Gilang menatap sang ayah dengan sorot mata tak percaya. Dia sudah sangat yakin jika Eka cukup kompeten. Putranya itu memiliki kapasitas berpikir di atas rata-rata, sehingga akan sangat membantu. Gilang juga berharap mereka bisa menjadi lebih dekat karena sering bersama.
Sementara itu, para direktur lain saling berbisik. Mereka menyayangkan pola pikir Gilang, terlalu pendek. Seharusnya, seorang direktur utama bisa mempertimbangkan pendapat para karyawan jika wakilnya masih berusia 22 tahun tanpa pembuktian. Secerdas dan sehebat apa pun Eka, guncangan pasti terjadi dan dapat menyebabkan ketidakstabilan. Mereka saja belum berani mengusulkan nama.
“Apakah ada alasannya kenapa usulan saya ditolak, Pak?” tanya Gilang mencoba tetap santun.
“Tentu saja karena usulan itu terkesan terburu-buru dan tidak memikirkan dampaknya ke depan. Eka masih terlalu muda untuk menjabat sebagai wakil direktur utama,” sahut Bambang.
Dia mendesah berat, menga
Mau berapa kali fotokopi, sih? Kalo ngasih tugas itu harusnya yang jelas! Lah tadi disuruh fotokopi 20 eksemplar, kenapa tiba-tiba nambah jadi 50 eksemplar!"Surtini terus menggerutu di ruang fotokopi. Untunglah, suara mesin yang berdesing menyamarkan suara ketusnya. Kalau tidak, dia bisa saja terkena Omelan lagi dari karyawan senior Julid, terutama Joe dan Nina.Seperti dugaan Eka, tatapan sinis beberapa karyawan senior sok saat mereka pertama kali tiba ternyata berlanjut dengan perundungan. Pekerjaan yang seharusnya menyenangkan karena sesuai dengan passion menjadi menyebalkan. Rencana-rencana pengembangan metode pemasaran seolah-olah tinggal kenangan.Mereka bahkan tak dibiarkan duduk barang sebentar. Ada-ada saja perintah tak masuk akal yang ditugaskan oleh para senior julid itu. Seperti sekarang, Eka dan Surtini diminta Nina untuk menyalin dokumen dengan mesin fotokopi, tetapi harus bolak-balik ke ruang fotokopi karena selalu salah jumlah yang dimi
Sebulan telah berlalu. Eka masih di-bully. Namun, dia tetap tenang dan menurut saja seperti benar-benar karyawan baru yang polos. Surtinilah yang hampir habis kesabaran dan tak tahan hendak bertindak anarkis. Kadang, Okan bisa membantu. Namun, entah kenapa lelaki bersahaja itu selalu diserahi tugas keluar oleh kepala bagian."Firasat Surti kok enggak enak, ya, Non? Kayak bakal ada hal buruk gitu," celetuk Surtini saat mereka tengah makan siang di kantin perusahaan.Eka berhenti menyuap nasi liwetnya, lalu menyahut, "Tidak usah cemas, mungkin hanya perasaanmu saja."Dia menyengir lebar. Surtini mengerucutkan bibirnya. Gadis itu terus mencerocos mencemaskan Eka dan meminta si tuan muda agar lebih berhati-hati."Iya, iya, aku pasti hati-hati," tutur Eka mencoba menenangkan.Eka memang seperti tidak percaya ucapan Surtini. Namun, sebenarnya, dia tahu firasat gadis itu benar. Seharian ini Eka melihat Joe tersenyum licik saat diam-di
“Joe itu benar-benar keterlaluan! Kepala Bagian juga sama saja jahatnya! Apa dihajar aja besok pas pulang kantor, Non!” cerocos Surtini sambil menyingsingkan lengan baju.Hidung mungil tampak kembang-kempis meningkahi gerakan bibirnya yang mencong kiri-kanan. Eka dan Okan tak kuasa menahan tawa. Sebenarnya, mereka juga kesal dengan perundungan ala Joe dan si Kepala Bagian, tetapi ekspresi Surtini terlalu lawak untuk dilewatkan.“Ish! Malah diketawain! Non sama Mas Okan jahat!” gerutu Surtini. Bibirnya sudah maju beberapa senti.“Habisnya kamu lucu, sih,” goda Eka sembari mengedipkan sebelah mata.Surtini mencubit gemas lengan Eka. Dia terus mengomel. Namun, Eka malah semakin semangat meledek. Okan mengelus dada. Lelaki paruh baya itu masih belum terbiasa dengan dua sisi Eka yang berlawanan, saat di kantor dikenal sebagai pemuda cupu, polos, dan teraniaya, sementara di luar berubah menjadi sosok cerdas, iseng, sekaligus
