Bab 33Ayleen segera berlari, berlindung di balik tubuh Abraham, saat akhirnya cengkraman tangan Erwin di pipinya terlepas."Pak, sebaiknya kita pulang saja," ajak Ayleen ketakutan. Ia sangat rakut Erwin akan melukai Abraham, mengingat lelaki itu begitu nekat jika merasa hidupnya terusik. Namun, Abraham tak menggubrisnya.Tiba-tiba saja ....Bugh!Suara bogeman yang mendarat sempurna di pipi Abraham seketika membuat Ayleen memekik."Ya Allah, Pak!" Ayleen segera menjauhkan Abra dari jangkauan Erwin, sementara lelaki be-ngis itu hanya tersenyum miring."Pergi kamu, Erwin!" Teriak Ayleen memaki lelaki yang kini masih berstatus sebagai suaminya."Itu balasan bagi seseorang yang ikut campur urusanku! Belum seberapa! Tunggu balasan yang lebih dari ini!" Ucap Erwin sembari menunjuk wajah Abraham yang terlihat lebam.Baru saja Erwin hendak menarik tangan Ayleen, tiba-tiba pintu ruangan mediasi terbuka, dan seorang wanita yang tadi menjadi mediator di antara Ayleen dan Erwin keluar dari sana.
Ayleen perlahan mengunduh video yang dikirimkan oleh sang pengacara. Tak lama berselang, matanya membola saat melihat isi dari rekaman video tersebut.Bahkan dengan kikuk Ayleen menyodorkan ponsel Abraham ke tangan lelaki itu. "P-pak,"Abraham menoleh sekilas pada Ayleen, keningnya sedikit berkerut. "Apa, Ay?"Wajah Ayleen bersemu merah saat mendengar panggilan yang terlontar dari bibir Abraham. Ayleen terlihat malu-malu.Kening Abraham semakin berkerut, merasa bingung dengan perubahan mendadak wajah Ayleen. "Kenapa kamu, Ayleen?" tanyanya, tidak bisa menahan rasa penasarannya.Ayleen tersentak kaget. Ia lantas meneguk ludah kasar. "Oh ... bu-bukan apa-apa, Pak," kekehnya kikuk. Ayleen bahkan mengeluarkan cengiran lebar, merasa sangat malu. Kepalanya menunduk dalam.Abraham hanya mendengkus. Tangan kirinya menengadah hingga membuat Ayleen mengangkat kepalanya dengan sorot bertanya."Ponsel saya, Ayleen," tegas Abraham, berharap Ayleen tidak salah faham.Ayleen seketika tersenyum kikuk
Bab 35"Bagaimana?" desak Bu Emil kembali, tidak sabar menunggu jawaban Ayleen."Sa-saya—,"Ponsel Ayleen berdering, membuat ucapannya terpotong sekaligus menyelamatkannya dari pertanyaan Bu Emil."Saya ijin ngangkat telepon dulu, ya, Bu," ijinnya.Bu Emil mengangguk singkat, "iya. Angkatlah! Mungkin itu Abra yang nelepon," celetuknya santai. "kangen katanya."Ayleen sedikit terkejut. Ia bahkan menghentikan langkahnya seketika. "Eh."Bu Emil menyunggingkan senyum tipis, semakin gemas dengan tingkah Ayleen. "Dah, sana angkat! Nanti Abra marah-marah kalau gak kamu angkat teleponnya," suruhnya, mendorong kedua pundak Ayleen agar gegas mengambil ponselnya yang berada di atas nakas.Ayleen menjadi semakin kikuk. "I-iya, Bu." Ia gegas bangkit berdiri, meraih ponselnya dan benar saja, Abra lah yang kini tengah berusaha menghubunginya.Ayleen menggeser layar ponselnya dengan sedikit canggung karena Bu Emil memandangnya lekat. Ia lantas meletakkan ponsel di telinga kanannya. "Assalamualaikum.
