Di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh buku dan juga berkas berkas berharga, terdapat dua pria yang tengah terlibat dalam percakapan serius. Mereka duduk berhadapan di sofa, saling menatap dengan pandangan tajam. "Apa yang kau inginkan? Kenapa kau datang ke sini sekarang?" tanya David dengan nada yang tegas. "Astaga, David, Kakak sepupu ku tersayang, aku sedang enak - enak nya menikmati teh buatan kepala pelayan mu yang cantik! Kenapa tanpa basa-basi, kau langsung menjejali ku dengan banyak pertanyaan?" Alfa membalas dengan nada protes, seolah-olah dia merasa terganggu oleh pertanyaan David. David hanya bisa diam, menatap sepupunya dengan tatapan tajam dan menghembuskan nafas dengan kasar. Dia menantikan penjelasan yang lebih masuk akal dari Alfa. "Jika Kakak menanyakan alasan kenapa aku datang ke sini, sebenarnya aku hanya ingin mengatakan bahwa aku merindukan keponakanku dan ayahnya," ujar Alfa dengan nada bercanda, mencoba mengurangi ketegangan yang terasa di ruangan.
"Dilara, apa yang sebenarnya terjadi?" Suara baritone David langsung membuat kesadaran mental Dilara kembali.Saat di dalam kamarnya ada sosok pria asing, Dilara bertingkah layaknya orang gila.Semua itu terjadi akibat rasa trauma yang mendalam saat David sebelumnya memberikan hukuman padanya, saat dirinya itu melakukan sebuah kesalahan.Dilara merangkak mendekati kaki David, kesedihan terpancar jelas dari wajahnya. Dalam suara yang hancur, ia berusaha meyakinkan, "Tuan David, saya mohon! Saya tidak berselingkuh atau melakukan kesalahan apa pun. Tadi ada pria asing yang tiba-tiba masuk ke kamar saya... Tolong jangan bakar hasil tes DNA itu." Ketakutan dan panik begitu terasa di setiap kata yang terlontar dari bibirnya.David hanya menghela nafas panjang, kemudian membungkuk dan membantu Dilara untuk berdiri."Iya, aku tahu. Semua ini bukan salahmu, aku yang menyuruh pria tadi masuk ke sini. Karena pria tadi adalah adik sepupuku, satu-satunya saudara yang ku kapunyai di dunia ini," je
Setelah lebih dari satu jam mengobrol dengan Alfa, akhirnya Dilara pun mulai bisa membuka diri. Bahkan lambat laun ia mulai merasa nyaman dengan sosok Alfa.Apalagi Alfa adalah pribadi yang asik dan periang, ia juga sosok yang bertutur kata lembut. Hal itu sungguh bagaikan langit dan bumi, jika di bandingkan dengan sosok David.Karena bagi Dilara, David adalah sosok yang cuek, kasar dan juga dingin. Bahkan dinginnya David bisa menembus ke dalam tulangnya."Dilara, sekali lagi aku ingin meminta maaf kepada mu. Karena tadi pagi aku itu memaksa untuk masuk ke dalam kamar mu," ujar Alfa dengan nada bicara yang terdengar tidak enak. Bahkan raut wajahnya juga terlihat bersalah."Hmm, gak papa. Sudahlah jangan di bahas lagi. Aku beneran gak papa kok, kan tadi aku juga udah bilang. Kalau aku itu memang sudah memaafkanmu," sahut Dilara dengan tutur kata lembut. Bahkan ia tersenyum sangat manis saat berbicara dengan Alfa.Hal itu sungguh mengingatkan Alfa dengan sosok gadis kecil yang biasa di