"Kok, aku ada firasat buruk, nih," celetuk Surtini sembari merapikan mejanya.Jam pulang kantor tinggal 5 menit lagi. Laporan yang harus digarapnya juga sudah selesai. Dia memanfaatkan waktu tersisa untuk beres-beres.Beda lagi dengan Eka. Pemuda itu asyik menyusun dokumen sembari menggumam pelan, seperti bersenandung. Wajahnya tampak semringah. Sesekali senyum licik tersungging di bibir. Dia tentu bukan sedang merapikan tugas, tetapi menata bukti-bukti kecurangan atasan maupun staf-staf bermasalah.Baru saja, Surtini memasukkan dompet ke tas sebagai langkah terakhir, Okan datang dengan tergopoh-gopoh. Firasat buruknya semakin menguat saat melihat pria yang sudah dianggap kakak sendiri itu memucat. Okan mengatur napas sejenak sambil mengelap keringat yang terus meluncur di dahi."Nono, Wati, kita dipanggil kepala bagian lagi," ungkap dengan sorot mata putus asa."Oh, oke, Mas. Ayo kita ke sana," sahut Eka ringan.Surtini menatap protes. Namu
"Nono, Wati? Siapa Eka dan Surti? Rasanya di KTP kalian hanya tertulis Nono Saptono dan Kusumawati.""Itu nama panggilan pas kecil, Mas!" seru Surtini dengan cepat.Namun, ternyata Eka berpikiran lain. Dia menepuk bahu Surtini dan menggeleng pelan. Sebuah isyarat agar mereka mengatakan yang sebenarnya.Ketulusan Okan sudah terbukti. Track record senior baik hati itu juga sangat bersih. Menurut Eka, lebih baik dia diberitahu lebih dulu agar tidak terlalu kaget dan merasa dikhianati."Jadi, nama panggilan pas kecil?" tanya Okan lagi."Bukan, Mas. Tapi, kami sebenarnya mata-mata Pak Bambang,” celetuk Eka."Hah?!"Okan dan Surtini kompak terkesiap. Eka menyentil kening Surtini dengan gemas."Kenapa kamu ikutan kaget, Sur?""Gimana enggak kaget. Non Eka bilang kita mata-mata. Sejak kapan kita jadi mata-mata? Bukannya Pak Bambang naruh Non di PT Kimia Berjaya buat ujian penerus?" cerocos Surtini.Ok
Kepala Bagian terus mengetuk-ngetuk bolpoin di meja. Dia juga beberapa kali mengelap keringat yang meluncur di dahi. Sapu tangannya sampai basah kuyup. Sementara itu, tatapan perwakilan PT Pharmaceutical Aeropolis semakin mengintimidasi, seperti memberi isyarat bahwa kerja sama akan batal jika staf yang mengerjakan dokumen proyek itu tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik.Tepat setelah 5 menit menunggu, pintu ruang rapat tiba-tiba dibuka. Joe datang bersama Eka, Surtini, dan Okan. Mereka membungkukkan badan sedikit dan memberi salam.Perwakilan PT Pharmaceutical Aeropolis seperti hendak berbicara. Namun, Kepala Bagian yang tidak peka malah mencerocos duluan."Kalian ini benar-benar keterlaluan! Saya, kan, hanya minta untuk periksa salah ketik, kenapa malah menambahkan hal tidak perlu? Cepat tunjukkan dokumen sebelumnya yang belum kalian ubah-ubah seenaknya!"Kepala Bagian mendecakkan lidah."Apa kalian tidak tahu betapa pentingnya 