Bab"Sa-saya tidak mikirin Pak Abra, Bu," elak Ayleen, kepalanya menunduk dalam. Kedua tangannya kini saling bertaut di depan perut."Yakin?" ledek Bu Emil sembari mengulum senyum."Y-yakin, Bu!" sahut Ayleen cepat, berusaha menegaskan. Namun suaranya justru terdengar begitu gugup."Baiklah. Ibu percaya sama kamu," tukas Bu Emil mengalah. Senyumnya tersungging semakin lebar. "oh ya, Abra nelepon kamu itu, kenapa? Tumben, gak biasanya? Apalagi kayak panik gitu suaranya!" desaknya lagi. Merasa benar-benar gemas karena Ayleen selalu mengelak. Namun tidak punya kuasa untuk memaksa.Ayleen kembali bungkam. Kepalanya semakin menunduk dalam. Dengan lirih Ayleen pun berucap. "S-saya cuman kepikiran omongan Pak Abra, Bu."Bu Emil terpana. Dirinya gegas meraih punggung tangan Ayleen kembali, menggenggamnya erat. "Dia ngomong apa sama kamu? Ibu boleh tau, kan? Soalnya Ibu penasaran." Matanya nampak berbinar penuh semangat.Ayleen kembali bungkam. Di satu sisi dirinya enggan berterus-terang, namu
Namun Ayleen bergeming. Ia justru meneruskan aksinya, menggendong Sam, berusaha menenangkannya. Tidak berusaha memperdulikan ucapan Abra, meskipun tidak menampik jika dirinya sedikit tersentil sekaligus berdebar saat ini.Abra memangkas jarak mereka, berdiri di belakang Ayleen. "Ay," panggilnya pelan.Ayleen perlahan membalikkan badannya. "Kenapa, Pak?" tanyanya, ikut bersuara pelan saat dirinya melihat Sam mulai kembali terlelap dalam buaian nya.Abra melihatnya. Ia lantas bergeming sesaat. Kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan hingga membuat mata Ayleen membola. Namun Abra memilih tidak perduli. "Kalau kamu sudah selesai ngurus Sam, keluar, ya! Ada yang ingin saya bicarakan. Saya tunggu di dapur. Sekalian, tolong bikinin kopi, bisa?" Abra menegakkan punggungnya kembali, menikmati raut merona yang Ayleen perlihatkan."Bi-bisa, Pak," jawab Ayleen gugup, berusaha menenangkan debar jantungnya yang berdegup kencang."Ok. Saya tunggu di dapur," tukas Abra seraya membalikkan badannya, l
Ayleen perlahan keluar dari kamar Sam setelah bayi itu tertidur pulas. Ia gegas menemui Abraham yang telah menunggunya di stool bar."Pak," tegur Ayleen, menyapa Abra yang nampak sibuk dengan ponselnya.Abra lantas menoleh ke belakang sekilas, kemudian kembali menekuri layar ponselnya. "Bikinkan saya kopi hitam dengan sedikit gula, ya, Ay. Nanti malam saya banyak kerjaan yang harus saya selesaikan."Ayleen mengangguk sekilas, sedikit merasa aneh, mengapa tiba-tiba dia yang diminta untuk membuatkan kopi? Padahal biasanya itu menjadi tugas ART di rumah ini. Namun ia segera menepis tanya dan melaksanakan titah majikannya."Baik, Pak," sahutnya. Ia lantas berjalan ke arah kompor, mengambil teko listrik yang berada di samping tempat penyimpanan pisau dapur, membawanya ke arah wastafel, lalu mengisi air ke dalamnya.Wajah Ayleen terlihat serius saat melakukannya. Dimana hal itu tidak luput dari perhatian Abra yang diam-diam mencuri pandang ke arahnya, dimulai sejak Ayleen mengambil teko lis
"Ba-bapak, gak serius, kan?" tanya Ayleen gugup dengan jantung berdegup kencang. Dirinya bahkan terpaksa mengekor di belakang Abraham karena kuatnya tarikan tangan lelaki itu.Abraham terkejut. Iar menghentikan langkahnya cepat hingga membuat Ayleen hampir menabrak punggung lebar lelaki itu. Namun untungnya Ayleen berhasil mengerem laju kakinya, meskipun keningnya justru berhasil menabrak punggung Abraham.Ayleen gegas mengusap keningnya yang terbentur bersamaan dengan Abraham yang membalikkan tubuhnya cepat, menghadap pada sang baby sitter."Kenapa kamu nabrak punggung saya?" tuduh Abra."Hah! Bukannya Bapak yang tiba-tiba berhenti?!" balas Ayleen menuding, menatap wajah Abraham yang terlihat datar. Tangannya turun ke bawah."Ucapan kamu yang bikin saya berhenti melangkah," ungkap Abraham, masih menuduh."Emang apa yang salah dengan ucapan saya, Pak?" tanya Ayleen bingung."Salah. Tentu salah!" Abraham bersikeras. Matanya menatap sengit pada Ayleen."Hah! Teori dari —," Ayleen terpak
Bab 40Ayleen terpana. Mulutnya terkatup rapat, bungkam seribu bahasa. Namun dirinya tidak menampik jika ia kini tengah berdebar-debar.Sementara Abraham gegas memejamkan matanya, merasa apa yang ia ucapkan semakin ngelantur.Abraham lantas kembali berdehem singkat. "Maaf, saya salah bicara. Tolong lupain apa yang sudah saya ucapkan!" titahnya seraya melepaskan kungkungannya, bergerak ke samping kanan dengan wajah terlihat serius menekuri pekerjaannya.Ayleen bergeming, jantungnya yang semula terasa meledak-ledak, kini pecah berkeping-keping. Kepalanya menunduk dalam dengan Hela napas berat lolos dari mulutnya, berusaha mengurai sesak yang melanda jiwa. Bahkan tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata.Abraham menoleh pada Ayleen. Tangannya yang sedang memencet tombol penghancur, terhenti seketika. "Kamu nangis, Ay?" tanyanya tanpa rasa bersalah.Ayleen gegas mengusap sudut matanya yang memang mengeluarkan cairan bening itu deng
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara