Setelah bertemu dengan Papanya, Asher merasa kepalanya sangat pening. Laki-laki itu berulang kali mengusap wajahnya saat ia baru saja pulang dari kantor pukul dua siang. Kepulangannya di sambut Theo yang kini menunggunya di depan pintu."Papa," panggil Theo dengan wajah panik. "Ada apa, Sayang? Kenapa, hm?" Asher mengelus pucuk kepala Theo. Anak itu mencebikkan bibirnya sedih. "Mama muntah-muntah lagi, kemarin muntah-muntah, tadi pagi muntah-muntah, barusan juga muntah terus. Adiknya nakal sekali, Papa," seru Theo dengan wajah sedihnya ia mengadu. Mendengar hal itu, Asher pun langsung panik. Ia langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sambil menggendong Theo. "Astaga, Aleena ... sekarang di mana Mama, Sayang?" "Ada, Mama ada di kamar sama Bibi. Theo tungguin Papa pulang," jawab Theo. Asher bergegas naik ke lantai dua, laki-laki itu membuka pintu kamar dan ia melihat istrinya terbaring lemah di atas ranjang bersama Bibi di sampingnya. "Ya ampun, Sayang ... kenapa?" ta
Kedatangan Camelia di kediaman Asher membuat putranya itu tampak diam. Sepertinya, suasana hati Asher pun juga masih keruh dengan kedua orang tuanya. Asher yang baru datang membelikan cake untuk Aleena, laki-laki itu duduk di hadapan sang Mama. Camelia tampak tersenyum senang sambil memperhatikan Aleena yang tengah bersama dengan Theo. "Asher," panggilnya pelan dan ia kembali tersenyum. "Selamat ya, kau akan memiliki buah hati lagi, kan? Mama sangat senang mendengarnya." Asher mengangguk. "Mama menjadi orang pertama yang tahu tentang kehamilan istriku," jawab Asher tersenyum tipis. "Iya. Kalau kau sibuk, kalau Aleena ingin sesuatu, jangan sungkan menghubungi Mama," ujar Camelia. Asher harusnya tidak perlu menyimpan rasa curiga pada sang Mama. Ia harus tahu kalau Mamanya tidak mungkin seperti Papanya. "Oh ya, Asher ... tiga hari lagi ada acara di kediaman Pamanmu di Lamberg, kita semua harus datang," ujar Camelia. "Kau ajak Aleena, nanti biar Mama yang akan menemaninya. Tidak en
Asher tampak diam di dalam ruangan kerjanya malam ini. Laki-laki itu banyak diam setelah kedatangan Mamanya tadi, apalagi ia diam merenung setelah mendengar Aleena meminta maaf pada Camelia atas sikap Asher. Rasa bersalah menderanya. Padahal Aleena tidak salah apapun, Asher lah yang bersikap kasar pada Mamanya, tapi kenapa harus Aleena yang meminta maaf. Itulah yang membuatnya kesal. "Ck! Hahh..." Asher berdecak mengusap wajahnya kesal. Sampai akhirnya pintu ruangan kerjanya terbuka, muncul sosok Aleena yang kini berdiri di ambang pintu. Wanita dengan balutan gaun tidur berwarna putih itu menatapnya dengan sayu dan bibirnya masih setia mengatup rapat. Asher menatapnya lekat. "Kenapa belum tidur?" tanyanya. "Kau belum ke kamar," jawab Aleena berjalan mendekat. Asher tersenyum, laki-laki itu menepuk pangkuannya hingga Aleena mendekat dan langsung memeluk Asher, duduk di pangkuannya. Aleena benar-benar memeluk suaminya dengan sangat erat. Terasa jelas punggung Aleena yang tiba-ti
