Sudah beberapa hari setelah keributan besar dengan Asher, membuat Marsha stres dan bingung. Wanita itu benar-benar ketakutan kalau Asher akan menceraikannya. Marsha sudah berkali-kali mendatangi perusahaan milik Asher, namun ia juga tidak menemukan suaminya. Sehingga Marsha merasa sangat putus asa. "Asher benar-benar tidak datang ke Murniche sama sekali!" seru Marsha sambil mencengkeram erat kemudi mobilnya. "Bahkan dia tidak pulang dan dia benar-benar mengabaikanku seperti ini!"Wajah Marsha tampak kalut, wanita itu diam menggigit ujung ibu jarinya. "Akan sulit bagiku mendapat maaf Asher kembali. Dan ... bodoh sekali aku! Bagaimana bisa semuanya terbongkar seperti ini, Ya Tuhan!" pekik wanita itu lagi dan lagi. "Calven juga tidak bisa aku hubungi! Sialan! Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Bagaimana kalau Mama dan Papa tahu aku dan Asher bertengkar hebat karena memergoki aku sedang— arrggh! Sialan! Bodoh kau, Marsha!" Sepanjang jalan Marsha hanya bisa memaki dirinya sendiri kar
Suara pekikan keras menghentikan kegiatan Marsha seketika. Wanita itu tersentak saat ia menoleh ke arah pintu dan Asher lah yang berada di sana. Sontak, Marsha langsung melepaskan cengkeraman tangannya dari Aleena saya Asher berjalan mendekatinya dan menarik kasar lengan Marsha. "A-asher, aku—""Apa yang kau lakukan pada Aleena, hah?!" bentak Asher marah. "Apa-apaan kau!" teriaknya keras dan marah. "Aku hanya sedang berbicara saja dengannya. Aku tidak—" "Sedang berbicara katamu! Aku melihat dengan mata kepalaku kau menjambak Aleena!" pekik Asher berdiri melindungi Aleena di belakangnya. Asher sangat marah dan terkejut, saat ia pulang ada mobil Marsha di depan rumahnya. Dan benar, ternyata di dalam rumah Marsha tampak kembali menindas Aleena. Dengan cepat Asher membalikkan badannya dan menatap Aleena yang kini berdiri berpegangan pada meja dan tubuhnya gemetar seketika. "Aleena, aku tidak apa-apa?" tanya Asher mengusap wajahnya dan kepala Aleena. "Kau tidak apa-apa, Sayang? Apa
Setelah kejadian sore tadi, Aleena merasakan semuanya kacau tidak sesuai jalan yang semula dirancang oleh Asher dan Marsha.Aleena merasa kini kedua kakinya tengah berpijak di ujung duri. Meskipun secara seutuhnya Asher lebih membelanya, tapi tidak dengan orang tua dan keluarganya. Bagaimana kalau mereka tahu tentang Aleena selama ini? Pasti cara mereka semua pada Aleena dengan sebelah mata, sebagai orang ketiga di rumah tangga Asher Benedict. "Awwhh...." Aleena menyentuh perutnya dan memejamkan kedua matanya erat. Satu tangannya mencengkram erat tali gorden kamar, gadis itu menundukkan kepalanya dan merasakan nyeri yang teramat di perut dan pinggangnya. "Ya Tuhan, kenapa sakit-sakit lagi," lirihnya sambil menggigit bibir kuat-kuat. Perlahan, Aleena melangkah keluar dari dalam kamar dan ia mencari Asher untuk meminta menemaninya. Dengan langkah yang pelan dan kecil, gadis itu menuruni anak tangga. Aleena berjalan menuju ruangan kerja Asher, namun langkah Aleena terhenti di depa
Keesokan harinya, Asher sudah membuat janji dengan Pengacara Hensen untuk bertemu di kediamannya yang berada di Murniche. Ia berangkat lebih pagi dari biasanya, karena perjalanan dari Palonia ke Murniche cukup lama. Setelah beberapa jam perjalanan, ia tiba di kediamannya yang tampak sangat sunyi dan sepi. Kedatangan Asher kali ini tidak sendirian, ia sudah bersama Pengacara Hensen. Mereka disambut oleh para pelayan rumah yang sedikit terkejut dengan kedatangan Asher. "Selamat pagi, Tuan," sapa salah satu pelayan. Asher melangkah melenggang masuk ke dalam rumah. "Di mana Marsha? Apa dia masih di sini?" tanya Asher menoleh pada pelayan itu. "Masih, Tuan. Sepertinya Nyonya masih berada di kamarnya," jawab wanita itu. "Panggil dia ke sini!" seru Asher memerintah. "Baik, Tuan." Satu pelayan segera naik ke lantai dua, sedangkan Asher dan Pengacara Hensen duduk di sofa menunggu-nunggu.Hingga tak lama kemudian, sosok Marsha muncul dari lantai dua. Wanita itu menatap Asher dengan tata
Darah segar mengalir di pergelangan tangan Marsha, hingga menetes di lantai. Wanita itu benar-benar nekat melukai nadinya dengan menggoreskan pecahan vas bunga di sana. Tindakan Marsha yang keterlaluan ini membuat semua orang panik. Asher segera mendekatinya dan merangkul wanita yang kini terjatuh limbung di atas lantai. "Apa-apaan kau, Marsha!" seru Asher. "Marsha! Buka matamu..." "A-asher," lirih Marsha. "A-aku tidak ingin bercerai. Kumohon jangan ce-ceraikan aku."Wanita itu memucat seketika saat darah yang mengalir di nadinya terus mengucur. Asher menatapnya panik, di sampingnya ada Darren yang menutup pergelangan tangan Marsha dengan sebuah sapu tangan. "Cepat bawa ke rumah sakit, Asher!" pekik Darren. Saat itu juga Asher langsung mengangkat tubuh Marsha. Di depan, Jordan sudah menyiapkan mobil untuk membawa mereka ke rumah sakit saat itu juga. Tampak Camelia kini berdiri di ambang pintu dan memperhatikan sisa pecahan vas bunga yang bercampur cairan merah anyir di lantai.
