Beranda / Pernikahan / Ibu Mertua Luar Biasa / Membungkam Mulut Tetangga

Share

Membungkam Mulut Tetangga

Malam itu Rudi berniat untuk tidak tidur lebih awal, karena ia ingin melihat serepot apa istrinya dalam mengurus bayinya. Pukul 7 hingga sepuluh malam, bayinya tidur dengan lelapnya. Sementara Anisa langsung mencuci piring lalu menyetrika pakaian suaminya. Setelah semuanya selesai, Anisa langsung bergegas menuju tempat tidur. Hanya beberapa menit saja ia berbaring, tiba-tiba bayinya menangis kejer. Anisa langsung menyusui bayinya yang tampak kelaparan itu. Lumayan lama bayi itu menyusu tapi tak juga ia merasa kenyang, sementara Anisa mulai merasa lelah dan pusing.

Beberapa saat kemudian bayi yang berusia beberapa hari itu terlelap, lalu Anisa langsung menghela napas dan mencoba memejamkan mata. Baru beberapa menit saja ia terlelap, tiba-tiba bayinya kembali menangis karena popoknya basah. Anisa dengan sigap mengganti popok, lalu kembali menyusuinya. Setelah bayinya kembali terlelap, Anisa langsung membawa celananya yang basah menuju dapur lalu segera membaringkan tubuhnya. Hanya beberapa menit saja, bayinya kembali menangis karena pup. Anisa langsung membersihkannya, lalu setelah itu kembali menyusuinya.

"Kenapa gak pakai diapers? Hidup kok dibikin repot sendiri?" tanya Rudi yang sejak tadi belum tidur."

"Anak kita terus pup, kalau dipakaikan diapers takutnya gak ketahuan pup lalu esoknya malah lecet."

"Dia pasti nangis kok kalau pup."

"Sayang kalau harus beberapa kali ganti diapers. Aku akan pakaikan kalau dia udah jarang pup malam."

"Sampai kapan kamu akan kerepotan seperti ini, lalu kapan kamu bisa melayaniku?"

"Loh, tapi selama nifas memang aku gak boleh melayani Mas. Tunggu sampai aku bersuci."

Wajah Rudi langsung masam, setelah itu ia langsung memunggungi istrinya. Keesokan paginya Rudi berangkat kerja tanpa pamit pada istrinya. Anisa langsung terhenyak saat melihat lemari yang berantakan, padahal semalam semua pakaian suaminya sudah tertata rapi.

Saat ke dapur, ia kembali terhenyak saat melihat minyak yang berceceran di lantai bercampur dengan kecap dan saus juga beberapa telur yang pecah.

Anisa langsung menghela napas lalu membersihkan semuanya. Beberapa waktu kemudian setelah selesai mencuci piring juga mencuci pakaian juga menjemurnya. Anisa duduk sejenak untuk menghilangkan lelah, karena kebetulan bayinya masih terlelap. Bayi itu selalu terlelap di pagi hari, tetapi selalu rewel di malam hari.

Anisa meraih ponselnya untuk berselancar di dunia maya. Sejak melahirkan, ia sama sekali tak pernah memiliki waktu untuk main sosmed, bahkan ia tak lagi menulis novel seperti biasanya. Tiba-tiba Anisa melihat postingan foto sahabatnya, Miranda. Ia sangat terhenyak saat melihat love dari suaminya beserta komentar yang memuju Miranda.

[Makin cantik aja, Ferdi pasti sangat bangga punya istri yang cantik dan menarik kayak kamu. Udah punya anak dua kok, malah tambah menarik, salam ya buat Ferdi]

Anisa menarik napas dalam-dalam saat membaca komentar suaminya. Meskipun hanya basa-basi, tapi Anisa merasa komentar itu menyakitinya, terlebih saat mengingat ucapan suaminya yang mengatakan bahwa dirinya sudah tak menarik lagi.

Sementara itu di tempat yang berbeda.

"Pak jaga warung, ya, ibu mau ke kontrakan mantu kita," ujar Bu Aminah pagi itu sembari menenteng rantang berisi lauk yang baru saja ia masak beserta sebotol jamu yang ia racik sendiri.

"Rajin amat sih, Bu, tiap hari masak buat istrinya si Rudi, dimana-mana menantu yang harus berbakti pada mertua, ini malah sebaliknya."

"Kenapa sih Bapak kok rempong banget jadi lelaki. Ya sudah kalau gak mau jagain warung, angkat kaki sekarang juga dari rumah ini."

"Galak amat sih, Bu, ya sudah bapak jagain warung."

Setelah itu Bu Aminah bergegas menuju pangkalan ojek. Namun, tiba-tiba ia mendengus kesal saat tak melihat satu pun tukang ojek, maka ia putuskan untuk menunggunya di pangkalan.

"Loh, Bu Aminah lagi apa disana?" tanya Bu Lisna yang kebetulan melewati pangkalan ojek.

"Lagi nunggu tukang ojek."

"Oh, memangnya mau kemana?" Wanita bertubuh gempal berambut keriting itu kembali bertanya sembari duduk di sebelahnya.

"Ini mau mengantar jamu dan makanan buat mantu."

"Memangnya mantu Bu Aminah gak bisa masak? Sampe minta dikirim makanan segala?"

"Ini kemauan saya sendiri, sambil nengok cucu."

"Kenapa gak suruh dia tinggal sama Ibu aja, jadi Bu Aminah gak perlu repot bolak-balik kesana."

"Saya sengaja menyuruh mereka untuk ngontrak biar anak saya bisa bertanggung jawab, kalau tinggal serumah sama saya, takutnya anak saya gak peka-peka sama istri."

"Kewajiban seorang anak lelaki yang paling utama itu berbakti pada kedua orangtuanya, sementara istri harus berbakti pada suami. Gak ada dari sananya seorang mertua harus direpotkan oleh menantu, yang benar itu menantu harus menyenangkan mertua," ucap Bu Lisna.

Bu Aminah menghela napas, ia sudah malas menanggapi ucapan tetangganya itu, ia langsung celingukan, berharap tukang ojek segera datang.

"Setiap bulan semua gaji Anwar saya yang pegang, sementara istrinya berjualan nasi uduk dan aneka lauk untuk memenuhi semua kebutuhannya. Menantu saya itu rajin banget loh, bangun jam 3 buat menyiapkan semuanya, sebelum jualan, rumah sudah bersih, cucian sudah dijemur. Nanti kalau dia pulang jualan, dia akan langsung nyetrika lalu masak masakan buat saya."

Bu Lisna melanjutkan ceritanya sembari membusungkan dada karena merasa menjadi mertua paling beruntung di dunia.

"Jadi, tugas Ibu apa?"

"Ya jalan-jalan, jajan, arisan."

Bu Aminah hanya menghela napas mendengar penuturan tetangganya itu. Ia benar-benar tak percaya, ada mertua dzalim yang terang-terangan dengan kedzalimannya. Beberapa saat kemudian tukang ojek datang, ia langsung melambaikan tangan lalu bergegas menghampiri tukang ojek.

"Tunggu Bu Aminah!" Bu Lisna menarik tangan Bu Aminah sebelum ia pergi.

"Apalagi sih, Bu?"

"Jangan lupa ajari menantu Ibu untuk berbakti pada mertua, kasihan loh kalau dia gak tau betapa besarnya pahala mengabdikan hidup pada mertua."

"Mending Bu Lisna jaga diri baik-baik, takutnya tiba-tiba menantu Bu Lisna hilang kesabaran lalu mencampurkan makanan yang disajikan untuk Bu Lisna dengan sianida," ujar Bu Aminah lalu menyuruh tukang ojek melajukan motornya.

Sementara Bu Lisna tampak memonyongkan bibirnya sembari mengepalkan tangan.

"Assalamualaikum!" ucap Bu Aminah sembari membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.

"Waalaikum salam." Anisa langsung mengusap air matanya yang terus mengalir karena ulah suaminya tadi pagi, lalu bergegas menemui ibu mertuanya.

"Lagi apa, Nis? Dedek mana?"

"Dedek lagi tidur, Bu, tadi aku lagi nyetrika."

"Ini ibu bawakan pesmol ikan sama jamu."

"Masya Allah, aku suka banget sama pesmol ikan, Mas Rudi juga pasti seneng bisa makan pesmol ikan buatan Ibu."

"Alhamdulillah kalau kamu suka."

"Tapi aku gak enak kalau tiap hari dikirim makanan terus, Ibu pasti repot."

"Gak apa-apa, ibu malah seneng kalau kamu suka masakan ibu, padahal masakan kamu jauh lebih enak dari ibu."

"Ya pasti enakan masakan Ibu lah, aku juga masih belajar biar masakanku seenak masakan Ibu."

"Ngomong-ngomong kenapa mata kamu sembab?"

"Gak apa-apa, kok, Bu, aku cuma kangen almarhum kedua orangtuaku."

"Kamu yang sabar ya, kan ada ibu," ujar Bu Aminah sembari memeluk erat menantunya.

"Terimakasih karena sudah hadir dalam hidup Nisa," ujarnya sembari menumpahkan semua air matanya.

Bu Aminah menatap wajah Anisa yang terus berderai air mata, ia merasa ada yang mengganjal hatinya.

"Kamu bukan teringat orangtuamu, kamu pasti sakit hati dengan sikap Rudi," ujar Bu Aminah hingga membuat Anisa terhenyak.

Anisa merasa ibu mertuanya itu memiliki Indra keenam, karena selalu tahu dengan apapun yang ia sembunyikan.

"Enggak kok, Bu, aku sama Mas Rudi gak ada apa-apa."

"Ngaku aja, Nis, kamu gak boleh bohong sama ibu."

Anisa menatap wajah ibu mertuanya yang sangat baik itu, ia merasa tidak enak untuk mengatakan semuanya.

"Kalau kamu gak jujur berarti kamu gak menganggap ibu seperti ibu kandungmu."

"Sebenarnya Mas Rudi semalam bilang kalau aku sudah gak menarik lagi, terus dia juga memuji wanita lain. Jujur saja Nisa cemburu."

"Kamu gak usah banyak pikiran, nanti kalau anakmu sudah anteng, kamu juga pasti bisa kembali merawat diri dan dandan cantik."

Anisa hanya mengangguk.

"Maaf ya, Bu, kalau Anisa cengeng banget, apa-apa ngadu."

"Enggak kok, pokoknya sekarang kamu jangan banyak pikiran, makan yang banyak, istirahat yang cukup, kamu harus sehat jiwa dan raga demi cucu ibu."

Anisa langsung tersenyum lalu memeluk ibunya dengan erat. Setelah itu Bu Aminah segera pamit. Saat melewati sebuah rumah, Bu Aminah melihat sekumpulan ibu-ibu yang sedang merumpi.

"Mertuanya Anisa, ya?" tanya salah satu dari mereka pada Bu Aminah.

"Iya, memangnya kenapa?"

"Menantu Ibu jarang bergaul sama tetangga, masa keluar cuma beli sayuran."

"Ya gak apa-apa, terus ngapain kalian harus rempong?"

"Bilangin sama menantunya jangan banyak tidur siang apalagi kalau lagi nifas, takutnya nanti matanya rusak, loh, soalnya sel darah putih naik ke mata."

"Mantu saya jarang keluar rumah karena sibuk ngurus anak juga ngurus rumah, makanya dia gak punya waktu buat berghibah kayak kalian."

"Terus bayinya juga jarang dijemur, nanti kuning loh kulitnya."

"Dijemur, kok, ada ruangan di rumah itu yang atapnya pakai atap fiber transparan, jadi dia jemur pakaian dan jemur anaknya disana."

Setelah itu Bu Aminah langsung bergegas pulang, sementara para tetangga tadi hanya menganga karena tak mampu menimpali ucapan Bu Aminah.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status