Hari itu, rumah besar keluarga Agara dipenuhi ketegangan. Di ruang tamu, Florentina berdiri dengan koper besar di tangannya. Wajahnya penuh tekad, tatapannya tajam mengarah ke suaminya, Agara, yang masih duduk di sofa."Sudah cukup, Agara! Aku sudah tidak tahan lagi tinggal di sini!" serunya dengan suara bergetar, namun tetap tegas.Agara, pria paruh baya yang biasanya tenang, tampak terkejut dengan ledakan amarah istrinya. "Apa yang kau bicarakan, Tina? Kau ini kenapa tiba-tiba seperti ini?""Jangan pura-pura bodoh! Aku tahu kau tidak terima anak kita menikah dengan seorang wanita yang tidak kau pilih. Aku tahu kau pasti merencanakan sesuatu yang buruk untuk menghancurkan pernikahan Raka!" Florentina menuduh dengan penuh emosi.Agara berdiri, mencoba mendekati istrinya. "Aku bahkan belum melakukan apa-apa, Tinah! Kau terlalu berlebihan. Semua yang kulakukan adalah demi kemajuan keluarga kita agar menjadi semakin kuat jika Raka bisa menikah dengan
Sudah pukul sembilan pagi, tetapi Naya baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Kelelahan akibat semalam sang suami, Raka, menunjukkan betapa besar rindunya yang selama ini terpendam. Mereka benar-benar seperti sepasang pengantin baru yang tak pernah lelah menikmati bulan madu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, Naya melangkah ke dapur. Ia masih mengenakan kimono sutra yang sama seperti semalam, kimono yang menjadi saksi malam penuh cinta mereka. Namun langkah Naya tiba-tiba terhenti ketika ia mendengar suara tawa kecil dari ruang tamu. Dengan rasa penasaran, ia mengintip dan terkejut mendapati sosok mertuanya, Florentina, sedang bermain dengan cucunya di karpet ruang tamu. "Oh, pagi, Naya! Sudah bangun, ya? Wah, pengantin baru auranya kelihatan banget, deh," sapa Florentina ceria, tatapannya penuh kehangatan. Naya sontak salah tingkah. Ia menyadari betul bagaimana penampilannya sa
Di Kediaman Keluarga Maria Di ruang tamu megah yang penuh dengan kemewahan, suasana tegang menyelimuti keluarga Maria. Ibunya mondar-mandir dengan wajah cemas, sementara ayahnya sibuk menghubungi berbagai pihak untuk mencari keberadaan putri mereka yang tiba-tiba menghilang. “Kenapa polisi belum menemukan apa-apa juga? Ini sudah hampir semalaman!” Suara ibunya pecah, matanya sembab setelah menangis sepanjang malam. “Tenang dulu, sayang. Kita harus percaya mereka sedang bekerja,” ucap sang suami, mencoba menenangkannya meski dirinya juga dihantui rasa khawatir. Namun, meski semua upaya telah dilakukan, Maria tetap tak ditemukan. Hingga akhirnya, saat malam menjelang pagi, terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Seorang pelayan buru-buru masuk ke ruang tamu dengan wajah penuh kebingungan. “Tuan, Nyonya… ada seseorang di depan pagar rumah. Sepertinya… Nona
Di Balik Pernikahan Naya dan Raka Sudah satu bulan berlalu sejak pernikahan Naya dan Raka disahkan. Di mata banyak orang, pernikahan mereka tampak sempurna, seperti cerita dongeng yang berakhir bahagia. Namun, seperti kata pepatah, tak semua yang terlihat indah di luar mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Bagi Raka, memiliki istri sah seperti Naya adalah kebahagiaan tiada tara. Segala rasa cintanya kini bisa ia tunjukkan tanpa batas. Namun, bagi Naya, pernikahan ini mulai terasa melelahkan, terutama saat harus memenuhi hasrat suaminya yang tiada habisnya. Malam itu, di ruang keluarga, Naya akhirnya meluapkan isi hatinya kepada ibu mertuanya, Florentina, yang kebetulan sedang tinggal bersama mereka untuk membantu mengurus cucu-cucunya. “Kenapa sih, Nak? Wajah kamu kok kelihatan capek terus?” tanya Florentina lembut, sambil merapikan rambut cucunya, Chelly, yang tengah asyik bermain. Naya mendesah
Maria duduk di atas toilet dengan tangan gemetar, memandangi benda kecil di tangannya. Tespek itu menunjukkan dua garis merah yang jelas. Air matanya hampir tumpah, tapi ia menahannya, mencoba mencari logika di tengah kekacauan pikirannya. “Kenapa ini bisa terjadi? Baru sekali... hanya sekali...,” gumamnya dengan suara serak, suaranya nyaris bergetar. Ingatan malam itu terlintas, membuatnya menggigit bibir dengan penuh penyesalan. “Dia... pria itu... brengsek itu... aku bahkan gak tahu nama lengkapnya!” Maria mengusap wajahnya dengan kasar. Dadanya terasa sesak, seperti dunia menghimpitnya dari segala arah. Rasanya tak ada yang lebih buruk dari ini—batal menikah karena insiden memalukan, lalu kini harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya kembali berubah. Ia berdiri, menatap bayangan dirinya di cermin kamar mandi. “Gimana kalau Mama tahu? Atau Papa?” pikirnya. Suaranya pecah saat berbicara sendiri. “
Mauren Mengguncang Hidup TommySiang itu, Tommy baru saja pulang kerja. Tubuhnya lelah, kemejanya basah oleh keringat, dan dia hanya ingin melepas lelah di kursi tua yang sudah miring di teras rumah. Namun, kedamaian sore itu segera sirna ketika suara teriakan seseorang memecah keheningan."Heh, kamu!"Tommy mendongak. Sosok Maria berdiri di depan pagar rumahnya, wajahnya merah padam seperti seseorang yang habis dikejar badai. Tommy hanya bisa mematung ketika Maria berjalan cepat mendekatinya.“Eh, ada apa ini?” gumam Tommy, mencoba membaca situasi.Tanpa banyak bicara, Maria mengangkat tangannya dan—plak!—tamparan keras mendarat di pipinya. Tommy terpaku, bahkan tidak sempat menghindar."Hei, kenapa ini? Sakit tau!" protes Tommy sambil memegang pipinya yang memerah. Namun, Maria tidak peduli."Kamu harus tanggung jawab!" teriak Maria, kini tangannya sibuk memukul-mukul dada Tommy."Eh, stop! Udah gila ya? Datan
Tommy baru saja pulang kerja. Tubuhnya terasa remuk setelah seharian menghadapi pelanggan yang bawel dan bos yang selalu menuntut lebih. Namun, ia berusaha berpikir positif, setidaknya di rumah ia bisa beristirahat. Tapi begitu ia membuka pintu, harapannya hancur lebur. Pemandangan di ruang tamu membuatnya terpaku di ambang pintu.“Gila, rumah gue kayak habis kena badai Katrina!” seru Tommy sambil memegangi kening.Bungkus cemilan berserakan di lantai, sofa penuh remah-remah, dan meja tamu hampir tidak terlihat karena tertutup kaleng soda. Dan di tengah-tengah kekacauan itu, seorang gadis dengan rambut acak-acakan tidur pulas di sofa. Selimutnya setengah melorot ke lantai, dan bantal yang mestinya menyangga kepalanya malah tergolek jauh di sisi lain.“ASTAGA... perempuan setres ini lagi!” Tommy mengerang frustrasi. Itu Maria, gadis yang entah bagaimana selalu berhasil menyusup ke rumahnya.Dengan langkah berat, Tommy mendekati sofa. “Ban
Sore itu, Florentina berjalan pelan menuju kamar Agara. Udara dingin menelusup melalui celah-celah jendela, tapi hati Florentina hangat dengan satu niat sederhana: mendekatkan Agara dengan cucu-cucunya. Sejak sakit, Agara memang tinggal di rumah Raka, anak sulungnya. Namun, meski tubuhnya mulai melemah, hatinya tetap keras. Ia selalu menunjukkan ketidakpedulian pada cucu-cucunya, terutama karena mereka lahir dari perempuan-perempuan yang tak pernah ia restui. Florentina membawa Gio, cucu laki-laki mereka, ke kamar itu. Sementara Chelly, kakak Gio, masih tidur di kamar orang tuanya. Florentina tahu ini momen yang harus dimanfaatkan. Ia berharap si kecil Gio bisa menjadi penyejuk hati bagi pria yang selama ini begitu dingin. Saat pintu kamar terbuka, Agara terlihat sedang duduk bersandar di tempat tidurnya, wajahnya terlihat lelah, namun matanya masih tajam. Ia melirik sekilas ke arah Florentina dan cucunya tanpa ekspresi berarti. “Kenapa k
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."