"Papa mohon, Asher ... jangan melakukannya. Papa dan Mama hanya memiliki Marsha saja di dunia ini..." Glenn tampak menundukkan kepalanya di hadapan Asher saat mereka berada di luar. Ancaman Marsha yang ingin melakukan hal lebih nekat daripada kejadian tadi, membuat kedua orang tuanya panik. Di sisi lain, Asher juga berpikir dua kali untuk mengambil keputusan sepihak. "Kesalahan Marsha tidak bisa aku ampuni dengan mudahnya, Pa," ujar Asher. "Aku benar-benar sakit hati atas penghianatannya padaku." "Papa tahu, Asher. Tapi Papa mohon padamu ... tolong, nyawa Marsha ada di tanganmu. Papa mohon," seru Glenn dengan wajah penuh permohonan. Asher benar-benar jijik pada Marsha. Dengan kelakuannya yang seperti itu, orang tua yang tidak tahu apa-apa harus memohon-mohon padanya seperti yang dilakukan Papanya saat ini. Perlahan, Asher mencekal pundak Glenn dan menatapnya lekat. "Jangan memohon seperti ini, Pa. Ini semua bukan salah Papa," ujar Asher. "Aku akan mempertimbangkan permintaan Pa
Tak henti-hentinya Asher tersenyum bahagia, sambil menggenggam dan mengecup punggung tangan Aleena atas rasa bahagia yang kini ia rasakan. Ia akan memiliki seorang putra!Sambil mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang di jalanan kota Palonia yang cukup sepi siang ini karena cuaca yang mendung. Hari ini menjadi hari menjengkelkan dalam hidupnya karena Marsha. Dan rona kemarahan itu dihapuskan oleh Aleena yang mengatakan padanya kalau ia akan memiliki seorang putra yang akan lahir dari rahim gadis itu. Asher sangat-sangat bahagia..."Kita langsung pulang, atau kau ingin ke suatu tempat?" tanya Asher menoleh pada istrinya. Aleena mengangguk. "Ada sesuatu yang aku inginkan, kau mau membelikan aku sesuatu itu?" pinta Aleena. Kening Asher mengerut dan matanya menyipit. "Sesuatu? Apa itu?" Aleena tersenyum seketika. "Aku ingin kau memilihkan sepatu kecil untuk anak kita. Dari semua perlengkapan yang sudah aku siapkan, hanya sepatu saja yang tidak ada. Bagaimana? Kau mau?" ajak Aleen
Hari sudah gelap di Palonia. Asher tampak sibuk berada di dalam ruangan kerja, banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan malam ini. Setelah ia menemani Aleena hingga istrinya tertidur, barulah Asher beranjak untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Laki-laki itu terlihat fokus dengan layar laptopnya. "Permisi, Tuan Asher..." Pintu ruangan itu terketuk, tampak Jordan berdiri di sana dan melangkah masuk setelah Asher menatapnya. Jordan meletakkan beberapa berkas di atas meja dan duduk di hadapan Asher di dalam ruangan yang temaram itu. "Tuan, meeting besok siang rupanya tidak bisa diwakilkan, saya sudah meminta pada Tuan Besar. Tetapi Tuan besar ingin Tuan yang datang," ujar Jordan. "Tidak masalah. Aku akan datang," jawab Asher. "Hubungi beberapa orang untuk berjaga di sini, Jordan. Istriku sudah hamil tua, aku tidak ingin terjadi hal buruk pada Aleena saat aku tidak ada di rumah." Jordan mengangguk patuh. "Baiklah, Tuan." Asher berdehem pelan, ia meraih sebuah berkas bersampul h
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih