Dengan ini penulis mengucapkan, "Welcome to Sydney's Salting Era." Hihi Jangan lupa vote dan komen positif ya, Kesayanganku :)
Sydney mengerjap perlahan saat merasa tubuhnya bergoyang dan melayang di udara. Beberapa waktu lalu, seingatnya dia tertidur di sofa kamar si kembar setelah menyusui. ‘Apa ada gempa?!’ batin Sydney spontan membuka matanya dengan cepat. Bukannya melihat kamar si kembar, tatapan Sydney justru langsung bertemu dengan wajah Morgan yang tengah menatap lurus ke depan. Pria itu sedang menggendong dan membawanya melintasi koridor mansion yang gelap. Morgan sedikit menunduk sebelum melihat ke depan lagi. “Kau bangun?” tanya pria itu. “Lanjutkanlah tidurmu, aku hanya memindahkanmu ke kamarku.” Sydney mengeratkan pegangannya pada leher Morgan dan menyembunyikan wajahnya di sana. Wangi tubuh Morgan terhirup oleh Sydney dan menghantarkan aliran listrik yang membuat jantungnya berdebar. Napas Morgan menjadi berat. Sydney juga merasakan dada pria itu berdetak cepat. Setelah sampai di kamar Morgan, pria itu membaringkan Sydney di ranjangnya. Sydney menatap Morgan yang masih berdiri di sisi ran
“Waa … waa …!” Tangisan Jade dan Jane dari monitor yang ada di kamar Morgan membangunkan Sydney. Saat Sydney ingin bangun dari posisi berbaringnya, dia merasa sesuatu yang berat menindih pinggangnya. Itu adalah tangan Morgan yang tengah memeluk Sydney dari belakang. ‘Oh!’ Sydney berseru dalam hati saat mengingat dia tidur bersama pria itu semalaman. Benar-benar hanya tidur, sesuai perkataan Morgan. Untuk penampilan fisik yang seakan bisa meniduri wanita manapun yang dia temui, Sydney sempat tidak percaya Morgan mampu menahan diri sekuat itu. ‘Apakah aku tidak menarik di matanya?’ tanya Sydney meragukan dirinya sendiri. ‘Atau seleranya adalah … model seperti Veronica?’ Sydney menggigit bibirnya. Dengkuran Morgan yang halus dari arah belakang menyadarkan lamunan Sydney. Dia segera bangkit dengan hati-hati supaya Morgan tidak terbangun. Namun, Morgan ahli dalam merasakan perubahan gerakan yang sangat kecil. Dia menyadari Sydney bergerak menjauh dan pria itu segera mengeratkan pel
“Aku ingin mengundang mereka ke rumah mendiang orang tuaku,” tukas Sydney kemudian. “Untuk apa?” tanya Morgan sambil menaikkan kedua alis. Sydney menghela napas dan menjawab, “Mengejutkan mereka?” “Sepertinya menarik,” sahut Morgan sambil menyeringai. “Kali ini hanya aku, Morgan. Aku tidak ingin mereka tahu kita dekat,” elak Sydney dengan cepat. “Aku tidak mungkin membiarkan Tante Ghina dan Om Fred tahu tentang … kita. Mereka tidak bisa dipercaya.” Pria itu menggeleng dan membuang muka, mengalihkan perhatiannya pada si kembar yang sedang memainkan air liur mereka. Morgan mengelapnya dengan tisu. Sydney menyentuh lengan Morgan, supaya pria itu kembali menoleh padanya. “Jika tidak denganku, maka kau tidak akan mendapat izin keluar,” tukas Morgan dengan tegas tanpa menoleh. Sydney menangkup rahang Morgan dengan kedua tangannya. Lalu membuat pria itu melihat matanya. Dia menatap Morgan dengan tatapan penuh permohonan yang lembut. “Beri aku syarat apa pun, aku akan menerimanya as
Ting tong! Sydney sedang memperbaiki dekorasi bunga saat mendengar pintu bel rumah mendiang orang tuanya berbunyi tepat pada pukul tujuh malam. Rumah itu sudah Sydney dekorasi dengan indah. Taplak meja berwarna putih, bunga mawar berwarna senada, dan piring mahal koleksi mendiang ibunya berhasi mempercantik ruang makan. Untuk hidangan makan malamnya, Sydney memasaknya bersama Layla, Celia dan Miran. Morgan mewajibkan Sydney untuk memboyong ketiga pelayan ini dari mansionnya untuk tinggal sementara di sini. Sydney membuka pintu. Seperti dugaannya, dia langsung melihat wajah Ghina dan Fred. Wanita muda itu tersenyum dan mempersilakan tamunya masuk dengan mengulurkan salah satu tangan ke arah dalam. Ghina sempat mengira Sydney hanya akan berpenampilan biasa, mengingat wanita itu sudah bangkrut. Namun ternyata gaun yang Sydney kenakan adalah salah satu keluaran terbaru yang terbatas dari brand ternama. “Lihat Tante, Sydney!” Ghina langsung bersuara sambil memegang lengan Sydney, me
Sydney membeku di tempat dan membelalak. Cara Vienna mendorong Layla, mengingatkan Sydney sesuatu. Saat wanita itu mendorongnya hingga Sydney berakhir di rumah sakit dan kehilangan segalanya. Tubuh Sydney melemas, tetapi dia segera meremas tangannya untuk menguatkan diri. “Bibi!” seru Celia yang ada di dekat Layla, menyadarkan Sydney dari bayang-bayang traumanya. Celia memegang kedua bahu Layla dan membantunya berdiri. Kemudian pelayan muda itu menatap tajam Vienna dengan berani. “Beraninya Nyonya menampar Bibi Layla?! Bahkan mulutku tidak sudi memanggil wanita tanpa adab sepertimu dengan panggilan Nyonya!” protes Celia, wajahnya memerah. “Sydney, kau sangat tidak becus melatih pelayan-pelayanmu!” Vienna bangkit kembali dari duduknya. “Biar aku yang urus!” Vienna mengangkat tangannya lagi, hampir menampar Celia. Namun Sydney yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya, segera menahan tangan Vienna dengan tatapan membunuh yang dia pelajari dari Morgan. Sydney sebenarnya tidak menduga
“Tolong bicara yang baik di depan istriku, Ma, Pa. Setidaknya minta maaflah padanya karena Mama dan Papa tidak datang ke pernikahan kami.” Lucas buka suara, berusaha menengahi keluarganya dengan keluarga sang istri. Sydney menelan ludah, mengingat dulu Lucas juga selalu membelanya saat harus bersinggungan dengan Gloria dan Terry. Namun sekarang pria itu membela wanita lain di depannya. Dia mengambil segelas air dan meminumnya perlahan, tenggorokannya terasa kering. “Sayang, jangan seperti itu pada Mama dan Papa. Aku tidak apa-apa, setidaknya kita bisa bertemu di sini,” bujuk Vienna sambil mengelus pelan paha Lucas. Lucas menatap istrinya sambil menghela napas. Dari tatapan Lucas, Sydney bisa langsung tahu bahwa sepertinya pria itu belum menceritakan bagaimana hubungannya dengan kedua orang tuanya pada Vienna. “Mengapa kami harus meminta maaf pada wanita yang berhasil menikahimu dengan cara mengambilmu dari Sydney?” Gloria menanggapi Lucas. Sebelum Lucas membalas, Gloria bicara l
“Kau yang penyakitan!” hardik Vienna dengan wajah yang pucat pasi. Sydney menunduk, menahan tawa. Lalu dia kembali menyandarkan punggungnya pada kursi. “Kita berasal dari darah yang sama, Vienna,” jawab Sydney dengan tenang. “Ayah dari anakmu dan anakku juga sama. Jadi seharusnya kau lebih berhati-hati.” Vienna membelalak. Marah, panik, dan takut tergambar jelas di matanya. “A-apa penyakit Isaac berasal dari genetiknya? Atau DNA-nya? Ah, apa pun itu!” tanya Ghina merasa frustasi karena ditelan oleh rasa paniknya sendiri. Dia menatap Sydney penuh harap. Tatapannya yang tadi merendahkan Sydney dan merasa sudah di atas angin itu sirna. Fred memegang tangan istrinya, berusaha memberi kekuatan. “Tanyakan saja pada dokter. Jangan bertanya padaku,” sahut Sydney menoleh pada Ghina. “Setidaknya kau punya sedikit informasi, Sydney!” timpal Lucas dengan nada tinggi. Gloria sempat terkejut melihat Lucas semarah itu pada Sydney. Dia masih ingat dengan jelas ketika Lucas rela berlutut di k
“Ah, ada Vienna dan Lucas juga?” Senyum di wajah Nirina perlahan redup. Namun, dia dengan cepat mengalihkan perhatiannya pada Sydney dan tersenyum lagi. Dia duduk di sebelah Sydney. Gloria dan Terry juga menyambut Nirina dengan baik. Vienna sungguh ingin menyela keakraban mereka, tetapi niat itu urung dia lakukan karena tidak ingin menjadi lebih malu lagi di depan mertuanya. Makan malam berlangsung selama satu jam setelah Nirina datang. Nirina yang terkenal dingin, terlihat sangat ceria di depan Sydney, Gloria, dan Terry. Hal itu membuat Vienna sulit menikmati makan malamnya. Padahal dia dan Lucas sengaja datang untuk mengintimidasi Sydney. Namun ternyata Sydney juga mengundang beberapa orang lagi, yang cukup mampu membuat Vienna kehilangan muka. Setelah makan malam selesai, mereka semua meninggalkan ruang makan. Ghina dan Fred bahkan pulang lebih dulu sebelum sempat menanyakan soal bayi kembar yang diasuh oleh Sydney. “Aku juga ingin pulang,” rengek Vienna pelan pada Lucas.
“Kalian mendiskriminasiku,” protes Timothy, satu-satunya orang di antara mereka yang tidak bisa berbahasa isyarat.Timothy mencondongkan tubuh dan berbisik, “Apa yang kalian bicarakan? Sudah 10 menit kalian terus berinteraksi memakai bahasa isyarat. Aku merasa seperti patung.”Sydney tersenyum sambil menoleh. Dia mengetik sesuatu di ponselnya.“Maaf, Tim. Chester sedang membahas tentang kehadiran Vienna sebagai saksi, dan—tentu saja—tentang rasa jengkelnya pada Lucas.”Rasanya, Timothy masih seperti adik kecilnya yang dulu. Hanya sekarang pria itu lebih tinggi darinya.Timothy mengangkat kedua alis. Kemudian dia mengangguk-angguk pelan.Sementara Chester mengedikkan bahu dan melihat ke depan sambil menyilangkan tangan di depan dada.“Aku berniat meninju Lucas,” tukas Chester tanpa menoleh. “Kau akan melakukan apa padanya, Tim?”Timothy terkekeh. “Melihatmu. Aku tidak jago bela diri, Kak.”Chester sempat
“Apa kau benar-benar harus pergi sekarang?” tanya Sydney sambil menggerakan tangan. Hari di mana Morgan harus pergi cukup lama akhirnya tiba. Pria itu menghentikan langkahnya di depan pintu mansion. Angin pagi yang berembus pelan mengibaskan helaian rambutnya, sementara mata Sydney sudah berkaca-kaca. Sudah beberapa lama Sydney bersama Morgan, dia baru merasa kehilangan setelah pria itu berniat dinas panjang. Morgan menoleh dan melangkah mendekat. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap mata Sydney dari jarak dekat. Pria itu mengangkat tangan dan mengusap pelan air mata yang mulai turun di pipi kekasihnya. “Dengar aku baik-baik,” bisik Morgan lembut. “Kau baru boleh pergi keluar sendiri setelah pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk Bella, Vienna, dan Lucas. Mengerti?” Sydney mengangguk, cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangan. Wanita itu tampak marah pada dirinya sendiri karena terlalu lemah. Morgan mendekatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku jug
Lucas melangkah keluar dari mansion Morgan dengan langkah berat dan bahunya jatuh. Dia mengepalkan tangan erat-erat, seperti hendak meninju siapa pun yang berani menghiburnya saat itu.Udara pagi yang dingin menusuk tulang, tetapi amarah di dalam diri Lucas lebih membakar dari apa pun.Setelah Lucas menghilang di balik pintu utama, Ken berdeham.“Jika ini semua untuk membalas dendam Sydney,” ucap Ken membuka obrolan sambil menyilangkan kaki dan melirik Morgan, “mengapa kau memberi mereka jalan untuk kabur?”Morgan menyesap kopinya perlahan. Asap tipis mengepul dari permukaan cairan pekat itu.“Akan lebih menyenangkan jika mereka kalah karena rasa putus asanya setelah terluka cukup parah,” jawab Morgan sambil menaruh cangkir di atas meja. “Aku ingin melihat mereka kejang-kejang sebelum mati.”Ken tertawa kecil. Bukan tawa lepas, melainkan semacam menahan geli yang menggelitik perutnya.Dia seperti sedang menyaksikan sebua
“Kau melakukan itu untukku?” tanya Sydney seraya menaikkan kedua alis dan membentuk bahasa isyarat dengan kedua tangannya. Sydney merasa tenggorokanya kering, dan matanya belum beranjak dari milik Morgan—berusaha mencari jawaban lain, jika memang ada. Morgan mengangguk pelan. “Untuk siapa lagi?” tanya Morgan datar. “Dia mengganggumu dan hampir melukaimu. Aku tidak akan bisa memaafkannya. Lalu aku hanya memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Bella. Kedua wanita itu berkomplotan.” Sydney menyipitkan mata, tubuhnya seketika kaku. “Berkomplotan?” tanya Sydney mengulang ucapan Morgan sambil menggerakan tangan perlahan. “Apa maksudmu mereka bekerja sama dalam kasus pemerkosaan itu?” “Ya,” jawab Morgan tanpa ragu. “Bella butuh pelampiasan. Olive butuh pelindung. Mereka memanfaatkan satu sama lain seperti memperdagangkan bencana. Apa kau marah padaku?” Seketika, dunia dalam kepala Sy
"Saya butuh waktu untuk berpikir beberapa menit." Suara Lucas akhirnya pecah di antara deru napas beratnya.Tangan Lucas yang masih menggenggam kemudi, kini mulai gemetar. Di luar sana, malam begitu hening. Namun di dadanya, badai bergemuruh tanpa henti.Terdengar tawa Morgan dari seberang telepon, nyaring dan penuh ejekan.“Mengapa jadi kau yang perlu waktu untuk berpikir?” tanya Morgan penuh sarkas. “Kau yang membutuhkanku, Lucas. Jika tidak mau, silakan pergi dan jangan mengotori pemandangan dimansion-ku.”Lucas menutup mata sejenak. Dia mengangkat tangan dan menyugar rambutnya ke belakang, menahan agar kepalanya tidak meledak karena frustrasi.Seluruh tubuh Lucas terasa seperti terbakar oleh amarah dan kekalahan sekaligus.Selama ini, Lucas pikir proyek pengawalan eksklusif itu adalah peluang besar. Kerja sama dengan Morgan akan membuat nama Zahlee Entertainment dan Monarch Legal Group naik kelas.‘Sejak awal Tuan Morgan memang hanya ingin menjebakku dan Vienna,’ ucap Lucas dalam
Setelah berita beralih ke topik lain, Sydney melangkah cepat menuju ruang kerja Morgan. Dia meninggalkan Layla yang masih terpaku di sana.Namun, ada dua anak buah yang berjaga di depan ruang kerjanya. Saat melihat Sydney mendekat, keduanya membungkuk hormat.“Maaf, Nona. Tuan Morgan sedang mengadakan rapat daring dengan Menteri Perdagangan,” ujar salah satunya memberi tahu.Sydney menautkan alisnya, padahal ada banyak hal yang ingin di tanyakan.Wanita itu mengetik cepat di layar ponsel, lalu memperlihatkannya pada mereka berdua.“Beri tahu Morgan jika aku menunggu di kamarku.”“Akan kami sampaikan, Nona.” Salah satu dari mereka mengangguk.Sydney tidak berkata apa-apa lagi. Dia mencengkram ponsel dengan erat saat berjalan menjauh dengan langkah yang semakin cepat.Sesampainya di kamar, Sydney langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Rambut panjangnya menjuntai ke sisi wajah, menutupi ekspresi muram yang mulai mengendap di sana.Sydney menarik napas panjang, lalu membuka portal ber
