"Siapa dia?" Aku memprovokasi Ian kembali.
"Pria Italia yang bersamamu di sebuah kafe." Ia memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh. "Si brengsek itu mungkin mengira aku tidak peduli. Tapi aku ingin memastikan bahwa lelaki itu tahu, aku terganggu olehnya."
"Tidak ada pria Italia." Jawabku, karena Fe bukan pria Italia dan dia tidak brengsek seperti yang ia katakan.
Dia menjawab dengan lemah lembut. "Ah, sudahlah, aku mengira kau…"
"Dia orang Azerbaijan," aku memperjelas dan seolah memberitahu nya kebenaran tentangku yang ia curigai. "Tapi dengan siapa pun aku menghabiskan waktu, bukan lagi urusanmu kan? Semoga hidupmu menyenangkan." Aku menutup panggilan dan segera memblokir nomor telepon darinya.
"Wow, kau punya berapa pacar?" Widi mulai menggoda ku.
"Itu mantan. Terima kasih untuk kopinya." Aku bilang.
Panggilan untuk penerbangan kami telah diumumkan. Aku maupun Widi melihat ke layar ponsel masing-masing, memastikan tidak ada pesan a
Ada sekitar 150 langkah kaki, antara Trans Metro Pekanbaru dan juga rumah. Tapi hari ini mungkin lebih, aku sedikit malas dan tidak terlalu terburu-buru. Aku juga salah memilih sepatu, memakai sepatu dengan heels yang cukup tinggi. Aku lupa membawa sendal jepit yang aku beli 2 hari lalu di toko amal, padahal cantik dan tidak terkesan murahan. Tentu saja, ia memiliki kupu-kupu di jari kaki, tetapi tidak pernah benar-benar mencengkeram tumit di bagian belakang. Percayalah, itu seharga 35 ribu.Tinggal beberapa kilometer lagi. Di berbelok selanjutnya dan pemberhentian Trans yang kesekian. Itu jalan menuju tempat ku, Jalan Pasir putih sebelah kiri. Aku melihat 12 anak tangga - itu sudah beberapa kali aku hitung - seperti rumah dengan empat kamar tidur. Ya, rasanya seperti rumahku, dulu. Mobil ayah yang selalu diluar jika belum berangkat kerja.Di belakangku, matahari terbenam di balik stortfold, sebut saja begitu walau itu bukan pasar tua yang ada di Inggris. Bayang gelap me
Kakek sedang duduk di kursinya dekat jendela dapur, mempelajari sudoku. Dia adalah ayah dari si pemilik rumah. Ya, mungkin sekilas tempat ini lebih cocok disebut rumah, karena awalnya hanya di isi oleh seorang istri yang dicerai mati, putrinya yang masih balita, dan juga si ayah atau kakek untuk Elliyen.Kemarin seorang dokter mengecek kesehatannya, memberi tahu kami semua, untuk membantu si kakek konsentrasi, agar membantu fokusnya setelah stroke yang ia alami.Aku memperhatikannya, ia hanya mengisi semua kotak dengan nomor berapa pun yang terlintas dalam pikirannya. "Hei, Kakek." Dia mendongak dan tersenyum."Hah Nia, kau ingin secangkir teh?" Aku menggelengkan kepala, lalu duduk di kursi sebelahnya, dan memegang wadah teh yang ia punya. "Minuman dingin?" Aku mengangguk.Aku membuka pintu lemari es. "Tidak ada jus," ucap si kakek. Ya aku tahu, harga buah terlalu mahal untuk saat ini."Air din
"Hei, cerita ini kurang detail. Seharusnya kau jelaskan juga siapa laki-laki brengsek itu, jelaskan bagaimana kedua orangtuamu berpisah, dan bagaimana kita dulu berjumpa. Ayolah, jangan buat membaca mu kebingungan terlalu lama."Inilah yang kadang membuatku sedikit jengkel dengannya, keikutsertaannya dalam setiap ketikan yang bahkan belum aku beri titik di ujungnya."Seharusnya aku mengurung diri sebelum menulis. Aku butuh sedikit ruang, jangan ganggu. Lagipula tadi kau sendiri yang meminta untuk menulis." Aku menghembuskan napas sebagai tanda muak padanya."Bagaimana kalau masukan beberapa cerita ini?" Lelaki itu memberikan buku harian lamaku. Ya, catatan yang seharusnya sudah lama aku buang atau tiba dalam perapian. Tapi sepertinya perapian yang enggan untuk menelan setiap kenangan.Aku menatapnya untuk meyakinkan bahwa ia tak akan terluka. "Kau yakin?" tanyaku dengan hati-hati.