Asher masih di rumah Mamanya, kini ia tengah duduk bersama Mamanya dan Camelia menasihati Asher banyak hal untuk menjaga Aleena yang tengah hamil. "Kau jangan bekerja hingga larut malam, Asher. Temani Aleena dulu, dia bilang pada Mama kalau dia sering sakit pinggang dan kram, itu sangat sakit. Kau laki-laki, jadi tidak akan bisa merasakannya." Nasihat Camelia didengarkan baik-baik oleh Asher. Mamanya itu kini tengah memasukkan beberapa buah-buahan kering ke dalam sebuah wadah. "Bawakan ini untuk Aleena, seingat Mama ... saat dia dulu hamil Theo, Aleena sangat suka buah-buahan kering," ujar Camelia. "Tidak perlu, Ma. Biar nanti aku sendiri yang akan membelikannya," tolak Asher. "Asher ... Mama ingin memberikan ini untuk Aleena, apa salahnya kalau Mama memberikan makanan untuk menantu Mama? Kau ini, benar-benar..." Asher menghela napasnya pelan, ia membiarkan Mamanya yang kini sibuk sendiri. Seperti yang Asher duga kalau Mamanya akan heboh sendiri lantaran dia sangat senang karen
Beberapa Minggu Kemudian..."Mama ... Papa nakal! Theo tidak mau sekolah! Papa marahin Theo, Ma!"Suara teriakan melengking keras beserta tangisan itu terdengar jelas di telinga Aleena yang kini duduk di ruang tamu di lantai satu. Aleena yang tengah menunggu anak dan suaminya, tampak bosan dan lelah. Jelas saja, Asher mengurus Theo seorang diri, sedangkan anaknya super aktif dan ada saja tingkahnya. Sejak semalam anak itu menolak pergi ke sekolah, tapi sebagai Papa yang tegas, Asher mewajibkan Theo berangkat ke sekolah tanpa alasan selain sakit dan bepergian. "Huwaa ... Papa bad! Theo tidak sayang!" teriak Theo kini bersedekap dengan wajah kesal. Tampak Asher mengangkat bagian belakang tas punggung berwarna merah milik putranya, hingga Theo sampai tidak menapaki lantai. "Papa tidak mau mendengar alasan apapun dari Theo, berapa kali Papa bilang, kalau saatnya sekolah ya sekolah!" seru Asher menurunkan Theo di samping Aleena. Anak itu langsung memeluk sang Mama dengan erat. Asher
Asher tak sudah-sudah tersenyum. Dia sangat bahagia, mungkin dalam keluarganya baru kali ini memiliki keturunan kembar. Dan Asher yang memilikinya. Selama perjalanan pulang, di dalam mobil ia terus menggenggam tangan Aleena dan mengecup punggung tangan milik istrinya."Kira-kira, mereka berdua laki-laki atau perempuan, Sayang?" tanya Asher dengan wajah berseri-seri. "Kau bilang laki-laki atau perempuan sama saja, kan? Mereka kejutan dari Tuhan," ujar Alrena menoleh pada suaminya. "Heem, tapi kalau mereka laki-laki semua dan mempunyai karakter seperti Theo, hemmm ... aku bisa pusing setiap hari," jawab Asher mendecakkan lidahnya. Aleena tersenyum. "Theo jadi begitu juga karena kau terlalu memanjakannya, kau juga kurang mendukung apapun yang Theo lakukan, jadi dia gampang kesal padamu. Karena dia kurang bisa mengekspresikan dirinya, hanya sisi emosinya saja yang bisa kita lihat dan rasakan." Asher diam dan mengemudi dengan satu tangannya. "Aku pikir juga begitu," jawab Asher. "Akh
Kebahagiaan yang dirasakan Asher dan Aleena seolah tertularkan pada Camelia. Mama mertuanya itu tampak sangat antusias. Berbeda dengan Darren yang kini masih diam dan melanjutkan makannya. "Nanti, kalau mereka sudah lahir, Mama ingin ikut merawat dan mengasuh mereka ya, Nak," pinta Camelia. Aleena mengangguk. "Iya, Ma. Aleena pasti akan sering-sering mengajak anak-anak ke sini." Camelia tersenyum penuh arti. Wanita itu menatap suaminya yang diam tak bersuara. Bahkan ekspresi bahagia di wajah Darren pun tidak ada saat ini. Sekali lagi, Camelia merasa jengah dengan sikap Darren yang begini. Tetapi diam-diam, sebagai seorang belahan jiwa arah istri, Camelia juga tidak setega itu melihat suaminya diabaikan oleh anaknya dan juga ia sendiri. "Pa, kita akan punya Cucu kembar. Pasti mereka akan lucu-lucu ya, Pa. Kita dulu pernah punya cita-cita Cucu kembar kan, Pa?" ujar Camelia menatap suaminya."Hm," jawab Darren sebelum laki-laki itu menoleh pada Asher di sampingnya. "Kau tidak usah
Perasaan bahagia membuat Asher merasa terharu. Siang ini ia sudah di rumahnya kembali, bahkan Theo juga sudah dijemput oleh Asher. Laki-laki itu duduk di ruang keluarga sendirian. Di luar sedang turun hujan cukup deras, situasi ini membuat Asher semakin dalam larut dalam lamunannya. 'Mama mengajak Papa bercerai hanya karena Papa tidak mau berdamai denganku dan Aleena,' batin Asher dengan penuh terkaan. "Aku tidak menyangka Mama akan melakukan ini," lirih Asher. "Tetapi sekarang, semuanya sudah baik-baik saja. Semuanya sudah lebih baik dan rasanya begitu damai." Asher menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Kedua matanya terpejam pelan dan ia merasakan sejuknya udara di ruangan tempat ia berada. Semuanya seolah-olah sudah ada dalam genggamannya. Keluarga hangat hangat dan harmonis, damai dengan orang tuanya, dan memiliki anak juga istri yang baik dan selalu ada untuknya. Asher merasa ia sudah merdeka. "Papa..." Suara keras Theo membuyarkan lamunan Asher. Laki-laki itu menole
Malam ini Arabelle belajar di dalam kamarnya. Gadis cantik itu mengerjakan beberapa tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Gadis cantik meraih ponselnya yang tiba-tiba menyala. Arabelle membaca pesan masuk dari Theo yang bertanya apakah Arabelle sibuk atau tidak. Arabelle pun segera membalasnya dan tak berselang lama, Theo langsung menghubunginya. "Halo..." Arabelle tersenyum tipis menjawab panggilan itu. "Halo, sedang apa?" tanya Theo dibalik panggilan itu. "Sedang mencatat latihan soal, Kak. Kak Theo sedang apa?" "Sedang menjaga Lea. Dia baru saja ribut dengan Leo," jawab Theo. Arabelle menoleh saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Tampak sang Ayah masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekatinya. Jordan meraih ponsel di tangan Arabelle. "Ehh ... Ayah!" Jordan menatap layar ponsel Arabelle di mana nama Theo terpampang jelas di sana. "Jangan menghubungi Arabelle dulu, atau besok paman adukan kau pada Papamu! Paham, Theo!" seru Jordan.Panggilan itu pun langsung
"Kebiasaan! Sudah berapa kali Ara bilang jangan berantem terus! Lihat kalau sudah seperti ini!" "A-akk ... Aduh! Sakit, Arabelle!" pekik Theo saat Arabelle menekan bola kapas dengan obat gadis itu bawa, pada sudut bibir Theo yang membiru dan lebam. Arabelle memasang wajah sebal dan bibir tipisnya cemberut saat menatap Theo. Beberapa menit yang lalu, saat Ayahnya sudah pulang, Vivian dan Diego memanggil Arabelle yang sedang di perpustakaan. Mereka bilang kalau Theo bertengkar dengan kakak kelas. Arabelle yang panik, dia langsung berlari mencari Theo. Bahkan kini, berada di ruang kesehatan pun Arabelle yang harus memaksa Theo untuk segera mengobati luka laki-laki itu. "Aku tidak mau berteman dengan Kak Theo lagi kalau Kak Theo terus menerus bertengkar seperti ini," omel Arabelle mengambil plaster di dalam kotak obat. "Dia duluan yang meledekku..." "Ya jangan ditanggapi, Kak!" "Tidak bisa! Ucapan mereka tidak enak didengar, ya sudah hantam saja!""Begini...!" "Akhhhh! Sakit, Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah bersama dengan sang Ayah. Saat Jordan ikut keluar dari dalam mobil, semua anak-anak di sana menatapnya dengan tatapan terkejut. Jelas saja, sejak dulu Arabelle sering dipanggil anak