Perasaan bahagia membuat Asher merasa terharu. Siang ini ia sudah di rumahnya kembali, bahkan Theo juga sudah dijemput oleh Asher. Laki-laki itu duduk di ruang keluarga sendirian. Di luar sedang turun hujan cukup deras, situasi ini membuat Asher semakin dalam larut dalam lamunannya. 'Mama mengajak Papa bercerai hanya karena Papa tidak mau berdamai denganku dan Aleena,' batin Asher dengan penuh terkaan. "Aku tidak menyangka Mama akan melakukan ini," lirih Asher. "Tetapi sekarang, semuanya sudah baik-baik saja. Semuanya sudah lebih baik dan rasanya begitu damai." Asher menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Kedua matanya terpejam pelan dan ia merasakan sejuknya udara di ruangan tempat ia berada. Semuanya seolah-olah sudah ada dalam genggamannya. Keluarga hangat hangat dan harmonis, damai dengan orang tuanya, dan memiliki anak juga istri yang baik dan selalu ada untuknya. Asher merasa ia sudah merdeka. "Papa..." Suara keras Theo membuyarkan lamunan Asher. Laki-laki itu menole
Keesokan harinya...Sejak pagi hingga siang, Aleena masih mendekam di dalam rumah. Asher tidak mengizinkannya pergi ke manapun, menemani Aleena ke mall pun juga tidak. Hingga selama dua bulanan ini Aleena tidak pernah keluar rumah sama sekali selain pergi mengecekan kandungnya saja. Wanita cantik berambut panjang itu tampak duduk di sofa di dekat jendela, sendirian di rumah. "Asher katanya akan makan siang di rumah, tapi kenapa belum kembali juga?" gumam Aleena diam menyandarkan punggungnya. Aleena diam memeluk bantal. "Bosan sekali selalu diam di rumah, Asher datang pun dia tidak pernah mengajakku ke mana-mana, ke rumah Papa juga tidak pernah. Aku sangat merindukan Papa..." Wajah Aleena tertekuk sedih, tak bohong bila ia sangat merindukan Papanya. Aleena sangat ingin bertemu dengan Papanya dan bercerita banyak hal. Tetapi, jangankan pergi ke tempat Papanya, pergi keluar rumah saja Asher pasti sudah akan uring-uringan pada Aleena. Saat Aleena sibuk larut dalam kesedihannya, ti
Melihat Theo tampak bersedih, putranya itu tidak mau makan siang. Bahkan Theo mogok makan sampai malam hari. Aleena sudah membujuk susah payah, tapi upayanya masih juga ditolak oleh sang buah hati. Anak itu masih terus menerus marah. "Sayang ... ayo, Nak, makan dulu sedikit saja," bujuk Aleena dengan lembut. "Tidak mau, Theo tidak lapar," jawab anak itu sambil berbaring dan memeluk bonekanya. Aleena menarik napasnya panjang dan mengusap pucuk kepala si kecil. "Mama sedih sekali kalau Theo tidak mau makan, Theo mau melihat Mama sedih ya?" tanya Aleena. Alih-alih rayuan Aleena mempan, anaknya itu justru menarik selimut dan menutup kepalanya. Mengabaikan bujukan Mamanya. Dengan gerakan pelan Aleena mengelus pucuk kepala Theo. "Mama bilang ke Papa dulu ya, Nak. Kalau sama Papa diizinkan, Theo makan ya," ujar Aleena. Anaknya itu langsung mengangguk setuju. Barulah Aleena beranjak dari duduknya saat itu juga. Aleena berjalan keluar dan melangkah menuruni anak tangga. Ia membawa s
