Yasmin menghentikan langkahnya begitu melihat sosok wanita cantik yang menggendong Cleo. Hatinya mencelos saat keakraban kedua bayi itu dengan orang lain.Dengan suara tercekat, Yasmin bertanya, "Pak Barra, siapa—"Ucapan Yasmin terhenti karena Barra hanya menoleh sekilas padanya, dan pria itu berjalan dengan tegap menuju wanita yang duduk anggun di sofa. Yasmin menelan ludah, menatap punggung pria itu, lalu mengalihkan pandangan pada tamu yang tidak dikenalnya.Wanita itu tampak begitu cantik, dengan gaun biru tua yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya bersih, senyumnya lembut, tetapi Yasmin harus merasa waspada.Dia melangkah maju, mendekat, dan merasakan suasan hening serta tegang ruangan ini."Kapan Mami datang ke sini?" tanya Barra dengan nada datar.‘Mami?’ batin Yasmin. Dia mengerjap, sangat terkejut ketika melihat Barra membungkuk sedikit dan mengecup tangan wanita itu dengan takzim.Wanita itu tersenyum, mengusap pipi Barra lembut. "Baru saja. Seharusnya Mami member
Yasmin berdiri tegak di depan Barra, meskipun dalam hatinya, dia merasakan ketidaknyamanan yang teramat sangat. Sorot mata pria itu tajam, mutlak menuntut jawaban. Namun, kali ini Yasmin tidak berniat menghindar. Kendati ada luka di matanya, tetapi dia tak akan mundur."Apa gaji sebagai ibu susu dan ibu anak-anak ini tidak cukup?" Barra menyeringai, "Sekarang kamu mau mendekati Mami juga? Untuk apa? Supaya dapat lebih banyak keuntungan?"Dada Yasmin bergemuruh dan tangannya mengepal di sisi tubuh. "Saya memang butuh uang, Pak." Suaranya bergetar. "Tapi saya bukan penjilat. Bapak salah menilai saya. Dan terus terang saja, saya sudah capek. Terserah Bapak mau berpikir apa, karena apapun yang saya jelaskan, tetap saja salah di mata Bapak!”Untuk sejenak Barra terdiam. Mata cokelat pria itu menelusuri wajah Yasmin, mencari celah untuk membantah. Namun, kali ini, dia tidak menemukan apa pun. Lengannya sedikit melemah.Melihat kesempatan itu, Yasmin segera mendorong pria itu menjauh, lalu b
Yasmin mendorong dua kereta bayi menuju mobil, berhati-hati agar tidak mengguncang Boy dan Cleo yang baru saja tertidur. Baru beberapa langkah lagi, tiba-tiba sebuah tangan besar mengambil alih kedua pegangan kereta."Biar aku saja. Kamu terlalu lambat," ujar Barra dengan nada datar.Yasmin merengut mendengar komentar itu, tetapi memilih untuk tidak membalas. Tidak ada gunanya berdebat dengan pria yang bahkan lebih dingin daripada Kutub Selatan itu.Saat Boy sudah terbaring nyaman di car seat, Yasmin berusaha menggendong Cleo. Namun, tepat ketika tangannya menyentuh tubuh bayi itu, punggung tangannya bersentuhan dengan jemari Barra.Keduanya sama-sama terdiam. Mata mereka bertemu sejenak, ada sesuatu yang tersirat di antara mereka. Yasmin buru-buru menarik tangannya, sementara Barra dengan tenang meletakkan Cleo di samping Boy.Yasmin berniat duduk di belakang bersama si kembar, tetapi dengan cepat tangan Barra mencengkeram pergelangan tangannya, membuat wanita itu tersentak."Duduk di
Benar, mungkin itu hanya perasaan Yasmin saja. Dia tidak boleh terjerat, karena semua pria sama saja. Lihatlah, sekarang pria itu memotong-motong iga bakar dalam diam, dan tidak memesankan Yasmin makanan yang lain.“Pak, saya maunya iga bakar,” ucap Yasmin pelan.Barra tetap diam, tetapi detik berikutnya dia menuangkan sayuran dan saus ke piring."Ini makanlah, kalau pesan yang baru, terlalu lama," perintah pria itu tegas. Lalu mendorong perlahan piring ke hadapan Yasmin.Yasmin menunduk, merasa aneh dengan perasaan hangat yang mengalir di dadanya. Dia mengangguk pelan dan mulai menyantap makanannya."Boy, sayang, diam dulu, ya, Bunda mau makan," bisik Yasmin, mencoba menenangkan bayi aktif itu.Di seberangnya, Barra memperhatikan tanpa banyak bicara. Sesekali pria itu mengulurkan tangan, mencoba mengambil alih Boy, tetapi bayi itu justru makin merengek. Yasmin akhirnya makan menggunakan satu tangan.Saat dia kesulitan mer
"Bu ... Sarah ..." bisik Yasmin lirih. Dia membeku di tempat dengan napas tersengal saat melihat sosok di haadapannya. Tangan wanita itu mencengkeram erat pegangan kereta bayi, dan iris hitamnya mencari-cari keberadaan Barra di sekitar. Namun, pria itu tak terlihat.Sarah melangkah mendekat dengan sorot mata tajam, penuh kebencian. "Kamu benar-benar nggak tahu malu, Yasmin! Masih berani berkeliaran di Jakarta setelah semua yang kamu lakukan!"Yasmin menelan ludah dengan susah payah. Kakinya terasa berat untuk melangkah."Aku ... tapi aku tidak melakukan apa-apa, Bu," sahut Yasmin, intonasinya terdengar sangat pelan."Heh, wanita kampung, jangan pura-pura bodoh!" Sarah mendesis, "dasar sok polos. Jelas-jelas kamu bersaksi dan bocorin hubunganmu dengan Bram. Dapat uang berapa dari jual cerita itu, hah?"Yasmin menggeleng lemah, matanya sudah berkaca-kaca membuat penglihatannya memburam."Jangan pikir kamu bisa lolos gitu saja!" lanjut Sarah dengan nada penuh ancaman. "Aku pasikan kamu
“Ada perlu apa, Sarah? Cepatlah, aku tidak punya waktu lama!” seru Airin begitu memasuki Well Coffee. Dia meletakkan tas branded-nya di atas meja dengan sengaja, seolah ingin menunjukkan statusnya. “Uang lagi, hah?” lanjutnya sinis. Hari ini, dua wanita paruh baya itu benar-benar bertemu di coffee shop, bahkan sebelum tempat itu ramai oleh pengunjung. Sarah sudah memilih tempat paling ujung agar percakapan mereka lebih leluasa. Sarah menggeleng tegas, matanya menatap tajam ke arah Airin. “Duduk, Jeng! Ini penting banget.” Airin mendesah lalu duduk di samping teman arisan sosialitanya. Dengan cepat, Sarah mendekatkan wajahnya, lalu berbisik, “Jeng, mantan mantuku, si Yasmin, kenapa bisa jadi ibu susu cucumu?” Hening sejenak. Airin menarik napas, sementara otaknya memproses informasi itu. Dia bahkan memejamkan mata sebentar, mencoba mengingat. Begitu terbuka, matanya langsung membelalak. “Masa iya si gembel itu mantan mantumu? Yang anaknya meninggal itu ‘kan?” Sarah mengangguk tega
"Yasmin, pilih saja beberapa baju untukmu dan para babysitter di rumah," perintah Kezia sambil menunjuk rak pakaian.Aroma parfum mahal bercampur dengan semerbak kain baru memenuhi butik mewah itu. Yasmin berjalan di belakang Mami Kezia, sementara Barra berdiri tidak jauh, wajahnya setengah tertutup masker hitam. Meskipun begitu, sorot matanya tetap tajam, mengawasi setiap pergerakan di sekeliling.Akhir pekan ini Kezia memaksa Barra untuk ikut serta ke mall. Tentu menggagalkan rencana Barra yang ingin menghabiskan waktu di kantor.Sementara Yasmin langsung menatap deretan gaun dan blus yang menggantung rapi. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, mencoba memilih, tetapi semua terlihat sama baginya.Mahan dan mewah.Barra, yang sejak tadi diam, tiba-tiba melangkah mendekat dan berdiri tepat di belakang Yasmin. Pria itu mengambil dua blus pastel."Yang ini cocok buat kamu," kata pria itu santai sambil menyerahkan pakaian ke tangan Yasmin.Yasmin menatap Barra sejenak, lalu tersenyum kecil.
Kakak Kakak setelah bab 56 tolong jangan dibuka itu bab 280 karena bukan cerita Pak Pengacara Mohon maaf salah kamar ༎ຶ‿༎ຶ
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S
"Bagaimana bisa?!" bentak Barra tepat di depan pintu ruang rawat Yasmin yang tertutup rapat, tak menyisakan celah sedikit pun.Bahtiar dan tim lainnya menghela napas panjang. Mereka tidak menyangka, kepergian yang hanya sebentar untuk menemui dokter dan menebus obat serta membeli sarapan, bisa membawa dampak sebesar ini. Lagi pula, ini masih terlalu pagi. Bahkan ayam pun belum berkokok di luar sana."Mereka membawanya tanpa sepengetahuanku?!" Barra mengusap wajahnya dengan frustrasi.Saking kesalnya, pria itu langsung melangkah cepat mendahului timnya menuju Rubicon putih yang terdiam di area parkir rumah sakit.Sebelum masuk mobil, Barra menoleh ke arah Bahtiar. Tatapan tajam manik cokelatnya menusuk, rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas."Jangan hentikan pencarian barang bukti! Dan upayakan jaminan untuk membebaskan Yasmin sementara.""Baik, Pak. Timnya Bono tetap di sini. Saya yang akan urus jaminannya." Bahtiar membukakan pintu mob
“Cari sampai ketemu! Bila perlu tambah tim kita!” titah Barra dengan suara tegas kepada asistennya.Dia tidak tinggal diam di rumah sakit. Barra ingin memastikan barang bukti itu ditemukan hari ini juga. Dia tidak punya waktu untuk menunggu. Maka bersama timnya dan beberapa orang bayaran, mereka menyusuri tepi jurang, sungai, dan pesisir pantai.“Pak, jalan di sini licin, sebaiknya Bapak tunggu saja di pinggir jalan,” teriak Bahtiar yang sudah turun ke jurang dengan alat keamanan.“Mana bisa aku diam saja, Bahtiar? Nasib Yasmin bergantung pada barang itu,” geram Barra. Napasnya terengah saat menatap tebing curam di depannya.Dengan hati-hati, dia mulai menuruni lereng. Ini bukan pertama kalinya dia mencari barang bukti demi klien, tetapi kali ini hatinya terasa lebih sakit bagai tertusuk ribuan jarum. Ada wajah Yasmin dalam setiap langkahnya, bahkan ketika ranting pepohonan menyentuh kulitnya pun dia masih terbayang wanita itu.Yasmin tadi menceritakan segalanya. Termasuk pakaian Cindy
“Lebih cepat, Bahtiar!” titah Barra dengan napas memburu. Hatinya bagai disayat oleh kegelisahan yang tak kunjung reda. Sepanjang perjalanan, dia terus mengecek layar ponsel, mencari kabar apakah polisi sudah sampai lebih dulu, atau … masihkan Yasmin di sana? Perjalanan menuju lokasi memang tidak mudah. Jalanan berbatu, menanjak, dan penuh tikungan tajam. Daerah ini terpencil, jauh dari pusat kota, dan hanya bisa dilalui dengan kendaraan off-road. Bagi Barra tidak ada kata menyerah. Prinsipnya, waktu adalah segalanya. Dia harus menemukan Yasmin lebih dulu, sebelum semuanya terlambat. Setelah menempuh perjalanan panjang yang seolah tak berkesudahan, akhirnya Rubicon putih miliknya melaju di jalanan terjal menuju pesisir pantai. Barra langsung turun dari mobil, meskipun kakinya masih belum pulih benar. Bahkan setiap langkah yang dia ambil terasa menyakitkan. “Shit!” umpat Barra saat matanya menangkap garis polisi yang terbentang melingkari area kejadian. Pemandangan di depan, membu
“Ini ….” Barra hendak meraih benda itu dari tanah, tetapi dia segera mengeluarkan saputangannya dan membungkus benda kecil tersebut, lantas memasukkannya ke dalam saku jaket.“Kamu menemukan sesuatu?” tanya Barra pada pengacara magangnya yang sedang menyinari tanah dengan senter.“Jejak roda mobil,” jawab Bono pelan, “sepertinya orang itu sengaja melewati jalan yang jarang dilalui orang.”Barra mengangguk perlahan. Pandangannya menelusuri sekitar semak dan tanah lembap itu. Bau tanah yang basah bercampur dengan aroma busuk dari sampah dedaunan membuat dadanya terasa sesak."Mereka membuang tas Yasmin di sini. Tapi siapa?" gumam Barra sambil memijat pelipis. Berusaha menemukan orang yanga paling dia curigai.Hanya tiga nama yang langsung muncul dalam pikirannya—Airin, Cindy dan Bram. Dua orang itu memiliki cukup alasan untuk mencelakai Yasmin.“Kita harus kembali secepatnya, Pak. Tempat ini sangat tidak aman,” ucap pengacara magang itu sambil memutar senter ke segala arah. Bayangan poh
“Apa yang kamu lakukan, Bram?” tanya Cindy dengan nada penuh curiga, matanya memperhatikan pria itu yang terus melangkah makin dekat.Bram menatap Yasmin dengan sorot mata yang terasa asing, tajam dan dingin.Alih-alih menjawab, pria itu justru memindai seluruh lekuk tubuh Yasmin lekat-lekat. Sorot mata itu kosong, seakan di antara mereka tidak ada kenangan yang tersisa. Tangan pria itu terangkat dan menyentuh pipi Yasmin. Sentuhan ini dingin dan kasar, bukan kehangatan atau kasihan seorang mantan.“Mas ....” Suara Yasmin tercekat. “Tolong …,” lirihnya. Hanya secuil harapan yang masih dia pegang.Akan tetapi, Bram justru mencondongkan tubuh. Wajah pria itu nyaris menyentuh kulit pipi Yasmin. Embusan napas hangat yang familiar itu seakan berbisik dan menyatat perasaan Yasmin.“Kesaksianmu itu tidak berguna. Lebih baik aku dipenjara daripada mereka tahu kita pernah menikah. Jijik!”Seketik
Melihat kursi di sampingnya kosong dan pandangannya langsung tertuju pada Bagas, membuat Barra diliputi gelisah. Pria itu memang tidak fokus sejak awal. Kini, matanya terus mengarah ke pintu auditorium, setiap kali terbuka, bukan Yasmin yang masuk.Barra menduga toilet sedang penuh, mengingat ini seminar terbuka. Dia menghubungi Yasmin. Tersambung, tetapi tidak diangkat."Yasmin … kenapa lama," desah Barra sambil menggoyangkan kaki dengan gelisah.Tepat pada menit ke-15, dia berdiri. Bagas mengikuti, dari tatapannya terlihat pria itu juga merasa ada sesuatu yang janggal. Barra tidak membantah, yang terpenting sekarang adalah Yasmin.Dengan langkah tertatih karena masih menggunakan tongkat, Barra menerobos kerumunan mahasiswa kedokteran yang sibuk bercanda, kontras dengan gundah dalam hatinya.Toilet memang penuh. Barra dan Bagas saling berpandangan."Kita tunggu saja sampai sepi," saran Bagas.Barra menggeleng dan sorot matanya
“Dari siapa? Kenapa kamu kelihatan takut begitu?” tanya Barra. Raut wajahnya menyiratkan kecurigaan, tatapan manik cokelatnya tajam bagai menembus relung terdalam Yasmin dan membongkar apa yang disembunyikannya.Alih-alih menjawab, Yasmin malah melakukan sesuatu yang membuat alis tebal Barra mengernyit. Dia menjentikkan jari kelingking di depan wajah tampan sang pengacara.“Tapi, Mas janji dulu. Kalau aku kasih tahu, tidak marah, tidak ngomel. Setuju?” ucap Yasmin tegas, dengan sorot mata mengiba.Barra menghela napas panjang. Sekilas, dia tampak kesal dan juga heran. Wanita ini … bisa-bisanya membuat dirinya terjebak dalam permainan kekanakan.Barra berusaha merebut ponsel Yasmin, tetapi kalah cepat. Yasmin langsung menautkan jari kelingking mereka, selayaknya anak kecil.“Nah, sekarang Mas Barra sudah janji,” ucap ibu susu itu dengan wajah puas.Barra mendesah. Entah kenapa, selalu saja dia kalah ketika berhadapan dengan Yasmin.“Oke. Katakan, dari siapa pesan itu?”Yasmin menggigit
Untuk pertama kalinya, Yasmin ingin keluar dari kamar bayi. Sorot mata selembut itu dari Kezia membuatnya tidak nyaman. Terlalu hangat dan sangatlah familiar. Pandangan wanita paruh baya itu mengingatkannya pada mendiang sang ibu.“Yasmin …,” panggil Kezia pelan, suara yang begitu keibuan, bagai pelukan hangat yang tak kasatmata.Yasmin bergeming. Keinginan kuat untuk keluar dari ruangan itu berubah menjadi kebimbangan. Sebenarnya dia bukan ragu dengan pertanyaan Kezia. Dia sudah tahu jawabannya. Hanya saja bibirnya terasa terkunci dan lidahnya kelu, serta hatinya pun ciut.“Mami … Yasmin, umm … minta maaf,” bisiknya dengan suara tertahan. Kepala wanita itu tertunduk, tidak sanggup menahan tatapan teduh dari Kezia lebih lama lagi.Kezia hanya menggeleng pelan, lalu merangkul tubuh mungil Yasmin dan menyentuh pundaknya dengan usapan hangat. Gerakan kecil itu membuat Yasmin sedikit lebih tenang.“Tidak apa-apa. Belum dijawab sekarang juga bukan masalah. Kamu bisa jawab besok, lusa, atau