"Ada tambahan lain? Perlu kantung plastik?"
Setelah meneguk liur, Yuhwa lantas menggelengkan kepala singkat menanggapi pertanyaan dari sang petugas kasir berkulit putih cerah di hadapannya.
Netra gadis itu bergerak resah, mencuri lirik ke luar bangunan minimarket dan mencari-cari keberadaan pria berjaket hitam yang sedari tadi berjaga di sana. Begitu pandangan Yuhwa tidak mendapati sosok yang dicarinya, segera pula sang gadis menyambar kantung belanja yang sudah di bayar, secepat kilat berlalu keluar bangunan dengan langkah tergesa.
Entah ia atau sepatu kets putih di bawah kakinya, keduanya tak tahu apapun soal arah dan tujuan. Tapi menurutnya, sekarang adalah waktu yang tepat bagi Yuhwa untuk menyelamatkan diri. Lari atau tidak sama sekali.
Dua minggu sudah ia dikurung di dalam ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Pengap, minim penerangan, ditambah ancaman berbahaya yang harus Yuhwa terima setiap kali ia mencoba untuk kabur. Meringkuk di atas kasur usang dari senin hingga jumat, ia akan menjadi jalang penghibur lelaki tua berhidung belang di akhir pekan.
Semua itu bukanlah sesuatu yang menjadi bayangan Yuhwa ketika ia pertama kali dibawa ke negara Korea oleh adik dari mendiang ibunya. Remaja usia duapuluh tahun tersebut hanya tergiur dengan tawaran menarik untuk menjadi seorang model salah satu pakaian ternama di negeri ginseng, negara asal sang paman. Yang Yuhwa tahu, selain dari lagu, makanan, serta makeup, Korea memang cukup mendunia dengan fashion ciamiknya.
Zhao Yuhwa memang dikenal cukup rupawan di kota asalnya sendiri, Nanjing, China. Terutama dengan perawakan ramping, tinggi badan menjulang untuk ukuran wanita, serta perpaduan antara gen Cina dan Korea yang bersatu padu dalam aliran darahnya. Karena itu, tak jarang pula Yuhwa ditunjuk sebagai model majalah tahunan sekolah. Hal tersebut juga yang membuat sang gadis tidak sama sekali menaruh curiga pada sang paman, dan terbang ke Korea dengan penuh antusias.
Pada kenyataannya, semua pilihan yang telah Yuhwa buat adalah salah. Sebuah antusias yang sempat membangkitkan semangatnya hanyalah angin ribut yang senantiasa menggiring Yuhwa untuk menyelami sebuah palung terdalam sepanjang kehidupannya.
Pada mulanya Yuhwa hanya diminta untuk menemani kawan dari pamannya. Ah, salah kalau ia sebut 'hanya'. Karena faktanya, mereka adalah sekumpulan lelaki tua berhidung belang yang mesumnya tak ada ampun. Yuhwa merasa jijik, bahkan untuk sekedar mengingat-ingatnya kembali.
Selain saat-saat itu, Yuhwa menghabiskan sebagian waktu di dalam sebuah kamar gelap yang tertutup rapat. Ia bahkan kesulitan untuk sekedar membedakan waktu siang dan malam, belum lagi ponsel pemberian mendiang ayahnya sudah hilang entah kemana. Alhasil, hanya dengan bantuan temaram sinar matahari atau rembulan yang menyusup dari sela-sela teralis jendela-lah ia dapat menebak-nebak. Itupun kalau Yuhwa sedang beruntung.
Pamannya hanya memberi Yuhwa makan sesekali, atau tidak sama sekali. Mungkin hanya jika pria itu ingat. Yang jelas, sampai saat terakhir pun Yuhwa masih melahapnya hingga habis tak bersisa. Sampai suatu hari Yuhwa mencuri dengar kala sang paman berbicara di telepon, pada akhirnya Yuhwa tahu, bahwa ia masih diberi makan cukup semata-mata karena organ di dalam tubuhnya dipertahankan dalam kondisi baik untuk diperdagangkan.
Di sinilah Yuhwa berakhir, menjadi incaran para sindikat perdagangan organ manusia.
Mata gadis itu menyorot lurus, enggan berpaling ke belakang sedetikpun. Padahal, satu-satunya yang dapat ditemui pandangan sang gadis Zhao di ujung jalan hanyalah sebuah mobil SUV hitam yang terparkir merapat dengan trotoar. Melihat salah satu pintu mobil yang terbuka menganga, tanpa pikir panjang Yuhwa meloncat masuk ke dalam mobil tersebut. Tak ketinggalan pula ia membanting pintu cukup keras supaya tertutup dengan rapat.
