Di Kediaman Keluarga Maria
Di ruang tamu megah yang penuh dengan kemewahan, suasana tegang menyelimuti keluarga Maria. Ibunya mondar-mandir dengan wajah cemas, sementara ayahnya sibuk menghubungi berbagai pihak untuk mencari keberadaan putri mereka yang tiba-tiba menghilang. “Kenapa polisi belum menemukan apa-apa juga? Ini sudah hampir semalaman!” Suara ibunya pecah, matanya sembab setelah menangis sepanjang malam. “Tenang dulu, sayang. Kita harus percaya mereka sedang bekerja,” ucap sang suami, mencoba menenangkannya meski dirinya juga dihantui rasa khawatir. Namun, meski semua upaya telah dilakukan, Maria tetap tak ditemukan. Hingga akhirnya, saat malam menjelang pagi, terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Seorang pelayan buru-buru masuk ke ruang tamu dengan wajah penuh kebingungan. “Tuan, Nyonya… ada seseorang di depan pagar rumah. Sepertinya… NonaDi Balik Pernikahan Naya dan Raka Sudah satu bulan berlalu sejak pernikahan Naya dan Raka disahkan. Di mata banyak orang, pernikahan mereka tampak sempurna, seperti cerita dongeng yang berakhir bahagia. Namun, seperti kata pepatah, tak semua yang terlihat indah di luar mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Bagi Raka, memiliki istri sah seperti Naya adalah kebahagiaan tiada tara. Segala rasa cintanya kini bisa ia tunjukkan tanpa batas. Namun, bagi Naya, pernikahan ini mulai terasa melelahkan, terutama saat harus memenuhi hasrat suaminya yang tiada habisnya. Malam itu, di ruang keluarga, Naya akhirnya meluapkan isi hatinya kepada ibu mertuanya, Florentina, yang kebetulan sedang tinggal bersama mereka untuk membantu mengurus cucu-cucunya. “Kenapa sih, Nak? Wajah kamu kok kelihatan capek terus?” tanya Florentina lembut, sambil merapikan rambut cucunya, Chelly, yang tengah asyik bermain. Naya mendesah
Maria duduk di atas toilet dengan tangan gemetar, memandangi benda kecil di tangannya. Tespek itu menunjukkan dua garis merah yang jelas. Air matanya hampir tumpah, tapi ia menahannya, mencoba mencari logika di tengah kekacauan pikirannya. “Kenapa ini bisa terjadi? Baru sekali... hanya sekali...,” gumamnya dengan suara serak, suaranya nyaris bergetar. Ingatan malam itu terlintas, membuatnya menggigit bibir dengan penuh penyesalan. “Dia... pria itu... brengsek itu... aku bahkan gak tahu nama lengkapnya!” Maria mengusap wajahnya dengan kasar. Dadanya terasa sesak, seperti dunia menghimpitnya dari segala arah. Rasanya tak ada yang lebih buruk dari ini—batal menikah karena insiden memalukan, lalu kini harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya kembali berubah. Ia berdiri, menatap bayangan dirinya di cermin kamar mandi. “Gimana kalau Mama tahu? Atau Papa?” pikirnya. Suaranya pecah saat berbicara sendiri. “
Mauren Mengguncang Hidup TommySiang itu, Tommy baru saja pulang kerja. Tubuhnya lelah, kemejanya basah oleh keringat, dan dia hanya ingin melepas lelah di kursi tua yang sudah miring di teras rumah. Namun, kedamaian sore itu segera sirna ketika suara teriakan seseorang memecah keheningan."Heh, kamu!"Tommy mendongak. Sosok Maria berdiri di depan pagar rumahnya, wajahnya merah padam seperti seseorang yang habis dikejar badai. Tommy hanya bisa mematung ketika Maria berjalan cepat mendekatinya.“Eh, ada apa ini?” gumam Tommy, mencoba membaca situasi.Tanpa banyak bicara, Maria mengangkat tangannya dan—plak!—tamparan keras mendarat di pipinya. Tommy terpaku, bahkan tidak sempat menghindar."Hei, kenapa ini? Sakit tau!" protes Tommy sambil memegang pipinya yang memerah. Namun, Maria tidak peduli."Kamu harus tanggung jawab!" teriak Maria, kini tangannya sibuk memukul-mukul dada Tommy."Eh, stop! Udah gila ya? Datan
Tommy baru saja pulang kerja. Tubuhnya terasa remuk setelah seharian menghadapi pelanggan yang bawel dan bos yang selalu menuntut lebih. Namun, ia berusaha berpikir positif, setidaknya di rumah ia bisa beristirahat. Tapi begitu ia membuka pintu, harapannya hancur lebur. Pemandangan di ruang tamu membuatnya terpaku di ambang pintu.“Gila, rumah gue kayak habis kena badai Katrina!” seru Tommy sambil memegangi kening.Bungkus cemilan berserakan di lantai, sofa penuh remah-remah, dan meja tamu hampir tidak terlihat karena tertutup kaleng soda. Dan di tengah-tengah kekacauan itu, seorang gadis dengan rambut acak-acakan tidur pulas di sofa. Selimutnya setengah melorot ke lantai, dan bantal yang mestinya menyangga kepalanya malah tergolek jauh di sisi lain.“ASTAGA... perempuan setres ini lagi!” Tommy mengerang frustrasi. Itu Maria, gadis yang entah bagaimana selalu berhasil menyusup ke rumahnya.Dengan langkah berat, Tommy mendekati sofa. “Ban
Sore itu, Florentina berjalan pelan menuju kamar Agara. Udara dingin menelusup melalui celah-celah jendela, tapi hati Florentina hangat dengan satu niat sederhana: mendekatkan Agara dengan cucu-cucunya. Sejak sakit, Agara memang tinggal di rumah Raka, anak sulungnya. Namun, meski tubuhnya mulai melemah, hatinya tetap keras. Ia selalu menunjukkan ketidakpedulian pada cucu-cucunya, terutama karena mereka lahir dari perempuan-perempuan yang tak pernah ia restui. Florentina membawa Gio, cucu laki-laki mereka, ke kamar itu. Sementara Chelly, kakak Gio, masih tidur di kamar orang tuanya. Florentina tahu ini momen yang harus dimanfaatkan. Ia berharap si kecil Gio bisa menjadi penyejuk hati bagi pria yang selama ini begitu dingin. Saat pintu kamar terbuka, Agara terlihat sedang duduk bersandar di tempat tidurnya, wajahnya terlihat lelah, namun matanya masih tajam. Ia melirik sekilas ke arah Florentina dan cucunya tanpa ekspresi berarti. “Kenapa k
"Maaf..." Maria mencoba mengumpulkan keberanian, tapi suaranya terdengar lirih. "Siapa ayahnya?" Ayah nya bertanya, kini nadanya mulai berubah tajam. Ibunya menatap putrinya tajam. "Sayang, kamu sudah dewasa. Kami tahu itu. Waktunya menikah dan punya anak, iya, tapi bukan begini caranya! Hamil tanpa suami? Siapa yang berbuat ini? Ini Raka, kan?!" Maria menggelengkan kepala nya, air matanya mengalir deras. "Bukan, Ma..." "Kalau bukan Raka, lalu siapa?!" Ayah nya membentak, amarahnya mulai memuncak. Maria menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis, sebelum akhirnya berkata dengan suara gemetar, "Aku hamil... sama kakaknya, Naya. Maaf aku baru bisa bilang... Waktu aku diculik, aku..." ia berhenti, suaranya pecah, "aku diperkosa..." Ruangan mendadak sunyi. Kata-kata itu menggema di kepala Ayah dan Ibu nya. "Sialan!" Ayah berdiri dengan kemara
