Dilara nampak memberontak hal yang barusan di lakukan oleh David. "David ... Berani beraninya kau ..." ancam Dilara dengan ke dua bola mata yang nampak membulat sempurna. Walaupun David dalam keadaan seperti orang yang sudah tidak berniat lagi untuk hidup. Namun, tenaga miliknya sungguh sangat jauh jika dibandingkan dengan milik Dilara. Melihat Dilara yang memberontak dan malah mencoba kabur darinya, David malah merasa semakin tertantang. Bahkan hasrat yang ada di dalam diri David pun terlihat bangkit. "Dilara ..." David terlihat menggendong tubuh istrinya itu ala karung beras. Dilara masih berusaha berteriak dengan keras. Bahkan ke dua tangannya yang menggantung di punggung David terlihat terus digerakkan, sebagai tanda kalau dirinya itu menolak apa yang di lakukan oleh David. Mendengar teriakan yang keluar dari bibir istrinya, hasrat yang ada didalam diri David semakin di buat menggebu gebu. "Dilara ... Bukankah sekarang ini kamu yang memancing ku? Tenanglah aku a
David terus menerus menyakinkan Dilara, agar istrinya itu mau kembali. "Kalau kamu memang tidak mau bersama lagi dengan ku, biarlah peluru pistol ini bersarang di dalam otak ku," ucap David dengan suara serius. Bahkan David terlihat mengambil pistol yang sebelumnya berada di atas laci meja yang ada di dalam kamarnya. Walaupun dirinya sudah berusaha untuk merayu istrinya itu, Dilara masih saja dalam keputusan nya. Ya, memang Dilara adalah tipe orang yang begitu keras kepala. "Aku sudah tidak punya siapa siapa pun di dunia ini Dilara. Bahkan Alfa sudah tiada, hanya kamu dan bayi yang ada di dalam perut mu ini yang menjadi tujuan hidup ku sekarang ini. Tanpa mu, lebih baik aku mati. Nanti kamu bisa mengambil ginjal yang ada di dalam tubuh ku," ujar David lagi, ia terlihat mulai mendekatkan pistol itu di kepalanya. Bagaimana pun juga, David juga manusia biasa. Dia juga mempunyai rasa lelah, kecewa dengan kehidupan yang dirinya jalani. "Aku juga ingin mengatakan pada mu untuk yang t
Dengan langkah cepat dan tangan yang terampil, Yasinta memindahkan setiap perhiasan, uang, dan barang-barang berharga lainnya ke dalam tas besar berwarna hitam. Matanya berkilat licik saat dia memasukkan arloji mewah milik Arman ke dalam saku jaketnya. "Semua ini akan laku keras di pasar gelap," desisnya dengan suara rendah, penuh dengan kalkulasi. Kamar yang semula rapi kini berantakan, lemari pakaian terbuka lebar dan laci-laci dibiarkan kosong melompong. Yasinta tidak meninggalkan satu pun barang yang bisa bernilai. Dia tahu waktu untuk melarikan diri semakin sempit. Sambil menyesuaikan kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya, dia menoleh sekali lagi ke sekeliling kamar. “Maafkan aku, Arman, tapi aku tak bisa tertangkap,” gumamnya, suara bergetar antara ketakutan dan penyesalan. Namun, keputusasaannya untuk meloloskan diri lebih kuat dari segalanya. Dia melangkah keluar kamar, mengendap-endap melewati koridor yang sunyi. Setiap langkahnya begitu hati-hati,
Di sebuah ruangan yang ada di mansion. David tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya yang mengembang lebar di bibirnya. Saat dirinya mencium bantal tempat Dilara meletakkan kepalanya, hatinya berkata, "Apa yang terjadi siang tadi benar-benar mengejutkan, ternyata cinta sejati memang ada dalam kehidupan nyata, bukan hanya dalam dongeng atau novel roman." Memikirkan kembali peristiwa di mana peluru yang seharusnya melukai kepala telah meleset kala tangan istrinya itu mengalihkan arah peluru ke tempat lain, lalu Dilara yang begitu mencintainya memeluknya dengan penuh rasa sayang. Sebuah perasaan haru dan bahagia bercampur aduk dalam hatinya. Ternyata Dilara mau membalas cintanya, bukan hanya itu saja. Cinta Dilara untuknya masih begitu banyak seperti waktu dulu. Amarah yang sebelumnya di tunjukkan oleh Dilara, ternyata hanya karena dirinya itu membutuhkan nafkah batin sempat membuat David terkejut dan merasa bersalah. "Ternyata aku itu begitu bodoh. Kenapa aku itu lupa?
