Malam sudah memasuki musim panas yang terik di Pekanbaru, aku duduk sendirian di sebuah bar dengan gaun paling menakjubkan yang pernah aku pikirkan. Sulit untuk tidak merasa seperti gadis bingung, yang berjalan dengan mata dingin dan tanpa sepatu tinggi sebagai penghias kaki.
Saat ini aku seolah memiliki banyak harapan. Terikat untuk ingin, namun ada jarak yang sangat jauh, bukan hanya terpisah waktu dan ruang, tapi ini hanyalah sebuah perasaan, kepastian, dan bukan soal laki-laki ataupun kekasih pujaan hati.
Alih-alih mempertahankan hubungan rumah tangga untuk maju, tapi ternyata tak satupun dari orangtua ku yang memutuskan untuk apa mereka berjalan selama ini.
Aku sudah semakin jauh 18 Jam perjalanan dari mereka, untuk tak melihat mereka yang entah bagaimana kabarnya sekarang ini, meskipun itu semua akan tetap sama saja. Namun entahlah, aku sudah terlanjur berkorban waktu dan tenaga, untuk mempersatukan agar mereka tetap bersama. Namun hasilnya tetap sama, yaitu sia-sia.
Setelah beberapa jam masih sama saja, aku memutuskan untuk kembali merias wajah dan berdandan, membuat diri merasa sedikit lebih baik, dan bersembunyi dibalik makeup setengah mahal ku.
Aku melihat seseorang yang mungkin berusia 29 atau 30 lebih, ia tercengang melihatku, entah karena wajah, ataupun pakaian yang menggoda. Tali spaghetti putih dengan garis pinggang berpelukan – melengkung yang jatuh tepat di atas lutut ku. Itu sangat jelas meninggalkan celah memperlihatkan kaki – betis hingga sedikit paha.
“Mencari pacar baru? mungkin pacar yang bukan berdarah Indonesia?” Lelaki itu berkomentar. Dia seharusnya tidak peduli dengan kehidupanku, tapi aku perhatikan dia memperhatikanku. Aku tersenyum dan minta diri sebelum dia menawarkan dirinya untuk menjadi teman kencan. Dalam benak, aku tidak akan menarik siapa pun – bukan Indonesia, dan tidak siapa pun dari kebangsaan atau ras tertentu. Aku tahu itu tidak akan terjadi karena sangat merasa pahit, meskipun penampilan luarnya saja.
Masih di bar, aku terus berpikir tentang bagaimana jika sambil menghabiskan banyak gelas anggur. Rasanya seperti tidak akan pernah cukup untuk mengisi kekosongan hati. Setelah 5 gelas blanc, bartender memberikanku segelas leci martini.
"Aku tidak memesannya." Aku bilang pada bartender itu.
"Ini dari pria di sana." Pelayan itu menunjuk ke seorang pria berambut gelap yang dipoles, lelaki itu. Sepertinya tadi aku sangat mabuk, kini aku tahu, dia hampir tampak seperti orang Turki atau mungkin Rusia. Dia tinggi, bisa mencapai 190 sentimeter, dan dia berbadan besar. Dia adalah pria besar yang sangat menarik di awal bulan Juni.
Aku tahu beberapa gadis mungkin mempertimbangkan untuk berkencan dengan pria yang tubuhnya bugar dan berotot, tapi menurutku pria yang lebih gemuk lebih menarik. Aku tahu dia memperhatikan bagaimana caranya berpakaian. Kemeja berkancing biru tua, celana capri putih selutut, dan sepasang sepatu Adidas terbaru berwarna biru putih halus.
Pria itu sedang berbicara dengan sekelompok temannya, campuran pria dan wanita. Aku menatapnya, dan dia memperhatikanku. Dia mengangkat gelasnya dan aku mengangkat gelas ku.
"Terima kasih." Aku berkata dengan lembut. Dia mengangguk dengan senyum.
Aku baru saja menyesap pertama kali, dan terkejut dengan rasa minuman keras seperti permen karet. Itu mungkin koktail termahal yang pernah aku rasakan. Tidak butuh waktu lama bagi pria yang mengirimkan minuman ini, ia sudah datang untuk mendekati, dan duduk di sebelahku sampai gelas setengah jalan.
"Aku harap kau punya waktu untuk mengobrol. Aku tidak akan membiarkanmu menghabiskan minuman itu sendirian.”
Aku menyukai pria dengan suara berat, dan dia salah satunya.Aku bisa melihatnya dengan jelas sekarang. Tanpa ragu, dia adalah pria dengan tipeku. Aku membayangkan seorang pria dengan rahang halus, janggut, dan kacamata yang rapi.Tapi ironisnya, aku belum pernah bertemu atau berkencan dengan pria dalam tipe seperti itu. Mereka selalu diluar ekspektasi. Namun, tidak ingin membuat penilaian berdasarkan penampilan. Aku juga membuat keputusan berdasarkan bagaimana mereka membuatku merasa seperti aku.Jadi, orang baik di depanku ini mungkin memiliki persen terbesar kesempatan untuk membawaku tidur malam ini. Belum 100%, karena pada saat ini, tak ada yang harus dilakukan sebelum sembuh. Menurutku.Pria itu memperkenalkan dirinya. “Namaku Fujaferdian dan kau?” dia meraih tanganku. Padahal aku berharap dia memiliki nama Italia atau Latin, tetapi salah. Nama itu terdengar sangat dekat saat aku menyaksikan pertandingan sepak bola senior Indonesia, te
Aku terbangun dengan kepala berat dan nyeri di beberapa bagian tubuh. Sudah lama tidak berhubungan seks dan itu membuatku merasa sedikit lepas kendali. Sangat buruk mengetahui keberadaan ku di Pekanbaru untuk kuliah dan bekerja, namun terlalu bersenang-senang.Aku terbangun melihat Fe setengah telanjang, berbicara dengan seseorang di telepon dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Entahlah, aku merasa sangat ketakutan dan mencari pakaianku, ah mereka semua masih berserakan dilantai.Fe menemukanku yang sudah mengenakan pakaian dalam."Pagi sayangku." Dia menyapaku dengan tatapan terkejut, menyembunyikan kekecewaannya. "Sepertinya seseorang sedang terburu-buru.""Pagi." Kataku, hampir bernapas. Aku tidak tahu apa yang akan ku katakan, karena ketangkap basah mencoba meninggalkan apartemennya. "Aku menyesal. Aku benar-benar harus pergi sekarang."Aku pikir dia akan menjadi gila dan mencegah ku untuk pergi. Namun sebaliknya
Matanya mengarah pada setiap kerumunan penonton sekali atau dua kali, beberapa juga bertanya setelah ia menjawab pertanyaan sebelumnya, dan menjelaskan teorinya secara hebat. Aku berharap dia tidak melihatku kali ini, walau sebenarnya aku ingin. Tapi terlambat. Dia menemukanku lagi dalam kerumunan manusia, aku terdiam tak tahu harus senyum atau melambaikan tangan.Dia mengunciku pada pandangannya selama beberapa detik sebelum kembali mengalihkan perhatiannya, dan melanjutkan sesi tanya jawabnya. Aku tidak tahu apa-apa darinya, mungkin karena dia terlihat sangat profesional dan santai. Dia tetap menjadi dirinya yang terbaik di atas panggung itu.Pembicaraan itu berlangsung sekitar satu jam lebih. Aku sedang mempersiapkan diri untuk pergi, tapi ketika atasan yang memintaku untuk menulis artikel disini menangkapku."Hei mau kemana? Mari duduk. Orang besar punya banyak hal untuk dikatakan."Orang besar? Tentu saja, aku merengek. Kami menghampiri para panelis yang
"Kau tahu. Tidak ada yang pernah menutupi identitasnya dariku, seperti yang kau lakukan."Ferdian menelepon pada hari berikutnya, saat hanya berjalan-jalan sendirian setelah menyelesaikan loka karya terakhirku. Meskipun tidak mengatakan bahwa ingin dia meneleponku, tapi aku mengharapkan panggilannya."Aku menyesal. Maaf?""Aku menuju Jiggy Bar and Club sekitar jam 9 malam, ku harap ada Melati di sana.""Baiklah. Lagipula aku tidak punya agenda malam ini.""Sempurna. Kenakan sesuatu yang bagus karena ini kencan.” Aku tahu bahwa dia tersenyum di telepon, begitu juga aku.Jiggy Bar and Club adalah salah satu club dan restoran mahal yang bahkan tidak berani untukku masuki. Sungguh mengharukan bahwa Fe membawa ku keluar di tempat yang begitu indah dengan pemandangan teluk, pohon palem, dan perahu mahal di sekitarnya.Fe mengenakan kemeja polo ungu tua yang pas di tubuhnya, celana putih selutut, dan sepasang sepatu kulit berwarna coklat. Dia tahu
"Ya, jika kau punya pacar, aku tidak akan bersamamu hari ini, menikmati romansa malam."Aku tersenyum. “Kau cukup mempesona, bukan."Dia menyesap gin dan toniknya sebelum dia kembali memikatku lagi. “Aku bertanya-tanya, bagaimana gadis sepertimu bisa dicampakkan. Dia pasti bodoh. Apa alasannya?""Baik. Ada alasan yang sah untuk itu.” Aku merebahkan punggung di atas bantal sofa, bersikap seolah-olah aku sedang berpikir keras. “Aku terlalu mandiri karena sering bekerja. Tetapi aku bisa menjadi terlalu melekat dan membutuhkan ketika aku membutuhkan perhatiannya. Kami juga berasal dari budaya yang berbeda … apalagi? oh mungkin itu akan membantu jika aku 10 kilogram lebih ringan dan memiliki kulit seperti cahaya Korea. Aku terlalu berlebihan atau tidak cukup untuknya."Aku terkejut dengan kemampuan untuk mengekspos sisi rentanku dengan wajah lurus. Berbicara tentang kegagalan yang telah membuatku mati rasa. Atau mungkin leci martini yang sangat lezat yang ku nikma
Habis waktunya, Fe telah meninggalkan ku. Tidak, tapi Indonesia menuju tanah kelahirannya, setelah makan siang aku kembali ke kamar hotel tempat kami menginap selama di Lombok, aku dan Widi berkemas, karena akan menyambung perjalanan kami.Aku bertanya-tanya apakah bisa melihat Fe lagi. Rasanya sangat memilukan tetapi berusaha untuk tidak berharap terlalu banyak – dan aku tahu, bahwa harapanku adalah kelemahan terbesarku.Itu tidak mudah karena Fe terus mengirim pesan dan menelepon setiap ia ada waktu, bertindak selayaknya dia adalah pacarku yang sesungguhnya, dan tak ada lagi hubungan tanpa status. Dia juga tidak akan pernah membiarkan ku keluar dari komunikasi. Aku pikir, perlu memberi sedikit diri kesempatan untuk merasakan romansa lagi, jadi aku membiarkannya dan menikmatinya.Keesokan paginya, Fe milikku menelepon, bertanya kapan akan tiba di bandara nya. Ya milikku, aku mulai menyukai semua itu. Hari yang luar biasa dan aku tidak sabar untuk mengunjungi Eropa
"Siapa dia?" Aku memprovokasi Ian kembali."Pria Italia yang bersamamu di sebuah kafe." Ia memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh. "Si brengsek itu mungkin mengira aku tidak peduli. Tapi aku ingin memastikan bahwa lelaki itu tahu, aku terganggu olehnya.""Tidak ada pria Italia." Jawabku, karena Fe bukan pria Italia dan dia tidak brengsek seperti yang ia katakan.Dia menjawab dengan lemah lembut. "Ah, sudahlah, aku mengira kau…""Dia orang Azerbaijan," aku memperjelas dan seolah memberitahu nya kebenaran tentangku yang ia curigai. "Tapi dengan siapa pun aku menghabiskan waktu, bukan lagi urusanmu kan? Semoga hidupmu menyenangkan." Aku menutup panggilan dan segera memblokir nomor telepon darinya."Wow, kau punya berapa pacar?" Widi mulai menggoda ku."Itu mantan. Terima kasih untuk kopinya." Aku bilang.Panggilan untuk penerbangan kami telah diumumkan. Aku maupun Widi melihat ke layar ponsel masing-masing, memastikan tidak ada pesan a
Ada sekitar 150 langkah kaki, antara Trans Metro Pekanbaru dan juga rumah. Tapi hari ini mungkin lebih, aku sedikit malas dan tidak terlalu terburu-buru. Aku juga salah memilih sepatu, memakai sepatu dengan heels yang cukup tinggi. Aku lupa membawa sendal jepit yang aku beli 2 hari lalu di toko amal, padahal cantik dan tidak terkesan murahan. Tentu saja, ia memiliki kupu-kupu di jari kaki, tetapi tidak pernah benar-benar mencengkeram tumit di bagian belakang. Percayalah, itu seharga 35 ribu.Tinggal beberapa kilometer lagi. Di berbelok selanjutnya dan pemberhentian Trans yang kesekian. Itu jalan menuju tempat ku, Jalan Pasir putih sebelah kiri. Aku melihat 12 anak tangga - itu sudah beberapa kali aku hitung - seperti rumah dengan empat kamar tidur. Ya, rasanya seperti rumahku, dulu. Mobil ayah yang selalu diluar jika belum berangkat kerja.Di belakangku, matahari terbenam di balik stortfold, sebut saja begitu walau itu bukan pasar tua yang ada di Inggris. Bayang gelap me