Pagi Hari di Rumah TommyKetika pagi menjelang, Tommy bangun dari tidurnya dan keluar dari kamar. Ia mengira Maria sudah pindah ke kamar adiknya, tapi ternyata gadis itu masih tertidur di sofa ruang tamu. Tubuhnya meringkuk, terlihat nyaman di balik selimut tipis yang ia berikan semalam.Berinisiatif memindahkan Maria ke kasur tanpa membangunkannya, Tommy mendekat dan bersiap mengangkat tubuhnya. Namun, saat hendak menyentuh, matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang membuatnya tertegun. Bukit kembar Maria terlihat menyembul di balik selimut, membuat tenggorokannya terasa kering."Gila nih cewek! Lepas baju tapi nggak diganti. Apa nggak malu kalau dilihat orang lain?" gumamnya sambil meneguk ludah.Tommy memutuskan mundur, berdiri kaku sambil membuang napas berat. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Maria tiba-tiba bergerak. Gadis itu kini duduk dengan mata masih terpejam, meracau sesuatu yang tidak jelas."Dia pikir masih di rumah mewa
Hari Minggu yang Panjang Minggu pagi pukul 09.00, Naya membangunkan suaminya, Raka, yang masih terkapar di tempat tidur. Malam sebelumnya, Raka kelelahan setelah pertarungan "romantis" di ranjang bersama istrinya. "Katanya hari ini kamu mau nganter aku ke rumah kakakku. Ayo, cepat bangun!" tegur Naya sambil menarik selimut suaminya. "Nanti dulu, Sayang. Badanku masih lemas. Tenagaku belum terkumpul semua," balas Raka setengah mengeluh. "Dasar cowok lemah! Pokoknya aku nggak mau tahu. Hari ini kamu harus ngantar aku ke rumah kakakku!" Naga mendesak. Raka mencoba berdiplomasi. "Iya, aku janji nganter kamu. Tapi gimana kalau sebelum itu kita bertempur dulu lagi di tempat tidur?" Kesal, Naya langsung melemparkan bantal ke wajah Ethan. "Bugh!" "Kenapa sih, Mas, pikiranmu selalu ke situ terus? Lama-lama aku jahit tuh Arjuna!" bentak Naya dengan nada geram.
Lagi-lagi, Naya datang pagi-pagi ke rumah Tommy, mengganggu suasana romantis yang baru saja tercipta. "Selamat pagi, Kakakku tercinta! Selamat pagi, Mbak Maria!" sapa Naya ceria, langsung menyerobot masuk tanpa mengetuk pintu seperti biasa. Tommy yang sedang menggendong Maria untuk membawanya ke kamar hanya bisa mendesah kesal. Ia berbisik di telinga istrinya, "Sayang, batal romantisnya. Ada perusuh datang." Benar saja, Naya dan suaminya, Raka, menghampiri dapur sambil membawa dua anak kecil. Naya menggendong Gio yang masih berusia enam bulan, sementara Raka menggendong Chelly, anak tirinya yang sudah berusia satu tahun. Tommy mengangkat alis curiga. "Mau apa pagi-pagi bawa pasukan begini?" Naya terkikik, "Eh, eh, ini, Kak..." Tanpa banyak bicara, ia langsung menyerahkan Gio ke pelukan Maria, sementara Raka dengan santainya menyerahkan Chelly ke Tommy. Maria
Tetangga-tetangga yang melihat Tommy tak bisa menahan bisik-bisik mereka. Penampilannya yang mengenakan daster istrinya saat menemani Maria di warung menjadi bahan perbincangan di sekitar. Maria, di sisi lain, tersenyum puas melihat suaminya menurutinya tanpa banyak protes. "Waduh, suami zaman sekarang sudah mulai ikut tren baru, ya?" bisik seorang ibu sambil cekikikan. "Mungkin besok Tommy sekalian saja pakai bedak dan lipstik," sahut yang lain sambil menahan tawa. "Istrinya pasti luar biasa, sampai suaminya begitu patuh," ujar seorang bapak dengan nada setengah kagum, setengah geli. Maria hanya tersenyum tipis, sementara Tommy berusaha menahan diri agar tak terpancing emosi. Saat berada di warung, Maria menyerahkan daft
