*** Keesokan harinya, tepat pukul 08.00 WITA, keluarga Mauren dan Arzenio serta dokter Albert telah berkumpul di villa dipinggiran kota. "Bagaimana, dokter Albert? Apakah pil yang kau berikan tidak tertukar?" tanya Arzenio tak sabar. "Tidak ada yang salah dengan pil itu. Kemungkinan terbesarnya hanya satu, sosok yang menolong Fania menambah dosis Gingseng Akar Cinta," ujar sang dokter menyadari keteledorannya. "Maksudnya?" tanya Vicenzo kebingungan. "Itu artinya, kita masuk ke dalam jebakan Ridel. Walaupun miskin, tapi otaknya juga tak ikutan miskin. Tapi dia dapat berpikir cerdas," ujar sang dokter menarik nafas panjang. "Maksudnya?" "Ridel tahu kalau kita tak lebih dari sekelompok penjahat yang ingin melenyapkan Fania!" geram dokter Albert. "Apakah kita akan masuk penjara?" tanya Nadia khawatir. "Andai saja dia teledor dan melaporkan kita ke penjara, maka itu akan lebih bagus lagi. Dengan begitu kita bisa melapor balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tapi sepe
*** "Brengsek! Siapa yang memanggil wartawan sepagi ini, ha?" teriak Arzenio kesal. "Bukankah ini berita heboh yang ayah katakan kemarin? Ku pikir ayah sengaja memanggil mereka ke sini," ujar Vicenzo kebingungan. "Kenapa aku harus memanggil wartawan, ha? Apa untuk mempermalukan keluarga ku sendiri? Atau ingin mengungkapkan seberapa kotor keluarga Mauren untuk merebut warisan yang ditinggalkan almarhumah ibu Fania? Yang benar saja!" ketus Arzenio tambah kesal. "Terus kenapa mereka ke sini? Apa mungkin ini ada hubungannya dengan kontrak kerjasama yang dimenangkan oleh Fania? Tapi kenapa mereka ke sini, bukannya ke perusahaan?" ucap Nadia tanpa melepaskan pandangan matanya dari balik kaca jendela raksasa yang terletak di lantai tiga rumah itu. Tak mau menerka-nerka, akhirnya keluarga Mauren dan Arzenio memilih turun ke lantai satu. Baru saja membuka pintu utama, para wartawan yang selalu haus akan berita langsung saja menyerbu mereka dengan berbagai pertanyaan tak terduga.
Fania diam membisu, pandangan matanya menyapu sekitar. Mengira-ngira siapa yang menyebarkan informasi palsu, hingga sang suami menjadi korban.Kemunculan Fania menambah semangat para wartawan. Mereka bersiap-siap mengorek informasi tentang sosok misterius yang berhasil meluluhkan hati gadis yang berhati dingin itu."Apakah benar ibu Fania menikah tanpa adanya restu dari orangtua?""Apa benar pria itu tidak sederajat dengan keluarga Mauren yang merupakan konglomerat golongan kelas tiga?""Menurut keluarga ibu Fania sendiri, pria itu hanya seorang penipu. Bagaimana tanggapan Anda, Bu Fania?""Apakah suami ibu Fania ada di sini? Kalau ada dapatkah kami menanyakan sesuatu padanya? Atau setidaknya meminta foto sebagai pelengkapnya?""Benar, Bu Fania. Banyak yang penasaran dengan sosok misterius itu. Hanya dalam semalam, pencarian mengenai pernikahan dadakan putri sulung keluarga Mauren langsung berada diposisi teratas."Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan para wartawan. Namun, Fania mem
"Kalaupun ayah belum bisa menerima kehadiran Ridel sekarang. Tapi setidaknya jaga perasaannya, Yah. Dia manusia, hatinya juga bisa tersakiti dengan semua ucapan, ayah," pinta Fania. "Kau bisa menjaga perasaannya, tapi kenapa kau tak bisa menjaga perasaan ayah, ha? Bisa-bisanya didepan para wartawan, kau berdebat denganku? Apa bagimu harga diri suamimu lebih penting? Apa kata orang diluar sana?" teriak Vicenzo murka mendengar ucapan Putri sulungnya. Fania diam membisu, dia tahu tindakannya tadi telah diluar batas. "Fania ... Fania ... apa kau pikir pria miskin ini," menunjuk Ridel, "Benar-benar menikahi mu karena cinta? Tidak, Kak. Dia hanya ingin membalaskan dendamnya padaku. Tidak lebih." Fania menatap sang adik dalam kebingungan, "Apa maksudnya?" "Kalau dia benar-benar mencintaimu, terus untuk apa dia melamarku satu hari sebelum hari pernikahan mu? Dia tak bisa move on, jadi menggunakan kamu sebagai batu loncatan agar bisa melihatku setiap hari," jelas Nadia. Seolah-olah tahu s