Melihat David yang pergi meninggalkan ruang kerjanya, dengan rasa penasaran yang begitu mendalam, Etnan pun berlari menuju jendela. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Karena dia juga sebenarnya penasaran, perihal alasan teriakan Dilara yang menggema di dalam ruang kerja milik David. Namun sayang, saat dirinya sampai di jendela dan melihat ke arah sekitar. Dirinya harus di buat kecewa kala tidak melihat sama sekali bayangan baik Dilara maupun Alfa. "Sialan!" gumam Etnan dengan wajah merah padam, bahkan ia terlihat mengepalkan tangannya lalu meninju nya ke arah tembok yang ada di depan nya. Membuat tangan Etnan lecet, bahkan terlihat sedikit darah yang keluar. Karena ia meninjunya dengan sangat kuat. Sementara David nampak berjalan dengan langkah kaki yang terlihat tergesa gesa menuju ke arah ruang santai yang terhubung dengan taman belakang. Karena ia bisa menebak jika saat ini baik Alfa maupun istrinya itu berada di sana. Saat akan melabrak istrinya yang sedang berdua
Beberapa hari pun berlalu, dan perasaan gelisah semakin menyelimuti hati seorang wanita yang sedang berada di dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. "Ini tidak mungkin... Ini tidak mungkin!" geram wanita itu sambil memandangi alat tes kehamilan yang sekarang ini berada di tangan nya. Memang, beberapa hari ini wanita itu merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya, dengan gejala-gejala yang sangat mirip dengan tanda-tanda kehamilan.Tapi dia yang tidak ingin hamil, tentu saja menepis semua pikiran buruk itu. "Ah, tidak mungkin aku hamil anak pria sialan itu!" bentak wanita itu, wajah nya nampak merona merah padam, menunjukkan sebuah kemarahan bercampur rasa ketakutan, dan ia pun terlihat melempar hasil tes kehamilan itu ke sudut kamar. Pikiran nya tak bisa tenang memikirkan kemungkinan tes yang mungkin saja hasilnya itu benar. Dia mengepalkan tangan, merasa tak rela jika terbukti hamil. Karena rasa cinta yang sebelumnya begitu dalam pada pria yang telah menanam kan b
Laras yang menguping pembicaraan antara Alfa dan juga David di dalam kamar Dilara nampak menghembuskan nafas lega. Kala mengetahui, jika hasil tes kehamilan yang di lakukan oleh Dilara itu menunjukkan hasil negatif. "Gimana?" tanya Etnan penasaran. "Hasilnya negatif," sahut Laras dengan suara yang terdengar lega. "Syukurlah!" Etnan juga terlihat lega, setelah mendengar apa yang Laras ucapkan. "Sampai kapan kau itu akan sadar Etnan? Aku malah merasa jengkel sendiri melihat sikap kebucinanmu pada Dilara yang sungguh membuat ku ingin muntah!" kata Laras dengan nada menghina. "Bukankah kita itu sama? Kau begitu bucin dengan Tuan David sejak lama, sedangkan aku bucin dengan Dilara." Ucapan Etnan barusan sungguh membuat Laras tersedak. "Bahkan kau sampai menurunkan harga dirimu itu sebagai wanita dengan melepas beberapa kancing baju mu itu. Bukankah itu sebuah tindakan yang terlihat tidak punya urat malu, bahkan juga juga tidak punya harga diri sebagai seorang wanita?" imbuh
David nampak memijit pelipisnya, rasa pening tiba tiba menghantam kepalanya. "Dilara hamil? Sialan!" umpat David dalam hatinya. Walaupun dirinya seorang mafia yang terkenal kejam dan juga berdarah dingin. Namun, jika di hadapkan dengan urusan bayi apalagi itu darah dagingnya sendiri. Rasanya David sungguh sunggh merasa tidak tega jika harus menghilangkan nyawa bayi yang belum terlahir di dunia ini. "Okey, aku akan memegang apa yang kau katakan! Kalau sampai ucapanmu salah, jangan salahkan aku jika aku menghancurkan karir yang sudah berpuluh puluh tahun kau bangun!" titah David dengan nada suara dingin. Hal itu sungguh membuat Dokter Spesialis Obgyn itu menelan ludahnya yang kelu, bahkan ia nampak memandang ke arah para tenaga medis lain dengan tatapan takut dan juga terlihat pilu. Para tenaga medis yang lain hanya bisa membalas tatapan pilu Dokter Spesialis Obgyn itu dengan menundukkan wajahnya, sebagai jawaban bahwa mereka tidak bisa berbuat lebih, atas hal yang sekarang ini m