BLAMM!!
"Sial! Itu tadi sangat menyeramkan!" Yuhwa menyandarkan punggung pada jok mobil, merilekskan diri seiring dengan hembusan napasnya lega. Pada akhirnya... IA BEBAS!! Seandainya saja ia dapat merayakan keberhasilannya ini. Tapi sayang, kini ia tidak punya arah dan tujuan.
"Siapa kau?!" seru seorang pria dari balik kemudi.
Gadis itu lantas melonjak kaget, terlambat menyadari bahwa mobil yang ia masuki ternyata berpenumpang.
"A-aku.. m-maaf, aku.."
"Penggemar? Penggemar macam apa?! Sialan! Keluar kau!!"
Belum satu menit duduk tenang, kini Yuhwa sudah mendapat hantaman bantal oleh tangan sang pria dengan jaket bermotif macan yang duduk di sebelahnya. Beruntung hanya bantal. Kalau yang lain, Yuhwa pasti sudah memutuskan untuk kembali berlari keluar mobil, pasrah menyerahkan diri pada para sindikat penjual organ.
Mencekal lengan pria tersebut, Yuhwa segera membela diri, "Aku bukan penggemar! Sungguh! Aku sama sekali tidak mengenalmu!"
Di sisi lain, Yuhwa bersyukur dulu sang ibu sangat tabah mengajarinya berbahasa Korea. Jadi, kemampuan linguistiknya tidak terlalu buruk dan dapat diandalkan dalam kondisi darurat semacam ini.
"Cih! Lelucon macam apa itu? Kau fikir aku akan percaya?"
Pria tersebut menyeringai, kemudian mengembalikan posisi duduknya menghadap depan. Dari posisi ini serta bantuan lampu penerangan, Yuhwa akhirnya sadar bahwa tampang pria itu bukan main tampannya. Tak heran mereka menganggap Yuhwa sebagai penggemar. Apakah si pria jaket macan ini adalah seorang idola? Aktor atau anggota boygroup mungkin?
Sang pengemudi turut menyahuti, "Tak usah bercanda, nona. Orang Korea mana yang tidak mengenal Lee Hans? Ia bahkan mendapat julukan 'Nation's First Love'."
Melihat seseorang yang disebut sebagai Lee Hans itu melebarkan senyum angkuh, Yuhwa lantas berucap, "T-tapi.. Aku memang bukan orang Korea."
"Apa?!"
"Apa?!"
Yuhwa menggigit bibir bawah canggung. Belum sempat menjelaskan, ekor matanya menangkap salah satu dari sindikat penjual organ tengah berlari ke arah mobil mereka. Karena itu, tanpa mau tahu, sang gadis lantas menyentak, "Cepat lajukan mobilnya!"
"Eh? Tunggu! Maksudnya?"
"Jangan banyak tanya! Cepat lajukan atau aku akan mati!!"
Tak peduli jika ia harus menemui prahara lain. Untuk saat ini, Yuhwa harus menyelamatkan nyawanya terlebih dahulu.
***
"Kak! Kau hanya akan mempercayai omong kosongnya begitu saja?! Jangan gila! Pasti ia hanya mengarang cerita yang tidak-tidak demi menemuiku."
Yuhwa meneguk liur, berusaha untuk tidak ikut campur dengan perdebatan dua pria dewasa di depan matanya. Padahal, karena eksistensinya yang terlalu tiba-tiba itulah sang artis dapat terlibat percek-cokan dengan manajernya sendiri.
Yup! Pria bernama Lee Hans ini adalah seorang artis, artis betulan yang biasa muncul di layar televisi. Yuhwa sempat meragukannya, tapi begitu pulalah yang dapat ia nilai dari rumah mewah kepemilikan Hans. Rumah dengan interior bernuansa abu, disertai dengan perabot mewah yang menyilaukan mata. Tak mungkin orang biasa dapat memiliki rumah semegah ini, pikir Yuhwa.
Mereka bilang, Hans adalah pemimpin dari boygroup beranggotakan lima orang bernama MINE. Pria itu bahkan melakukan aktifitas solo belakangan. Seperti merilis lagu yang ditulisnya sendiri, juga berperan dalam serial drama. Tebak Yuhwa, Hans pasti adalah sosok yang penuh talenta dan pekerja keras. Tidak sama dengannya, yang tidak dapat melakukan hal lain selain bergaya di depan kamera. Sayangnya, justru hal itu juga yang membuat dirinya mendapat kesialan.
Benar-benar jalan hidup yang berbeda.
"Menurutku, laki-laki tadi memang menyeramkan sih Hans."
Yuhwa tidak keberatan untuk tinggal di rumah lusuh berukuran satu kali satu meter sekalipun. Selama ia masih dapat menghirup udara, mengisi perut, serta ruang untuk membasuh diri, semuanya sudah cukup. Yang pasti untuknya hanyalah, sebuah tempat dimana organ dalamnya akan tetap aman berada di dalam tubuhnya. Karena itu, ketika manajer Kim mengijinkan Yuhwa untuk tinggal sementara di rumah rahasia Lee Hans, sang gadis bahkan tak dapat mengungkapkan kata lain selain terimakasih.
Tentu saja, rumah 'rahasia' Hans adalah tempat yang paling cocok bagi Yuhwa untuk bersembunyi. Justru, lebih dari cukup.
"Kakak laporkan saja mereka ke polisi, bawa juga ia keluar dari rumahku!"
Mencuri dengar ucapan Hans pada manajer Kim, Yuhwa mau tak mau turut buka suara, "Aku tidak bisa! Mereka itu sekumpulan orang jahat. Mungkin aku akan dibunuh tepat sebelum melaporkan mereka pada polisi."
"Kau," jari telunjuk Hans mengacung di depan wajah Yuhwa, "dari mana? Cina?"
Menanggapi pertanyaan itu, sang gadis lantas mengangguk ringan mengiyakan. Ia tidak tahu pasti, apa maksud Hans kembali menanyakan tempat asalnya.
"Kalau begitu, belikan saja ia tiket pesawat. Suruh gadis ini pulang ke sana! Aku tidak menerima seseorang untuk tinggal di rumahku secara cuma-cuma," sungut Hans mantap.
Kedua mata Yuhwa membola. "Jangan! Aku tidak bisa pulang. Nanti paman akan kembali mendatangiku dan berbicara yang tidak-tidak pada kerabatku! Lagipula untuk saat ini aku tidak memiliki paspor."
Hans terlihat mendesis, dengan tangan mengepal pria itu lantas mengambil posisi duduk di atas sofa panjang beraksen coklat. Rambut keabu-abuan yang sempat terjatuh menutupi kening berhasil membuat Yuhwa yakin bahwa Hans adalah pria yang digilai oleh banyak wanita. Tampan dengan garis dagu tegas, hidung lancip, kulit putih cerah, serta senyum manis yang memabukkan.
"Sekarang coba kau pikirkan. Aku, Lee Hans, adalah seorang artis ternama. Tidak ada orang yang tidak mengenalku di negara ini. Rumah ini memang adalah rumah rahasia. Meskipun begitu, tak menutup kemungkinan seorang paparazi akan mencuri kesempatan ketika mereka melihat seorang gadis asing berada di rumah rahasia Lee Hans," jelas pria itu panjang lebar sembari mengetuk jarinya di atas meja kaca.
Terdengar sangat berisiko. Tapi, jelas itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mati terbunuh berikut organ dalam yang diperdagangkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Kesimpulannya, Yuhwa lebih pilih berada di rumah ini.
"Aku tidak masalah," jawab Yuhwa enteng.
Menggebrak meja, Hans beranjak berdiri seraya membentak, "Kau tidak masalah!! Tapi itu masalah besar untukku, bodoh!!"
"Hans! Hans! Tahan dulu emosimu itu."
Manajer Kim menahan kedua sisi tubuh Hans, supaya pria itu tetap berdiri di tempatnya dan tidak merusak citra pribadinya secara terang-terangan di hadapan Yuhwa. Hal itu lantas membuat sang gadis meringis ngeri.
"Baiklah, sekarang, apa maumu?" tanya Hans lagi.
Kelopak mata Yuhwa mengerjap, ia kemudian menunjuk dirinya sendiri bertanya-tanya, "Aku?"
"Iya. Kau! Siapa lagi yang kuajak bicara di sini?"
Sempat menimbang-nimbang untuk beberapa saat, Yuhwa kemudian melebarkan kelopak mata ketika sebuah ide cemerlang terlintas begitu saja di isi kepalanya.
"Karena jika aku tinggal di sembarang tempat salah satu dari mereka akan segera menemukanku, bagaimana kalau aku tetap tinggal di sini dengan beberapa ketentuan?" usul Yuhwa dengan jari telunjuk mengacung ke atas.
Baik Hans dan manajer Kim nampak keheranan, terlihat dari kening mengerut serta kedua alis yang menukik tinggi-tinggi. Jadi, apakah ketentuan serta syarat yang Yuhwa niat untuk tawarkan akan diterima dan segera berlaku?
