Johan menatap ke sekeliling kamar barunya. Ruangan itu sederhana namun nyaman, dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil di belakang rumah kos. Baru beberapa hari ia tinggal di sini, tetapi ada sesuatu yang membuatnya gelisah—lebih tepatnya, seseorang.
Meri, ibu kosnya, adalah seorang wanita paruh baya dengan pesona yang sulit diabaikan. Rambut panjangnya selalu terurai dengan rapi, kulitnya putih terawat, dan cara berbicaranya selalu lembut namun menggoda. Johan merasa ada sesuatu dalam sorot mata perempuan itu yang terus mengusiknya. Saat ia tengah sibuk menata buku di rak, terdengar ketukan pelan di pintu. “Johan, boleh ibu masuk?” Suara Meri terdengar dari luar. Johan segera membetulkan kaosnya yang sedikit berantakan. “Silakan, Bu.” Pintu terbuka perlahan, dan Meri masuk dengan senyum khasnya. Ia mengenakan daster sutra berwarna biru muda yang membalut tubuhnya dengan pas, memperlihatkan lekuk tubuh yang membuat Johan menelan ludah tanpa sadar. “Apa kamarmu sudah rapi?” tanyanya seraya melangkah masuk tanpa sungkan. Aroma parfum lembut yang dipakainya memenuhi ruangan, menyusup ke indra penciuman Johan. “Sudah lumayan, Bu,” jawab Johan sedikit gugup. Meri berjalan mendekat, lalu dengan santai duduk di tepi ranjangnya. “Ibu ingin memastikan kamu betah di sini. Kalau ada yang kurang, bilang saja.” Matanya menatap tajam ke arah Johan, seolah menelanjangi pikirannya. Johan mencoba mengalihkan pandangannya ke rak buku. “Terima kasih, Bu. Sejauh ini saya nyaman.” Meri tersenyum miring. “Panggil saja Tante Meri, jangan terlalu formal. Ibu terdengar terlalu tua.” Johan mengangguk, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Baik, Tante Meri.” Meri tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan, menyentuh bahu Johan dengan lembut. “Santai saja, Johan. Kamu terlalu tegang.” Sentuhan itu membuat Johan seakan membeku di tempatnya. Ia bukan anak kecil yang tak tahu maksud tersembunyi di balik sikap Meri. Ada sesuatu dalam tatapan mata wanita itu yang menggoda, menantangnya untuk bereaksi. Namun, Johan menahan diri. Ia tahu, bermain dengan api bisa berbahaya. Tetapi, apakah ia bisa benar-benar menghindar? Malam itu, Johan masih belum bisa tidur. Bayangan Meri terus berputar di kepalanya. Sikapnya, suaranya, caranya menyentuh bahunya tadi—semua itu membuatnya semakin resah. Di luar, angin malam berhembus pelan. Johan bangkit dari tempat tidurnya, berniat keluar sebentar untuk menghirup udara segar di teras belakang. Saat ia membuka pintu, ia dikejutkan oleh sosok yang berdiri di luar kamarnya. Meri. Wanita itu masih mengenakan dasternya, tetapi kini ia membawa secangkir teh hangat di tangannya. “Belum tidur, Johan?” tanyanya dengan suara lembut. Johan mengangguk kikuk. “Iya, masih belum mengantuk, Tante.” Meri tersenyum, lalu menyerahkan teh yang dibawanya. “Minumlah, ini bisa membuatmu lebih rileks.” Johan menerimanya dengan hati-hati, ujung jarinya bersentuhan dengan tangan Meri yang hangat. Seketika, ada percikan aneh yang membuatnya merinding. Meri masih berdiri di sana, menatapnya tanpa terburu-buru. “Kau tahu, Johan… kadang, suasana malam bisa membawa banyak hal yang tak terduga.” Johan merasa tenggorokannya kering. Ia tahu, batas antara ibu kos dan anak kos sudah mulai kabur. Tetapi, seberapa jauh ia berani melangkah? Malam itu, udara terasa lebih panas dari biasanya. Keesokan paginya, Johan bangun dengan kepala yang masih dipenuhi kebingungan. Ia berusaha mengabaikan perasaan aneh yang terus menghantuinya, tetapi tatapan Meri yang menggoda semalam masih melekat jelas dalam ingatannya. Saat sarapan di ruang makan, Meri sudah duduk di kursi favoritnya. Ia mengenakan kaos ketat dan celana pendek yang memperlihatkan betis jenjangnya. Johan menelan ludah, mencoba mengalihkan pandangannya. “Kamu tidur nyenyak