Share

Bab 2

"Nyonya, aku beli daging iga. Hari ini biar kuajarin masak iga asam manis ya," teriak Yulia begitu masuk ke rumah. Aku mendongak dan memperhatikan Yulia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pada akhirnya aku menyadari ada yang aneh di bagian kancing bajunya. Ternyata dia menyembunyikan kamera di sana.

"Nyonya, ayo ke dapur," katanya sambil melangkah menuju dapur dengan barang-barangnya tanpa menunggu responsku.

Setelah aku mengikutinya ke dapur, dia mengambil celemek dan mencoba memakaikannya padaku. Aku mundur sedikit, lalu menatapnya dengan wajah datar dan berkata, "Aku nggak akan masak."

Yulia tersenyum lembut. "Nyonya, jangan begitu. Kita sudah sepakat untuk belajar masak hari ini. Sebagai wanita mandiri generasi baru, kita harus bisa menghidupi diri sendiri, termasuk membuat makanan enak."

Aku menatapnya dengan tenang dan bertanya, "Kalau aku yang masak, lalu kamu mau ngapain? Yulia, apa kamu lupa? Aku mempekerjakanmu sebagai pembantu, bukan sebagai guru hidup."

Wajah Yulia tertegun sejenak. Namun, aku sama sekali tidak terkejut dengan reaksinya itu. Sejak dulu termakan ucapannya dan hampir setiap kata-katanya kuanggap perintah. Aku benar-benar percaya bahwa memasak adalah kunci kemandirian.

Meski begitu, Yulia cepat sekali mengendalikan ekspresinya. Dia berkata dengan nada yang seolah-olah tulus, "Nyonya, aku nggak bermaksud jadi guru. Aku cuma ingin membantu. Nyonya nggak bisa apa-apa dan selalu mengandalkan orang lain."

"Sekarang suami Nyonya masih mau membantu, tapi gimana kalau suatu hari dia nggak peduli lagi? Kalau nggak ada uang, bagaimana Nyonya mau bertahan?"

Tatapannya begitu tulus, seolah-olah dia benar-benar memikirkan kebaikanku.

Aku tertawa sinis. "Kamu mikir kejauhan. Sebelum menikah, kami sudah tandatangani perjanjian. Kalau suatu hari dia nggak mau bersamaku lagi, dia yang akan pergi dengan tangan kosong. Tanpa dia, aku tetap punya kekayaan triliunan. Di kehidupan ini, kehidupan berikutnya, bahkan kehidupan setelahnya, akan selalu ada orang yang memasak untukku."

"Yulia, sadari posisimu. Kamu cuma seorang pembantu. Meskipun bangkrut, aku masih lebih kaya dari kamu. Jadi, kamu nggak perlu khawatir tentang bagaimana aku akan bertahan. Sampai saat ini, aku nggak hidup bergantung pada laki-laki, apalagi padamu."

Wajah Yulia mendadak pucat. Setelah beberapa detik terdiam, matanya mulai memerah. Meski penonton tidak bisa melihatnya, dia mulai menangis dengan suara yang dibuat-buat.

"Nyonya, aku tahu aku miskin dan Nyonya memandang rendah diriku. Tapi aku hanya mencoba untuk membantu Nyonya, kenapa Nyonya harus mengatakan hal-hal yang begitu menyakitkan? Ini benar-benar melukai harga diriku."

Dalam hati aku berpikir, 'Tadi kamu bilang aku nggak bisa apa-apa dan bahkan mendoakanku bercerai, memangnya itu nggak menyakiti harga diriku? Sekarang aku cuma mengatakan kamu miskin, tiba-tiba kamu merasa harga dirimu terluka.'

Aku menjawab dengan tenang, "Kalau memang miskin, lakukan saja pekerjaanmu sebagai pembantu dengan baik. Siapa tahu kalau aku senang, aku bisa menambah gajimu. Jangan terlalu sibuk memikirkan caraku bertahan hidup, sedangkan kamu sendiri kesulitan menjaga pekerjaanmu."

Yulia membuka mulut seolah-olah ingin membalas, tetapi akhirnya mengurungkan niatnya. Dia berbalik, lalu berjalan menuju dapur untuk mulai memasak iga dengan patuh.

Aku kembali ke kamar dan membuka siaran langsungnya. Layar dipenuhi dengan komentar yang membuat ruang obrolannya kacau.

[ Ada apa ini? Ternyata si Jolin itu bukan istri manja yang mengandalkan suaminya? Dia yang jadi bos di keluarganya? ]

[ Orang kaya juga nggak boleh memandang rendah orang seperti itu, 'kan? Tuh Yulia sampai nangis. ]

[ Sudah kubilang, si Jolin itu nggak akan berubah. Baru beberapa hari saja sudah mulai manja lagi. ]

[ Ini namanya istri manja? Kamu nggak dengar dia bilang, dia memang sudah kaya? ]

[ Kaya juga bukan dari uangnya sendiri, itu uang orang tuanya. Apa bedanya sama istri manja? ]

[ Kenapa aku ngerasa ucapan si Jolin ada benarnya juga? Jadi pembantu ya harus masak untuk majikan. Memangnya nggak masuk akal? Apalagi, majikannya itu kaya raya. Seumur hidup juga nggak akan jadi orang biasa. ]

Bagaimanapun, ini adalah siaran langsung Yulia.

Meskipun ada beberapa komentar yang mendukungku, sebagian besar komentar justru penuh makian. Banyak orang menganggapku tidak tahu diri, berharap agar petir menyambarku atau ada orang kaya yang membuatku bangkrut. Semua itu hanya karena aku dianggap meremehkan para wanita mandiri yang berjuang keras untuk hidup mereka.

Melihat semua komentar itu, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Rasanya seperti menonton sebuah lelucon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status