Anak haram itu membuatmu kesal lagi, Sayang?" tebak Saga begitu Jihan datang ke rumahnya dengan wajah masam."Memangnya siapa lagi yang bisa membuatku kesal?" ketus Jihan.Dia mengempaskan tubuh di sofa. Saga mengambil kesempatan untuk menarik sang kekasih ke dalam dekapan. Satu kecupan singkatnya juga sempat mendarat di kening Jihan."Kau tau, Saga? Lagaknya itu makin menjadi-jadi! Dulu, dia mengancam hubungan putriku dengan pewaris Keluarga Pratama. Sekarang, malah lebih berbahaya," cerocos Jihan hampir tanpa jeda.Saga mencubit pelan ujung hidung Jihan, lalu menyeletuk, "Ayolah, dia hanya anak yang tidak punya legalitas di Keluarga Hartono. Kenapa kau begitu mencemaskannya? Andre jelas memiliki kesempatan lebih besar."Jihan mendengkus kasar. Wajah cantiknya berubah bengis. Sorot penuh kebencian yang memancar dari sepasang mata indah meremangkan bulu kuduk. Namun, bagi Saga justru terasa sangat menggemaskan. Terkadang, cinta memang segila
Surtini menghela napas berat. Jemarinya menekan keyboard dengan malas. Dia merasa bosan karena Eka sengaja datang terlambat. Hari ini akan menjadi puncak dari rencana si tuan muda. Parasit-parasit yang menggerogoti perusahaan akan disingkirkan dengan manis.Rasa bosan menimbulkan kantuk. Surtini memutuskan untuk menyeduh kopi di pantry, lalu kembali ke kubikelnya untuk melanjutkan menggarap laporan evaluasi bulanan. Baru saja membuka salah satufile, suara dari kubikel 3 dan 4 mengusik telinganya.“Ini lho, Nin, artis idolaku yang baru. Ganteng banget, ‘kan?” celetuk si gadis kubikel 4, sohib kentalnya Nina.Surtini sesekali melirik dan menajamkan pendengaran. Sementara itu, jemarinya bergerak lincah di keyboard, memasukkan angka-angka di kolom jumlah produk terbaru yang berhasil terjual bulan lalu. Nina tampak menahan tawa dan tersenyum angkuh.“Ini enggak ada apa-apanya tau dibandingkan tu
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan
"Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas Rehan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima perasaanmu," tutur Surtini dengan perasaan tak enak hati. Dia tak menyangka perkataan Amira beberapa waktu lalu terbukti kebenarannya. Ternyata, Rehan memang memendam rasa bahkan sejak mereka masih remaja. Menolak cinta pemuda baik tentu menyisakan rasa bersalah dan kecanggungan yang sungguh mencekik. Namun, Surtini juga tidak akan pernah coba-coba dengan perasaan orang lain. Dia tidak mau menerima Rehan dengan masih menyimpan Eka di hati. Hal seperti itu sangat kejam dan tidak adil. Pemuda dengan kualitas sekelas Rehan tak seharusnya menjadi pelarian.Sorot mata Rehan jelas memancarkan kekecewaan, tetapi pemuda itu berusaha tersenyum tegar. "Baiklah, Mas mengerti.”Meskipun menjawab seperti itu, harapan Rehan belum pupus. Dia berpikir Surtini hanya masih terluka. Jika suatu saat gadis itu sudah move on, pasti akan membuka hatinya lagi untuk cinta yang baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Sylvia telah benar-benar masuk ke tim proyek terbaru. Perlahan, dia menjalin keakraban dengan Eka. Taktik yang digunakannya adalah tampil sebagai wanita cerdas dan kreatif. Sylvia berusaha menunjukkan dirinya sudah berubah, tidak akan ada lagi anak manja sombong.Sayangnya, semua itu palsu. Ide-ide brilian yang sering diajukan dan mendapat pujian dari Eka tidak orisinil. Secara rutin, Sylvia berkomunikasi dengan asisten kakeknya yang juga dikenal sebagai jenius.Seperti hari ini, Sylvia kembali datang ke kantor Eka. Dia membawa beberapa dokumen. Surtini sempat melirik sinis, tetapi cepat berpura-pura mengerjakan laporan ketika Eka memberi peringatan lewat isyarat mata."Kalo begini bagaimana, Ka?" tanya Sylvia saat sudah duduk di hadapan Eka. Dia menunjukkan lembar kedua dari dokumen yang dibawanya.Eka membaca isi dokumen. Mata elangnya menelaah setiap baris kalimat. Beberapa kali, dia mengelus dagu. Sylvia mencuri kesempatan untuk memandangi wajah tampan i
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal