Laras yang menguping pembicaraan antara Alfa dan juga David di dalam kamar Dilara nampak menghembuskan nafas lega. Kala mengetahui, jika hasil tes kehamilan yang di lakukan oleh Dilara itu menunjukkan hasil negatif. "Gimana?" tanya Etnan penasaran. "Hasilnya negatif," sahut Laras dengan suara yang terdengar lega. "Syukurlah!" Etnan juga terlihat lega, setelah mendengar apa yang Laras ucapkan. "Sampai kapan kau itu akan sadar Etnan? Aku malah merasa jengkel sendiri melihat sikap kebucinanmu pada Dilara yang sungguh membuat ku ingin muntah!" kata Laras dengan nada menghina. "Bukankah kita itu sama? Kau begitu bucin dengan Tuan David sejak lama, sedangkan aku bucin dengan Dilara." Ucapan Etnan barusan sungguh membuat Laras tersedak. "Bahkan kau sampai menurunkan harga dirimu itu sebagai wanita dengan melepas beberapa kancing baju mu itu. Bukankah itu sebuah tindakan yang terlihat tidak punya urat malu, bahkan juga juga tidak punya harga diri sebagai seorang wanita?" imbuh
David nampak memijit pelipisnya, rasa pening tiba tiba menghantam kepalanya. "Dilara hamil? Sialan!" umpat David dalam hatinya. Walaupun dirinya seorang mafia yang terkenal kejam dan juga berdarah dingin. Namun, jika di hadapkan dengan urusan bayi apalagi itu darah dagingnya sendiri. Rasanya David sungguh sunggh merasa tidak tega jika harus menghilangkan nyawa bayi yang belum terlahir di dunia ini. "Okey, aku akan memegang apa yang kau katakan! Kalau sampai ucapanmu salah, jangan salahkan aku jika aku menghancurkan karir yang sudah berpuluh puluh tahun kau bangun!" titah David dengan nada suara dingin. Hal itu sungguh membuat Dokter Spesialis Obgyn itu menelan ludahnya yang kelu, bahkan ia nampak memandang ke arah para tenaga medis lain dengan tatapan takut dan juga terlihat pilu. Para tenaga medis yang lain hanya bisa membalas tatapan pilu Dokter Spesialis Obgyn itu dengan menundukkan wajahnya, sebagai jawaban bahwa mereka tidak bisa berbuat lebih, atas hal yang sekarang ini m
"Kenapa ekspresi wajah mu malah menjadi panik? Bukankah harusnya kamu itu senang? Karena hasil tes DNA itu menunjukkan jika bayi yang di akui Arman sebagai anaknya dari wanita lain ternyata bayi yang kamu lahirkan!" David lagi lagi memasang ekspresi bingung, kala Dilara malah memasang ekspresi panik dan juga histeris. "Hiks ... Hiks ... Kamu tidak tau Tuan David! Bagaimana rasanya mengandung selama berbulan bulan ... " Ucapan Dilara terhenti kala tiba tiba David menyela ucapannya. "Tentu saja aku tidak tahu, kamukan tahu aku seorang pria. Dan pria itu tidak mungkin hamil dan juga melahirkan," sela David dengan nada datar, sembari terus memperhatikan gerak gerik istrinya. Bahkan makanan yang ada di depan meja David terlihat mulai mendingin dan tidak tersentuh. Karena sedari tadi ia terus memperhatikan istrinya. "Astaga ... Tuan aku itu bukan orang bodoh! Tentu saja aku tahu, kalau urusan hamil dan juga melahirkan itu tugas seorang wanita." Dilara juga tidak mau kalah. "Nah, itu t
Akhirnya makan malam yang di lakukan oleh Dilara bersama dengan David berakhir dengan tanda tangan yang di lakukan baik David maupun Dilara dalam secarik kertas bermaterai. Bagaimana pun hubungan ke duanya memang di landasi bukan karena atas nama cinta. Melainkan berawal dari sandiwara dan juga perjanjian semata. Saat berada di dalam mobil, David melihat wajah Dilara yang terlihat begitu murung sembari menatap ke arah kaca jendela mobil miliknya. "Apakah ada sesuatu hal yang kamu ingin kan Dilara? Kenapa sekarang ini wajah mu terlihat murung?" tanya David lembut. Dilara berusaha menahan mati matian air mata yang akan jatuh dan menetes dari ke dua pelupuk matanya. Ia merasa sedih setelah membaca dengan seksama isi dari perjanjian yang tadi ia tanda tangani dengan David. Dilara benar benar tidak menyangka, jika makan malam yang indah dan menyenangkan tadi harus tetap berakhir kecewa. Namun, apalah daya. Dirinya sekarang ini memang dalam keadaan yang tidak berdaya. Di tambah lagi d
Dilara memasang wajah yang terlihat begitu panik. Bahkan raut wajahnya menunjukkan sebuah luka trauma yang begitu mendalam. Apa lagi kala dirinya itu melihat banyak sekali darah yang mengalir dari tubuh David. "Tu - tuan kenapa anda malah bangkit berdiri? Da .... Darah itu sangat banyak sekali keluar dari tubuh Tuan David, tolong biar kan saya menelpon ambulance," kata Dilara dengan nada suara bergetar, ntah kenapa potongan potongan ingatan hal buruk yang menimpa dirinya waktu kecil sekarang ini benar benar muncul, dan menghantui pikiran yang ada di dalam otak nya. Setelah Dilara melihat luka tembak yang ada di tubuh David, dia benar-benar panik. Apalagi sebuah luka panjang dan bagian atas dada sebelah kanan milik Dilara juga karena sayatan pisau yang sebelumnya dirinya sendiri juga tidak tahu alasannya. Namun, puing puing potongan hal buruk yang sekarang muncul dan berputar putar di dalam ingatannya. Berpusat pada bayang bayang seorang laki laki kecil kecil yang selalu mengiku
Dilara sendiri nampak duduk termenung, sembari menatap ke arah suaminya yang sedang sibuk berkutat dengan laptop dan juga hape yang ada di tangannya. "Akhh." Reflek suara yang keluar dari mulut Dilara, kala merasa ada rasa sakit yang menghampiri tubuhnya. David pun sontak menoleh ke arah istrinya itu, bahkan ia segera mematikan sepihak telepon yang saat ini tersambung di dalam hape miliknya. Melihat Dilara yang memasang wajah kesakitan, bahkan mengigit bibir bawahnya sendiri. Membuat David menduga ada sesuatu yang terjadi pada istrinya. Dengan mempertahankan ekspresi datarnya, ia pun berjalan menghampiri istrinya yang masih memasang wajah kesakitan. Namun, tatapan mata David nampak beralih ke arah lantai, ntah kenapa ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari situ. "Kakimu berdarah," kata David sembari memperhatikan bercak merah yang ada di lantai. Setelah mengatakan itu, David pun nampak berjalan cepat dengan kaki jenjangnya menuju ke tempat yang terdapat kotak P3K. Setelah
"Apa? Orang orang yang berkhianat dan dalam mansion?" beo Dilara dengan wajah bingung. Kurang tidur benar benar membuat kinerja otaknya itu menjadi terganggu, dan tidak bisa berpikir dengan jernih. Jadi Dilara agak lemot untuk mencerna sesuatu. "Iya, ternyata selama ini banyak sekali orang orang yang berkhianat dan juga berniat untuk menghancurkan ku." David nampak memegang ke dua lengan istrinya. "Apakah Tuan David itu mulai menyadari? Jika di dalam mansion mewah miliknya itu banyak sekali orang orang jahat yang sangat pintar bermuka dua," gumam Dilara dalam hatinya, ia nampak melamun memikirkan apa yang barusan di katakan oleh David. Dan pikirannya langsung tertuju kepada Laras. "Dilara, jaga dirimu dan bayi yang ada di dalam kandungan mu dengan baik. Beberapa jam lagi setelah urusan ku selesai, aku pasti akan kembali. Tolong jaga Devandra juga, aku mempercayakan nya kepada mu. Dan aku minta maaf, atas perlakukan ku yang kejam tempo dulu. Kalau begitu aku pamit," imbuh David d
Dengan rahang yang mengeras, David nampak membuka pintu kamarnya dengan di ikuti oleh beberapa pengawal yang ada di belakangnya. Karena pintu kamar nya itu terkunci dari dalam, lantas David dan agen baru yang dia tugaskan untuk menata matai rumahnya guna membuka pintu kamarnya dan menghancurkan sandi yah terpasang di pintu kamar miliknya itu. "Esti, cepat kamu buka dan hancurkan sandi yang terpasang di sana! Aku tahu, kalau istri ku itu sudah sadar dan mulai berulah di dalam!" titah David dengan suara yang terdengar mengglegar. Padahal, David berbicara tanpa mengeluarkan teriakan. Namun, suara nya terdengar seperti harimau yang mengapung. "Baik Tuan," sahut Esti sembari menganggukkan kepalanya. Dengan ekpresi wajah yang seperti menahan takut, Esti pun buru buru melakukan hal yang di perintahkan oleh David. Dengan cekatan, Esti nampak mengeluarkan alat dari saku celananya. Alat itu terlihat mempunyai kabel, lalu menghubungkan alat itu dan pintu milik David lewat kabel yang
Sekarang ini Esti sedang memandang wajah David yang sedang terlelap didalam pesawat. Dia sama sekali tidak berkedip, kala menatap wajah tampan David. Walaupun dia sadar, sampai kapanpun dia tidak akan bisa mendapatkan hati David atau pun hidup bersamanya. Bahkan tak lama lagi, dia juga pasti akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Mengingat Dilara sudah tidak nyaman akan keberadaannya, tapi semua itu gak masalah. Esti juga sudah mengambil keputusan, apapun yang terjadi. Dia akan menghargai semua keputusan yang dibuat oleh David, dia memilih untuk menyimpan perasaannya yang salah itu rapat-rapat. Toh, kalau dia berada diposisi sama seperti Dilara. Dia juga akan melakukan hal yang sama seperti yang Dilara lakukan, karena dia memahami Dilara memang sedang berhati -hati. Mengingat sebelumnya hal jahat yang dilakukan oleh Laras pada Dilara. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik David, Laras ingin abai. Tapi, mengingat semua ini demi tugasnya menemu
"Berani-beraninya kamu melakukan hal seperti ini padaku! Aku akan membuat perhitungan padamu, dan suamiku tidak akan pernah melepaskanmu," kata Dilara seraya menjauhkan tangan Albert yang sebelumnya memegang dagunya dengan sangat kasar. Dilara tidak tahu situasi yang sebenarnya terjadi. "Hmmm, mungkin nanti saat malam pertama aku akan membuat perhitungan padamu!" kata Albert dengan nada suara yang semakin membuat Dilara jijik. "Jangan harap, siapa juga yang mau malam pertama denganmu! Gak usah mengkhayal deh!" sahut Dilara. Netranya menatap ke arah sekeliling, dia terlihat berpikiran dengan sangat keras. "Walaupun sekarang yang terjadi sebuah mimpi! Aku pun gak sudi memimpikan mu, lebih baik aku pergi dari sini sekarang!" "Aku gak menyangka, dibalik tampang polos dan bikin iba. Ternyata Nyonya David ini sangatlah galak dan sombong," ucap Albert seraya bangkit berdiri. Memberikan jalan pada Dilara yang ingin bangkit dari ranjang, karena tubuh besarnya sebelumnya mengh
"Kalau bukan karena kakek tua bangka itu yang membuat Dilara bertemu dengan Albert, situasinya gak bakalan mungkin jadi seperti sekarang ini," gumam David dengan gigi gemertak. Wajahnya sekarang ini benar-benar terlihat sangat sura... David mengepalkan tangannya di atas kemudi, matanya mengikuti pantulan lampu mobil Albert yang semakin menjauh. Esti tiba-tiba saja masuk dan duduk di sampingnya, matanya sesekali mencuri pandang ke arah David, khawatir akan keselamatannya. "Kenapa kau masuk ke dalam? Keluar!!" David murka. "Tuan, sopir Anda tadi dibius oleh seseorang, biar saya yang mengemudikan!" kilah Esti. "Esti, cukup," suara David terdengar tegas dan datar, mencerminkan kekecewaan yang mendalam. "Biarkan aku yang mengemudi." Tapi Esti, dengan lembut menaruh tangannya di atas tangan David yang masih mengepal di kemudi. "Tuan, saya hanya ingin memastikan Anda selamat. Emosi Anda sangat tinggi sekarang, bukan waktu yang tepat untuk mengemudi," ucapnya dengan s
Sekarang ini Dilara kembali mendapatkan perawatan intensif dari pihak rumah sakit, sementara David menunggu didepan pintu perawatan dengan sangat cemas. "Esti, memangnya apa yang terjadi?" kata David dengan suara mengintimidasi. Esti sendiri juga bingung, kenapa Dilara bisa bersikap overprotektif kepada dirinya? Padahal saat dulu dia menjadi suster pribadi Dilara, Dilara tidak seperti itu. Esti malah menunduk, ia sekarang ini terlihat sedang berpikiran keras. "Esti kenapa kamu hanya diam saja! Ayo jawab pertanyaan yang barusan aku berikan!" desak David. Esti mendongak, jantungnya dibuat berhenti berdetak seketika kala melihat kedua bola mata biru David. Ntah sejak kapan benih-benih cinta itu tumbuh didalam hatinya, namun yang tidak bisa dipungkiri sekarang ini Esti sendiri gak bisa mengendalikan dirinya. "Apakah ini karma? Karena dulu aku pernah membatin Indira yang sangat bucin dan rela melakukan segala cara untuk mendapatkan Etnan?" gumam Esti dalam hatinya.
Para dokter terlihat panik, bahkan mengatakan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Dilara. David terhuyung keluar dari ruangan ICU, kepanikannya tergambar jelas dari raut wajahnya yang pucat dan langkah kakinya yang tidak stabil. Dia tidak rela meninggalkan Dilara yang sedang berjuang melawan maut, namun keadaan mendesaknya untuk mencari jawaban. Dengan gemetar, dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menekan nomor Albert dengan cepat. "Albert, apa yang telah kau lakukan dengan suntikan itu? Keadaan Dilara malah semakin buruk, dia henti jantung berkali-kali!" suara David bergetar, penuh amarah dan kekhawatiran. Dari seberang sana, Albert menjawab dengan suara yang terdengar santai, "Memang itu efeknya, nanti satu jam lagi dia pasti sudah sadar. Walaupun masih linglung, ya sudah aku lagi sibuk." Ucapannya seolah menambah bensin ke api kemarahan David. David mengepalkan tangannya, urat-urat di lehernya menegang. "Bagaimana aku bisa begitu tenang?! Ini b
Karena tidak memiliki pilihan lain lagi, David pun setuju untuk berlutut dibawah kaki Albert demi sebuah obat penawar racun untuk istri tercintanya. David, dengan pakaian yang sudah lusuh dan tatapan mata yang penuh keputusasaan, berlutut di lantai yang dingin dan keras di depan Albert. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa dan kepercayaan diri kini terlihat pucat dan lemah. Albert, dengan senyum sinis, menyalakan kamera ponselnya, cahaya dari layar ponsel memantulkan kegembiraan yang kelam di matanya. "Apa yang kamu lakukan?" seru David, suaranya gemetar namun masih terdengar marah. "Aku sedang merekam apa yang dilakukan orang yang paling berkuasa di kota ini," jawab Albert dengan nada mengejek, "dunia bisnis sangat kejam. Setelah ini aku akan banyak mendapatkan kolega bisnis." David mengepalkan tangan, rasa sakit dan marah bercampur menjadi satu. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dinginnya lantai tapi juga karena perasaan terhina yang mendalam. Albert terus mer
"Menyerahkan Dilara? Itu gak bakalan terjadi!" Sergah David dengan amarah yang mulai meluap. Sementara Albert terlihat masih bersikap sombong dan juga sangat angkuh. Melihat ekspresi Albert yang tidak wajar, David bisa melihat betapa seriusnya masalah yang ia hadapi sekarang ini. "David ... Sekarang istrimu itu belum sadarkan diri bukan? Walaupun dokter terbaik di seluruh negeri ini sudah dikerahkan," kata Albert seraya tersenyum. Kedua tangan David nampak terkepal erat, kala melihat senyuman penuh kemenangan yang ditunjukkan oleh Albert. "Kau ... " David nampak menunjuk wajah Albert dengan telunjuk tangannya. Albert nampak berdiri lalu menyodorkan sebuah kertas tepat ke tangan David. "Ini adalah surat perjanjian." David dengan kasar mengambil kertas yang ada di tangan Albert. Ia menanggapi ucapan Albert dengan berkata, "iya aku tahu kalau ini adalah surat perjanjian. Siapa bilang kalau ini surat elektronik." Albert sedikit bingung, setelah mendengar ucapan Dav
David sangat panik, melihat Dilara yang tidak sadarkan diri. "Dilara!" Ia berpikiran cemas, menduga bisa saja hal yang terjadi pada Dilara sekarang ini karena masalah ginjalnya. "Gak ... Aku gak boleh berpikiran buruk tentang kesehatan Dilara. Bukankah seharusnya sudah tidak ada masalah tentang ginjalnya?" Gumam David seraya menggendong tubuh istrinya menuju ke pusat layanan kesehatan terdekat yang ada dipantai Maldives. Padahal baru saja David punya niatan untuk memfoto Dilara dibawah cahaya sunset, tapi malah istri tercintanya itu pingsan. Tak berselang lama, akhirnya pun David sampai dipusat layanan kesehatan. David menelpon asisten pribadinya. "Esti, tolong siapkan helikopter untuk kembali ke negara kita sekarang!!" Mendengar perintah David, Esti malah dibuat bingung. "Memangnya Tuan David itu sekarang ini ada dimana?" "Kamu gak tahu, sekarang aku ada dimana?" David malah balik tanya. Esti melihat kembali layar ponselnya, untuk memastikan. Apakah
Laras dengan santainya berjalan ke arah sisi Albert Wongso, tatapan matanya sinis melirik ke arah Ditya yang mematung dengan raut muka merah padam. Darah Ditya seakan mendidih, jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan pembantunya yang tak tahu malu itu berdiri dengan angkuh di samping orang yang selama ini sangat dia percayai. Ditya tertawa sini, lalu dia berkata, "Ternyata, hal buruk itu sudah kalian berdua rencanakan sebelumnya." Suaranya gemetar, mengingat kejadian di kamar dimana Laras dengan liciknya memberikan obat perangsang kepadanya. "Iya, tentu saja. Aku adalah orang yang pintar, gak mungkin jika seorang pelayan rendahan memiliki banyak uang untuk membeli beberapa kamera tersembunyi itu, ingat apapun yang terjadi kau harus bertanggung Jawab apa yang sudah kamu lakukan,," sahut Laras dengan nada tinggi dan penuh keangkuhan. Dia menatap Ditya dengan pandangan yang penuh kemenangan, seolah-olah telah memenangkan pertarungan yang tidak seimbang. "Kalau kau