"Apa yang baru saja kulakukan ...." desah Bella lirih dan suaranya bergetar. Begitu pula dengan tangannya yang gemetar. Pistol yang masih mengepul itu jatuh dari genggamannya dan menghantam lantai dengan dentingan logam yang keras. Pandangan Bella mengabur dan napasnya tercekat. Di hadapannya, tubuh Olive terbujur kaku di lantai kafe. Darah mengalir dari dada wanita itu, membentuk genangan yang perlahan meluas. Yang membuat Bella ketakutan, mata Olive masih terbuka dan menatapnya penuh amarah. Sunyi mendadak mengurung ruangan. “P-Pembunuh! Dia membunuhnya!” teriak seseorang di sudut ruangan. Teriakan itu membangunkan semua orang dari keterpakuan mereka. Beberapa pengunjung memekik, sebagian lainnya merunduk ketakutan. Bella menoleh cepat dengan wajah yang memucat. Bola matanya bergerak liar, seperti rusa yang terjebak dalam jerat. Wanita itu berbalik. Dengan sorot mata penuh amarah, Bella menatap tajam kedua pengawalnya yang berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa-apa. “B
“Pergilah!” geram Bella dengan wajah memerah. “Kau sudah cukup beruntung masih selamat dari amukan Morgan. Jangan mencari masalah denganku!”Alih-alih mundur atau gentar, Olive justru menanggapi dengan tawa lebar, keras, dan penuh ejekan.Suaranya menggema di dalam kafe, membuat beberapa pasang mata yang semula hanya mengintip mulai terang-terangan menoleh.“Jangan seperti itu pada teman lamamu, Veronica,” ujar Olive berpura-pura sedih sambil memegang dadanya.Bella mengernyitkan dahi. Olive tidak biasanya memanggil Bella dengan nama panggung.“Veronica Pillpel kecil yang menggemaskan dan polos,” lanjut Olive sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi, matanya bersinar penuh kemenangan.“Kau ingat? Kita sudah berteman sejak aku menemukan bakat luar biasamu di usia 17 tahun. Ya ampun, betapa cepat waktu berlalu.” Olive mengibaskan rambutnya ke belakang.Genggaman Bella pada gelas es kop
Bella menyandarkan punggungnya di kursi belakang mobil. Dia menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca apa pun. Wanita itu hanya menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah.Nina, sang manajer, baru saja membuka pintu mobil.“Kau mau beristirahat di mana?” tanya Nina sembari melirik ke arah kursi penumpang.“Bawa aku ke kafe,” desah Bella tanpa menoleh. “Aku butuh es kopi.”Tanpa bertanya lagi, Nina masuk ke kursi kemudi dan langsung menyalakan mesin. Mobil melaju perlahan menjauh dari lokasi syuting.Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Pop Cafe, sebuah tempat kecil yang sering mereka datangi untuk kabur sejenak dari hiruk-pikuk dunia selebriti.“Kau ingin pesan apa? Yang biasa?” tanya Nina sambil menoleh ke belakang, bersiap keluar.Bella menghela napas panjang, kemudian melihat sekeliling. Keramaian kafe itu seperti magnet baginya kali ini.“Aku akan ikut kau turun,” jawab Bella sambil merapikan rambut dan memeriksa riasannya di spion tengah.Nina menaikkan k