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam, Asher baru saja keluar dari dalam ruang kerjanya. Asher tampak sangat lelah karena ada beberapa berkas yang perusahaan Papanya yang harus ia selesaikan malam ini juga. Setelah semuanya selesai, laki-laki itu kini berjalan naik ke lantai dua. Asher membuka pintu kamarnya dan ia menemukan kekosongan di dalam sana, Aleena tidak ada di dalam kamarnya, wanita yang biasanya selalu menunggunya itu, kini tidak ada. Kening Asher mengerut. "Ke mana Aleena?" gumam Asher lirih. Laki-laki itu melangkah ke arah kamar Theo, perlahan-lahan Asher membuka pintu kamar putranya dan ia melihat Aleena tertidur memeluk Theo yang meringkuk dalam dekapan sang Mama. Melihat mereka, Asher merasa sedih. Lebih tepatnya, ia menyalahkan dirinya sendiri. 'Seberapa sibuknya aku sampai tidak memiliki waktu untuk mereka,' batin Asher. 'Termasuk untuk Aleena...' Asher melangkah mendekat tanpa suara, laki-laki itu duduk di tepi ranjang dan mengusap pucuk kepala Theo
Theo masih menangis sesenggukan dalam dekapan Aleena. Anak itu benar-benar takut saat Asher membentaknya dengan cukup keras. Tak henti-hentinya Aleena terus menenangkan Theo."Sudah, Sayang. Jangan menangis lagi, Nak. Mama bilang juga apa, Theo jangan bermain di sana, Theo ikut Mama saja bermain di belakang." Anak itu membenamkan wajahnya di pelukan Aleena. "Ayo ke rumah Kakek, Ma ... hiks, Theo mau ke rumah Kakek saja!" pekik anak itu mencengkeram erat lengan sang Mama. Aleena mengusap pipi gembil putranya. Wanita itu menatap ke lantai satu, Asher juga sudah berangkat ke kantor. Sejak tadi, Aleena mendesak Theo untuk mengaku, dan anaknya memang mengatakan kalau kertas-kertas milik Papanya berada di lantai, Theo tidak tahu penting atau tidak, hingga ia membuatnya sebagai mainan. Dan ujung-ujungnya sang Papa marah besar padanya. "Mama..." Theo kembali mendongak menatap Aleena dengan mata berlinang. "Iya, Sayang. Kita ke tempat Kakek. Mama telfon Kakek dulu ya, biar ada yang menj
Sesampainya di rumah sang Kakek, Theo pun demam. Anak itu tidak mau turun dari gendongan Liam sejak tadi dan semakin manja pada Kakeknya. Aleena sendiri juga cemas melihat kondisi putranya seperti ini. Baru saja ia memberikan obat penurun panas untuk Theo hingga anaknya pun kini tertidur.Aleena duduk di samping Theo dan Papanya berdiri menutup gordan kamar Theo. "Ada apa, Nak? Kau bertengkar dengan suamimu?" tanya Liam menatap Aleena. Putrinya itu menggelengkan kepala. "Tidak, Pa." "Lalu, kalau tidak kenapa kalian ke sini dalam keadaan begini? Theo juga datang-datang sakit, Asher juga tidak ikut dan tidak menghubungi Papa lebih dulu," ujar Liam kini duduk di sebuah sofa yang berada di dalam ruangan itu. Aleena menundukkan kepalanya. Rasanya ia sangat malu mengatakan pada Papanya kalau ia dan Asher baru ribut perkara Theo. Papanya bisa-bisa akan marah, memarahinya atau bahkan memarahi Asher juga hingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Aleena," panggil Liam lagi, nadanya
Asher keluar dari dalam kamar bersama dengan Aleena. Mereka berdua berjalan ke lantai satu di mana Liam kini berada dan duduk di sana. Tampak Liam memperhatikan anak dan menantunya tersebut. Asher langsung duduk sofa samping, sedangkan Aleena di dekat Papanya. "Bagaimana, Asher?" tanya Liam sambil meraih remote TV dan mematikan benda tersebut. Asher menatap Papa mertuanya dan tidak ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya. "Anakmu sakit itu, sekarang," ujar Liam. "Orang marah pasti ada kira-kiranya, kan? Seperti apa teriakanmu sampai Theo jadi demam seperti itu, heh?" Asher tertunduk. "Aku minta maaf, Pa. Tadi aku benar-benar merasa lelah dan di luar kendaliku aku bisa memarahi Theo sampai seperti ini." "Hm. Papa tahu, tapi jangan sekali-kali kau mengulanginya lagi. Theo tidak akan melakukan hal yang dianggapnya bisa membahayakan dirinya sendiri, termasuk kau marahi. Kalau kau memang tidak mau anakmu masuk ke dalam ruangan kerjamu, kau bisa mengunci pintu, atau paling tidak be