Gadis itu menarik kedua ujung bibir lantas berucap, "Aku janji tidak akan keluar rumah, atau tertangkap basah oleh siapapun bahwa aku tinggal di sini. Serta, bagaimana kalau sebagai imbalannya, aku akan bekerja sebagai pembantu rumah tanggamu, tuan Lee?"
Satu detik, dua detik. Tidak ada yang terlihat berniat untuk menanggapi penawaran Yuhwa. Ataukah mungkin penawaran gadis itu kurang memuaskan? pikirnya. Sekon kemudian, Hans tertawa nyaring sembari menepukkan kedua tangan kuat-kuat.
"Hey, tidak perlu repot-repot! Aku sudah membayar orang lain untuk melakukan segala pekerjaan rumah di sini. Semuanya sudah tak pernah lagi menjadi beban pikiranku!"
Sementara Hans tersenyum lebar sembari bersandar santai pada punggung sofa, sudut-sudut bibir Yuhwa kembali turun mendengar pendapat pria itu. Jujur, Yuhwa tidak punya cara lain. Berakhir di rumah rahasia seorang artis papan atas adalah salah satu yang tidak mungkin siapapun duga akan Yuhwa alami. Dengan begitu, orang-orang yang mengincarnya juga tentu tidak akan pernah menduganya.
Tetapi gadis itu juga tidak tahu bagaimana cara untuk dapat membujuk Hans. Faktanya, Lee Hans adalah sosok pria yang kelewat sombong dan keras kepala.
Manajer Kim terlihat menepuk pundak Hans, kemudian mendekat untuk berbisik, "Kau ingat bahwa pembantumu yang sebelumnya menyebarkan rumor soal hubunganmu dengan Jaein pada seorang reporter? Seberapa yakin dirimu bahwa bibi yang baru itu tidak akan melakukan hal yang sama?"
Saat itulah, wajah Hans berubah pucat. Pria itu menegakkan punggung tegang, lantas mencengkeram ujung kaus putih yang dipakainya.
Kembali menatap Yuhwa, pria itu bertanya, "K-kau, janji akan tetap di dalam rumah, kan? Tidak akan menyebar rumor yang tidak-tidak soalku, kan?"
"Tentu saja! Aku bahkan tidak boleh sembarangan bertemu orang asing."
"Kalau begitu," Hans berdiri, mengulurkan sebelah tangannya untuk menerima jabatan tangan dari Yuhwa. "Mulai sekarang, kau boleh tinggal dan bekerja di rumahku."
Semudah itu?
Yuhwa meneguk liur, menatap tangan Hans yang menggantung di udara lamat-lamat. Entah kenapa, ia merasa sang pria terlalu cepat merubah pikirannya. Atau Hans memang tipikal orang yang plin-plan seperti itu?
"Tidak mau? Ya sud-"
"Mau! Aku mau!"
Yuhwa turut berdiri dari duduknya, kemudian menyahuti tangan Hans dengan penuh keyakinan.
Disitulah sebuah hubungan terikat kontrak antara keduanya terjalin. Persetan dengan sifat plin-plan Hans. Selama ia tidak bertemu dengan pamannya lagi, seharusnya hidup Yuhwa akan berjalan dengan aman dan tentram, kan?
Atau... tidak?
"Kau bisa tidur di sini untuk sementara waktu. Aku dan Hans jarang sekali berkunjung, mungkin hanya di akhir minggu atau dua sampai tiga kali sebulan jika grupnya sedang melakukan comeback," jelas manajer Kim sembari menunjukkan sebuah kamar sederhana di bawah tangga.Ruangan itu berinterior putih, dengan satu kasur ukuran medium serta sebuah meja kerja yang dilapisi oleh debu tipis. Yuhwa tebak, ruangan tersebut memang dibiarkan kosong untuk beberapa waktu kebelakang. Sang gadis mengambil langkah masuk, kemudian menyadari bahwa ruangan tersebut tidak terlalu gelap untuk ukuran ruangan kecil yang biasa berada di bawah tangga. Mungkin, karena tangga rumah mewah tersebut juga terbilang lebar dibandingkan tangga pada umumnya."Toilet ada di sana kalau kau perlu man–," menggantung bicara, manajer Kim terlihat menilik Yuhwa sembari mengangkat kedua alis. "Ohh, kau tidak ada pakaian ganti, ya?"Yuhwa berpaling canggung. Toh, tidak ada yang dapat di
Di antara derasnya rintik hujan di luar rumah, suara derak kuku yang berbenturan dengan permukaan meja menjadi satu-satunya pemecah keheningan di dalam ruangan kecil di bawah tangga. Obsidian hitam Yuhwa bergerak resah dari kiri ke kanan, memandangi ponsel di atas meja, atau pintu kamar yang menjadi batas amannya. Ia benar-benar resah, hingga pakaiannya yang sudah dikotori debu harus lebih kotor lagi setelah keringat dinginnya bercucuran tanpa jeda. Konyol! Berhasil lari dari sindikat penjual organ manusia, Yuhwa kini berakhir terkurung di dalam rumah seorang pengguna narkoba. LSD, ingatnya kembali. Yuhwa pernah mendengar obat terlarang jenis itu. Setidaknya, ia tahu bahwa LSD adalah sebuah cairan yang biasa orang sebut denganAcid. Yang umumnya diteteskan pada kertas kecil berbentuk menyerupai perangko, dan akan ditaruh di atas permukaan lidah untuk penggunaannya. Setahu Yuhwa juga, sang pengguna akan mengalami halusinasi berat yang tak j
"Tunggu apa lagi? Cepat temui Kelly! Yuhwa biar aku yang urus," perintah Manajer Kim kepada Hans.Yuhwa tebak, pasti agensi menemui banyak kesulitan demi mempertahankan nama baik seorang Lee Hans. Buktinya, belum ada dua hari Yuhwa kemari, ia sudah bertemu dengan berbagai fakta buruk soal pria itu. Mulai dari narkoba, tingkah gilanya saat mabuk, dan kini bahkan perkara kisah cintanya dengan wanita. Entah, sudah berapa banyak wanita yang pria itu hamili. Hingga begitu mudahnya pula kata 'aborsi' meluncur dari bibir laknat itu.Hebat sekali orang-orang di luaran sana yang mengaku sebagai penggemar Hans. Apakah mereka tahu bahwa idolanya bertingkah bejat di balik kamera? Kalau itu Yuhwa, pasti sangat merasa terkhianati.Memang benar kata orang, bahwa pria tampan biasanya bersikap seenaknya.Lengan Yuhwa ditarik, karena kini tugasnya adalah bersembunyi. Tapi begitu sang gadis mulai mengekori langkah Manajer Kim, Hans berseru, "Sebentar! Aku puny
"Kalian itu terlalu sombong, sampai lupa ada banyak orang di luaran sana yang tidak mengenali kalian." Sementara dalam hati menyetujui, Yuhwa hanya dapat bungkam dan berdiri kaku menghadap ke arah kelima pria yang tengah menaruh atensi padanya. Dinilai dari sopan santun serta tutur kata yang terlontar, Yuhwa berpendapat bahwa seseorang yang pantas untuk menjadi pemimpin grup MINE adalah si pria berambut hitam yang baru saja hadir beberapa saat lalu. Yuhwa tidak paham mengenai aspek lain. Tapi baginya, Hans terlalu kasar dan arogan. Pria itu mengulurkan tangan, kembali mengembangkan senyum manisnya lalu berkata, "Aku Kang Taehee, anggota termuda MINE. Kau bisa menyebutku Taehee atau apapun senyamanmu." Tanpa buang waktu, Yuhwa pun menyambut uluran tangan ramah Taehee. Tak lupa dengan senyum termanis yang ia simpan sejak kedatangannya ke Korea. Menyimpan senyumnya lama-lama, tak rugi jika ia membagikannya pada pria selemah lembut Taehee.
