Kepala Bagian terus mengetuk-ngetuk bolpoin di meja. Dia juga beberapa kali mengelap keringat yang meluncur di dahi. Sapu tangannya sampai basah kuyup. Sementara itu, tatapan perwakilan PT Pharmaceutical Aeropolis semakin mengintimidasi, seperti memberi isyarat bahwa kerja sama akan batal jika staf yang mengerjakan dokumen proyek itu tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik.
Tepat setelah 5 menit menunggu, pintu ruang rapat tiba-tiba dibuka. Joe datang bersama Eka, Surtini, dan Okan. Mereka membungkukkan badan sedikit dan memberi salam.
Perwakilan PT Pharmaceutical Aeropolis seperti hendak berbicara. Namun, Kepala Bagian yang tidak peka malah mencerocos duluan.
"Kalian ini benar-benar keterlaluan! Saya, kan, hanya minta untuk periksa salah ketik, kenapa malah menambahkan hal tidak perlu? Cepat tunjukkan dokumen sebelumnya yang belum kalian ubah-ubah seenaknya!"
Kepala Bagian mendecakkan lidah.
"Apa kalian tidak tahu betapa pentingnya 
Anak haram itu membuatmu kesal lagi, Sayang?" tebak Saga begitu Jihan datang ke rumahnya dengan wajah masam."Memangnya siapa lagi yang bisa membuatku kesal?" ketus Jihan.Dia mengempaskan tubuh di sofa. Saga mengambil kesempatan untuk menarik sang kekasih ke dalam dekapan. Satu kecupan singkatnya juga sempat mendarat di kening Jihan."Kau tau, Saga? Lagaknya itu makin menjadi-jadi! Dulu, dia mengancam hubungan putriku dengan pewaris Keluarga Pratama. Sekarang, malah lebih berbahaya," cerocos Jihan hampir tanpa jeda.Saga mencubit pelan ujung hidung Jihan, lalu menyeletuk, "Ayolah, dia hanya anak yang tidak punya legalitas di Keluarga Hartono. Kenapa kau begitu mencemaskannya? Andre jelas memiliki kesempatan lebih besar."Jihan mendengkus kasar. Wajah cantiknya berubah bengis. Sorot penuh kebencian yang memancar dari sepasang mata indah meremangkan bulu kuduk. Namun, bagi Saga justru terasa sangat menggemaskan. Terkadang, cinta memang segila
Surtini menghela napas berat. Jemarinya menekan keyboard dengan malas. Dia merasa bosan karena Eka sengaja datang terlambat. Hari ini akan menjadi puncak dari rencana si tuan muda. Parasit-parasit yang menggerogoti perusahaan akan disingkirkan dengan manis.Rasa bosan menimbulkan kantuk. Surtini memutuskan untuk menyeduh kopi di pantry, lalu kembali ke kubikelnya untuk melanjutkan menggarap laporan evaluasi bulanan. Baru saja membuka salah satufile, suara dari kubikel 3 dan 4 mengusik telinganya.“Ini lho, Nin, artis idolaku yang baru. Ganteng banget, ‘kan?” celetuk si gadis kubikel 4, sohib kentalnya Nina.Surtini sesekali melirik dan menajamkan pendengaran. Sementara itu, jemarinya bergerak lincah di keyboard, memasukkan angka-angka di kolom jumlah produk terbaru yang berhasil terjual bulan lalu. Nina tampak menahan tawa dan tersenyum angkuh.“Ini enggak ada apa-apanya tau dibandingkan tu
Suasana terasa mencekik. Detak jam di dinding terdengar seperti penghitung mundur di bom waktu. Gilang mengepalkan tangan dengan kuat. Bambang menyeringai sembari menatap lekat wajah sang cucu. Sementara Eka tetap menunjukkan raut wajah tenang dan profesional."Bagaimana Eka? Sanggup menerima tugas?" tantang Bambang lagi.Gilang menggeleng pelan, seolah mengirim isyarat kepada putranya agar menolak. Namun, Eka tiba-tiba menyunggingkan seulas senyuman. Raut wajahnya memang tampak penuh hormat, tetapi pengusaha kawakan sekelas Bambang bisa mendeteksi keangkuhan di sorot mata sang cucu."Tentu saja, saya akan menerimanya, Pak," sahut Eka pada akhirnya.Bambang tersenyum puas. Namun, Gilang tentu tidak terima. Wajahnya berubah pucat. Dia tanpa sadar mengguncang-guncangkan tubuh Eka."Eka, tunggu dulu! Kamu jangan mengambil keputusan terburu-buru! Pikirkan dengan kepala dingin!" cecarnya dengan mata melotot.Eka menyeringai. Gilang menelan ludah.