Demam Theo yang tak kunjung turun membuat Aleena dan Asher panik hingga mereka segera bergegas pergi ke rumah sakit di kota Lamberg. Di sana, Theo menangis memberontak marah takut disuntik dan anak itu menolak dirawat. Mau tidak mau, Theo mendapatkan perawatan di rumah.Baru saja Asher dan Aleena sampai. Asher kini merebahkan Theo di atas ranjang setelah kembali dari rumah sakit. Anak itu tampak tertidur lelap setelah minum obat. "Wajahnya sampai memerah seperti ini," gumam Asher. "Itu karena demamnya, Sayang?" Aleena mendekat sambil memegangi pinggangnya. Asher memperhatikan wajah Aleena. Tampak istrinya yang mengernyitkan kening, seperti menahan sakit. Lantas Asher langsung berdiri dan mencekal lembut lengan Aleena. "Pinggangnya sakit lagi?" Aleena mengangguk kecil. "Tapi tidak apa-apa, nanti juga hilang sendiri." "Mau aku usap-usapkan?" tawar Asher. Sejenak Aleena diam duduk di tepi ranjang menatap sang suami. Aleena memperhatikan wajah Asher yang begitu cemas. Alih-alih m
Malam ini Arabelle belajar di dalam kamarnya. Gadis cantik itu mengerjakan beberapa tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Gadis cantik meraih ponselnya yang tiba-tiba menyala. Arabelle membaca pesan masuk dari Theo yang bertanya apakah Arabelle sibuk atau tidak. Arabelle pun segera membalasnya dan tak berselang lama, Theo langsung menghubunginya. "Halo..." Arabelle tersenyum tipis menjawab panggilan itu. "Halo, sedang apa?" tanya Theo dibalik panggilan itu. "Sedang mencatat latihan soal, Kak. Kak Theo sedang apa?" "Sedang menjaga Lea. Dia baru saja ribut dengan Leo," jawab Theo. Arabelle menoleh saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Tampak sang Ayah masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekatinya. Jordan meraih ponsel di tangan Arabelle. "Ehh ... Ayah!" Jordan menatap layar ponsel Arabelle di mana nama Theo terpampang jelas di sana. "Jangan menghubungi Arabelle dulu, atau besok paman adukan kau pada Papamu! Paham, Theo!" seru Jordan.Panggilan itu pun langsung
"Kebiasaan! Sudah berapa kali Ara bilang jangan berantem terus! Lihat kalau sudah seperti ini!" "A-akk ... Aduh! Sakit, Arabelle!" pekik Theo saat Arabelle menekan bola kapas dengan obat gadis itu bawa, pada sudut bibir Theo yang membiru dan lebam. Arabelle memasang wajah sebal dan bibir tipisnya cemberut saat menatap Theo. Beberapa menit yang lalu, saat Ayahnya sudah pulang, Vivian dan Diego memanggil Arabelle yang sedang di perpustakaan. Mereka bilang kalau Theo bertengkar dengan kakak kelas. Arabelle yang panik, dia langsung berlari mencari Theo. Bahkan kini, berada di ruang kesehatan pun Arabelle yang harus memaksa Theo untuk segera mengobati luka laki-laki itu. "Aku tidak mau berteman dengan Kak Theo lagi kalau Kak Theo terus menerus bertengkar seperti ini," omel Arabelle mengambil plaster di dalam kotak obat. "Dia duluan yang meledekku..." "Ya jangan ditanggapi, Kak!" "Tidak bisa! Ucapan mereka tidak enak didengar, ya sudah hantam saja!""Begini...!" "Akhhhh! Sakit, Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah bersama dengan sang Ayah. Saat Jordan ikut keluar dari dalam mobil, semua anak-anak di sana menatapnya dengan tatapan terkejut. Jelas saja, sejak dulu Arabelle sering dipanggil