Minggu pertama bulan Juni, tepatnya di tanggal lima. Mencondongkan tubuh dengan kaki rapat, Yuhwa memicing sipit sembari menilik kalendar meja yang berdiri tepat di bawah lukisan cat minyak bernuansa biru. Gadis itu mengusap dagu, mengerucutkan bibir ragu sebelum kembali memasukan untaian tali-temali di tangannya ke dalam saku. Kuno, jelek, dan murahan. Hans tidak akan menyukainya, menurut Yuhwa. Maka ia urungkan kembali niatnya untuk memberi hadiah kecil pada si pria yang tengah bertambah usia hari itu. Pandangannya kemudian berselancar, secepat angin berhembus dan jatuh pada pintu kayu oak yang tanpa suara berteriak 'tolong jangan ganggu aku', meminta Yuhwa untuk segera berlalu dan mengabaikan eksistensi seseorang di balik itu. Semenjak siaran langsung bersama para member MINE tadi, Hans berada dalam suasana hati yang buruk. Tak ada satu orangpun yang berani mengusik ketenangannya, terlebih Yuhwa. Bahkan pria itu belum keluar ruangan relaksas
Yuhwa sudah melewati malam itu dengan mata terbuka lebar. Entah pukul berapa tepatnya, tapi dari sorot lampu yang menelisik lewat tirai jendela, pasti di luar sana masih gelap dan belum ada sinar matahari sama sekali. Dengan udara dingin yang menyapa pundak menggigil, Yuhwa pun menyerah. Beranjak dari baringnya, membuka lemari pakaian di sudut kamar, dan mengambil sebuah jaket hitam dari sana. Terimakasih pada Manajer Kim, kini ia memiliki setumpuk pakaian di dalam lemari. Bahkan tak lupa dengan pakaian dalamnya. Hebat! Darimana Manajer Kim tahu soal ukuran dan sebagainya? Oh mari lupakan soal itu sejenak. Sebelum keluar dari kamar dengan niatan berjoggingdi ruang tamu yang luasnya mendekati ukuran lapangan voli itu, Yuhwa melemparkan pandangannya ke atas nakas, mempertimbangkan diri untuk membawa ponsel yang Hans berikan padanya tiga hari yang lalu. Ponsel bercita rasa kopi yang telah ia keringkan dengan pengering rambut selama
Kepala Yuhwa pening, seperti dijatuhi ribuan batu pualam yang turun dari langit dan menghantam langsung tepat di utara tubuhnya. Mungkin karena rasa lelah yang tak terbendung, atau kantuk yang menyelimuti seperti langit mendung. Hari itu terasa abu-abu bagi sang gadis kewarganegaraan Cina ini. Mulai dari menanti kesadaran Hans untuk kembali, menyiapkan sarapan yang pantas untuk si pria sakau, bahkan menjemur bantal dan selimut Hans yang basah kuyup akibat tragedi semalam.Yuhwa pikir ia akan segera kaya raya bilasaja pekerjaannya di rumah Hans mendapat upah yang sesuai. Sayang, dirinya hanyalah seseorang yang harus bekerja secara sukarela. Wajib dan harus. Keputusan yang mutlak kalau memang ia tidak ingin kembali mengancam nyawa di bawah kaki para sindikat perdagangan organ manusia."Astaga.. mereka ini selalu membuat masalah," keluh Manajer Kim selesai bicara melalui ponselnya.Omong-omong soal Manajer Kim, demi keamanan dan keselamatan nyawa Hans
"Di mana Kak Jihun?" Kalimat tersebut menjadi pemecah keheningan yang telah mengudara sejak tigapuluh menit lalu. Saat itu Hans tengah sedikit demi sedikit menghabiskan teh calendula sembari menonton drama yang ia bintangi sendiri, sementara Yuhwa mengambil bagian untuk mempercantik rumah Hans dengan sapu dan kain lap di tangan. Meski berada dalam satu ruangan yang sama, keduanya tidak mau repot-repot buka suara untuk sekedar basa-basi atau berbincang santai selayaknya teman serumah. Kelewat canggung bahkan untuk sekedar bertemu pandang, dalam waktu sepersekian detik salah satu atau keduanya akan segera memalingkan wajah ogah-ogahan. "Ah, aku lupa! Aku seharusnya memberi tahumu lebih awal. Jason diterpa isu plagiarisme," jawab Yuhwa sembari menepuk kening. Hans nampak membolakan matanya terkejut, hingga detik kemudian ia mendesis singkat dan mengeluh, "Anak itu lagi." Dari ucapan Hans, Yuhwa jelas akan menebak-nebak, apakah ini
Semuanya menjadi titik tolak di malam itu. Bagaimana kegelapan menyelimuti suasana rumah, dilengkapi dengan kisah ironis Hans yang sempat Yuhwa dengar dari Manajer Kim beberapa saat lalu melalui sambungan telepon. Kepala sang gadis menengok, mempertemukan raut prihatinnya dengan wajah mengkhawatirkan Hans yang kini memangku kepala di atas lipatan lutut. Keduanya membisu, tapi Yuhwa seolah tahu berbagai pikiran yang mungkin menjadi misteri di dalam kepala Hans. Sebuah misteri yang sama sekali tidak pernah terungkap di hadapan siapapun, bahkan orang terdekat Hans sekalipun. Trauma masa kecil. Yuhwa tidak perlu penasaran soal apa yang terjadi, apa yang membuat Hans sangat-sangat ketakutan, atau bahkan mengapa tidak ada yang mencoba untuk mengobati kekhawatirannya itu. Sebab ia lebih peduli soal bagaimana dirinya dapat menjadi seseorang yang dapat Hans andalkan di tengah badai ribut yang menghantui mental si arogan berkulit pucat, Hans.