Melihat suami nya, David, terjatuh di atas ring dengan kedua bola mata yang nampak memutih, Dilara merasa hatinya seperti di sayat- sayat. Dilara nampak berteriak histeris, "David..." Saat Dilara hendak naik ke atas ring untuk menghampiri suami nya yang terbaring di sana, langkahnya tiba tiba terhenti. Ditya lah yang mencegah langkah kakinya dan mencoba menenangkan cucu tunggalnya itu. "Dilara, bukankah suami mu sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa dia rela berkorban apapun, termasuk berkorban nyawa? Hanya untuk demi mendapatkan sebuah restu. Bahkan dia juga sudah memberikan semua asetnya padamu. Kenapa harus takut? Jika terjadi apapun pada David, kamu juga tidak akan rugi," ujar Ditya dengan nada dingin. Kebencian yang mendalam nampak terlihat di wajah keriput Ditya. Mendengar kata -kata yang keluar dari bibir Kakek nya itu, perasaan Dilara semakin campur aduk. "Tapi Kek, aku tidak tega melihat David begini. Aku mencintainya begitu dalam," sergah Dilara, mencoba menah
Teriakan dari Dilara, nyatanya mampu membangunkan David yang sebelumnya terkapar dilantai ring. Demi cintanya pada Dilara. Akhirnya David berusaha sekuat tenaga untuk melawan dua petinju profesional itu. "Menang!" Suara wasit membuat Dilara menangis haru. Namun hal yang berbeda, ditunjukkan oleh Ditya. Wajahnya nampak masam, tidak enak dilihat. "Kakek apa aku bilang! David menang!" kata Dilara senang. Lalu dia berlari ke arah David yang babak belur. Bahkan ada satu gigi David yang lepas. "Sayang, maafkan aku! Ketampanan ku sekarang berkurang," kata David. Dilara lantas menggeleng. "Nggak David. Sampai kapan pun, kamu akan tetap selalu tampan. Nanti aku akan memberikanmu uang untuk pasang gigi palsu di dokter gigi," kata Dilara. David memanyunkan bibirnya, teringat jika sekarang dia tidak mempunyai uang walaupun hanya satu ser pun. "Aku tahu, kalau istriku itu sangatlah baik hati," kata David lemah sebelum pingsan. "David ... " Dilara bingung dan p
David, dengan setelan jas hitam mengkilap, melangkah mantap menuju panggung pernikahan yang megah, dekorasi bunga putih dan ungu memenuhi setiap sudut ruangan. Cahaya lilin lembut menerangi wajahnya yang tampan, namun ada getaran kecil di bibirnya yang memberikan indikasi kegugupan. Dilara, mengenakan gaun pengantin yang anggun dengan ekor panjang, berjalan perlahan di lorong menuju ke arah David. Rambutnya yang terurai dengan mahkota sederhana menambah kilau pada penampilannya yang mempesona. Wajahnya yang bercahaya dipenuhi dengan air mata kebahagiaan saat matanya bertemu dengan David. "Dilara, kamu sangat cantik," bisik David dengan suara yang bergetar, mencoba menstabilkan emosinya. Dia memegang tangan Dilara, matanya berbinar tidak hanya karena cinta tetapi juga rasa terima kasih yang dalam. Dilara tersenyum lembut, matanya juga berbinar, menyimpan cerita perjuangan dan kasih yang mendalam. Mereka berdiri berhadapan, tangan mereka saling menggenggam. Penghu
Cahaya pagi yang menyelinap lewat tirai kamar pengantin menerangi wajah Dilara yang kelelahan namun tetap memancarkan kecantikan yang tak terbantahkan. David dengan lembut mengelus rambut panjang Dilara, matanya menatap dalam ke dalam mata istrinya yang sembab. "Dilara, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu kelelahan," kata David dengan suara rendah penuh penyesalan. Dilara menghela napas, mencoba tersenyum meski tubuhnya terasa remuk. "David, aku tahu kamu telah menantikan malam ini sejak lama," Dilara berbisik, tangannya yang halus menyentuh wajah David. "Tapi, tolong ingat tentang kehadiran kecil di dalam perutku. Dia juga merasakan apa yang aku rasakan." David mengangguk, rasa bersalah menggelayuti hatinya. Dia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Dilara. "Aku berjanji akan lebih berhati-hati, cinta. Kesehatanmu dan bayi kita adalah prioritasku," ucapnya, mencium kening Dilara dengan penuh kasih. Dilara menggenggam balik tangan David, matanya berk
Semua orang di rumah sakit ini tahu, betapa bucinnya David kepada istrinya. "Ini mukjizat dari Tuhan. Keadaan Nyonya Dilara sangat baik dan juga stabil," ucap dokter itu disertai dengan senyuman. Dilara perlahan membuka matanya, setelah mendapatkan suntikan vitamin dari dokter. David menoleh ke arah istrinya, dia mengernyit melihat keadaan istrinya yang masih lemah dan pucat. David pun bertanya dengan wajah kurang yakin, "tapi kenapa istri saya seperti tidak bertenaga dan kelihatan lemah?" "Hal ini wajar, untuk wanita yang habis melahirkan! Mengingat saat mereka hamil, kurang tidur dan kurang istirahat." David pun mengangguk, netranya menatap ke arah monitor yang menunjukkan semuanya normal. Lalu dokter meminta para perawat yang ada disana untuk melepaskan alat alat medis syang sebelumnya menempel pada tubuh Dilara. "David!" panggil Dilara lirih. David yang bisa mendengarnya langsung menghampiri istrinya, memegang tangannya dengan lembut. "Apakah ada yang k
Albert nampak tersenyum licik dan puas. Melihat para orang kaya sekarang ini berada di bawah kendalinya. "Laras, ternyata kamu sangat pintar. Kalau begini, perusahaan milik ku bisa berkembang dengan pesat," puji Albert. Tatapan Albert yang sebelumnya acuh dan penuh penghinaan pada Laras, sekarang berubah. Sementara Laras nampak tersenyum simpul, dari awal dia sudah membuat perhitungan pada Albert yang sombong dan juga sok kaya itu. Untuk urusan menghargai orang dengan kasta rendah seperti dirinya, memanglah David menjadi juaranya. David tidak pernah memandang rendah orang lain, sekalipun orang itu tidak memiliki kedudukan. Hal itulah yang membuat Laras sangat kesulitan untuk melupakan bayang-bayang David sampai sekarang. Semua tamu yang hadir di gedung pernikahan itu membeku ketika Laras, dalam balutan gaun pengantinnya yang mewah, berdiri di depan mereka dengan wajah tanpa emosi. Di sampingnya, beberapa bawahan bersenjata lengkap menodongkan pistol mereka ke
Perawat itu mendatangi David dengan wajah pucat. "Tuan David, tolong Anda segera masuk ke dalam ruang operasi!" ucap perawat itu, tanpa menunggu jawaban dari David dia pergi begitu saja. "Untuk sekarang, aku ingin fokus pada istriku. Untuk urusan Albert dan juga Ditya, aku serahkan pada kalian. Ntah apa hasilnya, aku akan menerimanya," ucap David pada bawahannya yang paling dia percaya. Lalu dia buru-buru berjalan mengikuti perawat itu. David merasakan dadanya seolah diperas ketika mendengar berita dari dokter bahwa Dilara masih sadar meskipun diberikan bius total. Kaki-kakinya terasa lemas mendekati meja operasi tempat Dilara berbaring dengan pucat. Dengan suara yang lemah, Dilara memanggil namanya, "David," ucapnya, mata yang sembab menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. David segera menggenggam tangan Dilara, mencoba memberikan kekuatan meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang. "Tuan David, nyonya Dilara kebal terhadap anestesi, namun operasi berjalan d
"Dilara, apa yang terjadi?" tanya David terkejut, saat di kaki istrinya keluar darah. David buru-buru menggendong istrinya mendudukkannya di ranjang dan memberikan istrinya minum. "Sekarang aku akan membawamu ke rumah sakit," titah David, meminta ijin. Sejak kematian Esti, Dilara menjadi orang pendiam dan lebih sensitif. David tahu, jika istrinya itu menyimpan luka yang begitu dalam atas kepergian Esti. Bukan hanya luka, tapi rasa bersalah dan juga penyesalan yang begitu dalam. "David, kalau aku tiada apakah kamu akan sedih?" tanya Dilara datar, wajahnya terlihat sedih dan juga putus. "Dilara sayang, kamu ini bicara apa? Bukan hanya sedih, tapi aku akan mendatangi dan meminta malaikat pencabut nyawa untuk mengembalikan nyawamu. Bahkan aku bersumpah, aku akan menukar nyawaku sendiri untukmu," kata David dengan tulus, wajahnya yang biasanya garang sekarang nampak sayu dan sedikit ketakutan. Dilara menatap ke arah suaminya, untuk mencari kebohongan disetiap tutur ka
Air mata mengalir deras di koridor rumah sakit, memecah kesunyian yang sesekali terganggu oleh langkah kaki yang tergesa-gesa. Peti mati putih berada di tengah ruangan, di dalamnya terbaring Esti yang wajahnya tampak damai meski pucat. Indira, dengan tangan gemetar, membuka sebuah amplop yang lusuh, bahkan ada noda darah yang mengering. Suara Indira bergetar saat ia mulai membacakan isi surat tersebut, "David, sejak pertama bertemu, hatiku telah memilihmu. Cinta ini tumbuh tanpa ku pinta, mengakar dalam diam, menyubur dalam senyumu yang lembut. Aku tahu, hatimu milik Dilara, dan itu tidak pernah membuatku berharap lebih. Aku mencintaimu dalam diam, mencintaimu dalam doaku, mencintaimu tanpa pernah kau tahu. Sekarang, saat aku tidak lagi bisa bernapas di dunia ini, izinkanlah aku memberikan bagian terakhir dari diriku untukmu, melalui sumbangan organ ini. Semoga ini bisa menjadi bukti cintaku yang murni, cinta yang tidak pernah meminta balasan. Terima kasih telah menjadi cahay
"Esti .... " teriakan yang begitu keras terdengar dari bibir Indira. Semua orang yang ada disana langsung berhambur menghampiri Indira. "Gak Esti .... Gak boleh," kata Indira dengan air mata yang terus mengalir dari kedua pelupuk matanya. Esti menusuk perutnya sendiri. "Indira, jaga dirimu baik-baik. Aku memang sudah sekarat." "Esti, tolong. Pikirkan baik-baik," kata Indira, ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan pegangan orang-orang yang sekarang ini sedang memegangi tubuhnya. Melihat Indira yang sangat histeris, para tenaga medis yang ada disana memegangi tubuh Indira, takut kalau sampai Indira akan melakukan hal lebih yang akan membuat nyawanya sendiri terancam. Sementara Esti, nampak tersenyum puas. Esti melakukan tindakan yang terlihat sangat cepat dan juga tangkas, para tenaga medis di rumah sakit itu tidak menyangka jika Esti memilih untuk menyakiti dirinya sendiri dengan cara seperti itu. Dan mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. "Indira, tolong
Dilara meneguk ludahnya, mencoba meredam amarah yang mulai memuncak. Mengingat jika Esti memiliki perasaan pada suaminya. Bibirnya menggigil, matanya menatap tajam ke arah David. Ada secercah kelegaan yang terpancar dari wajahnya saat mendengar Esti ingin menemui suaminya, namun seketika itu juga perasaan itu tergantikan oleh kecemasan saat mendengar penolakan dingin dari suaminya. "Maaf, aku menolaknya," ucap David dengan suara serak, tidak menunjukkan emosi apa pun. Dilara, dengan napas yang terengah-engah, cepat-cepat menyela. "Temuilah dia, karena dia telah menyelamatkanku," katanya dengan nada mendesak. Rasa terima kasih dan hutang budi terhadap Esti membuatnya lupa sejenak tentang perasaan pahit yang mungkin dia rasakan karena Esti, yang tanpa ragu, telah mencintai suaminya. Dilara ingat betul bagaimana Esti, dengan berani, melindunginya dari serangan yang menyerang mereka beberapa waktu lalu. Esti banyak terkena tembakan, tubuhnya berlumuran darah ketika dia melin
"Keputusanku sudah bulat! Tolong buatkan suratnya, akan segera aku tandatangani," ungkap Esti, walaupun sangat lemah dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk berbicara. Para dokter dan juga pesawat yang ada disana nampak saling pandang. Walaupun mereka merasa mengambil keputusan ini sangatlah berat, tapi semua ini adalah keputusan pasien. Seorang perawat yang memakai masker menatap Esti tanpa berkedip, bahkan air mata terus luruh dari kedua pelupuk matanya. "Kalau aku masih bucin dengan Etnan, apakah aku akan berakhir seperti Esti?" gumamnya. Dia mengusap air mata yang sebelumnya mengalir dari kedua pelupuk matanya. Lalu dia menyerahkan berkas itu pada seorang perawat yang berada didekat Esti. Surat untuk menyerahkan semua organ tubuh miliknya pada David akan ditandatangani oleh Esti. "Nona apakah kamu yakin akan melakukan semua ini? Ini hanya luka-luka tembak. Bahkan beberapa infeksi dengan berjalannya waktu aku yakin bisa sembuh," kata seorang dokter pria menatap
Esti tentu saja merasa sangat sakit hati, apalgi mengingat jika cintanya pada David begitu dalam. Tapi, dia yang dari awal memang tidak akan meminta balasan akhirnya memilih untuk tidak peduli lagi dengan perasaannya. Tak berselang lama. Dentuman mesin yang bising mulai memenuhi ruang kosong gedung tua, mengumumkan kedatangan mereka. David, dengan langkahnya yang cepat dan tegas, langsung turun dari kendaraan. Matanya yang tajam segera menemukan sosok yang dicarinya. David menatap istrinya dengan penuh cinta. Dilara dengan sikap manja nampak mengulurkan tangannya. Esti, meski terluka dengan beberapa luka tembak di kaki dan perutnya, merasakan detak jantungnya yang seakan melompat dari dada. Kesakitan yang sebelumnya menyiksa, tiba-tiba memudar saat sosok David yang gagah berada dalam pandangannya. Namun, harapan yang sempat membara dalam dirinya perlahan padam ketika David melewatinya tanpa henti, tanpa sekedar tatapan. David, dengan langkah yang pasti,