anak pungut, karena saat masih sekolah dasar, Arabelle dengan bangga bercerita kalau dia diangkat anak oleh Ayahnya dari panti asuhan. Tapi ternyata, teman-temannya memandang Arabelle dari sisi yang buruk. "Ayah ... Ayah tidak usah mengantar Ara sampai ke dalam sana," ujar Arabelle menatap sang Ayah yang menjadi bahan tatapan semua temannya. "Kenapa? Malu diantarkan Ayah?" tanya Jordan sambil melepaskan kacamata hitamnya dan merapikan tuxedo hitam yang dia pakai. "Tidak. Arabelle tidak malu, Arabelle justru senang sekali Ayah mengantarkan Arabelle. Tapi..." Gadis itu mengecilkan suaranya dan ia memperhatikan sekitar. Jordan tahu apa yang dikhawatirkan oleh Arabelle. Sejak kecil, Arabelle selalu pergi bersekolah dengan bus sekolah. Lalu saat naik kelas menengah pe
Arabelle membuat semua orang panik di rumahnya. Gadis itu pergi bersama Theo tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga malam ini Jordan sangat panik setelah ia pulang dan mendapati anaknya tidak ada di rumah. Sejak tadi, Jordan mondar-mandir di teras rumahnya. "Tidak mungkin Arabelle pergi ke mana-mana tanpa berpamitan!" seru Jordan kini berusaha menghubungi ponsel Arabelle. "Tapi Arabelle memang tidak bilang apa-apa pada Mama dan Papa, Jordan. Tadi setelah makan malam Mama memintanya untuk ke kamar," ujar Hani cemas. Jordan diam, tidak biasanya Arabelle seperti ini. Bahkan bila ia pergi, Arabelle pasti akan mengirimkan pesan pada Jordan dan menyertakan alamatnya juga. "Ke mana kau, Nak?" gerutu Jordan. Bagaimana ia tidak panik, kini sudah pukul dua belas malam. "Mungkin anak itu pergi bersenang-senang, Kak. Anakmu itu sudah dikasih hati malah tidak tahu diri!" sahut Janice. "Heem, benar. Masih untung ada yang kasihan padanya. Tapi Arabelle tidak punya terima kasih sama sekali! Mir
Arabelle keluar dari dalam rumah malam ini tanpa ada yang tahu. Arabelle berlari keluar gerbang sembari memeluk jaketnya dan gadis itu menunggu Theo sambil duduk di sebuah tepian trotoar di jalan perumahan. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menangis mengingat ucapan Tantenya yang begitu menyakitinya. Arabelle selama ini tidak pernah bercerita pada Ayahnya perkara ini, bahkan Nenek dan Kakeknya juga bungkam pada sang Ayah karena tidak mau keluarga pecah dan terjadi keributan pada anak-anaknya. "Mungkin Tante Kaila benar, aku harus hidup mandiri," gumam Arabelle di sela tangisannya. "Tapi ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah yang sayang padaku." Arabelle mengusap air matanya dan ia teringat masa-masa kecilnya di panti asuhan pun juga sangat tidak mudah. Semakin sedih, Arabelle semakin larut kesedihannya. Hingga tak lama kemudian, sebuah motor berhenti di depan Arabelle. Tentu saja, dia adalah Theo. Theo melepaskan helm yang ia pakai dan bergegas turun dari atas
Hari sudah hampir gelap, Theo baru saja sampai di rumahnya. Kepulangannya disambut oleh kedua adiknya yang sedang menunggu di teras depan rumah. "Kak! Kak Theo, kenapa baru pulang? Katanya mau ngajarin Leo main basket!" pekik Leo cemberut. Theo terkekeh menatapnya. "Kakak harus mengantarkan teman Kakak dulu, Leo. Nanti malam saja, oke?" "Kak Arabelle mana?" tanya Lea mendongak menatap sang Kakak sambil memegang sebungkus roti di tangannya. Theo memeluk kedua lututnya di hadapan Lea. Ia tersenyum lembut pada adik kecilnya. "Kakak tidak mengantarkan Kak Arabelle, Cantik..." "Terus, siapa? Kakak tidak berteman lagi sama Kak Arabelle?" tanya Lea terus menerus. Theo menarik napasnya pelan. Ia tahu kalau Lea sangat menyukai Arabelle karena hanya dengan Arabelle bisa diajak bermain ini dan itu. "Jangan khawatir, nanti malam Kakak akan jemput Kak Arabelle." Theo mengelus pucuk kepala Lea. "Janji, Kak?" Anak perempuan itu mengacungkan kelingkingnya. "Janji, Sayang..." Barulah Lea be
Hari pertama masuk sekolah kali ini sangat seru meskipun Arabelle sempat sakit. Bahkan saat Arabelle ditunjuk untuk melakukan tugas ini dan itu, Theo selalu melarang rekan-rekannya. Theo menjaga Hauri dengan baik. Sampai kini pukul tiga sore, sekolah pun sudah bubar, anak-anak diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. "Kau pulang dengan siapa?" tanya Theo berjalan di belakang Arabelle. "Sendiri, Kak. Aku bisa naik bus," jawab gadis itu membalikkan badannya menatap Theo. "Pulang bersamaku saja," ujarnya. Arabelle mengangguk patuh. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran depan. Di sana, berdiri seorang gadis cantik yang tampak tersenyum pada Theo. "Jadi pulang denganku, kan?" tanya Velicia—teman sekelas Theo. Theo menoleh pada Arabelle. "Aku harus mengantarkan adikku pulang," ujar Theo. "Dia tidak enak badan." Arabelle mengerjapkan kedua matanya ditatap oleh Velicia. Sebelum gadis itu cemberut kesal padanya. "Padahal kita sudah membuat rencana untuk pulang bersama. Tapi kau
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle menginjakkan kakinya di sekolah menengah atas. Sudah satu bulan hubungannya dan Theo kacau. Theo bahkan tidak pernah mengirimkan pesan, mengunjungi, ataupun berbicara dengan Arabelle lagi. Awalnya Arabelle merasa sangat sedih, namun seiring berjalannya waktu, Ayahnya meminta Arabelle untuk fokus pada sekolahnya saja. Seperti pagi ini, Arabelle sudah berada di sekolah barunya bersama dua sahabat setianya. "Akhirnya, kita bisa bersama lagi di sini sekarang!" pekik Vivian memeluk Arabelle dan Diego. "Heem. Meskipun kita tidak satu kelas," sahut Diego. "Yang tidak satu kelas itu hanya kau! Kita berdua mengambil kelas yang sama," sahut Vivian merangkul Arabelle. "Sudah, tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang kita masih bersama-sama di satu sekolah," sahut Arabelle. "Iya, betul! Ayo kita sekarang harus mencari kelas baru kita," ujar Vivian menarik lengan Arabelle. Mereka bertiga berpencar, Diego mencari kelasnya di lorong kedua, sedangkan Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Di kelas sembilan sangat heboh pagi ini dengan pengumuman kelulusan. Arabelle bersama dengan Vivian, mereka berdua bergegas menuju ke papan mading yang terpasang di depan. Kedua gadis itu buru-buru melihat pengumuman kelulusan tersebut. "Arabelle ... aku tidak sabar! Aaaa ... kalau aku tidak lulus, bisa-bisa dimarahi habis-habisan aku oleh Daddy!" seru Vivian. "Kau pasti lulus, Vian. Kita kan sudah berjanji untuk melanjutkan si sekolah yang sama," ujar Arabelle pada sahabatnya itu. Vivian mengangguk antusias. "Ya! Ayo, cepat kita lihat!" Di depan papan mading kini dibanjiri anak kelas sembilan dari beberapa kelas. Arabelle dan Vivian kesulitan melihatnya. Namun, Vivian yang tingginya melebihi Arabelle dia bisa melihat ada namanya di sana hingga gadis itu tiba-tiba menjerit kehebohan. "Aaaaa....! Arabelle! Aku lulus, namaku ada di nomor dua belas, nomor sembilan ada Diego, wahh ... Keren!" Ya Tuhan ... aaaa senang