Naya memiliki ide untuk menitipkan anak-anaknya kepada kakaknya, Tommy, dan istrinya, Maria. Ia ingin mereka belajar mengurus anak dengan baik, mengingat Maria kini sedang hamil. Dengan begitu, saat bayi mereka lahir, mereka sudah lebih siap dan tidak terlalu kesulitan dalam mengasuhnya. Naya duduk di sofa sambil menggendong Gio yang mulai mengantuk, sementara Raka sibuk merapikan mainan Chelly yang berserakan di lantai. Naya menatap suaminya dengan ragu-ragu sebelum akhirnya membuka suara. "Mas, aku ada ide... gimana kalau kita titipin Chelly dan Gio ke Tommy dan Maria untuk sementara waktu?" Raka mengangkat alis, lalu duduk di sebelah Naya. "Titip anak-anak? Kenapa tiba-tiba kepikiran begitu?" Naya menghela napas, mencoba menjelaskan dengan hati-hati. "Aku cuma mikir... Maria kan sekarang lagi hamil. Supaya nanti pas bayinya lahir, mereka nggak terlalu r
Seperti biasa, setiap pagi Maria memasak sarapan untuk suaminya, Tommy. Ia dengan telaten menyiapkan berbagai hidangan favorit mereka. Setelah selesai, Maria menata makanan di meja makan dengan rapi, memastikan semuanya terlihat menggugah selera. Sambil tersenyum, ia menghampiri suaminya yang sedang duduk di ruang tamu. Maria menghampiri Tommy yang sedang duduk di ruang tamu dan tersenyum. "Ayo, Sayang, sarapannya sudah siap. Sebelum berangkat kerja, makan dulu," ucap Maria lembut. Tommy menutup koran yang sedang dibacanya dan tersenyum. "Wangi sekali. Hari ini kamu masak apa?" "Ada nasi goreng spesial dengan telur mata sapi dan teh hangat kesukaanmu," jawab Maria sambil berjalan ke meja makan. Tommy mengikuti Maria ke meja makan dan duduk. "Pasti enak seperti biasa. Kamu memang istri terbaik." Maria ter
Maria dan Tommy menjalani kehidupan pernikahan yang penuh cinta, meskipun ada ketakutan yang Tommy simpan rapat-rapat. Ia khawatir, jika suatu hari orang tua Maria yang berasal dari keluarga kaya datang untuk merebut istrinya kembali, ia tidak akan mampu mempertahankannya. Sebagai pria miskin, ia merasa tidak pantas, meski Maria selalu meyakinkannya bahwa cinta mereka lebih berharga dari segalanya. Siang itu, saat Maria sibuk memasak di dapur, ia lupa mengunci pintu depan rumah. Tanpa diduga, ibunya masuk begitu saja tanpa mengetuk, membuat Maria terlonjak kaget. Ketakutan menyelimutinya—apakah ibunya datang untuk membawanya kembali dengan paksa? Begitu matanya menyapu ruangan, sang ibu langsung menunjukkan ekspresi jijik. Ia memandang sekeliling dengan tatapan merendahkan, dari dapur kecil yang penuh dengan peralatan sederhana, kamar tidur sempit, hingga kamar mandi yang jauh dari kata mewah. "Astaga, Maria! Rumah apa i