*** Malam harinya sebelum pukul 19.00 WITA. Mobil keluarga Mauren meluncur dengan kecepatan sedang menuju restoran barat.Saat mobil mulai mendekati sebuah gedung bertingkat. Perasaan Ridel mulai gelisah. Apa mungkin itu restoran yang dituju? Tidak! Semoga bukan yang itu. Kegugupannya, membuat Ridel memejamkan mata.Ketika mobil berhenti, dia membuka mata secara berlahan. Dia terkejut menemukan kenyataan, kalau ternyata itulah restoran yang menjadi tujuan keluarga Mauren.Gleg!Dia sama sekali tak menyangka, ternyata pertemuan diadakan di restoran barat memilikinya sendiri.Restoran yang dihadiahkan sang kakek untuknya setelah menyabet juara satu lomba matematika se-Asia.Restoran yang dulunya biasa-biasa saja, dibuatnya berkembang pesat hanya dalam waktu setahun. Hingga bisa menjadi salah satu restoran terkemuka di industrinya. Bahkan memiliki beberapa cabang didalam maupun diluar negeri.Namun, semenjak dia meninggalkan rumah. Terpaksa sang ayah mengambil alih pengelolaannya, k
"Maaf, Tuan Novan. Keluarga kami sama sekali tidak pernah membuat duplikat kalung yang menjadi andalan keluarga Setya. Kalung itu pemberian pria penipu itu," ujar Vicenzo menunjuk Ridel.Novan menatap Vicenzo dan Ridel secara bergantian. Kenapa Ridel menyembunyikan identitasnya dihadapan mertuanya sendiri? Sepertinya Fania juga tidak tahu siapa Ridel sebenarnya. Bagaimana reaksi keluarga Mauren, kalau tahu aku justru takut dengan pria yang mereka remehkan?"Apa benar kalung itu pemberianmu?" tanya Novan mengikuti alur yang diinginkan Ridel."Istriku sering melihat kalung itu dari majalah. Nah, saat aku ditugaskan pak Vicenzo untuk membeli ikan dan sayuran segar. Saat itulah aku melihat kalung itu berada diantara pernak pernik yang dijual bebas. Jadi aku membelinya dengan harga lima puluh ribu rupiah," jawab Ridel enteng.Novan yang sedang meneguk minumannya langsung saja muncrat, "Apa? Lima puluh ribu rupiah?""Iya, lima puluh ribu rupiah. Apakah Anda keberatan dengan harga segitu?"
"Walaupun apa yang kau katakan benar adanya, tapi mau bagaimana pun beliau adalah ayahku. Jadi ku mohon berhentilah berdebat, Ridel," bisik Fania tegas. Dengan kesal keluarga Mauren dan Arzenio meninggalkan restoran itu. Ridel memilih mengikuti mereka menuju tempat parkir. Tapi, ketika akan menaiki mobil yang semula membawanya, Vicenzo langsung saja mendorong kasar Ridel. "Dasar pria tidak tahu diri? Berani-beraninya kau berdebat denganku? Apa kau bangga, ketika Fania menunjukkan ketertarikan padamu?" ketus Vicenzo marah. "Untuk apa kau mengikuti kami terus?" Laura bertanya penuh emosi. "Mau pulang." "Pulang sendiri, mobil ini tidak cocok untuk orang miskin sepertimu, ini uang untukmu pulang," cetus Vicenzo sambil melemparkan dua lembar uang kepada Ridel. Fania yang hendak membantu Ridel, langsung diseret paksa memasuki mobil, "Yang membesarkan mu, itu ayah! Yang membiayai sekolah mu, itu ayah! Yang membayar biaya rumah sakit mu, itu juga ayah! Apa ini caramu membalas bu
***Sementara itu di rumah sakit, jam telah menunjukkan pukul 23.00 WITA. Dokter Albert duduk lemas di kursi kebesarannya.Dia baru saja menyelesaikan operasi terakhirnya, setelah menambah jadwal cek up dan beberapa data mengenai Fania Mauren secara diam-diam.Tiba-tiba pintu di buka secara berlahan, tampak sesosok wanita mendekatinya dan langsung saja duduk di pangkuannya. "Bagian apoteker aman, bagaimana dengan jadwal wanita brengsek itu?""Sama, aman," ujar sang dokter yang masih tampak kelelahan.Melihat reaksi sang dokter, sontak saja membuat wanita itu kecewa. Tapi dia juga tidak bisa memaksa seseorang yang sedang kelelahan."Kalau begitu sampai jumpa besok," ujar wanita itu dan langsung berdiri. Namun, tangan sang dokter dengan cepat menariknya kembali ke dalam pelukannya. "Kau mau ke mana? Duduklah di sini sebentar saja.""Bukankah kau kelelahan? Sebaiknya kau pulang dan istirahat," bisik wanita itu tersenyum.Bukannya merespon ucapan wanita itu, sang dokter justru meremas ap