Suara pekikan keras menghentikan kegiatan Marsha seketika. Wanita itu tersentak saat ia menoleh ke arah pintu dan Asher lah yang berada di sana. Sontak, Marsha langsung melepaskan cengkeraman tangannya dari Aleena saya Asher berjalan mendekatinya dan menarik kasar lengan Marsha. "A-asher, aku—""Apa yang kau lakukan pada Aleena, hah?!" bentak Asher marah. "Apa-apaan kau!" teriaknya keras dan marah. "Aku hanya sedang berbicara saja dengannya. Aku tidak—" "Sedang berbicara katamu! Aku melihat dengan mata kepalaku kau menjambak Aleena!" pekik Asher berdiri melindungi Aleena di belakangnya. Asher sangat marah dan terkejut, saat ia pulang ada mobil Marsha di depan rumahnya. Dan benar, ternyata di dalam rumah Marsha tampak kembali menindas Aleena. Dengan cepat Asher membalikkan badannya dan menatap Aleena yang kini berdiri berpegangan pada meja dan tubuhnya gemetar seketika. "Aleena, aku tidak apa-apa?" tanya Asher mengusap wajahnya dan kepala Aleena. "Kau tidak apa-apa, Sayang? Apa
Setelah kejadian sore tadi, Aleena merasakan semuanya kacau tidak sesuai jalan yang semula dirancang oleh Asher dan Marsha.Aleena merasa kini kedua kakinya tengah berpijak di ujung duri. Meskipun secara seutuhnya Asher lebih membelanya, tapi tidak dengan orang tua dan keluarganya. Bagaimana kalau mereka tahu tentang Aleena selama ini? Pasti cara mereka semua pada Aleena dengan sebelah mata, sebagai orang ketiga di rumah tangga Asher Benedict. "Awwhh...." Aleena menyentuh perutnya dan memejamkan kedua matanya erat. Satu tangannya mencengkram erat tali gorden kamar, gadis itu menundukkan kepalanya dan merasakan nyeri yang teramat di perut dan pinggangnya. "Ya Tuhan, kenapa sakit-sakit lagi," lirihnya sambil menggigit bibir kuat-kuat. Perlahan, Aleena melangkah keluar dari dalam kamar dan ia mencari Asher untuk meminta menemaninya. Dengan langkah yang pelan dan kecil, gadis itu menuruni anak tangga. Aleena berjalan menuju ruangan kerja Asher, namun langkah Aleena terhenti di depa
Keesokan harinya, Asher sudah membuat janji dengan Pengacara Hensen untuk bertemu di kediamannya yang berada di Murniche. Ia berangkat lebih pagi dari biasanya, karena perjalanan dari Palonia ke Murniche cukup lama. Setelah beberapa jam perjalanan, ia tiba di kediamannya yang tampak sangat sunyi dan sepi. Kedatangan Asher kali ini tidak sendirian, ia sudah bersama Pengacara Hensen. Mereka disambut oleh para pelayan rumah yang sedikit terkejut dengan kedatangan Asher. "Selamat pagi, Tuan," sapa salah satu pelayan. Asher melangkah melenggang masuk ke dalam rumah. "Di mana Marsha? Apa dia masih di sini?" tanya Asher menoleh pada pelayan itu. "Masih, Tuan. Sepertinya Nyonya masih berada di kamarnya," jawab wanita itu. "Panggil dia ke sini!" seru Asher memerintah. "Baik, Tuan." Satu pelayan segera naik ke lantai dua, sedangkan Asher dan Pengacara Hensen duduk di sofa menunggu-nunggu.Hingga tak lama kemudian, sosok Marsha muncul dari lantai dua. Wanita itu menatap Asher dengan tata
Darah segar mengalir di pergelangan tangan Marsha, hingga menetes di lantai. Wanita itu benar-benar nekat melukai nadinya dengan menggoreskan pecahan vas bunga di sana. Tindakan Marsha yang keterlaluan ini membuat semua orang panik. Asher segera mendekatinya dan merangkul wanita yang kini terjatuh limbung di atas lantai. "Apa-apaan kau, Marsha!" seru Asher. "Marsha! Buka matamu..." "A-asher," lirih Marsha. "A-aku tidak ingin bercerai. Kumohon jangan ce-ceraikan aku."Wanita itu memucat seketika saat darah yang mengalir di nadinya terus mengucur. Asher menatapnya panik, di sampingnya ada Darren yang menutup pergelangan tangan Marsha dengan sebuah sapu tangan. "Cepat bawa ke rumah sakit, Asher!" pekik Darren. Saat itu juga Asher langsung mengangkat tubuh Marsha. Di depan, Jordan sudah menyiapkan mobil untuk membawa mereka ke rumah sakit saat itu juga. Tampak Camelia kini berdiri di ambang pintu dan memperhatikan sisa pecahan vas bunga yang bercampur cairan merah anyir di lantai.
"Papa mohon, Asher ... jangan melakukannya. Papa dan Mama hanya memiliki Marsha saja di dunia ini..." Glenn tampak menundukkan kepalanya di hadapan Asher saat mereka berada di luar. Ancaman Marsha yang ingin melakukan hal lebih nekat daripada kejadian tadi, membuat kedua orang tuanya panik. Di sisi lain, Asher juga berpikir dua kali untuk mengambil keputusan sepihak. "Kesalahan Marsha tidak bisa aku ampuni dengan mudahnya, Pa," ujar Asher. "Aku benar-benar sakit hati atas penghianatannya padaku." "Papa tahu, Asher. Tapi Papa mohon padamu ... tolong, nyawa Marsha ada di tanganmu. Papa mohon," seru Glenn dengan wajah penuh permohonan. Asher benar-benar jijik pada Marsha. Dengan kelakuannya yang seperti itu, orang tua yang tidak tahu apa-apa harus memohon-mohon padanya seperti yang dilakukan Papanya saat ini. Perlahan, Asher mencekal pundak Glenn dan menatapnya lekat. "Jangan memohon seperti ini, Pa. Ini semua bukan salah Papa," ujar Asher. "Aku akan mempertimbangkan permintaan Pa
Tak henti-hentinya Asher tersenyum bahagia, sambil menggenggam dan mengecup punggung tangan Aleena atas rasa bahagia yang kini ia rasakan. Ia akan memiliki seorang putra!Sambil mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang di jalanan kota Palonia yang cukup sepi siang ini karena cuaca yang mendung. Hari ini menjadi hari menjengkelkan dalam hidupnya karena Marsha. Dan rona kemarahan itu dihapuskan oleh Aleena yang mengatakan padanya kalau ia akan memiliki seorang putra yang akan lahir dari rahim gadis itu. Asher sangat-sangat bahagia..."Kita langsung pulang, atau kau ingin ke suatu tempat?" tanya Asher menoleh pada istrinya. Aleena mengangguk. "Ada sesuatu yang aku inginkan, kau mau membelikan aku sesuatu itu?" pinta Aleena. Kening Asher mengerut dan matanya menyipit. "Sesuatu? Apa itu?" Aleena tersenyum seketika. "Aku ingin kau memilihkan sepatu kecil untuk anak kita. Dari semua perlengkapan yang sudah aku siapkan, hanya sepatu saja yang tidak ada. Bagaimana? Kau mau?" ajak Aleen
Hari sudah gelap di Palonia. Asher tampak sibuk berada di dalam ruangan kerja, banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan malam ini. Setelah ia menemani Aleena hingga istrinya tertidur, barulah Asher beranjak untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Laki-laki itu terlihat fokus dengan layar laptopnya. "Permisi, Tuan Asher..." Pintu ruangan itu terketuk, tampak Jordan berdiri di sana dan melangkah masuk setelah Asher menatapnya. Jordan meletakkan beberapa berkas di atas meja dan duduk di hadapan Asher di dalam ruangan yang temaram itu. "Tuan, meeting besok siang rupanya tidak bisa diwakilkan, saya sudah meminta pada Tuan Besar. Tetapi Tuan besar ingin Tuan yang datang," ujar Jordan. "Tidak masalah. Aku akan datang," jawab Asher. "Hubungi beberapa orang untuk berjaga di sini, Jordan. Istriku sudah hamil tua, aku tidak ingin terjadi hal buruk pada Aleena saat aku tidak ada di rumah." Jordan mengangguk patuh. "Baiklah, Tuan." Asher berdehem pelan, ia meraih sebuah berkas bersampul h
Saat Asher tiba perusahaannya di Murniche, ia sudah disambut oleh salah satu asistennya yang kini memasang wajah tegang dan serius. Namun, Asher tampak santai masuk ke dalam perusahaan besarnya. Berjalan diikuti oleh Jordan di belakangnya. "Selamat pagi, Tuan Asher," sapa Faron berjalan mendekati Asher. "Pagi, Faron. Bagaimana? Apa semua keperluan meeting sudah kau siapkan?" tanya Asher pada asistennya tersebut. "Sudah semua, Tuan. Tetapi, sekarang ada seseorang yang ingin bertemu Tuan," ujar laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu. "Seseorang?" Asher mengerutkan keningnya. "Papa mertua Tuan Asher ada di sini, beliau menunggu Tuan sejak lima belas menit yang lalu," jawabnya. Mendengar hal itu, Asher menyergahkan napasnya panjang. Asher melirik Jordan yang masih berdiri di sampingnya. Pasti perkara semalam saat Asher meminta Jordan untuk mengatakan pemutusan kerja sama dan perjanjian dengan perusahaan milik Papa mertuanya tersebut. Asher sudah menduga akan hal ini. "Aku akan men
"Mama ... Huwaa, Mamaku...!" Suara teriakan Theo terdengar dari depan. Tampak anak itu menangis sambil memanggil sang Mama. Aleena yang berada di dalam rumah pun segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke depan dan benar, Aleena melihat Theo masuk ke dalam rumah sambil menangis ke arahnya."Loh, Sayang ... kenapa?" tanya Aleena mendekap Theo yang langsung memeluknya erat. Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak mau mengaku pada siapapun, Theo takut. "Kenapa, Sayang? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanya Aleena menggendongnya. Aleena berjalan ke depan, ia melihat Jordan membawakan mobil-mobilan berukuran besar milik Theo. Segera Aleena mendekati ajudan Asher tersebut. "Apa yang terjadi, Jordan? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanyanya. "Saya juga tidak tahu, Nona. Saat saya mengambil berkas di paviliun, tiba-tiba Tuan Kecil berlari keluar sambil menangis mencari saya," jawab Jordan kebingungan. Aleena kembali menatap putranya. "Sudah, Sayang ... sudah janga
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc
Tepat pukul sepuluh malam, Asher baru saja sampai di rumahnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai. Rasa hatinya senang dan lega karena ia baru saja bertemu dengan Aleena dan menghabiskan waktu bersama Aleena dan juga Theo. Namun, saat Asher hendak melangkah ke lantai dua, tiba-tiba muncul Marsha yang tengah menuruni anak tangga. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" tanyanya bingung. "Theo ada di suatu tempat. Dia tidak mau pulang," jawab Asher, ia melangkah hendak melewati Marsha. Wanita itu, mencekal lengan Asher dan menatapnya dalam-dalam. "Di mana Theo, Asher?" tanya wanita itu dengan penuh penekanan. Asher menarik napasnya panjang. "Sudah aku jawab, bukan? Theo ada di suatu tempat.""Bagaimana bisa kau melakukan ini?! Kau meninggalkan anakmu di suatu tempat, dan kau sendiri pulang dengan santainya! Aku tidak pernah melihatmu sesantai ini saat Theo tidak di sampingmu! Bahkan sudah beberapa hari ini aku sama se
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T
Malam ini Aleena bisa merasakan tidur memeluk Theo. Meskipun Asher menemani di sampingnya. Sejujurnya, Aleena tidak bisa tidur meskipun kepalanya sangat pusing. Di sisi lain, Asher juga tidak tidur. Laki-laki itu diam-diam seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Hingga tanpa sengaja, Asher menatap pada Aleena yang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum mengulurkan telapak tangannya mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut hingga membuat sang empu cemberut kesal padanya. "Cepat tidur, Aleena," ujarnya membujuk. "Aku tidak mengantuk. Kau sendiri, cepat istirahat. Atau mungkin kalau kau ingin pulang, segeralah pulang. Aku akan di sini dengan Theo," seru Aleena menarik selimutnya. "Aku akan tetap di sini menemani kalian," jawab Asher."Awas saja kalau sampai istrimu itu datang ke sini marah-marah padaku seperti dulu!" kecam Aleena. "Aku tidak akan memaafkanmu, Asher!" Asher terkekeh mendengar apa yang Aleena ucapkan. Ternyata, setelah lima tahun mereka terpisah, Aleena