semalam?” tanya Meri dengan senyum menggoda. Johan mengangguk, meskipun sebenarnya ia hampir tidak tidur sama sekali. “Iya, lumayan.” Meri tertawa kecil, lalu menyesap kopinya. “Baguslah. Aku ingin kamu selalu merasa nyaman di sini.” Johan merasa ada makna tersembunyi di balik kata-kata itu. Ia berusaha tetap tenang, tetapi tatapan mata Meri membuatnya merasa seperti buruan yang sedang dipermainkan. Hari itu berjalan seperti biasa. Johan menghabiskan waktunya di kamar, membaca buku dan mengerjakan skripsi. Namun, pikirannya tetap tak bisa lepas dari sosok Meri. Menjelang sore, saat ia keluar untuk mengambil air di dapur, ia mendengar suara Meri dari ruang tamu. “Johan, bisa tolong bantu Tante sebentar?” panggilnya. Johan segera berjalan ke arah suara itu. Saat tiba di ruang tamu, ia menemukan Meri sedang berdiri di depan rak buku yang tinggi. “Aku butuh bantuan mengambil buku di rak atas. Bisa?” Tanpa berpikir panjang, Johan melangkah maju dan mengulurkan tangan untuk mengambil buku yang dimaksud. Namun, saat ia berusaha meraihnya, tubuhnya secara tak sengaja bersentuhan dengan tubuh Meri yang berdiri sangat dekat. Johan terdiam, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Meri, aroma parfumnya yang begitu menggoda. Meri tidak bergerak menjauh. Sebaliknya, ia justru tersenyum tipis dan berbisik, “Kau gugup, Johan?” Johan menelan ludah, berusaha mengendalikan dirinya. Namun, semakin ia mencoba menahan diri, semakin ia merasa terbawa arus. Saat itu, Johan sadar, ia telah melewati batas yang seharusnya tidak dilewati. Tetapi, apakah ia benar-benar ingin kembali?Johan menelan ludah, tenggorokannya terasa kering seperti gurun pasir. "Tante..." suaranya tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Kata-kata itu seolah tersangkut di tenggorokannya, tidak mampu keluar.Meri tersenyum tipis, matanya menatap Johan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kilatan menggoda di matanya, seolah menantang Johan untuk mengambil langkah selanjutnya."Masuklah, Johan. Jangan berdiri di sana seperti patung. Aku tidak menggigit."Dengan langkah ragu, Johan melangkah masuk ke dalam kamar Meri. Kamar itu remang-remang, hanya diterangi oleh lampu tidur di nakas. Cahaya lembut itu menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding, menambah suasana intim dan misterius. Aroma parfum Meri yang khas bercampur dengan aroma sabun mandi yang segar, menciptakan suasana yang intim dan menggoda. Johan merasa jantungnya berdebar semakin kencang, setiap langkahnya terasa berat.Meri duduk di tepi tempat tidur, kakinya yang jenjang menyentuh lantai. Daster putihnya yan
Johan terbangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa puas dan bahagia atas malam yang baru saja dilaluinya.Di sisi lain, ia dihantui rasa bersalah dan takut akan konsekuensi yang mungkin timbul. Ia menoleh ke samping, melihat Meri yang masih tertidur pulas.Wajahnya tampak damai, tanpa beban. Johan mengagumi kecantikan Meri, tetapi hatinya diliputi keraguan.Perlahan, Johan bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia menatap Meri sekali lagi, lalu keluar dari kamar dengan hati-hati. Saat ia melewati ruang tamu, ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.00 pagi. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya, berharap bisa merenungkan apa yang telah terjadi.Di kamarnya, Johan duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya dipenuhi bayangan Meri, sentuhan lembutnya, ciuman panasnya. Ia tidak menyangka akan terlibat dalam hubungan terlarang dengan ibu kosnya sendiri. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin,
