"Apa?" tanya David dengan suara meninggi, kepalanya terasa berdenyut karena kekecewaan. Wajahnya terlihat begitu menyeramkan setelah mendengarkan penuturan dari dokter terbaik di negeri ini. Rasa gusar mulai merayapi jantungnya saat menyadari bahwa istri pertamanya mungkin tidak akan segera bangun dari koma. Dokter itu nampak memegangi kedua tangannya, berusaha menyembunyikan rasa takut yang mulai melanda, apalagi di balik itu semua ada sebuah kebohongan yang harus ia jaga. Keadaannya menjadi semakin tidak menguntungkan, terjebak di antara David, seorang mafia yang terkenal akan kekejaman nya, dan tanggung jawab nya sebagai seorang dokter. "Iya, jadi Nyonya Keira sampai sekarang belum sadarkan diri. Alias koma, karena para agen intelijen yang Anda sewa untuk menginterogasi Nyonya Keira melakukannya dengan cara yang begitu kasar. Sehingga membuat luka trauma di hati Nyonya Keira bertambah, ditambah lagi, dengan fakta suaminya yang menikah lagi. Membuat hati Nyonya Keira yang terlu
"Indira ... Indira," panggil Etnan sembari memegang pergelangan tangan Indira. Ia nampak berlari dengan sangat kencang untuk mengejar langkah kaki Indira yang terlihat semakin menjauh. Dengan gerakan yang terlihat begitu kasar, bahkan kekuatan ntah datang dari mana, Indira berhasil menjauhkan tangan Etnan dari genggaman tangannya. "Indira, sebenarnya kamu itu mau kemana?" tanya Etnan lagi, sembari berusaha mengejar langkah kaki Indira yang menjauh. "Apa kau itu tidak lihat, kalau sekarang ini kita berdua itu berada di depan hotel dan akan pergi ke hotel. Bukankah katamu jangan karena gengsi aku itu harus mengorbankan kesehatan ku dengan menahan kencing dan juga lapar," sahut Indira dengan nada suara yang terdengar begitu ketus. Ada amarah yang membara di dalam hati Indira, amarah yang sudah lama tertahan. Seandainya saja Etnan tidak berulang kali menolak perasaannya, mungkin Indira tidak akan merasa sekesal ini. Bahkan, ia akan dengan senang hati menerima perhatian dari Etnan.
"Kenapa kalian semua membawa barang barang ku keluar dari kamar ini?" Sebuah pertanyaan agaknya mencelos begitu saja dari bibir manis Dilara. Namun, karena suara yang keluar dari bibir manisnya itu sangat pelan, suara itu seakan tidak pernah sampai di telinga para pelayan yang sedang sibuk menyingkirkan barang barang miliknya yang ada didalam kamar David. Baru saja Dilara hendak berdiri untuk bertanya pada salah seorang pelayan, tiba tiba ia menghentikan aksinya itu karena melihat David yang berdiri di ambang pintu dengan diikuti oleh beberapa orang berpakaian medis yang mendorong sebuah brangkar rumah sakit. "Tuan David," kata Dilara pelan, seakan memanggil nama David. David sama sekali tidak menoleh ke arah dirinya, bahkan tidak memandang ke arah darah dagingnya sendiri. David terlihat sibuk memberikan aba-aba pada pelayan yang sekarang ini terlihat begitu banyak di dalam kamarnya. Dilara pun bangkit, lalu berjalan dengan langkah begitu pelan ke arah David yang berdiri tegap d
Di dalam sebuah kamar yang ada disebuah bangunan mansion mewah. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Indira bisa kabur?" tanya Laras bingung. "Aku benar-benar bingung dengan semua ini, ada apa sebenarnya?" "Aku juga tidak tahu," jawab Etnan, berusaha menyembunyikan kebingungan dalam hatinya, sambil mempertahankan wajah datar. Dia berusaha menahan rasa bersalah yang mulai muncul di dalam dirinya. "Apakah ada hal yang kau ketahui tapi aku tidak tahu? Ayo katakan Etnan pada ku!" Laras menatap Etnan dengan tatapan penuh tekanan, mencoba mengetahui apa yang sebenarnya tersembunyi di balik wajah datarnya. Etnan mencoba mempertahankan keyakinannya, meskipun hatinya berkata lain. "Aku tidak ingin membohonginya, tapi apa yang terjadi di malam itu benar-benar sulit untuk diungkapkan," gumam Etnan dalam hati, merenungkan malam yang penuh dengan gairah tersebut. "Karena aku curiga, kalau kau mengetahui, jika Indira adalah seorang agen mata-mata --" Laras menggantungkan kalimatnya, m
"Ta - tapi Tuan David..." coba Dilara menyela, namun ucapannya terhenti kala jari telunjuk David kini berada di tepat di atas bibir manisnya. "Ssttt, Dilara aku mohon. Tolonglah aku sekarang ini! Karena aku sudah tidak tahan lagi untuk menahan gairahku yang sudah sangat membara ini," sahut David dengan nada suara yang terdengar menggetarkan jiwa, sembari terus mencium bagian leher dan juga dada atas milik Dilara. Merasa cemas dan bingung dengan situasi yang tengah di hadapinya, Dilara mencoba merenung tentang apa yang terjadi saat ini. "Setelah membelikan aku baju mewah, apakah benar Tuan David memang benar-benar menganggap aku sebagai istrinya?" gumam Dilara dalam hatinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang melanda pikirannya. Berbagai perasaan mulai muncul, seakan menyeruak ke permukaan pikirannya. Sejak kedatangan istri pertama David, Dilara merasa cemas dan takut, apakah ia hanya menjadi seorang pengganti? "Apakah ini benar, bahwa aku hanya sebatas pengganti semata, atau mungk
"Ba - baik Tuan," sahut Dilara. Ia terlihat bangkit dan berlari menuju walk in closet. Sementara David nampak berjalan dengan langkah kaki cepat menuju ke arah box bayi dimana anaknya itu berada. Dilara mengambil sebuah baju asal yang ada di dalam walk in closet miliknya, lalu memakainya dengan terburu-buru. Jantungnya sekarang ini berpacu begitu cepat, ia merasa begitu takut kala mendengar suara David yang terdengar begitu menyeramkan. "Mengapa suaranya terdengar begitu menakutkan? Apakah ia sedang marah atau ada sesuatu yang tidak beres?" Dilara merenung dalam hati. Begitu mendalam kecemasannya, sehingga ia merasa tak mampu menahan rasa takut yang mendera. Tak berselang lama, Dilara pun keluar dari dalam walk in closet. Dengan langkah kaki yang terlihat begitu cepat, ia buru-buru berjalan ke arah David yang sekarang ini sedang menggendong putranya yang menangis karena kehausan. "Kenapa pakai baju saja lama sekali!" kata David dengan nada kesal. "Apa yang sebenarnya terjadi?
"Aku datang ke sini bukan tanpa alasan, ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru pada sepupu ku ini. Kenapa saat menikah lagi, aku tidak diundang?" ucap Alfa dengan tatapan yang sulit dideskripsikan. Kekecewaan begitu terasa dari kedua bola matanya. David tampak bingung. "Bukankah aku sudah mengirim undangan padanya? Tapi, Alfa lah yang memilih tidak datang," gumam David dalam hati. Entahlah apa yang ada dipikiran Alfa, kenapa malah marah padaku? Sebuah pertanyaan agak nya mengganjal di dalam benak David. Alfa berjalan dengan langkah santai mendekati David, lalu berbisik, "Di mana Kakak ipar ku yang baru itu? Biarkan aku berkenalan dengan dia!" David segera menjawab dengan nada dingin, "Jangan membahas nya di dalam kamar ini, aku tidak ingin menyakiti Keira," ucap nya sambil menatap istri pertamanya yang sedang terbaring lemah di atas ranjang. Kenapa Alfa harus menanyakan hal itu saat Keira masih lemah? pikir David kecewa. "Kenapa aku tidak boleh membahasnya? Kan memang fakt
Di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh buku dan juga berkas berkas berharga, terdapat dua pria yang tengah terlibat dalam percakapan serius. Mereka duduk berhadapan di sofa, saling menatap dengan pandangan tajam. "Apa yang kau inginkan? Kenapa kau datang ke sini sekarang?" tanya David dengan nada yang tegas. "Astaga, David, Kakak sepupu ku tersayang, aku sedang enak - enak nya menikmati teh buatan kepala pelayan mu yang cantik! Kenapa tanpa basa-basi, kau langsung menjejali ku dengan banyak pertanyaan?" Alfa membalas dengan nada protes, seolah-olah dia merasa terganggu oleh pertanyaan David. David hanya bisa diam, menatap sepupunya dengan tatapan tajam dan menghembuskan nafas dengan kasar. Dia menantikan penjelasan yang lebih masuk akal dari Alfa. "Jika Kakak menanyakan alasan kenapa aku datang ke sini, sebenarnya aku hanya ingin mengatakan bahwa aku merindukan keponakanku dan ayahnya," ujar Alfa dengan nada bercanda, mencoba mengurangi ketegangan yang terasa di ruangan.
Semua orang di rumah sakit ini tahu, betapa bucinnya David kepada istrinya. "Ini mukjizat dari Tuhan. Keadaan Nyonya Dilara sangat baik dan juga stabil," ucap dokter itu disertai dengan senyuman. Dilara perlahan membuka matanya, setelah mendapatkan suntikan vitamin dari dokter. David menoleh ke arah istrinya, dia mengernyit melihat keadaan istrinya yang masih lemah dan pucat. David pun bertanya dengan wajah kurang yakin, "tapi kenapa istri saya seperti tidak bertenaga dan kelihatan lemah?" "Hal ini wajar, untuk wanita yang habis melahirkan! Mengingat saat mereka hamil, kurang tidur dan kurang istirahat." David pun mengangguk, netranya menatap ke arah monitor yang menunjukkan semuanya normal. Lalu dokter meminta para perawat yang ada disana untuk melepaskan alat alat medis syang sebelumnya menempel pada tubuh Dilara. "David!" panggil Dilara lirih. David yang bisa mendengarnya langsung menghampiri istrinya, memegang tangannya dengan lembut. "Apakah ada yang k
Albert nampak tersenyum licik dan puas. Melihat para orang kaya sekarang ini berada di bawah kendalinya. "Laras, ternyata kamu sangat pintar. Kalau begini, perusahaan milik ku bisa berkembang dengan pesat," puji Albert. Tatapan Albert yang sebelumnya acuh dan penuh penghinaan pada Laras, sekarang berubah. Sementara Laras nampak tersenyum simpul, dari awal dia sudah membuat perhitungan pada Albert yang sombong dan juga sok kaya itu. Untuk urusan menghargai orang dengan kasta rendah seperti dirinya, memanglah David menjadi juaranya. David tidak pernah memandang rendah orang lain, sekalipun orang itu tidak memiliki kedudukan. Hal itulah yang membuat Laras sangat kesulitan untuk melupakan bayang-bayang David sampai sekarang. Semua tamu yang hadir di gedung pernikahan itu membeku ketika Laras, dalam balutan gaun pengantinnya yang mewah, berdiri di depan mereka dengan wajah tanpa emosi. Di sampingnya, beberapa bawahan bersenjata lengkap menodongkan pistol mereka ke
Perawat itu mendatangi David dengan wajah pucat. "Tuan David, tolong Anda segera masuk ke dalam ruang operasi!" ucap perawat itu, tanpa menunggu jawaban dari David dia pergi begitu saja. "Untuk sekarang, aku ingin fokus pada istriku. Untuk urusan Albert dan juga Ditya, aku serahkan pada kalian. Ntah apa hasilnya, aku akan menerimanya," ucap David pada bawahannya yang paling dia percaya. Lalu dia buru-buru berjalan mengikuti perawat itu. David merasakan dadanya seolah diperas ketika mendengar berita dari dokter bahwa Dilara masih sadar meskipun diberikan bius total. Kaki-kakinya terasa lemas mendekati meja operasi tempat Dilara berbaring dengan pucat. Dengan suara yang lemah, Dilara memanggil namanya, "David," ucapnya, mata yang sembab menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. David segera menggenggam tangan Dilara, mencoba memberikan kekuatan meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang. "Tuan David, nyonya Dilara kebal terhadap anestesi, namun operasi berjalan d
"Dilara, apa yang terjadi?" tanya David terkejut, saat di kaki istrinya keluar darah. David buru-buru menggendong istrinya mendudukkannya di ranjang dan memberikan istrinya minum. "Sekarang aku akan membawamu ke rumah sakit," titah David, meminta ijin. Sejak kematian Esti, Dilara menjadi orang pendiam dan lebih sensitif. David tahu, jika istrinya itu menyimpan luka yang begitu dalam atas kepergian Esti. Bukan hanya luka, tapi rasa bersalah dan juga penyesalan yang begitu dalam. "David, kalau aku tiada apakah kamu akan sedih?" tanya Dilara datar, wajahnya terlihat sedih dan juga putus. "Dilara sayang, kamu ini bicara apa? Bukan hanya sedih, tapi aku akan mendatangi dan meminta malaikat pencabut nyawa untuk mengembalikan nyawamu. Bahkan aku bersumpah, aku akan menukar nyawaku sendiri untukmu," kata David dengan tulus, wajahnya yang biasanya garang sekarang nampak sayu dan sedikit ketakutan. Dilara menatap ke arah suaminya, untuk mencari kebohongan disetiap tutur ka
Air mata mengalir deras di koridor rumah sakit, memecah kesunyian yang sesekali terganggu oleh langkah kaki yang tergesa-gesa. Peti mati putih berada di tengah ruangan, di dalamnya terbaring Esti yang wajahnya tampak damai meski pucat. Indira, dengan tangan gemetar, membuka sebuah amplop yang lusuh, bahkan ada noda darah yang mengering. Suara Indira bergetar saat ia mulai membacakan isi surat tersebut, "David, sejak pertama bertemu, hatiku telah memilihmu. Cinta ini tumbuh tanpa ku pinta, mengakar dalam diam, menyubur dalam senyumu yang lembut. Aku tahu, hatimu milik Dilara, dan itu tidak pernah membuatku berharap lebih. Aku mencintaimu dalam diam, mencintaimu dalam doaku, mencintaimu tanpa pernah kau tahu. Sekarang, saat aku tidak lagi bisa bernapas di dunia ini, izinkanlah aku memberikan bagian terakhir dari diriku untukmu, melalui sumbangan organ ini. Semoga ini bisa menjadi bukti cintaku yang murni, cinta yang tidak pernah meminta balasan. Terima kasih telah menjadi cahay
"Esti .... " teriakan yang begitu keras terdengar dari bibir Indira. Semua orang yang ada disana langsung berhambur menghampiri Indira. "Gak Esti .... Gak boleh," kata Indira dengan air mata yang terus mengalir dari kedua pelupuk matanya. Esti menusuk perutnya sendiri. "Indira, jaga dirimu baik-baik. Aku memang sudah sekarat." "Esti, tolong. Pikirkan baik-baik," kata Indira, ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan pegangan orang-orang yang sekarang ini sedang memegangi tubuhnya. Melihat Indira yang sangat histeris, para tenaga medis yang ada disana memegangi tubuh Indira, takut kalau sampai Indira akan melakukan hal lebih yang akan membuat nyawanya sendiri terancam. Sementara Esti, nampak tersenyum puas. Esti melakukan tindakan yang terlihat sangat cepat dan juga tangkas, para tenaga medis di rumah sakit itu tidak menyangka jika Esti memilih untuk menyakiti dirinya sendiri dengan cara seperti itu. Dan mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. "Indira, tolong
Dilara meneguk ludahnya, mencoba meredam amarah yang mulai memuncak. Mengingat jika Esti memiliki perasaan pada suaminya. Bibirnya menggigil, matanya menatap tajam ke arah David. Ada secercah kelegaan yang terpancar dari wajahnya saat mendengar Esti ingin menemui suaminya, namun seketika itu juga perasaan itu tergantikan oleh kecemasan saat mendengar penolakan dingin dari suaminya. "Maaf, aku menolaknya," ucap David dengan suara serak, tidak menunjukkan emosi apa pun. Dilara, dengan napas yang terengah-engah, cepat-cepat menyela. "Temuilah dia, karena dia telah menyelamatkanku," katanya dengan nada mendesak. Rasa terima kasih dan hutang budi terhadap Esti membuatnya lupa sejenak tentang perasaan pahit yang mungkin dia rasakan karena Esti, yang tanpa ragu, telah mencintai suaminya. Dilara ingat betul bagaimana Esti, dengan berani, melindunginya dari serangan yang menyerang mereka beberapa waktu lalu. Esti banyak terkena tembakan, tubuhnya berlumuran darah ketika dia melin
"Keputusanku sudah bulat! Tolong buatkan suratnya, akan segera aku tandatangani," ungkap Esti, walaupun sangat lemah dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk berbicara. Para dokter dan juga pesawat yang ada disana nampak saling pandang. Walaupun mereka merasa mengambil keputusan ini sangatlah berat, tapi semua ini adalah keputusan pasien. Seorang perawat yang memakai masker menatap Esti tanpa berkedip, bahkan air mata terus luruh dari kedua pelupuk matanya. "Kalau aku masih bucin dengan Etnan, apakah aku akan berakhir seperti Esti?" gumamnya. Dia mengusap air mata yang sebelumnya mengalir dari kedua pelupuk matanya. Lalu dia menyerahkan berkas itu pada seorang perawat yang berada didekat Esti. Surat untuk menyerahkan semua organ tubuh miliknya pada David akan ditandatangani oleh Esti. "Nona apakah kamu yakin akan melakukan semua ini? Ini hanya luka-luka tembak. Bahkan beberapa infeksi dengan berjalannya waktu aku yakin bisa sembuh," kata seorang dokter pria menatap
Esti tentu saja merasa sangat sakit hati, apalgi mengingat jika cintanya pada David begitu dalam. Tapi, dia yang dari awal memang tidak akan meminta balasan akhirnya memilih untuk tidak peduli lagi dengan perasaannya. Tak berselang lama. Dentuman mesin yang bising mulai memenuhi ruang kosong gedung tua, mengumumkan kedatangan mereka. David, dengan langkahnya yang cepat dan tegas, langsung turun dari kendaraan. Matanya yang tajam segera menemukan sosok yang dicarinya. David menatap istrinya dengan penuh cinta. Dilara dengan sikap manja nampak mengulurkan tangannya. Esti, meski terluka dengan beberapa luka tembak di kaki dan perutnya, merasakan detak jantungnya yang seakan melompat dari dada. Kesakitan yang sebelumnya menyiksa, tiba-tiba memudar saat sosok David yang gagah berada dalam pandangannya. Namun, harapan yang sempat membara dalam dirinya perlahan padam ketika David melewatinya tanpa henti, tanpa sekedar tatapan. David, dengan langkah yang pasti,