Usai sarapan bersama Aleena di paviliun, Asher kembali ke kediaman utama. Laki-laki itu tampak dingin tak acuh melihat Marsha yang berada di ruang makan tengah dilayani oleh dua pelayan setianya. Wanita itu menoleh ke arah Asher yang berjalan menuju tangga. Wanita itu segera beranjak dari duduknya dan berdiri di tempat. "Kau tidak ingin bergabung sarapan denganku?" tanya Marsha. "Sayang! Aku bicara denganmu!" pekiknya karena Asher tidak menoleh sedikit pun. Rasa marah di dada Marsha seperti membengkak, bertahun-tahun ia menikah dengan Asher, tidak sekalipun Asher mengabaikannya seperti ini!"Ini semua pasti karena Aleena!" geram Marsha. Wanita itu menggebrak kuat meja makan di hadapannya. “Dia ingin mengambil Asher dariku? Hah! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa, Aleena!”**Aleena dan Asher benar-benar pergi bersama ke tempat kerja. Hal ini membuat Aleena tidak tenang. Pasalnya sebelum mereka berangkat tadi, Marsha tahu kalau ia dan Asher berada dalam satu mobil. Sepanjang p
Dengan langkah gontai, Aleena pulang lebih awal sore ini. Gadis itu berjalan dengan wajah murung masuk ke dalam paviliun. "Jam berapa sekarang? Bukankah kau berjanji pulang lebih awal?" Suara bariton dingin menyapa pendengaran Aleena, membuat gadis cantik itu tersentak seketika. Ia menoleh pada sosok Asher Benedict yang entah sejak kapan duduk di sofa ruang tamu, dengan balutan tuxedo hitamnya yang rapi serta kacamata bening yang menghiasi mata tajamnya. Laki-laki itu beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Aleena. "Kau bilang akan pulang lebih awal, apa jam empat sore itu sudah sangat awal bagimu?" tanya Asher dengan nada menekan. Aleena menggeleng kecil. "Ma-maaf, Tuan, masih ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan." Asher mendengus. “Kau pikir aku tidak punya pekerjaan, begitu?”Aleena kembali menggeleng. “Maksud saya bukan—” Namun, Asher tiba-tiba menarik lengan Aleena. "Ikut denganku," katanya. Debaran aneh menjalar di dadanya saat ia menatap telapak tanga
Seperti terbakar hidup-hidup, Marsha merasakan dadanya panas mendengar Asher berkata dengan mulutnya sendiri kalau ia bebas memanjakan Aleena. Marsha tidak terima dengan semua itu! Aleena bukanlah siapa-siapa, dia tidak pantas mendapatkan apapun dari Asher!Dengan amarah yang tak terbendung, Marsha mendatangi Aleena di paviliun. Wanita itu membuka pintu paviliun dengan kasar. "Di mana Aleena?!" tanya Marsha pada Bibi Julien yang sedang membersihkan ruang tamu. "Nona ada di kamarnya, Nyonya," jawab wanita setengah baya itu. Gegas Marsha melenggang naik ke lantai dua, menuju kamar Aleena yang berada di ujung. Tanpa mengetuk pintu, Marsha langsung membukanya. Di sana, ia melihat Aleena yang terkejut dengan kedatangannya. Mereka sama-sama tercekat. Marsha melihat Aleena yang menangis dan terduduk di lantai. Namun, sekali lagi, ia tidak peduli dengan apapun yang gadis ini lakukan! "Nyonya…?" lirih Aleena dengan suara serak. Dengan kakinya yang kebas, Aleena berusaha berdiri saat Ma
Keesokan harinya, Aleena bersiap pergi pagi-pagi sekali. Setelah kejadian semalam, Aleena meneguhkan hatinya untuk tidak lagi bertemu Asher. Aleena akan mencoba menghindari laki-laki itu mulai hari ini. Bahkan pagi ini, Aleena keluar dari paviliun pukul enam. Dari paviliun ke gedung sekolah seni, Aleena berjalan kaki hingga hampir satu setengah jam lamanya. Setelah sampai di sekolah, Aleena ternyata sudah ditunggu oleh Madam Calister di depan ruangannya. "Selamat pagi, Ms. Aleena," sapa Madam Calister, wanita itu memperhatikan Aleena lekat-lekat dan tampak terkejut. "O-oh astaga, apa kau habis menangis?" Aleena tersenyum tipis dan menggeleng, ia menundukkan kepalanya cepat. Matanya memang membengkak pagi ini. Meski sudah ia tutupi dengan makeup, tapi rupanya itu tidak terlalu berhasil."Bu-bukan, Madam," jawab Aleena mengusap pipinya. Madam Calister mengusap pundak Aleena dengan lembut. "Oh, Ms. Aleena … kau pasti sangat kepikiran akan masalah ini ya,” ujarnya prihatin. Aleena t
Setelah kejadian tadi siang di sekolah, Aleena merasa bersyukur karena adanya Asher yang datang dan menolongnya. Meskipun Aleena juga penasaran, apa yang Asher datang ke sana?Pukul tujuh malam, Aleena baru saja sampai di paviliun. Ia bergegas membersihkan tubuhnya, kini Aleena tampak berdiri termenung dan murung di depan meja riasnya. Aleena mengembuskan napasnya berat. "Padahal aku sudah memutuskan untuk menjauhi Tuan Asher. Tetapi, kalau aku tidak berterima kasih untuk kejadian pagi tadi, rasanya sangat tidak sopan." Rasa ragu yang melanda membuat Aleena tenggelam dalam kegelisahan.Hingga suara pintu kamarnya yang terbuka, membuat Aleena menoleh dengan cepat.Aleena menegakkan tubuhnya, dengan wajah sayu ia menatap sosok Asher yang masuk ke dalam kamarnya. Laki-laki dengan setelan tuxedo hitam itu menutup pintu kamar dan melangkah mendekatinya. "Tuan A-Asher," lirih Aleena dengan wajah tegang. Asher berdiri tepat di hadapannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menatapnya hi
Marsha berdiri di ambang pintu kamar Aleena dengan wajah memerah penuh amarah melihat Asher mencium Aleena. Kedatangan Marsha kali ini membuat Aleena sangat takut, ia berusaha mendorong Asher untuk menjauh darinya, namun laki-laki itu malah menatapnya lekat-lekat. "Ah, rupanya ada yang datang," ucap Asher seolah tak berdosa. Asher melirik ke arah Marsha berdiri. Setelah itu, barulah ia menegakkan tubuhnya dan memutar tubuhnya menatap ke arah istrinya yang menatapnya kesal. "Jadi begini kau di belakangku, Asher! Seperti ini?!" seru Marsha, ia berjalan mendekati Asher. "Kau pasti digoda oleh gadis itu, kan? Benar, kan?!" Marsha beralih menatap Aleena dengan tatapan tajam seolah siap menerkam. "Kau memang gadis tidak tahu diri, Aleena!" Saat Marsha hendak menerjang Aleena, dengan sigap Asher menghadang istrinya. Ia melindungi Aleena dari amukan Marsha. Aleena gemetar. Ia tahu ia salah, tapi Aleena juga sudah menolak, tapi nyatanya ... ia tetap tidak bisa melawan Asher dan berujung
Beberapa hari berlalu, Asher terlihat tak seperti biasanya. Laki-laki itu tampak gelisah setelah beberapa hari ini dia tidak melihat Aleena. Lebih tepatnya sejak keributan bersama Marsha di paviliun. Sejak saat itu, Asher tidak lagi melihat Aleena sama sekali. Asher tidak tahu, seharian ini ia tidak fokus bekerja dan terus memikirkan Aleena. Entah apa yang membuatnya tak tahan ingin bertemu gadis itu, sekalipun hanya melihatnya."Apa ada jadwal pertemuan lagi nanti?" tanya Asher pada Jordan yang duduk di sofa di dalam ruangan kerjanya. "Tidak ada, Tuan. Setelah meeting sore ini, semua jadwal pertemuan dilanjutkan besok," jawab Jordan. Asher mengangguk. "Oke. Hari ini aku akan pulang sendiri, kau lanjutkan beberapa pekerjaan yang tertunda," ujarnya beranjak dari duduknya. "Baik, Tuan." Jordan memperhatikan bosnya yang tidak biasanya pergi dengan terburu-buru seperti ini, apalagi tidak mau ditemani.Asher melangkah keluar dari dalam ruangan CEO, laki-laki berbalut tuxedo navy itu
Keesokan harinya, Aleena tetap menjauh dari Asher. Ia mengubah semua jadwal kegiatan hariannya, demi tidak bertemu dengan pria itu. Aleena berjalan terburu-buru menuju ke tempatnya mengajar. Ia baru saja kembali dari rumah sakit menjenguk Papanya."Ya ampun, tinggal setengah jam lagi. Aku bisa terlambat," gerutu Aleena menatap layar ponselnya. Gadis itu tidak menemukan bus kota yang melewati jalur menuju gedung sekolah. Hingga mau tidak mau, Aleena harus berjalan kaki. Namun, tiba-tiba saja langkah Aleena terhenti saat ia melihat Carl berjalan dengan beberapa orang laki-laki, keluar dari dalam sebuah restoran. "Aleena," sapa Carl menghadang langkahnya. "C-Carl," lirih Aleena kaget dan gugup. Ia tidak menduga akan bertemu pria itu di sini."Kenapa kau berjalan kaki?" tanya Carl menatap sekitar. "Kau akan berangkat bekerja, kan?" Aleena mengangguk. "Aku tidak menemukan bus pagi ini. Sepertinya aku kesiangan." "Lalu kenapa kau tidak naik taksi saja? Itu lebih memudahkanmu," katany
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah bersama dengan sang Ayah. Saat Jordan ikut keluar dari dalam mobil, semua anak-anak di sana menatapnya dengan tatapan terkejut. Jelas saja, sejak dulu Arabelle sering dipanggil anak pungut, karena saat masih sekolah dasar, Arabelle dengan bangga bercerita kalau dia diangkat anak oleh Ayahnya dari panti asuhan. Tapi ternyata, teman-temannya memandang Arabelle dari sisi yang buruk. "Ayah ... Ayah tidak usah mengantar Ara sampai ke dalam sana," ujar Arabelle menatap sang Ayah yang menjadi bahan tatapan semua temannya. "Kenapa? Malu diantarkan Ayah?" tanya Jordan sambil melepaskan kacamata hitamnya dan merapikan tuxedo hitam yang dia pakai. "Tidak. Arabelle tidak malu, Arabelle justru senang sekali Ayah mengantarkan Arabelle. Tapi..." Gadis itu mengecilkan suaranya dan ia memperhatikan sekitar. Jordan tahu apa yang dikhawatirkan oleh Arabelle. Sejak kecil, Arabelle selalu pergi bersekolah dengan bus sekolah. Lalu saat naik kelas menengah pe
Arabelle membuat semua orang panik di rumahnya. Gadis itu pergi bersama Theo tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga malam ini Jordan sangat panik setelah ia pulang dan mendapati anaknya tidak ada di rumah. Sejak tadi, Jordan mondar-mandir di teras rumahnya. "Tidak mungkin Arabelle pergi ke mana-mana tanpa berpamitan!" seru Jordan kini berusaha menghubungi ponsel Arabelle. "Tapi Arabelle memang tidak bilang apa-apa pada Mama dan Papa, Jordan. Tadi setelah makan malam Mama memintanya untuk ke kamar," ujar Hani cemas. Jordan diam, tidak biasanya Arabelle seperti ini. Bahkan bila ia pergi, Arabelle pasti akan mengirimkan pesan pada Jordan dan menyertakan alamatnya juga. "Ke mana kau, Nak?" gerutu Jordan. Bagaimana ia tidak panik, kini sudah pukul dua belas malam. "Mungkin anak itu pergi bersenang-senang, Kak. Anakmu itu sudah dikasih hati malah tidak tahu diri!" sahut Janice. "Heem, benar. Masih untung ada yang kasihan padanya. Tapi Arabelle tidak punya terima kasih sama sekali! Mir
Arabelle keluar dari dalam rumah malam ini tanpa ada yang tahu. Arabelle berlari keluar gerbang sembari memeluk jaketnya dan gadis itu menunggu Theo sambil duduk di sebuah tepian trotoar di jalan perumahan. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menangis mengingat ucapan Tantenya yang begitu menyakitinya. Arabelle selama ini tidak pernah bercerita pada Ayahnya perkara ini, bahkan Nenek dan Kakeknya juga bungkam pada sang Ayah karena tidak mau keluarga pecah dan terjadi keributan pada anak-anaknya. "Mungkin Tante Kaila benar, aku harus hidup mandiri," gumam Arabelle di sela tangisannya. "Tapi ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah yang sayang padaku." Arabelle mengusap air matanya dan ia teringat masa-masa kecilnya di panti asuhan pun juga sangat tidak mudah. Semakin sedih, Arabelle semakin larut kesedihannya. Hingga tak lama kemudian, sebuah motor berhenti di depan Arabelle. Tentu saja, dia adalah Theo. Theo melepaskan helm yang ia pakai dan bergegas turun dari atas
Hari sudah hampir gelap, Theo baru saja sampai di rumahnya. Kepulangannya disambut oleh kedua adiknya yang sedang menunggu di teras depan rumah. "Kak! Kak Theo, kenapa baru pulang? Katanya mau ngajarin Leo main basket!" pekik Leo cemberut. Theo terkekeh menatapnya. "Kakak harus mengantarkan teman Kakak dulu, Leo. Nanti malam saja, oke?" "Kak Arabelle mana?" tanya Lea mendongak menatap sang Kakak sambil memegang sebungkus roti di tangannya. Theo memeluk kedua lututnya di hadapan Lea. Ia tersenyum lembut pada adik kecilnya. "Kakak tidak mengantarkan Kak Arabelle, Cantik..." "Terus, siapa? Kakak tidak berteman lagi sama Kak Arabelle?" tanya Lea terus menerus. Theo menarik napasnya pelan. Ia tahu kalau Lea sangat menyukai Arabelle karena hanya dengan Arabelle bisa diajak bermain ini dan itu. "Jangan khawatir, nanti malam Kakak akan jemput Kak Arabelle." Theo mengelus pucuk kepala Lea. "Janji, Kak?" Anak perempuan itu mengacungkan kelingkingnya. "Janji, Sayang..." Barulah Lea be
Hari pertama masuk sekolah kali ini sangat seru meskipun Arabelle sempat sakit. Bahkan saat Arabelle ditunjuk untuk melakukan tugas ini dan itu, Theo selalu melarang rekan-rekannya. Theo menjaga Hauri dengan baik. Sampai kini pukul tiga sore, sekolah pun sudah bubar, anak-anak diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. "Kau pulang dengan siapa?" tanya Theo berjalan di belakang Arabelle. "Sendiri, Kak. Aku bisa naik bus," jawab gadis itu membalikkan badannya menatap Theo. "Pulang bersamaku saja," ujarnya. Arabelle mengangguk patuh. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran depan. Di sana, berdiri seorang gadis cantik yang tampak tersenyum pada Theo. "Jadi pulang denganku, kan?" tanya Velicia—teman sekelas Theo. Theo menoleh pada Arabelle. "Aku harus mengantarkan adikku pulang," ujar Theo. "Dia tidak enak badan." Arabelle mengerjapkan kedua matanya ditatap oleh Velicia. Sebelum gadis itu cemberut kesal padanya. "Padahal kita sudah membuat rencana untuk pulang bersama. Tapi kau
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle menginjakkan kakinya di sekolah menengah atas. Sudah satu bulan hubungannya dan Theo kacau. Theo bahkan tidak pernah mengirimkan pesan, mengunjungi, ataupun berbicara dengan Arabelle lagi. Awalnya Arabelle merasa sangat sedih, namun seiring berjalannya waktu, Ayahnya meminta Arabelle untuk fokus pada sekolahnya saja. Seperti pagi ini, Arabelle sudah berada di sekolah barunya bersama dua sahabat setianya. "Akhirnya, kita bisa bersama lagi di sini sekarang!" pekik Vivian memeluk Arabelle dan Diego. "Heem. Meskipun kita tidak satu kelas," sahut Diego. "Yang tidak satu kelas itu hanya kau! Kita berdua mengambil kelas yang sama," sahut Vivian merangkul Arabelle. "Sudah, tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang kita masih bersama-sama di satu sekolah," sahut Arabelle. "Iya, betul! Ayo kita sekarang harus mencari kelas baru kita," ujar Vivian menarik lengan Arabelle. Mereka bertiga berpencar, Diego mencari kelasnya di lorong kedua, sedangkan Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Di kelas sembilan sangat heboh pagi ini dengan pengumuman kelulusan. Arabelle bersama dengan Vivian, mereka berdua bergegas menuju ke papan mading yang terpasang di depan. Kedua gadis itu buru-buru melihat pengumuman kelulusan tersebut. "Arabelle ... aku tidak sabar! Aaaa ... kalau aku tidak lulus, bisa-bisa dimarahi habis-habisan aku oleh Daddy!" seru Vivian. "Kau pasti lulus, Vian. Kita kan sudah berjanji untuk melanjutkan si sekolah yang sama," ujar Arabelle pada sahabatnya itu. Vivian mengangguk antusias. "Ya! Ayo, cepat kita lihat!" Di depan papan mading kini dibanjiri anak kelas sembilan dari beberapa kelas. Arabelle dan Vivian kesulitan melihatnya. Namun, Vivian yang tingginya melebihi Arabelle dia bisa melihat ada namanya di sana hingga gadis itu tiba-tiba menjerit kehebohan. "Aaaaa....! Arabelle! Aku lulus, namaku ada di nomor dua belas, nomor sembilan ada Diego, wahh ... Keren!" Ya Tuhan ... aaaa senang
Kedatangan Harvey di tempat kerja Arabelle membuat gadis itu kaget. Arabelle sendiri juga tidak tahu dari mana Harvey tahu Arabelle bekerja di sini. Harvey langsung melangkah mendekati Arabelle saat itu. Arabelle memperhatikan ke arah Erica yang kini menganggukkan kepala padanya memberikan izin pada Arabelle untuk berbincang dengan Harvey. "Kak Harvey kenapa ada di sini?" tanya Arabelle. "Aku ingin meminta maaf padamu," ucap Harvey menatap kasihan pada Arabelle. Apalagi saat ia menatap kedua mata Arabelle yang sembab. Arabelle menggeleng kecil. "Tidak apa-apa, Kak. Ini bukan salah Kakak." "Aku akan menemui Theo besok pagi. Aku tahu, pasti sangat berat bagimu bertengkar dengan Theo," ujar Harvey. Mendengar hal itu, Arabelle ingin menangis kembali. Namun, gadis itu berusaha untuk menguatkan dirinya dan tidak menangis lagi. Harvey yang dikenal buruk di mata Theo, namun dia tidak seburuk itu bagi Arabelle. Harvey sosok yang perhatian dan baik, tetapi entah apa yang membuat T
Arabelle sudah kembali bersekolah hari ini. Gadis itu pulang lebih awalkarena ujian di sekolahnya sudah selesai dan tinggal menunggu pengumuman kelulusannya. Pukul satu siang, Arabelle mendatangi sekolah Theo. Namun, ia tidak untuk menemui Theo, melainkan untuk mengembalikan Hoodie milik Harvey. Gadis berambut lurus berponi itu berdiri di depan gerbang utama. Ia memperhatikan ke arah lapangan basket, setahu Arabelle hari ini Theo tidak ada jadwal basket, kemungkinan besar Theo tidak ada di sekolahnya saat ini. Hingga Arabelle bisa datang dan menemui Harvey. "Mencari siapa?" tanya seorang murid perempuan yang mendekati Arabelle. "Kak Harvey, Kak," jawab Arabelle. "Emm, kau siapanya Harvey?" tanya gadis berambut cokelat sepundak itu, bersama dua temannya. Arabelle tampak ragu menatap mereka was-was, ia meremas Hoodie hitam di pelukannya. "A-aku hanya—""Arabelle...!" Suara bariton tegas itu terdengar memanggilnya. Arabelle menatap sosok Harvey yang kini berlari kecil ke arahnya.