Sejak aku masih kecil, aku bertanya-tanya seperti apa rasanya menjadi orang dewasa. Benar saja, aku tidak sabar untuk tumbuh dewasa saat itu. Tetapi sekarang, setelah aku dewasa, kegembiraan itu telah hilang dan telah digantikan oleh rasa takut yang terus-menerus terhadap penuaan.Aku tidak dapat menikmati usiaku saat ini karena terlalu sibuk mengkhawatirkan usia yang pasti akan berubah satu tahun dalam beberapa waktu.Aku hanya memiliki beberapa tahun lagi tersisa. Aku mencapai usia ambang batas di mana akan disebut terlalu tua, untuk ini dan itu. Bahkan hanya dengan memikirkan hal itu membuatku merasakan waktu berlalu dengan cepat, aku merasa perlu untuk melakukan sesuatu.Setelah aku berusia 17 tahun, semuanya mulai terbang. Tampak mustahil untuk mengejar kehidupan. Aku melihat semua orang ini pada usia 20, 21, dan 25 mencapai tonggak sejarah. Berdiri di tempat yang aku ingin berdiri juga. Dan aku merasa waktu ini terburu-buru, jam ini terus berdetak sementara a
Lelaki itu tidak pernah menjadi kekasih sepenuhnya untukku, dia juga bukan teman yang terlalu dekat dan tahu bagaimana perjalanan ku. Tapi selama 8 bulan belakangan ini, ia dan aku cukup dekat. Sebut saja namanya Deff, seorang penulis, peneliti, dan pencipta konten geografi di Youtube. Kebetulan kami memiliki lingkaran teman dan redaksi yang sama. Kami telah berteman dan mengenal satu sama lain setahun sebelum kami memutuskan untuk semakin mulai dekat.Ia tampak seperti seorang pria yang baik namun sedikit angkuh. Aku akui, mungkin aku sedikit tertarik padanya saat itu, karena selalu memiliki titik lemah untuk pria yang berbudaya santun. Yang terpenting dia adalah seorang penulis sekaligus pemain. Lalu apakah ada di bumi ini, wanita yang tidak menyukai itu? Serius, aku bertanya pada kalian.Semua berjalan tidak begitu sulit, karena sepertinya Deff juga menyukaiku. Yakin karena dia memberi sedikit perhatian ekstra daripada anak laki-laki lain. Aku memperhatikan carany
Situasi mantannya mulai mempengaruhiku. Aku tidak yakin apa yang terjadi, tetapi dia tampaknya sangat obsesif tentang wanita itu. Dia tidak bisa membantu dirinya sendiri, tetapi selalu berkomunikasi dengan wanita itu setiap hari. Jujur saja, aku tidak bisa menahan untuk cemburu. Aku juga mengetahui fakta, bahwa gadis itu masih sangat muda dan hampir setengah usianya.Segalanya seakan menjadi tidak sehat. Kami mulai bertengkar, memutuskan kontak, dan berdamai berkali-kali. Namun saat kami berdamai, tidak ada koreksi dalam perilakunya. Ini akan menjadi lebih buruk dari sini.Dia akan memanggilku keluar, marah, dan kesal. Pada satu titik, dia berkata bahwa akan bunuh diri jika aku tidak berhenti mengomel padanya tentang situasi mantannya. Aku tidak menyadari bahwa itu adalah pemerasan emosional. Dia menjadi kritikus terburuk sekarang, berseru bahwa aku tidak bisa menangani harapanku sendiri, sementara dialah yang terus-menerus memberi perhatian.Dia juga mengata
Malam sudah memasuki musim panas yang terik di Pekanbaru, aku duduk sendirian di sebuah bar dengan gaun paling menakjubkan yang pernah aku pikirkan. Sulit untuk tidak merasa seperti gadis bingung, yang berjalan dengan mata dingin dan tanpa sepatu tinggi sebagai penghias kaki.Saat ini aku seolah memiliki banyak harapan. Terikat untuk ingin, namun ada jarak yang sangat jauh, bukan hanya terpisah waktu dan ruang, tapi ini hanyalah sebuah perasaan, kepastian, dan bukan soal laki-laki ataupun kekasih pujaan hati.Alih-alih mempertahankan hubungan rumah tangga untuk maju, tapi ternyata tak satupun dari orangtua ku yang memutuskan untuk apa mereka berjalan selama ini.Aku sudah semakin jauh 18 Jam perjalanan dari mereka, untuk tak melihat mereka yang entah bagaimana kabarnya sekarang ini, meskipun itu semua akan tetap sama saja. Namun entahlah, aku sudah terlanjur berkorban waktu dan tenaga, untuk mempersatukan agar mereka tetap bersama. Namun hasilnya tetap sama, yaitu
Aku menyukai pria dengan suara berat, dan dia salah satunya.Aku bisa melihatnya dengan jelas sekarang. Tanpa ragu, dia adalah pria dengan tipeku. Aku membayangkan seorang pria dengan rahang halus, janggut, dan kacamata yang rapi.Tapi ironisnya, aku belum pernah bertemu atau berkencan dengan pria dalam tipe seperti itu. Mereka selalu diluar ekspektasi. Namun, tidak ingin membuat penilaian berdasarkan penampilan. Aku juga membuat keputusan berdasarkan bagaimana mereka membuatku merasa seperti aku.Jadi, orang baik di depanku ini mungkin memiliki persen terbesar kesempatan untuk membawaku tidur malam ini. Belum 100%, karena pada saat ini, tak ada yang harus dilakukan sebelum sembuh. Menurutku.Pria itu memperkenalkan dirinya. “Namaku Fujaferdian dan kau?” dia meraih tanganku. Padahal aku berharap dia memiliki nama Italia atau Latin, tetapi salah. Nama itu terdengar sangat dekat saat aku menyaksikan pertandingan sepak bola senior Indonesia, te