"Kenapa ekspresi wajah mu malah menjadi panik? Bukankah harusnya kamu itu senang? Karena hasil tes DNA itu menunjukkan jika bayi yang di akui Arman sebagai anaknya dari wanita lain ternyata bayi yang kamu lahirkan!" David lagi lagi memasang ekspresi bingung, kala Dilara malah memasang ekspresi panik dan juga histeris. "Hiks ... Hiks ... Kamu tidak tau Tuan David! Bagaimana rasanya mengandung selama berbulan bulan ... " Ucapan Dilara terhenti kala tiba tiba David menyela ucapannya. "Tentu saja aku tidak tahu, kamukan tahu aku seorang pria. Dan pria itu tidak mungkin hamil dan juga melahirkan," sela David dengan nada datar, sembari terus memperhatikan gerak gerik istrinya. Bahkan makanan yang ada di depan meja David terlihat mulai mendingin dan tidak tersentuh. Karena sedari tadi ia terus memperhatikan istrinya. "Astaga ... Tuan aku itu bukan orang bodoh! Tentu saja aku tahu, kalau urusan hamil dan juga melahirkan itu tugas seorang wanita." Dilara juga tidak mau kalah. "Nah, itu t
Semua orang di rumah sakit ini tahu, betapa bucinnya David kepada istrinya. "Ini mukjizat dari Tuhan. Keadaan Nyonya Dilara sangat baik dan juga stabil," ucap dokter itu disertai dengan senyuman. Dilara perlahan membuka matanya, setelah mendapatkan suntikan vitamin dari dokter. David menoleh ke arah istrinya, dia mengernyit melihat keadaan istrinya yang masih lemah dan pucat. David pun bertanya dengan wajah kurang yakin, "tapi kenapa istri saya seperti tidak bertenaga dan kelihatan lemah?" "Hal ini wajar, untuk wanita yang habis melahirkan! Mengingat saat mereka hamil, kurang tidur dan kurang istirahat." David pun mengangguk, netranya menatap ke arah monitor yang menunjukkan semuanya normal. Lalu dokter meminta para perawat yang ada disana untuk melepaskan alat alat medis syang sebelumnya menempel pada tubuh Dilara. "David!" panggil Dilara lirih. David yang bisa mendengarnya langsung menghampiri istrinya, memegang tangannya dengan lembut. "Apakah ada yang k
Albert nampak tersenyum licik dan puas. Melihat para orang kaya sekarang ini berada di bawah kendalinya. "Laras, ternyata kamu sangat pintar. Kalau begini, perusahaan milik ku bisa berkembang dengan pesat," puji Albert. Tatapan Albert yang sebelumnya acuh dan penuh penghinaan pada Laras, sekarang berubah. Sementara Laras nampak tersenyum simpul, dari awal dia sudah membuat perhitungan pada Albert yang sombong dan juga sok kaya itu. Untuk urusan menghargai orang dengan kasta rendah seperti dirinya, memanglah David menjadi juaranya. David tidak pernah memandang rendah orang lain, sekalipun orang itu tidak memiliki kedudukan. Hal itulah yang membuat Laras sangat kesulitan untuk melupakan bayang-bayang David sampai sekarang. Semua tamu yang hadir di gedung pernikahan itu membeku ketika Laras, dalam balutan gaun pengantinnya yang mewah, berdiri di depan mereka dengan wajah tanpa emosi. Di sampingnya, beberapa bawahan bersenjata lengkap menodongkan pistol mereka ke
Perawat itu mendatangi David dengan wajah pucat. "Tuan David, tolong Anda segera masuk ke dalam ruang operasi!" ucap perawat itu, tanpa menunggu jawaban dari David dia pergi begitu saja. "Untuk sekarang, aku ingin fokus pada istriku. Untuk urusan Albert dan juga Ditya, aku serahkan pada kalian. Ntah apa hasilnya, aku akan menerimanya," ucap David pada bawahannya yang paling dia percaya. Lalu dia buru-buru berjalan mengikuti perawat itu. David merasakan dadanya seolah diperas ketika mendengar berita dari dokter bahwa Dilara masih sadar meskipun diberikan bius total. Kaki-kakinya terasa lemas mendekati meja operasi tempat Dilara berbaring dengan pucat. Dengan suara yang lemah, Dilara memanggil namanya, "David," ucapnya, mata yang sembab menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. David segera menggenggam tangan Dilara, mencoba memberikan kekuatan meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang. "Tuan David, nyonya Dilara kebal terhadap anestesi, namun operasi berjalan d
"Dilara, apa yang terjadi?" tanya David terkejut, saat di kaki istrinya keluar darah. David buru-buru menggendong istrinya mendudukkannya di ranjang dan memberikan istrinya minum. "Sekarang aku akan membawamu ke rumah sakit," titah David, meminta ijin. Sejak kematian Esti, Dilara menjadi orang pendiam dan lebih sensitif. David tahu, jika istrinya itu menyimpan luka yang begitu dalam atas kepergian Esti. Bukan hanya luka, tapi rasa bersalah dan juga penyesalan yang begitu dalam. "David, kalau aku tiada apakah kamu akan sedih?" tanya Dilara datar, wajahnya terlihat sedih dan juga putus. "Dilara sayang, kamu ini bicara apa? Bukan hanya sedih, tapi aku akan mendatangi dan meminta malaikat pencabut nyawa untuk mengembalikan nyawamu. Bahkan aku bersumpah, aku akan menukar nyawaku sendiri untukmu," kata David dengan tulus, wajahnya yang biasanya garang sekarang nampak sayu dan sedikit ketakutan. Dilara menatap ke arah suaminya, untuk mencari kebohongan disetiap tutur ka
Air mata mengalir deras di koridor rumah sakit, memecah kesunyian yang sesekali terganggu oleh langkah kaki yang tergesa-gesa. Peti mati putih berada di tengah ruangan, di dalamnya terbaring Esti yang wajahnya tampak damai meski pucat. Indira, dengan tangan gemetar, membuka sebuah amplop yang lusuh, bahkan ada noda darah yang mengering. Suara Indira bergetar saat ia mulai membacakan isi surat tersebut, "David, sejak pertama bertemu, hatiku telah memilihmu. Cinta ini tumbuh tanpa ku pinta, mengakar dalam diam, menyubur dalam senyumu yang lembut. Aku tahu, hatimu milik Dilara, dan itu tidak pernah membuatku berharap lebih. Aku mencintaimu dalam diam, mencintaimu dalam doaku, mencintaimu tanpa pernah kau tahu. Sekarang, saat aku tidak lagi bisa bernapas di dunia ini, izinkanlah aku memberikan bagian terakhir dari diriku untukmu, melalui sumbangan organ ini. Semoga ini bisa menjadi bukti cintaku yang murni, cinta yang tidak pernah meminta balasan. Terima kasih telah menjadi cahay
"Esti .... " teriakan yang begitu keras terdengar dari bibir Indira. Semua orang yang ada disana langsung berhambur menghampiri Indira. "Gak Esti .... Gak boleh," kata Indira dengan air mata yang terus mengalir dari kedua pelupuk matanya. Esti menusuk perutnya sendiri. "Indira, jaga dirimu baik-baik. Aku memang sudah sekarat." "Esti, tolong. Pikirkan baik-baik," kata Indira, ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan pegangan orang-orang yang sekarang ini sedang memegangi tubuhnya. Melihat Indira yang sangat histeris, para tenaga medis yang ada disana memegangi tubuh Indira, takut kalau sampai Indira akan melakukan hal lebih yang akan membuat nyawanya sendiri terancam. Sementara Esti, nampak tersenyum puas. Esti melakukan tindakan yang terlihat sangat cepat dan juga tangkas, para tenaga medis di rumah sakit itu tidak menyangka jika Esti memilih untuk menyakiti dirinya sendiri dengan cara seperti itu. Dan mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. "Indira, tolong
Dilara meneguk ludahnya, mencoba meredam amarah yang mulai memuncak. Mengingat jika Esti memiliki perasaan pada suaminya. Bibirnya menggigil, matanya menatap tajam ke arah David. Ada secercah kelegaan yang terpancar dari wajahnya saat mendengar Esti ingin menemui suaminya, namun seketika itu juga perasaan itu tergantikan oleh kecemasan saat mendengar penolakan dingin dari suaminya. "Maaf, aku menolaknya," ucap David dengan suara serak, tidak menunjukkan emosi apa pun. Dilara, dengan napas yang terengah-engah, cepat-cepat menyela. "Temuilah dia, karena dia telah menyelamatkanku," katanya dengan nada mendesak. Rasa terima kasih dan hutang budi terhadap Esti membuatnya lupa sejenak tentang perasaan pahit yang mungkin dia rasakan karena Esti, yang tanpa ragu, telah mencintai suaminya. Dilara ingat betul bagaimana Esti, dengan berani, melindunginya dari serangan yang menyerang mereka beberapa waktu lalu. Esti banyak terkena tembakan, tubuhnya berlumuran darah ketika dia melin
"Keputusanku sudah bulat! Tolong buatkan suratnya, akan segera aku tandatangani," ungkap Esti, walaupun sangat lemah dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk berbicara. Para dokter dan juga pesawat yang ada disana nampak saling pandang. Walaupun mereka merasa mengambil keputusan ini sangatlah berat, tapi semua ini adalah keputusan pasien. Seorang perawat yang memakai masker menatap Esti tanpa berkedip, bahkan air mata terus luruh dari kedua pelupuk matanya. "Kalau aku masih bucin dengan Etnan, apakah aku akan berakhir seperti Esti?" gumamnya. Dia mengusap air mata yang sebelumnya mengalir dari kedua pelupuk matanya. Lalu dia menyerahkan berkas itu pada seorang perawat yang berada didekat Esti. Surat untuk menyerahkan semua organ tubuh miliknya pada David akan ditandatangani oleh Esti. "Nona apakah kamu yakin akan melakukan semua ini? Ini hanya luka-luka tembak. Bahkan beberapa infeksi dengan berjalannya waktu aku yakin bisa sembuh," kata seorang dokter pria menatap
Esti tentu saja merasa sangat sakit hati, apalgi mengingat jika cintanya pada David begitu dalam. Tapi, dia yang dari awal memang tidak akan meminta balasan akhirnya memilih untuk tidak peduli lagi dengan perasaannya. Tak berselang lama. Dentuman mesin yang bising mulai memenuhi ruang kosong gedung tua, mengumumkan kedatangan mereka. David, dengan langkahnya yang cepat dan tegas, langsung turun dari kendaraan. Matanya yang tajam segera menemukan sosok yang dicarinya. David menatap istrinya dengan penuh cinta. Dilara dengan sikap manja nampak mengulurkan tangannya. Esti, meski terluka dengan beberapa luka tembak di kaki dan perutnya, merasakan detak jantungnya yang seakan melompat dari dada. Kesakitan yang sebelumnya menyiksa, tiba-tiba memudar saat sosok David yang gagah berada dalam pandangannya. Namun, harapan yang sempat membara dalam dirinya perlahan padam ketika David melewatinya tanpa henti, tanpa sekedar tatapan. David, dengan langkah yang pasti,