49
Abraham kembali menggelengkan kepalanya, merasa pemikirannya mulai terganggu oleh hal yang ia anggap sebagai pemecah konsentrasi.Abraham bahkan harus menghela napas berat guna menghilangkan pemikiran tersebut dari kepalanya. "Sadar Abra! Kamu gak mungkin jatuh cinta pada ibu susu putramu sendiri!" desahnya, penuh sesal."Seandainya benar pun, kamu jatuh cinta sama dia? Dia yang gak mungkin jatuh cinta sama kamu! Kamu sudah tua Abra! Sementara Ayleen itu masih sangat muda.Dirinya pasti mencari lelaki yang seumuran dengannya, yang masih gagah, tampan juga berdompet ... tebal," gumamnya lirih di akhir kalimat.Kening Abraham berkerut saat menyadari apa yang ia ucapkan justru merujuk pada dirinya sendiri. "Eh, tapi ...," Suaranya tercekat. Ia lantas menghela napas berat kembali."Ahh ... pokoknya gak mungkin! Ayleen gak mungkin suka sama kamu Abra! Kamu harus ingat, jika kamu itu sudah terlalu tua untuknya. Meskipun kamu berwaja50Erwin terus saja melanjutkan aksinya, masa bod0h dengan respon Ayleen yang terus berusaha menolaknya. Ayleen tidak pasrah begitu saja. Ia kembali memberontak sekuat tenaga yang ia bisa, membuat Erwin semakin kesal.Erwin dengan cepat bangkit dari atas tubuhnya, tangan kanannya terangkat ke atas, lalu turun ke bawah dengan cepat, ke arah pipi Ayleen hingga suara kedua benda yang beradu dengan keras itupun tidak bisa ia hindari.Kepala Ayleen tertoleh ke kiri, sudut bibirnya kembali pecah hingga membuat cairan merah kental berbau amis keluar dari celah bibirnya yang terbuka.Mata Ayleen terbelalak, tidak menyangka jika dirinya kembali dit4m - p4r oleh sang mantan suami.Bertepatan dengan itu, Abraham yang akhirnya telah tiba di depan pintu depan, terkejut saat mendengar suara dua buah benda saling beradu kencang hingga menimbulkan suara tepukan nyaring, mata Abraham bahkan membola. "Ayleen," ucapnya lirih, terdengar panik.Abrah
Namun lelaki itu gegas menggeleng kuat, berusaha menyadarkan dirinya sendiri dari rasa kagum yang ia rasakan. "Ini gak boleh terjadi Abra! Ingat, kamu sudah tua. Sementara Ayleen masih sangat muda. Dia tidak mungkin menyukaimu, apalagi sampai jatuh cinta denganmu," batinnya, berusaha keras menolak kenyataan yang ada.Ayleen yang melihat sang majikan mengangguk lalu menggeleng, seketika mengerutkan keningnya heran. Tidak mengerti kenapa lelaki itu bertingkah di luar kebiasaannya yang selalu kaku dan datar layaknya robot.Ayleen lantas kembali memberanikan dirinya untuk bertanya. "Pak," panggilnya pelan."Heh!" ucap Abraham, tanpa sadar menyeletuk. Ia lantas membungkam mulutnya sendiri, merasa sangat malu karena telah bersikap tidak jelas.Sementara Ayleen hanya bisa ternganga lebar, tidak menyangka jika sang majikan yang selalu bersikap kaku bisa merubah sikapnya layaknya manusia biasa.Abraham pun berdehem singkat, menarik perhatian Ayleen, membuat mata wanita itu mengerjap, lalu menu
Bab 52"Ini tidak seperti yang kamu lihat!" tegur Abraham, berjalan ke arah Helmi, menepuk pundak kirinya. "cepat lepaskan tali yang mengikat Ayleen agar kita bisa segera pulang ke rumah.""Baik, Pak!" sahut Helmi tegas, sedikit meringis karenanya pundaknya sakit bekas diremas kuat sang atasan yang nampaknya kesal padanya.Helmi lantas mengerjakan perintah Abraham, sementara lelaki itu segera berlalu dari sana menuju mobil, duduk di dalamnya."Astaghfirullah hal adziim! Bisa-bisanya kamu seperti itu, Abra!" desahnya, mengacak kasar rambut hingga berantakan.***Ayleen dan Helmi berjalan beriringan menuju mobil Abraham. Sementara Erwin telah dibawa oleh anak buahnya ke dalam mobil mereka.Helmi mengetuk kaca mobil, membuat Abraham menurunkan kacanya ke bawah. "Bu Ayleen ikut mobil saya atau mobil Bapak?" tanyanya berhati-hati.Abraham tidak menjawab, hanya lirikan tajam yang ia berikan. Namun mampu membuat Helmi mengerti. Lelaki itu lantas meminta Ayleen untuk masuk ke dalam mobil.Ay
Ayleen segera kembali setelah selesai mengganti pakaiannya. Namun ia segera menghentikan langkah, begitu tiba di belakang Abraham yang nampak sibuk menerima panggilan telepon."Iya, Ma. Sudah sama saya, kok. Mama tenang aja," tukas Abraham dengan lembut. Nampak begitu sabar mendengarkan seluruh ucapan ibunya."Beneran?! Terus, Ayleen nya mana?" desak Bu Emil, antusias."Ayleen lagi ganti baju, Ma," terang Abraham."Tadi bajunya kotor jadi saya minta untuk ganti. sekarang kami sedang mampir di salah satu rumah makan yang ada di kawasan jalan XXX. Karena Ayleen bilang kalo dia lapar," beber Abraham, sebelum sang mama bertanya lebih jauh lagi."Ohh ... Ayleen lapar, toh! Makanya langsung berangkat ke rumah makan," goda Bu Emil, meledek Abraham.Abraham mendengkus, enggan menjawab karena tak mau ribet.Sementara di sisi lain, tampak Ayleen sudah selesai dengan aktifitas ganti bajunya. Ia segera mendekat, memanggil sang majik
"S-saya tidak berani, Pak," elak Ayleen, semakin menunduk.Abraham menghela napas pendek, mulutnya terkatup rapat. Lelaki itu bergegas membuka pintu, keluar dari dalam mobil.Ayleen menyusul kemudian. Keduanya berjalan beriringan menuju pintu depan. Abraham menekan bel, dan tak lama berselang, pintu dibuka dari dalam oleh Bik Ida, disusul oleh Bu Emil yang menatap Ayleen dengan sorot khawatir."Assalamualaikum, Ma," ucap Abraham sopan, berdiri membelakangi Ayleen."Wa'alaikum salam," sahut Bu Emil cepat, mendorong tubuh sang putra agar menyingkir ke samping kanan, membuat lelaki itu menatap heran pada ibunya. Namun wanita itu tidak ambil perduli.Ia justru segera menarik kedua bahu Ayleen, membawanya masuk ke dalam pelukan hingga membuat wanita itu terpana, tak bisa berkata apa-apa."Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Bu Emil, mengurai pelukan, memindai sekujur tubuh pengasuh sang cucu, memastikan wanita itu benar baik-baik saja.
"Ayleen," panggil Abraham saat keduanya berpapasan di ruang tamu. Lelaki itu nampaknya baru saja dari arah luar karena terlihat bulir keringat membasahi keningnya.Sementara Ayleen tengah menggendong Sam, berniat membawa bocah itu jalan-jalan sore. "Iya, Pak.""Mau kemana kalian?" tanya Abraham penuh selidik."Mau ke pekarangan depan, Pak. Ngajak Sam jalan-jalan sore. Mumpung cuaca gak panas," ungkap Ayleen.Abraham terdiam. Namun kepalanya mengangguk singkat, mengizinkan. Ia bahkan menepi, menyilakan wanita itu lewat. Ayleen mengerti, ia lantas meneruskan langkah menuju pintu depan."Ay!" panggil Abraham, menghentikan langkah Ayleen, membuatnya berbalik."Ya, Pak.""Hati-hati! Jangan keluar pagar. Karena saya khawatir masih ada orang yang berniat jahat sama kamu. Nanti bukan hanya kamu yang celaka. Tapi, anak saya juga. Faham?!" peringat Abraham."Baik, Pak. Saya mengerti," sahut Ayleen lugas, menganggukkan kep
Tak lama kemudian, Erwin tiba dengan seragam orange miliknya, menatap tajam pada keduanya. Nampak menahan geram. Namun dirinya tidak bisa melakukan apa-apa karena dua orang petugas kepolisian berdiri di belakangnya.Ayleen sendiri segera memalingkan wajah, masih merasakan marah pada perbuatan gila lelaki itu yang menyisakan trauma mendalam pada dirinya. Tubuhnya bahkan tanpa sadar bergetar hebat hingga membuat Abraham tidak tega.Lelaki itu refleks mengulurkan tangan, memegang pundak kiri Ayleen, membuat gerakannya terhenti sekaligus menarik atensi Erwin yang kini mulai berprasangka yang bukan-bukan terhadap keduanya.Namun belum sempat dirinya menyeletuk, suara panggilan dari dalam meminta atensi semuanya yang berada di sana sekaligus membuat keduanya segera masuk ke dalam ruang sidang.Bertepatan dengan itu, Pak Erick tiba dengan langkah tergesa-gesa. "Maaf, saya datang terlambat," tukasnya tidak enak hati."Tidak apa-apa, Pak. Kami j
Abraham dan Ayleen saling bungkam seribu bahasa selama sisa perjalanan mereka. Bahkan wajah sang majikan nampak mengeras, cenderung dingin sehingga Ayleen pun tidak berani meminta ijin. Meskipun dirinya merasa keadaan yang ia alami saat ini begitu mendesak.Namun gesture tubuhnya tidak bisa menutupi kegelisahannya. Wanita itu sedari dari bergerak ke kanan dan ke kiri sambil sesekali meringis, mencengkram kuat ujung hijab yang ia kenakan.Abraham yang sedari tadi berusaha mengabaikan, akhirnya merasa tidak nyaman. Lelaki itu melirik sekilas dengan ujung kening mengerut. "Kenapa?" tanyanya, tidak sabar."Eh, m-maaf, Pak." Ayleen terkejut, ia menunduk, semakin mencengkram kuat ujung hijab hingga sedikit kusut."Saya tidak menyuruh kamu meminta maaf. Saya justru bertanya, kenapa kamu gelisah seperti itu?" desak Abraham, tatapan matanya lurus ke depan, memelankan laju mobilnya karena mereka tengah memasuki kawasan padat merayap."A-anu, itu, P