*** "Kenapa lagi kau ke sini, Putra? Apa untuk mengajukan banding? Kalau iya, maka lupakan saja! Aku tidak punya waktu mengurus banding kalian. Saya menolak tegas permohonan banding kalian. Titik!" tegas pria yang duduk didepan mereka. "Apakah ini sikap profesional kalian? Jangankan membaca berkas pengajuan banding ini, bahkan menyentuh saja tidak kau lakukan. Terus? Kau langsung menolak tegas permohonan banding ini?" ujar Putra menatap pria yang duduk didepannya tanpa senyuman. Sedangkan Alex yang memakai kacamata dan masker, hanya diam membisu, sambil memperhatikan setiap gerak gerik pria itu. Tanpa pria itu sadari, kacamata yang dikenakan Ridel merupakan CCTV. Jadi setiap perdebatan diantara Putra dan pria itu terekam jelas. Sementara itu diseberang Ridel memperhatikan setiap gerak gerik Putra dan pria itu dalam diam. "Mau sekuat apa pun buktinya, percuma, Putra. Apa kau pikir menjebloskan Alonso dan Bani Edel ke penjara itu mudah?" "Maksudnya?""Bukankah kau telah
Putra yang mengikuti Ridel dari belakang kewalahan, ketika motor butut Ridel justru melaju meninggalkan mobilnya. Sedangkan Alex yang tahu betul motor butut Ridel bukanlah motor biasa, mau tidak mau harus mengemudi dengan kecepatan tinggi agar bisa menyusul sahabatnya itu. Alex lega, ketika berhasil memblokir jalan Ridel. Dengan kesal Ridel turun dari motornya, kemudian melangkahkan kakinya menuju mobil Alex yang menghadang jalannya. "Apa yang kau lakukan, Brengsek! Apa kau mau meminta ku mundur dan menyerah pada para bedebah itu, ha? Bedebah yang telah membuat banyak korban? Begitu?" cetus Ridel kesal. "Kata siapa? Aku dan Putra sudah memutuskan untuk ikut denganmu menempuh bahaya, demi warga yang tak berdosa." "Tidak!" "Ridel ... Ridel ... aku berada di sini bukan untuk negosiasi, tapi hanya sekedar pemberitahuan saja! Karena kau tak punya pilihan. Kalau tidak, orangtuamu akan tahu bagaimana posisi anaknya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi orang
*** Tangan kekar Bani Edel mendorong keras tubuh Ridel, hingga terjerembab di lantai tepat didepan Alonso. "Lepaskan aku, Brengsek! Aku tidak akan pernah berlutut kepada pria bedebah itu! Aku tidak akan pernah kalah pada yang namanya kejahatan!" ketus Ridel, berusaha melepaskan diri dari genggaman dua pria kekar yang memaksanya berlutut. Alonso berdiri dari singgasananya dan mendekati Ridel, "Untuk pertama kalinya aku bertemu pria yang benar-benar bodoh seperti dirimu, Ridel. Apa kau tidak melihat Putra Darmawangsa, pengacaramu? Dia bahkan memilih vakum dari profesinya sebagai seorang pengacara kondang, ketika gagal menjebloskan aku dan Bani Edel ke dalam penjara. Eh ... kau yang hanyalah pria biasa berani-beraninya memasuki rumah ini tanpa izin? Apa kau tahu, sejak kau memilih memasuki rumah ini itu artinya kau memilih hari pemakaman mu!" Bukannya takut dengan ancaman Alonso, Ridel justru tertawa, "Alonso ... Alonso ... apa kau pikir setelah semua yang terjadi, terus kau suda
Ya! Dalam video terlihat jelas, bagaimana Ridel menukar air mineral yang berada di dalam ruangan privat Alonso. Alonso sama sekali tak menyangka, sosok yang selama ini direndahkannya justru mampu memasuki ruangan privat itu dengan mudahnya. Ruangan yang dirancang khusus dengan keamanan tingkat tinggi. Selama ini tak ada satu orangpun yang berhasil membuka ruangan itu selain pemiliknya, Alonso. Karena ruangan itu memiliki empat lapisan keamanan teknologi, yang tidak bisa di retas oleh siapapun. Sekalipun seseorang yang sangat ahli di dalam bidangnya. Contohnya bidang IT yang bertugas dalam menjaga keamanan negara. "Alonso ... Alonso ... aku sama sekali tak menyangka, kalau kau benar-benar menyukai video itu. Buktinya? Kau bahkan tak berkedip menyaksikannya," ujar Ridel kemudian memilih duduk di sofa yang berada di dalam ruangan privat itu. Alonso langsung saja menarik Krah kemeja anak buahnya dan dengan geram dia berkata dengan geram, "Kenapa kau justru melewatkan video pen
___ Alonso mundur selangkah demi selangkah, dia menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan vonis yang diberikan dokter. "Ini tidak mungkin, dokter. Dokter pasti salah mendiagnosa penyakit saya, kan?" "Saya tahu ini kenyataan yang teramat berat, tapi itulah kenyataannya, Pak Alonso. Apakah Anda tidak merasakan sesuatu yang lain dengan tubuh, Anda. Misalkan suhu badan naik turun, lemas, atau mungkin ada bintik-bintik merah sebelumnya, Pak?" tanya sang dokter memberikan pertanyaan yang umum dirasakan seorang pasien penderita leukimia. Kalimat dokter spesialis itu, seperti petir yang menyambar di sekujur tubuh Alonso. Dia sama sekali tidak menyangka apa yang dikatakan Ridel benar adanya. "Bagaimana dengan saya, dokter? Saya tidak menderita penyakit yang sama, kan, dokter?" tanya Bani Edel dengan tangan gemetar. Bukan hanya Bani Edel, bahkan anak buah Alonso juga ikut ketakutan. Bukannya menjawab, tapi sang dokter justru meraih berkas yang ada di atas meja kerjanya, kemudian
Keesokan harinya, publik dihebohkan dengan penemuan mayat di dalam apartemen milik Alonso. Apartemen yang baru saja dibeli Alonso satu bulan lalu. Menurut berita yang beredar mengatakan kalau Alonso bunuh diri. Karena tak ditemukan sidik jari orang lain, selain Alonso. Bukan itu saja dalam rekaman CCTV memperlihatkan Alonso menembak jidatnya sendiri. Meskipun yang terlihat hanya tampak belakang saja. Bahkan tak ada tanda-tanda pemaksaan sama sekali ataupun ancaman dari seseorang. Kematian Alonso yang tiba-tiba sontak saja membuat semua pengusaha terkejut, terlebih Ridel. Sang dokter yang kebetulan sedang bersama Ridel langsung terduduk lemas di kursi. Dia menatap kedua tangannya dengan pikiran kacau, "Secara tidak langsung, akulah yang membunuh Alonso. Kenapa tidak pernah sekalipun terlintas dibenak ku, jika Alonso kehilangan harapan hidup dan memilih bunuh diri? Apa yang telah ku lakukan?" "Kalau dilihat dari lokasi dan bukti yang ada, hanya satu kemungkinan, Alonso bunuh
“Kita tidak pernah melakukan kesalahan! Pria brengsek itu pantas mati!” geram Ridel. Mata Adrian membulat sempurna, terkejut mendengar umpatan Ridel. “Apa aku tidak salah dengar?” “Kenapa? Apa kau keberatan dengan kematiannya? Apa nyawanya lebih berharga? Terus bagaimana dengan nyawa puluhan orang yang meninggal satu demi satu di rumah sakit, akibat perbuatannya?” cetus Ridel. Bagi Ridel, cukup Alonso saja yang menjadi korban pembunuhan sadis dari sekelompok orang tak dikenal. Dia tidak ingin menambah korban lagi. Itulah kenapa Ridel memilih mengucapkan kata-kata pedas, terutama jika didengar oleh keluarga Alonso. Adrian melongo, sebelum akhirnya mengumpat dan berteriak dengan kesal, “Woy … sebenarnya apa yang kau pikirkan? Kau memintaku bertemu, tapi kenapa justru sekarang kau pergi seenak jidatmu? Ridel ... Ridel ...," Namun, sekeras apapun Adrian berteriak memanggilnya, tapi tak membuat Ridel berpaling, justru sebaliknya. Dia mempercepat laju motornya meninggalkan gedu
“Apakah ada orang lain di apartemen ini?” bisik Nadia mendesah. “Hanya pembantu, tapi kau tenang saja. Dia tidak akan berani buka suara,” jawab sang dokter balik berbisik. “Apa?” pekik Nadia dan langsung membuka matanya, terkejut. “Kau jangan terkejut, dia tidak akan berani berbuat apa-apa. Dia takut padaku,” jawab sang dokter berbisik. “Sejak kapan ada pembantu di rumahmu? Bukankah sebelumnya tidak ada?” tanya Nadia penasaran. “Setiap hari, pembantu itu ada. Hanya saja dia masuk jam 10.00 pagi terus pulang setelah semua pekerjaan selesai. Berhubung kau datang Tengah hari, ya mau gimana lagi. Kau tahu sendiri kan, bagaimana kalau adik kecilku mengamuk? Masa iya, aku mintanya sama pembantu itu? Gak mungkin, kan?” “Tapi,” Nadia tidak meneruskan kalimatnya, tapi hanya desahan kenikmatan ketika tangan nakal Ridel mulai menjelajah area sensitifnya. Satu persatu pakaian yang dikenakan Nadia berserakan di lantai, bahkan pembantu yang sedang bekerja memilih ke dapur. Meskipu