“Kudengar banyak yang ikutan kasih-kasih saran di aplikasi itu? Kamu ikutan juga?""Big No. Apaan dah, sistem barulah, terobosan milineal? Ha ha ha cuman pembodohan publik itu.""Maksudnya?""Kau pikir sendirilah, kondisi perusahaan ini, tinggal menghitung waktu mundur buat kolaps. CEO lama yang sudah pengalaman saja tak sanggup, apalagi pimpinan baru bau kencur.""Hushh sembarangan kamu! Bukannya Pak Eka itu sudah berhasil memenangkan 8 proyek?”"Selain proyek sama PT. pharmaceutical Aeropolis, semuanya proyek kecil.""Iya juga, sih.""Makanya tak usahlah sok-sokan berpartisipasi, buang-buang tenaga saja, mending kerjakan job desk sambil cari-cari peluang diterima di perusahaan lain, jaga-jaga kalo perusahaan kolaps.""Iya deh. Ada benarnya juga apa katamu itu."Rekaman suara dimatikan. Surtini menggeram. Tangannya terkepa
Kehebohan melanda di PT. Kimia Berjaya. Kabar kedatangan CEO perusahaan besar untuk melakukan kesepakatan telah tersebar. Hal itu pun menjadi gosip terpanas. Bisik-bisik terjadi hampir di setiap sudut."Gila, beneran ternyata, Pak Saga dari PT. Bintang Kejora! Kok bisa, ya?""Mungkin Pak Bambang bantu cucunya.""Enggak deh, kalo menurutku emang Pak Eka itu menarik perhatian."Saga diam-diam tersenyum. Telinganya memiliki kemampuan pendengaran di atas rata-rata. Dia bisa mendengar obrolan karyawan PT. Kimia Berjaya dan menikmati saat-saat menjadi pusat perhatian.Arya, adiknya yang menjabat wakil presiden direktur menghela napas melihat tingkah sang kakak. Entah kenapa dia merasa Saga akan bertindak di luar kendali. Namun, Arya tak bisa berbuat banyak, hanya bisa mengekori Saga yang melangkah dengan elegan menuju ruang rapat direksi.Akhirnya, mereka telah tiba di ruang rapat. Surtini menyambut ramah dan mempersilakan masuk. Sementara Eka yan
Seminggu telah berlalu sejak pertemuan pertama dengan pihak PT. Bintang Kejora. Saga dan Arya kembali datang untuk penetapan keputusan, apakah kesepakatan berlanjut atau tidak. Sesuai perkiraan Eka, proyek itu tidak disetujui. Saga berkeras dengan permintaannya di awal yang jelas-jelas sangat beresiko.Arya duduk dengan gelisah. Wajahnya tampak masam. Dia terlihat jelas tidak setuju dengan keputusan sang kakak."Jadi, Pak Saga tetap tidak mau mengubah permintaan di awal seperti solusi yang saya berikan?""Tidak. Saya tetap ingin seperti yang awal," tegas Saga."Kalau begitu, dengan berat hati kami akan melepas kesempatan kali ini karena saya tidak bisa mengambil resiko terlalu besar," sahut Eka dengan nada suara dibuat sesendu mungkin."Kenapa tidak dicoba dulu?""Maaf, Pak. Jika kalkulasi saya menunjukkan lebih banyak kerugian, saya tidak akan mengambil resiko yang bisa membuat perusahaan bangkrut." Eka tetap berkeras juga dengan pendapatny
Setelah kegagalan menjalin kerjasama dengan PT. Bintang Kejora, Eka memperkirakan akan terjadi penurunan kepercayaan karyawan kepadanya. Benar saja, hampir setiap hari masalah tersebut menjadi topik perbincangan di setiap divisi. Orang-orang yang sedari awal sudah pesimis semakin mengompori rekan mereka.Hal itu menyebabkan pemberdayaan sistem baru menjadi stagnan dan semangat kerja menurun. Hanya staf-staf militan yang masih bertahan. Surtini hampir mengeluh setiap hari akibat tak tahan dengan pergunjingan terhadap "nona" kesayangannya."Apa pertemuan online terbuka ini akan berpengaruh, Non?" tanya Surtini.Surtini menghela napas. Dia tak terlalu yakin langkah Eka kali ini akan memperbaiki keadaan. Eka mengadakan pertemuan terbuka secara online. Seluruh karyawan diwajibkan mengikuti. Bukan tanpa alasan Surtini meragukan. Sebelum masuk ke ruangan Eka, dia sempat mendengarkan ucapan-ucapan tak sedap tentang pertemuan itu.Ada yang mengat
