Dilara nampak berjalan mondar mandir dengan wajah bingung, sembari membawa bayi yang hampir berumur empat bulan dalam gendongan nya. Bayi itu terlihat lemas, karena sedari tadi tidak mau menyusu, bahkan yang lebih parah nya lagi. Setelah diantar sampai ke vila oleh bebarapa pengawal. Bayi itu terus muntah dan juga diare. Dilara benar benar bingung, karena David hanya mengantar Devandra dengan seorang pelayan baru. Dan pelayan baru itu tidak mengerti perihal bayi, saat Dilara mengajak untuk berdiskusi perihal penanganan untuk Devandra. Pelayan itu nampak menolak dengan tegas untuk membantunya, karena pelayan itu sangat takut kalau sampai melakukan sebuah kesalahan yang mana akan membuat David murka, bahkan menghancurkan karir nya. Pelayan baru itu menyakinkan Dilara, bahwa dirinya adalah seorang agen intelijen, bukan seorang baby sitter. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak punya nomor Tuan David, bahkan para pengawal yang sekarang ini menjaga ku di vila ini juga tid
Alfa menoleh ke arah Keira dengan tatapan tidak percaya. Karena setahu Alfa Keira adalah sosok yang baik terhadapnya. Walaupun sikap Keira kepada David yang di lihat oleh Alfa sendiri termasuk bermuka dua. Tapi Keira berdalih, kalau dirinya berperilaku seperti itu terhadap David karena dirinya tidak menyukai David. "Keira, apa yang sebenernya kau katakan barusan?" gerutu Alfa dengan nada pelan, namun kemarahan terdengar begitu jelas dari intonasi suaranya. "Kalau kamu memang mau menghukum! Hukum saja alfa, karena dia berniat menghancurkan hidupmu. Bahkan merebut semua yang sekarang ini kamu miliki David, termasuk berniat untuk merebut ku dan bayi kita. Kamu harus tahu diri, tanpa ginjal dariku. Sampai sekarang kamu mungkin sudah tidak bernafas, jadi tolong ampuni aku sekali ini saja." imbuh Keira, dia terus saja mencari pembenaran untuk dirinya sendiri. David memasang ekspresi wajah yang sulit untuk di deskripsikan. "Jika aku memafkan mu sekarang. Bukankah hal yang sangat tidak
David hanya diam, melewati tubuh Arman begitu saja. Bahkan saat Arman menyapa dirinya, David seakan akan tidak peduli. "Bagaimana keadaan istri saya?" tanya David dengan suara yang meninggi, hal itu sengaja ia lakukan agar Arman bisa mendengar apa yang dirinya katakan. Arman sendiri, sampai sekarang ini masih berdiri mematung di tengah tengah pintu ruangan Dilara. "Ibu Dilara mengalami kecapean saja Pak ... Dan sedikit mengalami pendarahan," sahut Dokter yang berada di dalam ruangan, sementara ke empat perawat yang ada di dalam kamar Dilara, nampak mengelilingi tubuh Dilara dengan berdiri melingkar. Guna menutupi tubuh Dilara agar tidak terlihat oleh Arman. "Apakah bayi ku di dalam kandungannya baik baik saja?" tanya David, sembari berjalan mendekat ke arah brangkar istrinya. David nampak memberikan kode, pada seorang perawat agar mengusir Arman yang sedari tadi berdiri di tengah tengah pintu. "Tolong Pak, lebih baik anda keluar dulu dari ruangan ini!" perawat itu berusaha untu
"Kenapa kalian tidak segera menolong ku terlebih dahulu? Sekarang ini aku kesakitan! Rumah sakit macam apa ini? Yang tidak mementingkan keselamatan pasien nya terlebih dahulu!" Seorang wanita terlihat membentak bentak para tenaga kesehatan, kala tubuh nya sedang di lakukan Rontgen untuk melihat jumlah ginjal nya. "Harusnya kalian itu fokus mengambil peluru yang bersarang di dalam tubuh ku! Baru kalian melakukan USG!" "Tolong Nyonya Keira! Anda lebih baik diam, karena semua ini memang perintah dari Tuan David. Kami semua benar benar tidak berdaya, dan kami juga sangat menyayangi nyawa kami," salah satu Dokter yang sedang melakukan Rontgen pada wanita itu. Ternyata wanita itu adalah Keira, ya sekarang ini dirinya terlihat begitu mengenaskan. Bahkan luka bekas tembakan yang ada di tangannya hanya di balut dengan kain saja. Sama sekali belum mendapatkan sebuah pertolongan. Wajah nya terlihat kesakitan, bahkan air mata juga terus mengalir dari ke dua pelupuk matanya tanpa dirinya itu s
"Apa?" tanya David dengan wajah terkejut. Bahkan dia menatap Dilara dengan tatapan lekat, untuk mencari kebohongan didalam sor mata wanita didepannya itu. "Iya, kalau aku bilang. Aku itu Ara teman masa kecil mu yang mendonorkan ginjal nya pada mu, apakah kamu itu akan percaya David?" Dilara malah balik bertanya. Ke dua alis David nampak menyatu, sungguh ucapan yang barusan keluar dari bibir Dilara membuat nya termenung dan berpikir. "Bagaimana Dilara tahu perihal Ara ... Donor ginjal dan juga pangeran capung? Bahkan Keira sendiri tidak pernah membahas perihal pangeran capung," gumam David dalam hatinya, dirinya masih menimang nimang ucapan Dilara. Karena ucapan yang barusan keluar dari bibir manis Dilara, sungguh sangat masuk akal. Dan benar benar membuatnya mengingat perihal bayang bayang masa lalunya. "Dilara? Apakah kamu benar benar yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan?" Dengan sedikit ragu, Dilara nampak mengangguk kan kepalanya. "Jujur David, setelah hany
"Apa yang terjadi? Apakah kalian berdua saling mengenal?" tanya David, ia bersikap pura pura tidak mengetahui latar belakang istrinya. "Tu - tuan David," beo Dilara. Ucapan yang barusan keluar dari bibir Dilara, sampai di telinga Arman. "Kenapa Dilara memanggil suaminya dengan sebutan Tuan? Ya ... Pasti feeling ku benar, tidak mungkin orang seperti Tuan David mau menikahi seorang wanita seperti Dilara?" gumam Arman dalam hatinya. Memang kenapa dengan wanita seperti Dilara? Seperti nya Arman terlalu menganggap remeh dan juga enteng perihal posisi mantan istrinya itu. "Sa - saya tidak mengenalnya Tuan, tolong bantu saya untuk menyuruhnya segera keluar dari sini," ujar Dilara sembari menatap David dengan tatapan memohon. Semua ucapan yang barusan keluar dari bibir Arman benar benar menyakiti hati Dilara. Iya, Dilara tahu, jika mantan suaminya itu meminta maaf untuk kesalahan tempo lalu. Namun, dengan mencari pembenaran perihal masa lalu yang menyakitkan itu. Mantan suaminya itu
Dengan pipi semerah tomat, Dilara mati matian memalingkan pandangannya ke arah lain. Kala tubuhnya di rebahkan di atas ranjang yang ada di dalam ruangan itu. Karena infus sudah terlepas, tidak ada alasan lain bagi David untuk mengajak istrinya tidur di ranjang yang ada di ruangan itu. Karena memang sebenarnya itu ruang itu, bukan lah ruangan inap. "Kenapa Tuan David terus memandang ku dengan tatapan seperti itu? Kan aku sendiri merasa sangat risih," gumam Dilara dalam hatinya, lantas ia pun menutup matanya, karena tidak kuat dengan tatapan maut yang di berikan oleh David. Pesona yang di layangkan oleh David, benar benar membuat dirinya mabuk kepayang. "Bukankah sedari tadi kamu itu memandang wajah ku, dan memainkan jari jemari mu itu di wajah ku. Kenapa sekarang kamu malah menutup wajah mu sendiri, saat wajah kita berdua sudah sedekat ini?" tanya David heran, ia sebenarnya sudah terbangun dari tadi. Cuman ia memang membiarkan istrinya itu mengungkapkan apa yang ada di dalam hatin
David nampak membaca hasil tes milik Keira istrinya. "Ternyata ginjal milik Keira itu dua, dan ginjal milik Dilara sendiri juga sama sama dua. Jika memang Dilara terbukti sebagai Ara, wanita kecil yang aku cari. Hukuman apa yang pantas untuk aku berikan pada wanita pembohong itu," gumam David dalam hatinya, ia masih mengingat , jika Keira adalah mantan istri dan juga ibu dari darah dagingnya. Mengingat Tes DNA itu belum keluar perihal Devandra. David berjalan ke arah kaca, dimana istri yang selama ini dia cintai dan perlakukan seperti putri raja nampak mengamuk dan juga berteriak kesetanan dengan tatapan kosong. Dengan tangan yang hanya di balut oleh perban. Keira terus saja mengamuk. "Tuan David, apakah ada tindakan yang perlu kami lakukan untuk Nyonya Keira? Seperti operasi, karena saya taku. Jika di biarkan lukanya akan mengalami infeksi," kata salah seorang bawhannya dengan pakaian medis. "Biarkan dia seperti ini dulu! Ini adalah hukuman yang pantas untuk nya, karena
Sekarang ini Esti sedang memandang wajah David yang sedang terlelap didalam pesawat. Dia sama sekali tidak berkedip, kala menatap wajah tampan David. Walaupun dia sadar, sampai kapanpun dia tidak akan bisa mendapatkan hati David atau pun hidup bersamanya. Bahkan tak lama lagi, dia juga pasti akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Mengingat Dilara sudah tidak nyaman akan keberadaannya, tapi semua itu gak masalah. Esti juga sudah mengambil keputusan, apapun yang terjadi. Dia akan menghargai semua keputusan yang dibuat oleh David, dia memilih untuk menyimpan perasaannya yang salah itu rapat-rapat. Toh, kalau dia berada diposisi sama seperti Dilara. Dia juga akan melakukan hal yang sama seperti yang Dilara lakukan, karena dia memahami Dilara memang sedang berhati -hati. Mengingat sebelumnya hal jahat yang dilakukan oleh Laras pada Dilara. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik David, Laras ingin abai. Tapi, mengingat semua ini demi tugasnya menemu
"Berani-beraninya kamu melakukan hal seperti ini padaku! Aku akan membuat perhitungan padamu, dan suamiku tidak akan pernah melepaskanmu," kata Dilara seraya menjauhkan tangan Albert yang sebelumnya memegang dagunya dengan sangat kasar. Dilara tidak tahu situasi yang sebenarnya terjadi. "Hmmm, mungkin nanti saat malam pertama aku akan membuat perhitungan padamu!" kata Albert dengan nada suara yang semakin membuat Dilara jijik. "Jangan harap, siapa juga yang mau malam pertama denganmu! Gak usah mengkhayal deh!" sahut Dilara. Netranya menatap ke arah sekeliling, dia terlihat berpikiran dengan sangat keras. "Walaupun sekarang yang terjadi sebuah mimpi! Aku pun gak sudi memimpikan mu, lebih baik aku pergi dari sini sekarang!" "Aku gak menyangka, dibalik tampang polos dan bikin iba. Ternyata Nyonya David ini sangatlah galak dan sombong," ucap Albert seraya bangkit berdiri. Memberikan jalan pada Dilara yang ingin bangkit dari ranjang, karena tubuh besarnya sebelumnya mengh
"Kalau bukan karena kakek tua bangka itu yang membuat Dilara bertemu dengan Albert, situasinya gak bakalan mungkin jadi seperti sekarang ini," gumam David dengan gigi gemertak. Wajahnya sekarang ini benar-benar terlihat sangat sura... David mengepalkan tangannya di atas kemudi, matanya mengikuti pantulan lampu mobil Albert yang semakin menjauh. Esti tiba-tiba saja masuk dan duduk di sampingnya, matanya sesekali mencuri pandang ke arah David, khawatir akan keselamatannya. "Kenapa kau masuk ke dalam? Keluar!!" David murka. "Tuan, sopir Anda tadi dibius oleh seseorang, biar saya yang mengemudikan!" kilah Esti. "Esti, cukup," suara David terdengar tegas dan datar, mencerminkan kekecewaan yang mendalam. "Biarkan aku yang mengemudi." Tapi Esti, dengan lembut menaruh tangannya di atas tangan David yang masih mengepal di kemudi. "Tuan, saya hanya ingin memastikan Anda selamat. Emosi Anda sangat tinggi sekarang, bukan waktu yang tepat untuk mengemudi," ucapnya dengan s
Sekarang ini Dilara kembali mendapatkan perawatan intensif dari pihak rumah sakit, sementara David menunggu didepan pintu perawatan dengan sangat cemas. "Esti, memangnya apa yang terjadi?" kata David dengan suara mengintimidasi. Esti sendiri juga bingung, kenapa Dilara bisa bersikap overprotektif kepada dirinya? Padahal saat dulu dia menjadi suster pribadi Dilara, Dilara tidak seperti itu. Esti malah menunduk, ia sekarang ini terlihat sedang berpikiran keras. "Esti kenapa kamu hanya diam saja! Ayo jawab pertanyaan yang barusan aku berikan!" desak David. Esti mendongak, jantungnya dibuat berhenti berdetak seketika kala melihat kedua bola mata biru David. Ntah sejak kapan benih-benih cinta itu tumbuh didalam hatinya, namun yang tidak bisa dipungkiri sekarang ini Esti sendiri gak bisa mengendalikan dirinya. "Apakah ini karma? Karena dulu aku pernah membatin Indira yang sangat bucin dan rela melakukan segala cara untuk mendapatkan Etnan?" gumam Esti dalam hatinya.
Para dokter terlihat panik, bahkan mengatakan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Dilara. David terhuyung keluar dari ruangan ICU, kepanikannya tergambar jelas dari raut wajahnya yang pucat dan langkah kakinya yang tidak stabil. Dia tidak rela meninggalkan Dilara yang sedang berjuang melawan maut, namun keadaan mendesaknya untuk mencari jawaban. Dengan gemetar, dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menekan nomor Albert dengan cepat. "Albert, apa yang telah kau lakukan dengan suntikan itu? Keadaan Dilara malah semakin buruk, dia henti jantung berkali-kali!" suara David bergetar, penuh amarah dan kekhawatiran. Dari seberang sana, Albert menjawab dengan suara yang terdengar santai, "Memang itu efeknya, nanti satu jam lagi dia pasti sudah sadar. Walaupun masih linglung, ya sudah aku lagi sibuk." Ucapannya seolah menambah bensin ke api kemarahan David. David mengepalkan tangannya, urat-urat di lehernya menegang. "Bagaimana aku bisa begitu tenang?! Ini b
Karena tidak memiliki pilihan lain lagi, David pun setuju untuk berlutut dibawah kaki Albert demi sebuah obat penawar racun untuk istri tercintanya. David, dengan pakaian yang sudah lusuh dan tatapan mata yang penuh keputusasaan, berlutut di lantai yang dingin dan keras di depan Albert. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa dan kepercayaan diri kini terlihat pucat dan lemah. Albert, dengan senyum sinis, menyalakan kamera ponselnya, cahaya dari layar ponsel memantulkan kegembiraan yang kelam di matanya. "Apa yang kamu lakukan?" seru David, suaranya gemetar namun masih terdengar marah. "Aku sedang merekam apa yang dilakukan orang yang paling berkuasa di kota ini," jawab Albert dengan nada mengejek, "dunia bisnis sangat kejam. Setelah ini aku akan banyak mendapatkan kolega bisnis." David mengepalkan tangan, rasa sakit dan marah bercampur menjadi satu. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dinginnya lantai tapi juga karena perasaan terhina yang mendalam. Albert terus mer
"Menyerahkan Dilara? Itu gak bakalan terjadi!" Sergah David dengan amarah yang mulai meluap. Sementara Albert terlihat masih bersikap sombong dan juga sangat angkuh. Melihat ekspresi Albert yang tidak wajar, David bisa melihat betapa seriusnya masalah yang ia hadapi sekarang ini. "David ... Sekarang istrimu itu belum sadarkan diri bukan? Walaupun dokter terbaik di seluruh negeri ini sudah dikerahkan," kata Albert seraya tersenyum. Kedua tangan David nampak terkepal erat, kala melihat senyuman penuh kemenangan yang ditunjukkan oleh Albert. "Kau ... " David nampak menunjuk wajah Albert dengan telunjuk tangannya. Albert nampak berdiri lalu menyodorkan sebuah kertas tepat ke tangan David. "Ini adalah surat perjanjian." David dengan kasar mengambil kertas yang ada di tangan Albert. Ia menanggapi ucapan Albert dengan berkata, "iya aku tahu kalau ini adalah surat perjanjian. Siapa bilang kalau ini surat elektronik." Albert sedikit bingung, setelah mendengar ucapan Dav
David sangat panik, melihat Dilara yang tidak sadarkan diri. "Dilara!" Ia berpikiran cemas, menduga bisa saja hal yang terjadi pada Dilara sekarang ini karena masalah ginjalnya. "Gak ... Aku gak boleh berpikiran buruk tentang kesehatan Dilara. Bukankah seharusnya sudah tidak ada masalah tentang ginjalnya?" Gumam David seraya menggendong tubuh istrinya menuju ke pusat layanan kesehatan terdekat yang ada dipantai Maldives. Padahal baru saja David punya niatan untuk memfoto Dilara dibawah cahaya sunset, tapi malah istri tercintanya itu pingsan. Tak berselang lama, akhirnya pun David sampai dipusat layanan kesehatan. David menelpon asisten pribadinya. "Esti, tolong siapkan helikopter untuk kembali ke negara kita sekarang!!" Mendengar perintah David, Esti malah dibuat bingung. "Memangnya Tuan David itu sekarang ini ada dimana?" "Kamu gak tahu, sekarang aku ada dimana?" David malah balik tanya. Esti melihat kembali layar ponselnya, untuk memastikan. Apakah
Laras dengan santainya berjalan ke arah sisi Albert Wongso, tatapan matanya sinis melirik ke arah Ditya yang mematung dengan raut muka merah padam. Darah Ditya seakan mendidih, jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan pembantunya yang tak tahu malu itu berdiri dengan angkuh di samping orang yang selama ini sangat dia percayai. Ditya tertawa sini, lalu dia berkata, "Ternyata, hal buruk itu sudah kalian berdua rencanakan sebelumnya." Suaranya gemetar, mengingat kejadian di kamar dimana Laras dengan liciknya memberikan obat perangsang kepadanya. "Iya, tentu saja. Aku adalah orang yang pintar, gak mungkin jika seorang pelayan rendahan memiliki banyak uang untuk membeli beberapa kamera tersembunyi itu, ingat apapun yang terjadi kau harus bertanggung Jawab apa yang sudah kamu lakukan,," sahut Laras dengan nada tinggi dan penuh keangkuhan. Dia menatap Ditya dengan pandangan yang penuh kemenangan, seolah-olah telah memenangkan pertarungan yang tidak seimbang. "Kalau kau