pungut, karena saat masih sekolah dasar, Arabelle dengan bangga bercerita kalau dia diangkat anak oleh Ayahnya dari panti asuhan. Tapi ternyata, teman-temannya memandang Arabelle dari sisi yang buruk. "Ayah ... Ayah tidak usah mengantar Ara sampai ke dalam sana," ujar Arabelle menatap sang Ayah yang menjadi bahan tatapan semua temannya. "Kenapa? Malu diantarkan Ayah?" tanya Jordan sambil melepaskan kacamata hitamnya dan merapikan tuxedo hitam yang dia pakai. "Tidak. Arabelle tidak malu, Arabelle justru senang sekali Ayah mengantarkan Arabelle. Tapi..." Gadis itu mengecilkan suaranya dan ia memperhatikan sekitar. Jordan tahu apa yang dikhawatirkan oleh Arabelle. Sejak kecil, Arabelle selalu pergi bersekolah dengan bus sekolah. Lalu saat naik kelas menengah pe
Arabelle membuat semua orang panik di rumahnya. Gadis itu pergi bersama Theo tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga malam ini Jordan sangat panik setelah ia pulang dan mendapati anaknya tidak ada di rumah. Sejak tadi, Jordan mondar-mandir di teras rumahnya. "Tidak mungkin Arabelle pergi ke mana-mana tanpa berpamitan!" seru Jordan kini berusaha menghubungi ponsel Arabelle. "Tapi Arabelle memang tidak bilang apa-apa pada Mama dan Papa, Jordan. Tadi setelah makan malam Mama memintanya untuk ke kamar," ujar Hani cemas. Jordan diam, tidak biasanya Arabelle seperti ini. Bahkan bila ia pergi, Arabelle pasti akan mengirimkan pesan pada Jordan dan menyertakan alamatnya juga. "Ke mana kau, Nak?" gerutu Jordan. Bagaimana ia tidak panik, kini sudah pukul dua belas malam. "Mungkin anak itu pergi bersenang-senang, Kak. Anakmu itu sudah dikasih hati malah tidak tahu diri!" sahut Janice. "Heem, benar. Masih untung ada yang kasihan padanya. Tapi Arabelle tidak punya terima kasih sama sekali! Mir
Arabelle keluar dari dalam rumah malam ini tanpa ada yang tahu. Arabelle berlari keluar gerbang sembari memeluk jaketnya dan gadis itu menunggu Theo sambil duduk di sebuah tepian trotoar di jalan perumahan. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menangis mengingat ucapan Tantenya yang begitu menyakitinya. Arabelle selama ini tidak pernah bercerita pada Ayahnya perkara ini, bahkan Nenek dan Kakeknya juga bungkam pada sang Ayah karena tidak mau keluarga pecah dan terjadi keributan pada anak-anaknya. "Mungkin Tante Kaila benar, aku harus hidup mandiri," gumam Arabelle di sela tangisannya. "Tapi ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah yang sayang padaku." Arabelle mengusap air matanya dan ia teringat masa-masa kecilnya di panti asuhan pun juga sangat tidak mudah. Semakin sedih, Arabelle semakin larut kesedihannya. Hingga tak lama kemudian, sebuah motor berhenti di depan Arabelle. Tentu saja, dia adalah Theo. Theo melepaskan helm yang ia pakai dan bergegas turun dari atas
Hari sudah hampir gelap, Theo baru saja sampai di rumahnya. Kepulangannya disambut oleh kedua adiknya yang sedang menunggu di teras depan rumah. "Kak! Kak Theo, kenapa baru pulang? Katanya mau ngajarin Leo main basket!" pekik Leo cemberut. Theo terkekeh menatapnya. "Kakak harus mengantarkan teman Kakak dulu, Leo. Nanti malam saja, oke?" "Kak Arabelle mana?" tanya Lea mendongak menatap sang Kakak sambil memegang sebungkus roti di tangannya. Theo memeluk kedua lututnya di hadapan Lea. Ia tersenyum lembut pada adik kecilnya. "Kakak tidak mengantarkan Kak Arabelle, Cantik..." "Terus, siapa? Kakak tidak berteman lagi sama Kak Arabelle?" tanya Lea terus menerus. Theo menarik napasnya pelan. Ia tahu kalau Lea sangat menyukai Arabelle karena hanya dengan Arabelle bisa diajak bermain ini dan itu. "Jangan khawatir, nanti malam Kakak akan jemput Kak Arabelle." Theo mengelus pucuk kepala Lea. "Janji, Kak?" Anak perempuan itu mengacungkan kelingkingnya. "Janji, Sayang..." Barulah Lea be
Hari pertama masuk sekolah kali ini sangat seru meskipun Arabelle sempat sakit. Bahkan saat Arabelle ditunjuk untuk melakukan tugas ini dan itu, Theo selalu melarang rekan-rekannya. Theo menjaga Hauri dengan baik. Sampai kini pukul tiga sore, sekolah pun sudah bubar, anak-anak diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. "Kau pulang dengan siapa?" tanya Theo berjalan di belakang Arabelle. "Sendiri, Kak. Aku bisa naik bus," jawab gadis itu membalikkan badannya menatap Theo. "Pulang bersamaku saja," ujarnya. Arabelle mengangguk patuh. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran depan. Di sana, berdiri seorang gadis cantik yang tampak tersenyum pada Theo. "Jadi pulang denganku, kan?" tanya Velicia—teman sekelas Theo. Theo menoleh pada Arabelle. "Aku harus mengantarkan adikku pulang," ujar Theo. "Dia tidak enak badan." Arabelle mengerjapkan kedua matanya ditatap oleh Velicia. Sebelum gadis itu cemberut kesal padanya. "Padahal kita sudah membuat rencana untuk pulang bersama. Tapi kau
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle menginjakkan kakinya di sekolah menengah atas. Sudah satu bulan hubungannya dan Theo kacau. Theo bahkan tidak pernah mengirimkan pesan, mengunjungi, ataupun berbicara dengan Arabelle lagi. Awalnya Arabelle merasa sangat sedih, namun seiring berjalannya waktu, Ayahnya meminta Arabelle untuk fokus pada sekolahnya saja. Seperti pagi ini, Arabelle sudah berada di sekolah barunya bersama dua sahabat setianya. "Akhirnya, kita bisa bersama lagi di sini sekarang!" pekik Vivian memeluk Arabelle dan Diego. "Heem. Meskipun kita tidak satu kelas," sahut Diego. "Yang tidak satu kelas itu hanya kau! Kita berdua mengambil kelas yang sama," sahut Vivian merangkul Arabelle. "Sudah, tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang kita masih bersama-sama di satu sekolah," sahut Arabelle. "Iya, betul! Ayo kita sekarang harus mencari kelas baru kita," ujar Vivian menarik lengan Arabelle. Mereka bertiga berpencar, Diego mencari kelasnya di lorong kedua, sedangkan Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Di kelas sembilan sangat heboh pagi ini dengan pengumuman kelulusan. Arabelle bersama dengan Vivian, mereka berdua bergegas menuju ke papan mading yang terpasang di depan. Kedua gadis itu buru-buru melihat pengumuman kelulusan tersebut. "Arabelle ... aku tidak sabar! Aaaa ... kalau aku tidak lulus, bisa-bisa dimarahi habis-habisan aku oleh Daddy!" seru Vivian. "Kau pasti lulus, Vian. Kita kan sudah berjanji untuk melanjutkan si sekolah yang sama," ujar Arabelle pada sahabatnya itu. Vivian mengangguk antusias. "Ya! Ayo, cepat kita lihat!" Di depan papan mading kini dibanjiri anak kelas sembilan dari beberapa kelas. Arabelle dan Vivian kesulitan melihatnya. Namun, Vivian yang tingginya melebihi Arabelle dia bisa melihat ada namanya di sana hingga gadis itu tiba-tiba menjerit kehebohan. "Aaaaa....! Arabelle! Aku lulus, namaku ada di nomor dua belas, nomor sembilan ada Diego, wahh ... Keren!" Ya Tuhan ... aaaa senang