Sepulang kerja, Eka langsung mengajak Surtini dan Okan pergi makan malam. Awalnya, dia mengusulkan restoran atau kafe favoritnya. Namun, Okan merekomendasikan warung kecil sekitar 100 meter dari perusahaan.Mereka pun pergi ke sana. Pilihan Okan tidak buruk. Meskipun tampak kecil dan sederhana, warung itu sangat bersih dengan pelayanan sigap dan ramah. Pelanggan tak ada yang menunggu lama setelah memesan.Okan dan Surtini memesan ayam geprek dan teh tarik yang merupakan menu andalan warung. Sementara Eka tak suka pedas, sehingga memilih nila asam manis dan jus alpukat. Pesanan mereka datang tak lama kemudian. Aroma ayam geprek dan nila asam manis membuat lambung mulai meronta."CEO kita emang low profile, ya, Sur," celetuk Okan sambil mengaduk tehnya.Eka terkekeh. "Pendiri perusahaan malah lebih low profile, Mas," sahutnya, lalu menyedot jus alpukat."Ya, ya, ya. Saya pernah dengar katanya beliau dulu suka makan-makan santa
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan
"Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas Rehan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima perasaanmu," tutur Surtini dengan perasaan tak enak hati. Dia tak menyangka perkataan Amira beberapa waktu lalu terbukti kebenarannya. Ternyata, Rehan memang memendam rasa bahkan sejak mereka masih remaja. Menolak cinta pemuda baik tentu menyisakan rasa bersalah dan kecanggungan yang sungguh mencekik. Namun, Surtini juga tidak akan pernah coba-coba dengan perasaan orang lain. Dia tidak mau menerima Rehan dengan masih menyimpan Eka di hati. Hal seperti itu sangat kejam dan tidak adil. Pemuda dengan kualitas sekelas Rehan tak seharusnya menjadi pelarian.Sorot mata Rehan jelas memancarkan kekecewaan, tetapi pemuda itu berusaha tersenyum tegar. "Baiklah, Mas mengerti.”Meskipun menjawab seperti itu, harapan Rehan belum pupus. Dia berpikir Surtini hanya masih terluka. Jika suatu saat gadis itu sudah move on, pasti akan membuka hatinya lagi untuk cinta yang baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Sylvia telah benar-benar masuk ke tim proyek terbaru. Perlahan, dia menjalin keakraban dengan Eka. Taktik yang digunakannya adalah tampil sebagai wanita cerdas dan kreatif. Sylvia berusaha menunjukkan dirinya sudah berubah, tidak akan ada lagi anak manja sombong.Sayangnya, semua itu palsu. Ide-ide brilian yang sering diajukan dan mendapat pujian dari Eka tidak orisinil. Secara rutin, Sylvia berkomunikasi dengan asisten kakeknya yang juga dikenal sebagai jenius.Seperti hari ini, Sylvia kembali datang ke kantor Eka. Dia membawa beberapa dokumen. Surtini sempat melirik sinis, tetapi cepat berpura-pura mengerjakan laporan ketika Eka memberi peringatan lewat isyarat mata."Kalo begini bagaimana, Ka?" tanya Sylvia saat sudah duduk di hadapan Eka. Dia menunjukkan lembar kedua dari dokumen yang dibawanya.Eka membaca isi dokumen. Mata elangnya menelaah setiap baris kalimat. Beberapa kali, dia mengelus dagu. Sylvia mencuri kesempatan untuk memandangi wajah tampan i
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal