Bab 52"Ini tidak seperti yang kamu lihat!" tegur Abraham, berjalan ke arah Helmi, menepuk pundak kirinya. "cepat lepaskan tali yang mengikat Ayleen agar kita bisa segera pulang ke rumah.""Baik, Pak!" sahut Helmi tegas, sedikit meringis karenanya pundaknya sakit bekas diremas kuat sang atasan yang nampaknya kesal padanya.Helmi lantas mengerjakan perintah Abraham, sementara lelaki itu segera berlalu dari sana menuju mobil, duduk di dalamnya."Astaghfirullah hal adziim! Bisa-bisanya kamu seperti itu, Abra!" desahnya, mengacak kasar rambut hingga berantakan.***Ayleen dan Helmi berjalan beriringan menuju mobil Abraham. Sementara Erwin telah dibawa oleh anak buahnya ke dalam mobil mereka.Helmi mengetuk kaca mobil, membuat Abraham menurunkan kacanya ke bawah. "Bu Ayleen ikut mobil saya atau mobil Bapak?" tanyanya berhati-hati.Abraham tidak menjawab, hanya lirikan tajam yang ia berikan. Namun mampu membuat Helmi mengerti. Lelaki itu lantas meminta Ayleen untuk masuk ke dalam mobil.Ay
Ayleen segera kembali setelah selesai mengganti pakaiannya. Namun ia segera menghentikan langkah, begitu tiba di belakang Abraham yang nampak sibuk menerima panggilan telepon."Iya, Ma. Sudah sama saya, kok. Mama tenang aja," tukas Abraham dengan lembut. Nampak begitu sabar mendengarkan seluruh ucapan ibunya."Beneran?! Terus, Ayleen nya mana?" desak Bu Emil, antusias."Ayleen lagi ganti baju, Ma," terang Abraham."Tadi bajunya kotor jadi saya minta untuk ganti. sekarang kami sedang mampir di salah satu rumah makan yang ada di kawasan jalan XXX. Karena Ayleen bilang kalo dia lapar," beber Abraham, sebelum sang mama bertanya lebih jauh lagi."Ohh ... Ayleen lapar, toh! Makanya langsung berangkat ke rumah makan," goda Bu Emil, meledek Abraham.Abraham mendengkus, enggan menjawab karena tak mau ribet.Sementara di sisi lain, tampak Ayleen sudah selesai dengan aktifitas ganti bajunya. Ia segera mendekat, memanggil sang majik
"S-saya tidak berani, Pak," elak Ayleen, semakin menunduk.Abraham menghela napas pendek, mulutnya terkatup rapat. Lelaki itu bergegas membuka pintu, keluar dari dalam mobil.Ayleen menyusul kemudian. Keduanya berjalan beriringan menuju pintu depan. Abraham menekan bel, dan tak lama berselang, pintu dibuka dari dalam oleh Bik Ida, disusul oleh Bu Emil yang menatap Ayleen dengan sorot khawatir."Assalamualaikum, Ma," ucap Abraham sopan, berdiri membelakangi Ayleen."Wa'alaikum salam," sahut Bu Emil cepat, mendorong tubuh sang putra agar menyingkir ke samping kanan, membuat lelaki itu menatap heran pada ibunya. Namun wanita itu tidak ambil perduli.Ia justru segera menarik kedua bahu Ayleen, membawanya masuk ke dalam pelukan hingga membuat wanita itu terpana, tak bisa berkata apa-apa."Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Bu Emil, mengurai pelukan, memindai sekujur tubuh pengasuh sang cucu, memastikan wanita itu benar baik-baik saja.
"Ayleen," panggil Abraham saat keduanya berpapasan di ruang tamu. Lelaki itu nampaknya baru saja dari arah luar karena terlihat bulir keringat membasahi keningnya.Sementara Ayleen tengah menggendong Sam, berniat membawa bocah itu jalan-jalan sore. "Iya, Pak.""Mau kemana kalian?" tanya Abraham penuh selidik."Mau ke pekarangan depan, Pak. Ngajak Sam jalan-jalan sore. Mumpung cuaca gak panas," ungkap Ayleen.Abraham terdiam. Namun kepalanya mengangguk singkat, mengizinkan. Ia bahkan menepi, menyilakan wanita itu lewat. Ayleen mengerti, ia lantas meneruskan langkah menuju pintu depan."Ay!" panggil Abraham, menghentikan langkah Ayleen, membuatnya berbalik."Ya, Pak.""Hati-hati! Jangan keluar pagar. Karena saya khawatir masih ada orang yang berniat jahat sama kamu. Nanti bukan hanya kamu yang celaka. Tapi, anak saya juga. Faham?!" peringat Abraham."Baik, Pak. Saya mengerti," sahut Ayleen lugas, menganggukkan kep
Tak lama kemudian, Erwin tiba dengan seragam orange miliknya, menatap tajam pada keduanya. Nampak menahan geram. Namun dirinya tidak bisa melakukan apa-apa karena dua orang petugas kepolisian berdiri di belakangnya.Ayleen sendiri segera memalingkan wajah, masih merasakan marah pada perbuatan gila lelaki itu yang menyisakan trauma mendalam pada dirinya. Tubuhnya bahkan tanpa sadar bergetar hebat hingga membuat Abraham tidak tega.Lelaki itu refleks mengulurkan tangan, memegang pundak kiri Ayleen, membuat gerakannya terhenti sekaligus menarik atensi Erwin yang kini mulai berprasangka yang bukan-bukan terhadap keduanya.Namun belum sempat dirinya menyeletuk, suara panggilan dari dalam meminta atensi semuanya yang berada di sana sekaligus membuat keduanya segera masuk ke dalam ruang sidang.Bertepatan dengan itu, Pak Erick tiba dengan langkah tergesa-gesa. "Maaf, saya datang terlambat," tukasnya tidak enak hati."Tidak apa-apa, Pak. Kami j
Abraham dan Ayleen saling bungkam seribu bahasa selama sisa perjalanan mereka. Bahkan wajah sang majikan nampak mengeras, cenderung dingin sehingga Ayleen pun tidak berani meminta ijin. Meskipun dirinya merasa keadaan yang ia alami saat ini begitu mendesak.Namun gesture tubuhnya tidak bisa menutupi kegelisahannya. Wanita itu sedari dari bergerak ke kanan dan ke kiri sambil sesekali meringis, mencengkram kuat ujung hijab yang ia kenakan.Abraham yang sedari tadi berusaha mengabaikan, akhirnya merasa tidak nyaman. Lelaki itu melirik sekilas dengan ujung kening mengerut. "Kenapa?" tanyanya, tidak sabar."Eh, m-maaf, Pak." Ayleen terkejut, ia menunduk, semakin mencengkram kuat ujung hijab hingga sedikit kusut."Saya tidak menyuruh kamu meminta maaf. Saya justru bertanya, kenapa kamu gelisah seperti itu?" desak Abraham, tatapan matanya lurus ke depan, memelankan laju mobilnya karena mereka tengah memasuki kawasan padat merayap."A-anu, itu, P
Abraham bungkam seribu bahasa. Sementara Ayleen tidak berani berkata sepatah katapun, meski dirinya sedikit khawatir dengan lelaki itu. Ia bahkan memberanikan diri curi-curi pandang sedari tadi. Namun setiap kali sang majikan melirik, wanita itu berpura-pura menatap ke arah lain hingga berhasil mengusik ketenangan Abraham."Ngomong aja, Ay! Saya tahu jika kamu ingin mengatakan sesuatu!" titahnya, mencengkram kuat setir mobil hingga buku jarinya memutih."Anu ... itu ... maaf, Pak, jika saya dianggap lancang. Tapi, hmm ...," Ayleen menundukkan kepala, mencengkram erat sabuk pengaman, berusaha mengatur napas agar bisa berbicara dengan jelas."Katakan!" titah Abraham tegas.Ayleen sedikit berjengit kaget. Jantungnya berdetak sedikit lebih laju daripada sebelumnya. "Maaf, Pak. Tapi, saya penasaran kenapa Bapak tidak menerima permintaan Bu Airin soal rujuk?" tanyanya cepat, lalu menahan napas dengan mulut terkatup rapat, merasa takut seketika saat melihat sang majikan terbelalak lebar, bahk
"Iya, Ma. Akan saya pastikan itu," tukas Abraham, ikut menahan geram. "Mama tenang saja," lanjutnya, menghela napas."Iya. Mama percaya sama kamu, Abra." Bu Emil, ikut menghela napas, yakin dengan ucapan sang putra.Bu Emil kembali menatap pada Ayleen, mengulas senyum miris, benar-benar tidak tega pada wanita itu. "Kamu benar baik-baik saja, kan? Gak sedang membohongi Ibu, kan?!" desaknya.Ayleen mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Bu.""Syukurlah," desah Bu Emil, teramat lega. Senyum keibuannya bahkan hadir menghiasi wajah teduhnya."Ma, saya mau lihat Sam dulu," tukas Abraham, meminta ijin."Iya," sahut Bu Emil, menoleh pada sang putra, menganggukkan kepalanya.Abraham berlalu, meninggalkan keduanya tanpa berucap sepatah katapun. Lelaki itu hanya mengangguk singkat pada Ayleen, menghormati ibu asuh putranya itu.Sepeninggal sang putra, Bu Emil lantas menghela Ayleen ke arah sofa, duduk berdampingan. Ia bahkan menggenggam erat tangan wanita itu.Ayleen yang tidak tega, membiarkan