih baik. Biar hati merasa lega. Lagian yang memperkenalkan Bulbul adalah Ima. "Mas Aga! Kok malah lemah gitu? Jadi laki ya harus tegas, lawan rasa lemahmu."Ima ngomong aja yang bisa. Apa ia merasakan yang kurasakan? Hati ini betul-betul terpaut pada Bulbul.
Ini uangku, MasPart 55 ( maaf )"Jangan menangis, Ma," ucap Tia menatapku.Aku duduk menyeka air mata. Rasa khawatir, takut jauh dari putriku. "Nak, jika suatu saat kamu tak nyaman bersama Mama, bicara lah." Kubelai pipi Tia."Mama bicara apa sih? Justru aku takut membebani Mama, aku hanya ingin Mama, aku juga sayang Papa, tapi kenyamananku bersama Mama."Ya Allah, terima kasih tidak menjauhkanku dari putriku. Hamba mohon, jangan pernah pisahkan kami. Tapi seandainya maut memisahkan, biarkan putriku di tangan orang yang tepat hingga hidupnya tak teraniaya. Pengalaman berumah tangga dan tinggal di rumah mertua sudah cukup memberiku pelajaran tentang hidup sesungguhnya.Jika dulu aku berpikir logis. Cinta tak cukup membuat bahagia, lingkungan saling menghargai itu penting. Seandainya sudah menjadi seorang ibu, tak ada yang lebih penting dari anak. Mantan suami ada, tapi mantan anak tidak akan pernah ada. Satu hal yang kuabaikan, firasat orang tua itu benar. "Mita! Mit!"Ibu memanggil