Maria keluar dari kamar dengan langkah mengangkang, membuat Naya, adik iparnya, menatapnya dengan alis berkerut. Sekilas, Naya mengira Maria kelelahan setelah malam bersama kakaknya, Tommy. Namun, sebenarnya Maria berjalan seperti itu karena kakinya masih terasa nyeri akibat terkena pecahan beling kemarin. Percakapan di Ruang Tamu: Naya yang sedang duduk di sofa bersama Tommy langsung menyadari cara berjalan Maria yang aneh. Dengan nada menggoda, ia menyenggol lengan kakaknya dan berbisik pelan. Naya: ("Eh, Kak, lihat tuh! Kak Maria sampai jalan begitu. Kalian tadi malam pasti terlalu...") Ia menahan tawa, mengedipkan mata ke arah Tommy. Tommy yang baru saja menyeruput kopi langsung tersedak mendengar ucapan adiknya. Tommy: ("Apa-apaan sih, Nay?! Jangan ngomong sembarangan!") Maria yang mendengar bisikan Naya langsung menghela n
Tommy sudah bangun lebih dulu pagi itu. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke dapur dan memasak bubur untuk Maria. Meskipun istrinya masih marah padanya, ia tetap ingin memastikan Maria makan sesuatu agar tidak lemas. Setelah buburnya matang, Tommy menuangkannya ke dalam mangkuk, lalu membawa nampan ke kamar. Saat membuka pintu, ia melihat Maria masih berbaring, membelakangi pintu. Namun, ia tahu Maria sebenarnya sudah bangun dan hanya pura-pura tidur karena masih kesal padanya. Dengan hati-hati, Tommy duduk di tepi ranjang, lalu meletakkan nampan di nakas. Ia menatap punggung istrinya sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Maria, aku tahu kamu sudah bangun," ucapnya pelan. Maria tetap diam, tidak bergeming. Tommy menghela napas, lalu berkata dengan suara lebih lembut, "Aku tahu aku salah semalam. Aku nggak seharusnya ngomong begitu. Maaf..."
Setelah kembali dari Bidan Desi, Tommy segera memeriksa kaki Maria yang terluka akibat terkena pecahan kaca. Ia memastikan lukanya tidak terlalu dalam sebelum akhirnya membantunya duduk di tempat tidur. “Aku akan mandi dulu,” ujar Tommy sambil melepas jaketnya. Maria menatap suaminya dengan tatapan manja. “Aku ingin ikut mandi bersamamu,” ucapnya pelan. Tommy menghela napas sambil mengusap lembut pipi istrinya. “Maria, kamu masih sakit. Jangan mandi dulu, nanti malah makin parah.” “Tapi aku merasa lengket dan tidak nyaman…” rengek Maria. Tommy tersenyum kecil. “Aku akan membersihkan badanmu dengan lap hangat. Biar tetap segar tanpa perlu mandi. Oke?” Maria mengangguk pasrah. “Baiklah… tapi jangan lama-lama mandinya, ya.” Tommy terkekeh sambil mengusap rambut istrinya. “Iya, bawel. Tunggu sebentar, ya.” Setelah
Pagi itu, Tommy terbangun sekitar pukul 10.00 setelah tidur larut hingga 04.30 pagi. Ia membuka matanya dan menoleh ke arah istrinya, Maria, yang terbaring di sampingnya. Wajah Maria terlihat pucat, dan saat Tommy menyentuh tangannya, ia langsung panik. "Maria," panggil Tommy dengan suara cemas sambil menggoyang-goyangkan tubuh istrinya, berusaha membangunkannya. Maria sedikit terjaga dan mengerang pelan, menahan rasa sakit yang masih terasa di kakinya. "Aduh... kakinya sakit banget, Mas..." jawabnya lemah, mencoba duduk tetapi wajahnya semakin memucat. Tommy langsung duduk dengan tergesa-gesa, cemas. "Kamu kenapa, sayang? Kok bisa pucat begini?" Dia menyentuh kening Maria dengan tangan yang sedikit gemetar. Maria mengeluh pelan. "Pecahan botol kemarin malam... kaki aku masih sakit banget, Mas. Belum sembuh." Tommy mengernyit, hatinya khawatir. "Kenapa gak bilang dari tadi? Kamu