Dua hari setelah kejadian dengan teman Meri, sebuah kabar mengejutkan datang. Meri harus pergi ke luar kota selama dua minggu karena urusan keluarga yang mendesak. Ia meminta tolong pada sahabatnya, Maya, untuk menjaga rumah kos selama kepergiannya."Maya, tolong jaga rumah kos selama aku pergi," kata Meri melalui telepon, suaranya terdengar cemas. "Aku khawatir meninggalkan Johan sendirian.""Tentu saja, Meri," jawab Maya, suaranya lembut namun penuh percaya diri. "Aku akan menjaga semuanya dengan baik. Jangan khawatir."Maya adalah sahabat Meri sejak lama. Ia seorang wanita paruh baya yang menarik, dengan rambut lurus pendek sebahu dan kulit putih yang mulus. Tubuhnya berisi, dengan payudara yang besar dan pinggul yang menggoda. Ia memiliki pesona yang sulit ditolak, dan ia tahu bagaimana menggunakannya.Ketika Maya tiba di rumah kos, Johan sedang berada di kamarnya. Ia mendengar suara langkah kaki di luar, dan ketika ia membuka pintu, ia melihat seorang wanita yang belum pernah
Johan terperangkap dalam labirin rasa bersalah. Bayang-bayang malam bersama Maya terus menghantuinya, menggerogoti ketenangan yang tersisa. Setiap sudut rumah kos kini terasa asing, dipenuhi bisikan-bisikan godaan yang memecah konsentrasinya. Maya, dengan intuisi tajamnya, seolah menikmati kegelisahan Johan. Ia bermain-main dengan batas kesopanan, menyentuh, berbisik, dan menatap dengan cara yang membuat Johan merasa seperti mangsa yang diincar.Senja itu, langit Jakarta memerah, menandakan akhir dari hari yang panjang. Johan duduk di ruang tamu, berusaha menenggelamkan diri dalam lembaran buku, namun pikirannya melayang, terganggu oleh kehadiran Maya yang terasa semakin dekat. Langkah kaki ringannya terdengar, dan aroma parfumnya yang manis memenuhi udara."Johan," panggil Maya, suaranya lembut seperti beludru. Ia berdiri di ambang pintu, siluet tubuhnya yang menggoda terlihat jelas di balik cahaya senja. Ia mengenakan gaun tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, seolah sengaja
Meri pulang dengan wajah letih, namun senyumnya merekah saat melihat Johan di ruang tamu. "Terima kasih, Johan, sudah menemaniku," ucapnya tulus. "Aku tidak tahu apa jadinya jika tidak ada kamu."Johan tersenyum tipis, merasa bersalah karena telah mengkhianati kepercayaan Meri."Sama-sama, Meri. Aku senang bisa membantu."Maya, yang juga ikut mengantar Meri, menatap Johan dengan senyum menggoda. "Aku juga senang bisa membantu," ujarnya, suaranya sarat makna.Meri tidak menyadari ketegangan yang terjadi di antara Johan dan Maya. Ia terlalu lelah dan sedih untuk memperhatikan hal-hal kecil. "Aku akan istirahat sebentar," katanya, berjalan menuju kamarnya. "Kalian mengobrol saja dulu."Setelah Meri masuk ke kamar, Maya menoleh pada Johan dengan tatapan penuh minat. "Jadi, bagaimana malammu?" tanyanya, suaranya berbisik.Johan mengalihkan pandangannya, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. "Seperti biasa," jawabnya singkat.Maya terkekeh pelan. "Benarkah? Aku yakin malammu sangat
Johan tenggelam dalam lautan buku, berusaha keras membenamkan ingatan tentang Maya dan Meri. Ujian semester sudah di depan mata, dan ia harus fokus. Namun, konsentrasinya buyar oleh bayang-bayang masa lalu dan bisikan-bisikan godaan yang terus menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang menggelegar memecah keheningan kamar kos. Johan terlonjak kaget, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik jam dinding, menunjukkan pukul lima sore. Meri sedang keluar berbelanja, jadi siapa yang mengetuk pintu sekeras itu?Dengan ragu, Johan melangkah menuju pintu dan membukanya. Seorang pria berbadan besar dengan wajah merah padam berdiri di hadapannya. Matanya menyala marah, dan rahangnya mengeras."Mana Meri?" bentaknya, suaranya menggelegar seperti guntur.Johan terkejut, tidak menyangka akan menghadapi orang yang begitu kasar. "Meri sedang keluar," jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.Pria itu mendengus, lalu mendorong Johan hingga terhuyung ke belakang. "Jangan bohong!
Beberapa hari telah berlalu, namun bayang-bayang kehadiran Andre masih menghantui Meri. Wanita itu semakin sering merenung, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kenangan yang tak diinginkannya. Johan menyadari perubahan itu, namun ia memilih untuk tidak mengganggu. Meri tampak tak ingin diganggu siapapun. Ia lebih sering duduk di teras rumah kos, menatap kosong ke arah langit.Senja mulai turun ketika akhirnya Meri memanggil Johan. Mahasiswa itu yang sedari tadi memperhatikannya, segera menghampiri. Wajah Meri terlihat letih, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Johan terdiam. Kesedihan yang mendalam.Meri mulai bercerita, suara lirihnya mengalir seperti angin yang menyapu dedaunan. Ia berbicara tentang Andre, tentang carut-marut hubungan mereka."Aku tak pernah benar-benar bahagia bersamanya, Johan," ucapnya dengan mata menerawang. "Aku menikah dengannya bukan karena cinta, tapi karena perjodohan. Orang tuaku yang memilihnya untukku."Johan terdiam. Ia mencoba memahami situasi
Beberapa hari telah berlalu, namun bayang-bayang kehadiran Andre masih menghantui Meri. Wanita itu semakin sering merenung, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kenangan yang tak diinginkannya. Johan menyadari perubahan itu, namun ia memilih untuk tidak mengganggu. Meri tampak tak ingin diganggu siapapun. Ia lebih sering duduk di teras rumah kos, menatap kosong ke arah langit.Senja mulai turun ketika akhirnya Meri memanggil Johan. Mahasiswa itu yang sedari tadi memperhatikannya, segera menghampiri. Wajah Meri terlihat letih, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Johan terdiam. Kesedihan yang mendalam.Meri mulai bercerita, suara lirihnya mengalir seperti angin yang menyapu dedaunan. Ia berbicara tentang Andre, tentang carut-marut hubungan mereka."Aku tak pernah benar-benar bahagia bersamanya, Johan," ucapnya dengan mata menerawang. "Aku menikah dengannya bukan karena cinta, tapi karena perjodohan. Orang tuaku yang memilihnya untukku."Johan terdiam. Ia mencoba memahami situasi
Johan tenggelam dalam lautan buku, berusaha keras membenamkan ingatan tentang Maya dan Meri. Ujian semester sudah di depan mata, dan ia harus fokus. Namun, konsentrasinya buyar oleh bayang-bayang masa lalu dan bisikan-bisikan godaan yang terus menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang menggelegar memecah keheningan kamar kos. Johan terlonjak kaget, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik jam dinding, menunjukkan pukul lima sore. Meri sedang keluar berbelanja, jadi siapa yang mengetuk pintu sekeras itu?Dengan ragu, Johan melangkah menuju pintu dan membukanya. Seorang pria berbadan besar dengan wajah merah padam berdiri di hadapannya. Matanya menyala marah, dan rahangnya mengeras."Mana Meri?" bentaknya, suaranya menggelegar seperti guntur.Johan terkejut, tidak menyangka akan menghadapi orang yang begitu kasar. "Meri sedang keluar," jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.Pria itu mendengus, lalu mendorong Johan hingga terhuyung ke belakang. "Jangan bohong!
Meri pulang dengan wajah letih, namun senyumnya merekah saat melihat Johan di ruang tamu. "Terima kasih, Johan, sudah menemaniku," ucapnya tulus. "Aku tidak tahu apa jadinya jika tidak ada kamu."Johan tersenyum tipis, merasa bersalah karena telah mengkhianati kepercayaan Meri."Sama-sama, Meri. Aku senang bisa membantu."Maya, yang juga ikut mengantar Meri, menatap Johan dengan senyum menggoda. "Aku juga senang bisa membantu," ujarnya, suaranya sarat makna.Meri tidak menyadari ketegangan yang terjadi di antara Johan dan Maya. Ia terlalu lelah dan sedih untuk memperhatikan hal-hal kecil. "Aku akan istirahat sebentar," katanya, berjalan menuju kamarnya. "Kalian mengobrol saja dulu."Setelah Meri masuk ke kamar, Maya menoleh pada Johan dengan tatapan penuh minat. "Jadi, bagaimana malammu?" tanyanya, suaranya berbisik.Johan mengalihkan pandangannya, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. "Seperti biasa," jawabnya singkat.Maya terkekeh pelan. "Benarkah? Aku yakin malammu sangat
Johan terperangkap dalam labirin rasa bersalah. Bayang-bayang malam bersama Maya terus menghantuinya, menggerogoti ketenangan yang tersisa. Setiap sudut rumah kos kini terasa asing, dipenuhi bisikan-bisikan godaan yang memecah konsentrasinya. Maya, dengan intuisi tajamnya, seolah menikmati kegelisahan Johan. Ia bermain-main dengan batas kesopanan, menyentuh, berbisik, dan menatap dengan cara yang membuat Johan merasa seperti mangsa yang diincar.Senja itu, langit Jakarta memerah, menandakan akhir dari hari yang panjang. Johan duduk di ruang tamu, berusaha menenggelamkan diri dalam lembaran buku, namun pikirannya melayang, terganggu oleh kehadiran Maya yang terasa semakin dekat. Langkah kaki ringannya terdengar, dan aroma parfumnya yang manis memenuhi udara."Johan," panggil Maya, suaranya lembut seperti beludru. Ia berdiri di ambang pintu, siluet tubuhnya yang menggoda terlihat jelas di balik cahaya senja. Ia mengenakan gaun tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, seolah sengaja
Dua hari setelah kejadian dengan teman Meri, sebuah kabar mengejutkan datang. Meri harus pergi ke luar kota selama dua minggu karena urusan keluarga yang mendesak. Ia meminta tolong pada sahabatnya, Maya, untuk menjaga rumah kos selama kepergiannya."Maya, tolong jaga rumah kos selama aku pergi," kata Meri melalui telepon, suaranya terdengar cemas. "Aku khawatir meninggalkan Johan sendirian.""Tentu saja, Meri," jawab Maya, suaranya lembut namun penuh percaya diri. "Aku akan menjaga semuanya dengan baik. Jangan khawatir."Maya adalah sahabat Meri sejak lama. Ia seorang wanita paruh baya yang menarik, dengan rambut lurus pendek sebahu dan kulit putih yang mulus. Tubuhnya berisi, dengan payudara yang besar dan pinggul yang menggoda. Ia memiliki pesona yang sulit ditolak, dan ia tahu bagaimana menggunakannya.Ketika Maya tiba di rumah kos, Johan sedang berada di kamarnya. Ia mendengar suara langkah kaki di luar, dan ketika ia membuka pintu, ia melihat seorang wanita yang belum pernah
Johan terbangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa puas dan bahagia atas malam yang baru saja dilaluinya.Di sisi lain, ia dihantui rasa bersalah dan takut akan konsekuensi yang mungkin timbul. Ia menoleh ke samping, melihat Meri yang masih tertidur pulas.Wajahnya tampak damai, tanpa beban. Johan mengagumi kecantikan Meri, tetapi hatinya diliputi keraguan.Perlahan, Johan bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia menatap Meri sekali lagi, lalu keluar dari kamar dengan hati-hati. Saat ia melewati ruang tamu, ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.00 pagi. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya, berharap bisa merenungkan apa yang telah terjadi.Di kamarnya, Johan duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya dipenuhi bayangan Meri, sentuhan lembutnya, ciuman panasnya. Ia tidak menyangka akan terlibat dalam hubungan terlarang dengan ibu kosnya sendiri. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin,
Johan menelan ludah, tenggorokannya terasa kering seperti gurun pasir. "Tante..." suaranya tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Kata-kata itu seolah tersangkut di tenggorokannya, tidak mampu keluar.Meri tersenyum tipis, matanya menatap Johan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kilatan menggoda di matanya, seolah menantang Johan untuk mengambil langkah selanjutnya."Masuklah, Johan. Jangan berdiri di sana seperti patung. Aku tidak menggigit."Dengan langkah ragu, Johan melangkah masuk ke dalam kamar Meri. Kamar itu remang-remang, hanya diterangi oleh lampu tidur di nakas. Cahaya lembut itu menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding, menambah suasana intim dan misterius. Aroma parfum Meri yang khas bercampur dengan aroma sabun mandi yang segar, menciptakan suasana yang intim dan menggoda. Johan merasa jantungnya berdebar semakin kencang, setiap langkahnya terasa berat.Meri duduk di tepi tempat tidur, kakinya yang jenjang menyentuh lantai. Daster putihnya yan
Johan menatap ke sekeliling kamar barunya. Ruangan itu sederhana namun nyaman, dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil di belakang rumah kos. Baru beberapa hari ia tinggal di sini, tetapi ada sesuatu yang membuatnya gelisah—lebih tepatnya, seseorang.Meri, ibu kosnya, adalah seorang wanita paruh baya dengan pesona yang sulit diabaikan. Rambut panjangnya selalu terurai dengan rapi, kulitnya putih terawat, dan cara berbicaranya selalu lembut namun menggoda. Johan merasa ada sesuatu dalam sorot mata perempuan itu yang terus mengusiknya.Saat ia tengah sibuk menata buku di rak, terdengar ketukan pelan di pintu.“Johan, boleh ibu masuk?” Suara Meri terdengar dari luar.Johan segera membetulkan kaosnya yang sedikit berantakan. “Silakan, Bu.”Pintu terbuka perlahan, dan Meri masuk dengan senyum khasnya. Ia mengenakan daster sutra berwarna biru muda yang membalut tubuhnya dengan pas, memperlihatkan lekuk tubuh yang membuat Johan menelan ludah tanpa sadar.“Apa kamarmu sudah rapi?”