Melihat suami nya, David, terjatuh di atas ring dengan kedua bola mata yang nampak memutih, Dilara merasa hatinya seperti di sayat- sayat. Dilara nampak berteriak histeris, "David..." Saat Dilara hendak naik ke atas ring untuk menghampiri suami nya yang terbaring di sana, langkahnya tiba tiba terhenti. Ditya lah yang mencegah langkah kakinya dan mencoba menenangkan cucu tunggalnya itu. "Dilara, bukankah suami mu sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa dia rela berkorban apapun, termasuk berkorban nyawa? Hanya untuk demi mendapatkan sebuah restu. Bahkan dia juga sudah memberikan semua asetnya padamu. Kenapa harus takut? Jika terjadi apapun pada David, kamu juga tidak akan rugi," ujar Ditya dengan nada dingin. Kebencian yang mendalam nampak terlihat di wajah keriput Ditya. Mendengar kata -kata yang keluar dari bibir Kakek nya itu, perasaan Dilara semakin campur aduk. "Tapi Kek, aku tidak tega melihat David begini. Aku mencintainya begitu dalam," sergah Dilara, mencoba menah
Teriakan dari Dilara, nyatanya mampu membangunkan David yang sebelumnya terkapar dilantai ring. Demi cintanya pada Dilara. Akhirnya David berusaha sekuat tenaga untuk melawan dua petinju profesional itu. "Menang!" Suara wasit membuat Dilara menangis haru. Namun hal yang berbeda, ditunjukkan oleh Ditya. Wajahnya nampak masam, tidak enak dilihat. "Kakek apa aku bilang! David menang!" kata Dilara senang. Lalu dia berlari ke arah David yang babak belur. Bahkan ada satu gigi David yang lepas. "Sayang, maafkan aku! Ketampanan ku sekarang berkurang," kata David. Dilara lantas menggeleng. "Nggak David. Sampai kapan pun, kamu akan tetap selalu tampan. Nanti aku akan memberikanmu uang untuk pasang gigi palsu di dokter gigi," kata Dilara. David memanyunkan bibirnya, teringat jika sekarang dia tidak mempunyai uang walaupun hanya satu ser pun. "Aku tahu, kalau istriku itu sangatlah baik hati," kata David lemah sebelum pingsan. "David ... " Dilara bingung dan p
David, dengan setelan jas hitam mengkilap, melangkah mantap menuju panggung pernikahan yang megah, dekorasi bunga putih dan ungu memenuhi setiap sudut ruangan. Cahaya lilin lembut menerangi wajahnya yang tampan, namun ada getaran kecil di bibirnya yang memberikan indikasi kegugupan. Dilara, mengenakan gaun pengantin yang anggun dengan ekor panjang, berjalan perlahan di lorong menuju ke arah David. Rambutnya yang terurai dengan mahkota sederhana menambah kilau pada penampilannya yang mempesona. Wajahnya yang bercahaya dipenuhi dengan air mata kebahagiaan saat matanya bertemu dengan David. "Dilara, kamu sangat cantik," bisik David dengan suara yang bergetar, mencoba menstabilkan emosinya. Dia memegang tangan Dilara, matanya berbinar tidak hanya karena cinta tetapi juga rasa terima kasih yang dalam. Dilara tersenyum lembut, matanya juga berbinar, menyimpan cerita perjuangan dan kasih yang mendalam. Mereka berdiri berhadapan, tangan mereka saling menggenggam. Penghu
Cahaya pagi yang menyelinap lewat tirai kamar pengantin menerangi wajah Dilara yang kelelahan namun tetap memancarkan kecantikan yang tak terbantahkan. David dengan lembut mengelus rambut panjang Dilara, matanya menatap dalam ke dalam mata istrinya yang sembab. "Dilara, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu kelelahan," kata David dengan suara rendah penuh penyesalan. Dilara menghela napas, mencoba tersenyum meski tubuhnya terasa remuk. "David, aku tahu kamu telah menantikan malam ini sejak lama," Dilara berbisik, tangannya yang halus menyentuh wajah David. "Tapi, tolong ingat tentang kehadiran kecil di dalam perutku. Dia juga merasakan apa yang aku rasakan." David mengangguk, rasa bersalah menggelayuti hatinya. Dia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Dilara. "Aku berjanji akan lebih berhati-hati, cinta. Kesehatanmu dan bayi kita adalah prioritasku," ucapnya, mencium kening Dilara dengan penuh kasih. Dilara menggenggam balik tangan David, matanya berk
Satu jam pun berlalu, Ditya masih mondar-mandir didepan kamar Dilara. "Kenapa Dilara gak buruan keluar?" gerutu Ditya dengan wajah kesal. Lantas dengan ekspresi wajah tidak sabar, Ditya terlihat mengetuk pintu lagi. Sementara itu didalam kamar, Dilara yang sudah memakai dress-nya, berajalan ke arah pintu. Dia terlihat buru-buru karena sedari tadi, kakeknya nampak tidak sabar dan terus menerus mengetuk pintu kamarnya. Dilara memutar kedua bola matanya keatas, saat melihat ke arah kakinya. David masih memegang kaki Dilara, matanya memandang Dilara dengan pandangan yang memelas, seolah mengemis agar Dilara tidak pergi. Wajahnya yang biasanya tegar dan penuh wibawa, kini terlihat lemah dan hampir seperti anak kecil yang takut kehilangan mainannya. Dilara menatap suaminya itu, sejenak merasa bingung dengan perubahan sikap David yang drastis. Dari mafia yang dikenal kejam dan tak tergoyahkan, kini berubah menjadi suami yang terlihat rapuh hanya karena tak ingin mak
Ruang kerja kakek Dilara berubah menjadi lautan bunga mawar merah yang menyegarkan mata. Meja kayu antik yang biasanya berantakan dengan dokumen dan pena sekarang telah ditata dengan set meja makan lengkap untuk dua orang. Lilin beraroma vanila menyala lembut di tengah meja, menambah suasana yang hangat dan romantis. Dilara tercengang memandang sekeliling, matanya membulat tak percaya. "Kakek, kenapa kita akan makan siang romantis? Katanya mau bahas perusahaan," keluhnya, suaranya terdengar kecewa dan bingung. Kakek Dilara tersenyum lembut, matanya menatap Dilara dengan kasih sayang yang mendalam. "Dilara, kita baru beberapa bulan bertemu lagi setelah sangat lama terpisah. Setelah meninggalnya kedua orang tuamu, hanya kamu yang kakek punya. Kakek sekali-kali ingin makan siang denganmu, meluangkan waktu berdua, seperti dulu ketika kamu masih kecil," ujarnya, suaranya bergetar sedikit karena emosi. Dilara merasa hatinya hangat, mengingat kembali masa-masa ketika dia ser
Laras memang sengaja datang ke perusahaan milik David, untuk mengantar kakak kandung Keira. Laras sudah bersumpah, tidak akan pernah membiarkan David maupun Dilara bahagia. "Lihatlah Dilara! Aku jamin, kebahagiaan mu itu tidak akan pernah bertahan lama," gumam Laras, kedua sudut bibirnya terangkat. Laras malah memikirkan satu ide, ide untuk mendekati Ditya. "Walaupun tua gak masalah, yang penting kaya dan juga masih tampan." Laras akui, sekarang cintanya untuk Daniel masih dalam. Tapi, dia lebih mencintai nyawanya sendiri. Jika Ditya berhasil masuk ke dalam perangkapnya, dia bisa pensiun menjadi seorang pembantu. Karena bekerja sebagai pembantu itu sangat melelahkan. Sementara kakak Keira yaitu Kinan sedang berbicara dengan asisten pribadi Daniel dengan intens. "Nona, saya benar-benar minta maaf! Atasan saya sedang cuti, sekarang tidak bisa membantu Anda ... Besok Anda bisa datang kembali kalau ingin menemui atasan saya," jelas asisten pribadi Daniel dengan
Wajah David terlihat sangat masam. Hasratnya yang sebelumnya bangkit sekarang lenyap begitu saja. "David, tenanglah! Kakek hanya meminta kita untuk keluar makan malam bersama," kata Dilara mencoba merayu suaminya. Dia berharap amarah suaminya bisa mereda. Dilara menggigit bibir bawahnya. Dia yang hamil sebenarnya lebih senang melakukan hubungan seksual. Tapi kalau sudah begini apakah David masih mau untuk melanjutkan. David terlihat seperti anak kecil yang merajuk. Dia menghentak- hentakkan kakinya lalu memakai bajunya yang sempat terlepas. "David jangan marah okey, nanti aku akan bilang ke kakek, agar kita pindah saja ke rumah mu," kata Dilara. Dia juga memakai bajunya itu terburu-buru. Sebuah senyuman bahagia nampak tersungging di bibir David. "Benarkah?" Tanya David dengan wajah senang, dia bertanya lagi untuk memastikan. Dilara mengangguk, namun sorot mata keraguan tidak bisa dihilangkan begitu saja. David yang bisa melihat keraguan dari kedua b
Semua orang di rumah sakit ini tahu, betapa bucinnya David kepada istrinya. "Ini mukjizat dari Tuhan. Keadaan Nyonya Dilara sangat baik dan juga stabil," ucap dokter itu disertai dengan senyuman. Dilara perlahan membuka matanya, setelah mendapatkan suntikan vitamin dari dokter. David menoleh ke arah istrinya, dia mengernyit melihat keadaan istrinya yang masih lemah dan pucat. David pun bertanya dengan wajah kurang yakin, "tapi kenapa istri saya seperti tidak bertenaga dan kelihatan lemah?" "Hal ini wajar, untuk wanita yang habis melahirkan! Mengingat saat mereka hamil, kurang tidur dan kurang istirahat." David pun mengangguk, netranya menatap ke arah monitor yang menunjukkan semuanya normal. Lalu dokter meminta para perawat yang ada disana untuk melepaskan alat alat medis syang sebelumnya menempel pada tubuh Dilara. "David!" panggil Dilara lirih. David yang bisa mendengarnya langsung menghampiri istrinya, memegang tangannya dengan lembut. "Apakah ada yang k
Albert nampak tersenyum licik dan puas. Melihat para orang kaya sekarang ini berada di bawah kendalinya. "Laras, ternyata kamu sangat pintar. Kalau begini, perusahaan milik ku bisa berkembang dengan pesat," puji Albert. Tatapan Albert yang sebelumnya acuh dan penuh penghinaan pada Laras, sekarang berubah. Sementara Laras nampak tersenyum simpul, dari awal dia sudah membuat perhitungan pada Albert yang sombong dan juga sok kaya itu. Untuk urusan menghargai orang dengan kasta rendah seperti dirinya, memanglah David menjadi juaranya. David tidak pernah memandang rendah orang lain, sekalipun orang itu tidak memiliki kedudukan. Hal itulah yang membuat Laras sangat kesulitan untuk melupakan bayang-bayang David sampai sekarang. Semua tamu yang hadir di gedung pernikahan itu membeku ketika Laras, dalam balutan gaun pengantinnya yang mewah, berdiri di depan mereka dengan wajah tanpa emosi. Di sampingnya, beberapa bawahan bersenjata lengkap menodongkan pistol mereka ke
Perawat itu mendatangi David dengan wajah pucat. "Tuan David, tolong Anda segera masuk ke dalam ruang operasi!" ucap perawat itu, tanpa menunggu jawaban dari David dia pergi begitu saja. "Untuk sekarang, aku ingin fokus pada istriku. Untuk urusan Albert dan juga Ditya, aku serahkan pada kalian. Ntah apa hasilnya, aku akan menerimanya," ucap David pada bawahannya yang paling dia percaya. Lalu dia buru-buru berjalan mengikuti perawat itu. David merasakan dadanya seolah diperas ketika mendengar berita dari dokter bahwa Dilara masih sadar meskipun diberikan bius total. Kaki-kakinya terasa lemas mendekati meja operasi tempat Dilara berbaring dengan pucat. Dengan suara yang lemah, Dilara memanggil namanya, "David," ucapnya, mata yang sembab menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. David segera menggenggam tangan Dilara, mencoba memberikan kekuatan meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang. "Tuan David, nyonya Dilara kebal terhadap anestesi, namun operasi berjalan d
"Dilara, apa yang terjadi?" tanya David terkejut, saat di kaki istrinya keluar darah. David buru-buru menggendong istrinya mendudukkannya di ranjang dan memberikan istrinya minum. "Sekarang aku akan membawamu ke rumah sakit," titah David, meminta ijin. Sejak kematian Esti, Dilara menjadi orang pendiam dan lebih sensitif. David tahu, jika istrinya itu menyimpan luka yang begitu dalam atas kepergian Esti. Bukan hanya luka, tapi rasa bersalah dan juga penyesalan yang begitu dalam. "David, kalau aku tiada apakah kamu akan sedih?" tanya Dilara datar, wajahnya terlihat sedih dan juga putus. "Dilara sayang, kamu ini bicara apa? Bukan hanya sedih, tapi aku akan mendatangi dan meminta malaikat pencabut nyawa untuk mengembalikan nyawamu. Bahkan aku bersumpah, aku akan menukar nyawaku sendiri untukmu," kata David dengan tulus, wajahnya yang biasanya garang sekarang nampak sayu dan sedikit ketakutan. Dilara menatap ke arah suaminya, untuk mencari kebohongan disetiap tutur ka
Air mata mengalir deras di koridor rumah sakit, memecah kesunyian yang sesekali terganggu oleh langkah kaki yang tergesa-gesa. Peti mati putih berada di tengah ruangan, di dalamnya terbaring Esti yang wajahnya tampak damai meski pucat. Indira, dengan tangan gemetar, membuka sebuah amplop yang lusuh, bahkan ada noda darah yang mengering. Suara Indira bergetar saat ia mulai membacakan isi surat tersebut, "David, sejak pertama bertemu, hatiku telah memilihmu. Cinta ini tumbuh tanpa ku pinta, mengakar dalam diam, menyubur dalam senyumu yang lembut. Aku tahu, hatimu milik Dilara, dan itu tidak pernah membuatku berharap lebih. Aku mencintaimu dalam diam, mencintaimu dalam doaku, mencintaimu tanpa pernah kau tahu. Sekarang, saat aku tidak lagi bisa bernapas di dunia ini, izinkanlah aku memberikan bagian terakhir dari diriku untukmu, melalui sumbangan organ ini. Semoga ini bisa menjadi bukti cintaku yang murni, cinta yang tidak pernah meminta balasan. Terima kasih telah menjadi cahay
"Esti .... " teriakan yang begitu keras terdengar dari bibir Indira. Semua orang yang ada disana langsung berhambur menghampiri Indira. "Gak Esti .... Gak boleh," kata Indira dengan air mata yang terus mengalir dari kedua pelupuk matanya. Esti menusuk perutnya sendiri. "Indira, jaga dirimu baik-baik. Aku memang sudah sekarat." "Esti, tolong. Pikirkan baik-baik," kata Indira, ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan pegangan orang-orang yang sekarang ini sedang memegangi tubuhnya. Melihat Indira yang sangat histeris, para tenaga medis yang ada disana memegangi tubuh Indira, takut kalau sampai Indira akan melakukan hal lebih yang akan membuat nyawanya sendiri terancam. Sementara Esti, nampak tersenyum puas. Esti melakukan tindakan yang terlihat sangat cepat dan juga tangkas, para tenaga medis di rumah sakit itu tidak menyangka jika Esti memilih untuk menyakiti dirinya sendiri dengan cara seperti itu. Dan mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. "Indira, tolong
Dilara meneguk ludahnya, mencoba meredam amarah yang mulai memuncak. Mengingat jika Esti memiliki perasaan pada suaminya. Bibirnya menggigil, matanya menatap tajam ke arah David. Ada secercah kelegaan yang terpancar dari wajahnya saat mendengar Esti ingin menemui suaminya, namun seketika itu juga perasaan itu tergantikan oleh kecemasan saat mendengar penolakan dingin dari suaminya. "Maaf, aku menolaknya," ucap David dengan suara serak, tidak menunjukkan emosi apa pun. Dilara, dengan napas yang terengah-engah, cepat-cepat menyela. "Temuilah dia, karena dia telah menyelamatkanku," katanya dengan nada mendesak. Rasa terima kasih dan hutang budi terhadap Esti membuatnya lupa sejenak tentang perasaan pahit yang mungkin dia rasakan karena Esti, yang tanpa ragu, telah mencintai suaminya. Dilara ingat betul bagaimana Esti, dengan berani, melindunginya dari serangan yang menyerang mereka beberapa waktu lalu. Esti banyak terkena tembakan, tubuhnya berlumuran darah ketika dia melin
"Keputusanku sudah bulat! Tolong buatkan suratnya, akan segera aku tandatangani," ungkap Esti, walaupun sangat lemah dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk berbicara. Para dokter dan juga pesawat yang ada disana nampak saling pandang. Walaupun mereka merasa mengambil keputusan ini sangatlah berat, tapi semua ini adalah keputusan pasien. Seorang perawat yang memakai masker menatap Esti tanpa berkedip, bahkan air mata terus luruh dari kedua pelupuk matanya. "Kalau aku masih bucin dengan Etnan, apakah aku akan berakhir seperti Esti?" gumamnya. Dia mengusap air mata yang sebelumnya mengalir dari kedua pelupuk matanya. Lalu dia menyerahkan berkas itu pada seorang perawat yang berada didekat Esti. Surat untuk menyerahkan semua organ tubuh miliknya pada David akan ditandatangani oleh Esti. "Nona apakah kamu yakin akan melakukan semua ini? Ini hanya luka-luka tembak. Bahkan beberapa infeksi dengan berjalannya waktu aku yakin bisa sembuh," kata seorang dokter pria menatap
Esti tentu saja merasa sangat sakit hati, apalgi mengingat jika cintanya pada David begitu dalam. Tapi, dia yang dari awal memang tidak akan meminta balasan akhirnya memilih untuk tidak peduli lagi dengan perasaannya. Tak berselang lama. Dentuman mesin yang bising mulai memenuhi ruang kosong gedung tua, mengumumkan kedatangan mereka. David, dengan langkahnya yang cepat dan tegas, langsung turun dari kendaraan. Matanya yang tajam segera menemukan sosok yang dicarinya. David menatap istrinya dengan penuh cinta. Dilara dengan sikap manja nampak mengulurkan tangannya. Esti, meski terluka dengan beberapa luka tembak di kaki dan perutnya, merasakan detak jantungnya yang seakan melompat dari dada. Kesakitan yang sebelumnya menyiksa, tiba-tiba memudar saat sosok David yang gagah berada dalam pandangannya. Namun, harapan yang sempat membara dalam dirinya perlahan padam ketika David melewatinya tanpa henti, tanpa sekedar tatapan. David, dengan langkah yang pasti,