"Di mana Kak Jihun?" Kalimat tersebut menjadi pemecah keheningan yang telah mengudara sejak tigapuluh menit lalu. Saat itu Hans tengah sedikit demi sedikit menghabiskan teh calendula sembari menonton drama yang ia bintangi sendiri, sementara Yuhwa mengambil bagian untuk mempercantik rumah Hans dengan sapu dan kain lap di tangan. Meski berada dalam satu ruangan yang sama, keduanya tidak mau repot-repot buka suara untuk sekedar basa-basi atau berbincang santai selayaknya teman serumah. Kelewat canggung bahkan untuk sekedar bertemu pandang, dalam waktu sepersekian detik salah satu atau keduanya akan segera memalingkan wajah ogah-ogahan. "Ah, aku lupa! Aku seharusnya memberi tahumu lebih awal. Jason diterpa isu plagiarisme," jawab Yuhwa sembari menepuk kening. Hans nampak membolakan matanya terkejut, hingga detik kemudian ia mendesis singkat dan mengeluh, "Anak itu lagi." Dari ucapan Hans, Yuhwa jelas akan menebak-nebak, apakah ini
Kepala Yuhwa pening, seperti dijatuhi ribuan batu pualam yang turun dari langit dan menghantam langsung tepat di utara tubuhnya. Mungkin karena rasa lelah yang tak terbendung, atau kantuk yang menyelimuti seperti langit mendung. Hari itu terasa abu-abu bagi sang gadis kewarganegaraan Cina ini. Mulai dari menanti kesadaran Hans untuk kembali, menyiapkan sarapan yang pantas untuk si pria sakau, bahkan menjemur bantal dan selimut Hans yang basah kuyup akibat tragedi semalam.Yuhwa pikir ia akan segera kaya raya bilasaja pekerjaannya di rumah Hans mendapat upah yang sesuai. Sayang, dirinya hanyalah seseorang yang harus bekerja secara sukarela. Wajib dan harus. Keputusan yang mutlak kalau memang ia tidak ingin kembali mengancam nyawa di bawah kaki para sindikat perdagangan organ manusia."Astaga.. mereka ini selalu membuat masalah," keluh Manajer Kim selesai bicara melalui ponselnya.Omong-omong soal Manajer Kim, demi keamanan dan keselamatan nyawa Hans
Yuhwa sudah melewati malam itu dengan mata terbuka lebar. Entah pukul berapa tepatnya, tapi dari sorot lampu yang menelisik lewat tirai jendela, pasti di luar sana masih gelap dan belum ada sinar matahari sama sekali. Dengan udara dingin yang menyapa pundak menggigil, Yuhwa pun menyerah. Beranjak dari baringnya, membuka lemari pakaian di sudut kamar, dan mengambil sebuah jaket hitam dari sana. Terimakasih pada Manajer Kim, kini ia memiliki setumpuk pakaian di dalam lemari. Bahkan tak lupa dengan pakaian dalamnya. Hebat! Darimana Manajer Kim tahu soal ukuran dan sebagainya? Oh mari lupakan soal itu sejenak. Sebelum keluar dari kamar dengan niatan berjoggingdi ruang tamu yang luasnya mendekati ukuran lapangan voli itu, Yuhwa melemparkan pandangannya ke atas nakas, mempertimbangkan diri untuk membawa ponsel yang Hans berikan padanya tiga hari yang lalu. Ponsel bercita rasa kopi yang telah ia keringkan dengan pengering rambut selama
Minggu pertama bulan Juni, tepatnya di tanggal lima. Mencondongkan tubuh dengan kaki rapat, Yuhwa memicing sipit sembari menilik kalendar meja yang berdiri tepat di bawah lukisan cat minyak bernuansa biru. Gadis itu mengusap dagu, mengerucutkan bibir ragu sebelum kembali memasukan untaian tali-temali di tangannya ke dalam saku. Kuno, jelek, dan murahan. Hans tidak akan menyukainya, menurut Yuhwa. Maka ia urungkan kembali niatnya untuk memberi hadiah kecil pada si pria yang tengah bertambah usia hari itu. Pandangannya kemudian berselancar, secepat angin berhembus dan jatuh pada pintu kayu oak yang tanpa suara berteriak 'tolong jangan ganggu aku', meminta Yuhwa untuk segera berlalu dan mengabaikan eksistensi seseorang di balik itu. Semenjak siaran langsung bersama para member MINE tadi, Hans berada dalam suasana hati yang buruk. Tak ada satu orangpun yang berani mengusik ketenangannya, terlebih Yuhwa. Bahkan pria itu belum keluar ruangan relaksas
"Kalian itu terlalu sombong, sampai lupa ada banyak orang di luaran sana yang tidak mengenali kalian." Sementara dalam hati menyetujui, Yuhwa hanya dapat bungkam dan berdiri kaku menghadap ke arah kelima pria yang tengah menaruh atensi padanya. Dinilai dari sopan santun serta tutur kata yang terlontar, Yuhwa berpendapat bahwa seseorang yang pantas untuk menjadi pemimpin grup MINE adalah si pria berambut hitam yang baru saja hadir beberapa saat lalu. Yuhwa tidak paham mengenai aspek lain. Tapi baginya, Hans terlalu kasar dan arogan. Pria itu mengulurkan tangan, kembali mengembangkan senyum manisnya lalu berkata, "Aku Kang Taehee, anggota termuda MINE. Kau bisa menyebutku Taehee atau apapun senyamanmu." Tanpa buang waktu, Yuhwa pun menyambut uluran tangan ramah Taehee. Tak lupa dengan senyum termanis yang ia simpan sejak kedatangannya ke Korea. Menyimpan senyumnya lama-lama, tak rugi jika ia membagikannya pada pria selemah lembut Taehee.
"Tunggu apa lagi? Cepat temui Kelly! Yuhwa biar aku yang urus," perintah Manajer Kim kepada Hans.Yuhwa tebak, pasti agensi menemui banyak kesulitan demi mempertahankan nama baik seorang Lee Hans. Buktinya, belum ada dua hari Yuhwa kemari, ia sudah bertemu dengan berbagai fakta buruk soal pria itu. Mulai dari narkoba, tingkah gilanya saat mabuk, dan kini bahkan perkara kisah cintanya dengan wanita. Entah, sudah berapa banyak wanita yang pria itu hamili. Hingga begitu mudahnya pula kata 'aborsi' meluncur dari bibir laknat itu.Hebat sekali orang-orang di luaran sana yang mengaku sebagai penggemar Hans. Apakah mereka tahu bahwa idolanya bertingkah bejat di balik kamera? Kalau itu Yuhwa, pasti sangat merasa terkhianati.Memang benar kata orang, bahwa pria tampan biasanya bersikap seenaknya.Lengan Yuhwa ditarik, karena kini tugasnya adalah bersembunyi. Tapi begitu sang gadis mulai mengekori langkah Manajer Kim, Hans berseru, "Sebentar! Aku puny
Di antara derasnya rintik hujan di luar rumah, suara derak kuku yang berbenturan dengan permukaan meja menjadi satu-satunya pemecah keheningan di dalam ruangan kecil di bawah tangga. Obsidian hitam Yuhwa bergerak resah dari kiri ke kanan, memandangi ponsel di atas meja, atau pintu kamar yang menjadi batas amannya. Ia benar-benar resah, hingga pakaiannya yang sudah dikotori debu harus lebih kotor lagi setelah keringat dinginnya bercucuran tanpa jeda. Konyol! Berhasil lari dari sindikat penjual organ manusia, Yuhwa kini berakhir terkurung di dalam rumah seorang pengguna narkoba. LSD, ingatnya kembali. Yuhwa pernah mendengar obat terlarang jenis itu. Setidaknya, ia tahu bahwa LSD adalah sebuah cairan yang biasa orang sebut denganAcid. Yang umumnya diteteskan pada kertas kecil berbentuk menyerupai perangko, dan akan ditaruh di atas permukaan lidah untuk penggunaannya. Setahu Yuhwa juga, sang pengguna akan mengalami halusinasi berat yang tak j
"Kau bisa tidur di sini untuk sementara waktu. Aku dan Hans jarang sekali berkunjung, mungkin hanya di akhir minggu atau dua sampai tiga kali sebulan jika grupnya sedang melakukan comeback," jelas manajer Kim sembari menunjukkan sebuah kamar sederhana di bawah tangga.Ruangan itu berinterior putih, dengan satu kasur ukuran medium serta sebuah meja kerja yang dilapisi oleh debu tipis. Yuhwa tebak, ruangan tersebut memang dibiarkan kosong untuk beberapa waktu kebelakang. Sang gadis mengambil langkah masuk, kemudian menyadari bahwa ruangan tersebut tidak terlalu gelap untuk ukuran ruangan kecil yang biasa berada di bawah tangga. Mungkin, karena tangga rumah mewah tersebut juga terbilang lebar dibandingkan tangga pada umumnya."Toilet ada di sana kalau kau perlu man–," menggantung bicara, manajer Kim terlihat menilik Yuhwa sembari mengangkat kedua alis. "Ohh, kau tidak ada pakaian ganti, ya?"Yuhwa berpaling canggung. Toh, tidak ada yang dapat di