Ini uangku, MasPart 50 ( uangku bukan uang mantan suamiku )"Berasnya bagus, Bulbul tidak bohong, Mit," ucap Ibu mengambil sepiring nasi lengkap dengan lauknya, lalu duduk dekatku sedang nonton televisi."Syukurlah, Bu," jawabku lalu meneguk kopi."Ibu perhatikan nih, Bulbul tu wanita pintar, buktinya, Ima dan Bu Ros bisa diperbudaknya. Senang lihat Ima memegang sapu pel, apa lagi Ibu sindir masalah ia cari pembantu, iiih! malu-maluin.""Iya ya, Bu, setau aku, Ima paling pantang pegang sapu atau pun mengerjakan pekerjaan rumah.""Biar rasa mereka, Ibu baru puas meskipun yang membalas bukan kamu, itu namanya karma, sayang aja kamu tak bisa sehebat Bulbul, bertahun-tahun tahaaaaan aja."Mulai lagi nih ucapan pedas ibu. Meskipun itu benar, tetap saja menyayat hati. Tapi, Allah punya cara lain membalas, mungkin ini hikmah bagiku agar tak perlu membalas kejahatan. Allah itu tidak tidur.Namun sebagai manusia, kadang pikiranku berubah."Tia belum pulang, Mit?" tanya ayah."Belum, Yah, mung
Ini uangku, MasPart 51 ( jika tak salah kenapa harus takut? )Rasanya tak percaya Tia berani bicara lantang ke mas Aga. Selama ini aku tak pernah mengajari melawan orang tua. Jika tak suka diam tapi jangan membantah apa lagi berbicara kasar. Tapi, kali ini ajaranku diabaikan. "Jadi ini ajaran Mamamu! Sudah merasa benar dan pintar hingga bicara keras?" Mas Aga melototi Tia. Tapi Tia sama sekali tidak berpaling. Sungguh, ini diluar dugaan, ini pertama kalinya Tia melihat papanya seperti tak ada rasa hormat."Iya! Aku merasa benar dan pintar, setidaknya aku tidak melalukan seperti yang Papa dan saudara Papa itu lakukan." Justru Tia terus melawan.Aku melihat Tia, tak ada niat melarangnya bicara. Aku ingin tahu apa isi pemikiran putriku itu hingga ia bersikap tidak seperti biasanya. Sebentar lagi ia naik kelas 2 SMP, umurnya sekarang sudah cukup mengerti yang terjadi. Dan Tia bukan tipe anak yang membantah, kecuali jika ada sesuatu yang menurutnya tidak wajar."Diam!" bentak mas Aga. Su
Ini uangku, MasPart 52 ( ada maunya )"Cepat masuk Mita! Jangan biarkan Tia jembatan mereka mengambil uangmu." Ibu sengaja berucap lantang. Ini pasti untuk menekan mantan suamiku dan keluarganya. "Iya, Bu," jawabku terus melangkah masuk pagar rumah.Kulihat sekilas, mas Aga menatapku dan Tia. Sementara Bulbul dan ibu mas Aga, mulai melangkah masuk rumah. Tapi ibu mas Aga melirik sinis sesaat. Aku tau ia tak suka dengan ucapan ibuku.***"Tuh, apa yang Ibu bilang, terjadi kan kekhawatiran Ibu. Makanya, ucapan Ibu di dengar!" Ibu duduk. Suara ibu lantang hingga ayah terbangun dan ke luar dari kamar."Ada apa sih, Bu?" tanya ayah sambil melangkah ke sofa."Ayah, Ibu benar, tolong jangan menyalahkan Ibu," jawabku sebelum terjadi perdebatan antara ibu dan ayah."Akhirnya nyadar juga, tapi Ibu heran deh, kok nyadarnya udah lamaaaaa kali," cerocos ibu. Wajar ibu kesal. Aku sudah sering diingatkan. Tapi aku terus menanggapi dengan pikiran positif. Kadang pikiran baik itu membuatku tak wasp
Ini uangku, MasPart 53 ( keputusan Tia )Pov Aga Aku harus mendapatkan hak asuh Tia. Tia bisa membantuku memenuhi kebutuhan ibu dan Ima. Lagian apa salahnya, toh ia juga cucu ibuku. "Kamu punya ot*k nggak sih? Mau rebut hak asuh anak karena uang? Mau jadikan anakmu sapi perah?" Mita melototiku, amarahnya sangat besar seperti aku ini seorang bapak pecundang. Lagian apa salahnya anak membantu bapak? Toh Tia anak kandungku."Santai aja, Mit, kamu tak bisa melarangku, Tia juga anakku, aku tau nih, kamu takut tabungan Tia beralih padaku? Bilang aja sumber keuanganmu berkurang.""Kamu kira aku manusia kekurangan uang sepertimu! Seandainya aku kekurangan, anak pun tak mungkin kubebani, beda sama kamu, lelaki sok punya harga diri tapi cuma numpang sama istri, apa kamu nggak punya malu? Atau urat malumu sudah putus dari lahir?""Mita!" Kuangkat tanganku ingin menamparnya. Ucapanya sudah sangat keterlaluan dan menginjakku. "Apa? Mau tampar aku? Kamu kira dirimu siapa seenaknya melayangkan t
Ini uangku, MasPart 54 ( pov Aga: aku muak dibilang anak durhaka!)"Kok diam, Bu? Ada apa dengan tiga hari lagi?" tanyaku lagi karena belum dijawab."Oh, itu, Ga, tiga hari lagi Ibu berencana mengadakan syukuran buat pernikahan kalian," jawab ibu."Iya, Mas, warga sini juga harus tau kalau kamu bukan suami Mbak Mita lagi, tapi suami Bulbul," ucap Ima."Tapi aku tak punya uang buat acara syukuran, Ibu tau itu kan?"Buat apa mengadakan acara syukuran jika yang datang dikasih makan angin. Aku tak yakin Bulbul mau, uangnya banyak terpakai."Nanti kita bicarakan lagi ke Bulbul, mana tau ia mau.""Jangan, Bu, aku tak enak dengan Bulbul, pasti ia marah dan aku nggak mau ia malah minta cerai, aku cinta Bulbul, Bu."Jujur dan terbuka lebih baik. Biar hati merasa lega. Lagian yang memperkenalkan Bulbul adalah Ima. "Mas Aga! Kok malah lemah gitu? Jadi laki ya harus tegas, lawan rasa lemahmu."Ima ngomong aja yang bisa. Apa ia merasakan yang kurasakan? Hati ini betul-betul terpaut pada Bulbul.
Ini uangku, MasPart 55 ( maaf )"Jangan menangis, Ma," ucap Tia menatapku.Aku duduk menyeka air mata. Rasa khawatir, takut jauh dari putriku. "Nak, jika suatu saat kamu tak nyaman bersama Mama, bicara lah." Kubelai pipi Tia."Mama bicara apa sih? Justru aku takut membebani Mama, aku hanya ingin Mama, aku juga sayang Papa, tapi kenyamananku bersama Mama."Ya Allah, terima kasih tidak menjauhkanku dari putriku. Hamba mohon, jangan pernah pisahkan kami. Tapi seandainya maut memisahkan, biarkan putriku di tangan orang yang tepat hingga hidupnya tak teraniaya. Pengalaman berumah tangga dan tinggal di rumah mertua sudah cukup memberiku pelajaran tentang hidup sesungguhnya.Jika dulu aku berpikir logis. Cinta tak cukup membuat bahagia, lingkungan saling menghargai itu penting. Seandainya sudah menjadi seorang ibu, tak ada yang lebih penting dari anak. Mantan suami ada, tapi mantan anak tidak akan pernah ada. Satu hal yang kuabaikan, firasat orang tua itu benar. "Mita! Mit!"Ibu memanggil
Ini uangku, MasPart 56 ( pov bu Ros: aku yang lebih tersiksa melihat penderitaan anak-anaku )Melangkah pulang dengan hati kecewa. Mita menolak rujuk dengan Aga. Apakah sesulit itu baginya memaafkan yang terjadi? Atau aku yang tak menyadari penderitaanya selama ini?Di mana-mana, menantu yang kerjakan semua pekerjaan rumah suatu hal yang biasa. Itu gunanya ia tinggal di rumah. Tapi kenapa Mita seperti aku memperbudaknya? Apakah karena selama ini Ima juga ikut adil dalam memerintah? Kuakui, Ima punya sifat semena-mena akibat kumanjakan. Dulu saja aku hampir sakit saat Mita terusir dan aku lah yang mengerjakan semuanya. Apakah aku salah mendidik anak?"Ibu dari mana? Lihat Ima belum berhenti menangis seperti anak kecil, telingaku sakit!" Bulbul berdiri berkacak pinggang. Aku baru masuk langsung disambut dengan omongan tak enak. Ia berlagak seolah nyonya besar dan aku pembantunya."Itu aja kamu sewot," jawabku berusaha mengabaikanya."Lah iya lah aku sewot, Ima sangat berisik! Aku ing
Ini uangku, MasPart 57 ( bicara dipikirkan dulu )Aku tak ingin masuk ke lubang yang sama. Bertahun-tahun sudah cukup bagiku mengenal ibu mantan mertua dan Ima, apa lagi mantan suamiku. Jika ia mengakui dosanya, itu bukan urusanku karena yang diperbuat itu lah yang dipetik.Hanya prihatin. Aku tak ingin ikut campur dengan urusan yang bukan urusanku. Jika pernikahan mas Aga dengan Bulbul di luar kesadaran mas Aga, yang patut dipersalahkan adalah ibunya dan adiknya. "Mita.""Astagfirullah'alaziim." Aku mengucap terkejut. Tiba-tiba pundakku ditepuk ibu dari belakang."Melamun aja, mikirin apa?" "Oh, nggak, nggak ada, Bu," jawabku lalu pura-pura sibuk melihat layar ponsel. "Kamu tu lahir dari rahim Ibu, kamu sedang bohong, pura-pura, sedih, atau menyembunyikan sesuatu, Ibu pasti tau."Tuh kan, sudah berusaha menghindari, tetap saja ibu tahu. Sebenarnya malas bicara jujur. Ujung-ujungnya aku pasti kena semprot jika membahas tentang keluarga mantan suamiku."Ya udah, tapi ingat, serapi