Bab 2: Malam Tak Terlupakan

Johan menelan ludah, tenggorokannya terasa kering seperti gurun pasir.

"Tante..." suaranya tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Kata-kata itu seolah tersangkut di tenggorokannya, tidak mampu keluar.

Meri tersenyum tipis, matanya menatap Johan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kilatan menggoda di matanya, seolah menantang Johan untuk mengambil langkah selanjutnya.

"Masuklah, Johan. Jangan berdiri di sana seperti patung. Aku tidak menggigit."

Dengan langkah ragu, Johan melangkah masuk ke dalam kamar Meri. Kamar itu remang-remang, hanya diterangi oleh lampu tidur di nakas.

Cahaya lembut itu menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding, menambah suasana intim dan misterius.

Aroma parfum Meri yang khas bercampur dengan aroma sabun mandi yang segar, menciptakan suasana yang intim dan menggoda.

Johan merasa jantungnya berdebar semakin kencang, setiap langkahnya terasa berat.

Meri duduk di tepi tempat tidur, kakinya yang jenjang menyentuh lantai.

Daster putihnya yang tipis memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah, membuat Johan semakin sulit bernapas. Setiap lekuk tubuh Meri seolah memanggilnya, menggodanya untuk mendekat.

"Duduklah, Johan," kata Meri, menepuk tempat di sebelahnya. "Jangan terlalu tegang. Anggap saja kita sedang mengobrol."

Johan duduk di tepi tempat tidur, menjaga jarak yang sopan. Ia berusaha mengendalikan dirinya, tetapi kehadiran Meri yang begitu dekat membuatnya kehilangan akal sehat.

Namun, Meri dengan sengaja menggeser tubuhnya, membuat paha mereka bersentuhan. Sentuhan itu seperti aliran listrik yang menyengat tubuh Johan, membuatnya menahan napas.

Sensasi itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya menggigil.

"Kau tahu, Johan," bisik Meri, suaranya lembut dan menggoda. "Aku memperhatikanmu sejak lama. Kau tumbuh menjadi pria yang tampan."

Johan menelan ludah.

"Tante..."

"Jangan panggil aku Tante," potong Meri, suaranya tegas namun lembut.

"Panggil aku Meri. Kita bukan orang asing, bukan?"

Johan mengangguk pelan, terlalu gugup untuk berbicara. Ia merasa lidahnya kelu, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Meri mengulurkan tangan, jarinya yang halus menyentuh pipi Johan. Sentuhan itu lembut namun panas, membuat kulit Johan meremang.

"Kau tampan, Johan," bisiknya. "Sangat tampan. Aku suka mata cokelatmu, dan rambut hitammu, semuanya."

Johan merasa pipinya memanas. Ia tidak tahu harus berkata apa. Pujian Meri membuatnya merasa bingung dan terpesona.

Meri mendekatkan wajahnya ke wajah Johan, bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Johan.

"Kau tahu apa yang kuinginkan, bukan?" bisiknya. "Aku tahu kau juga menginginkannya."

Johan menatap mata Meri, matanya yang gelap dan penuh gairah. Ia tahu apa yang diinginkan Meri, dan ia tahu bahwa ia menginginkannya juga. Namun, ada sesuatu yang menahannya.

Rasa bersalah, mungkin. Atau rasa takut. Ia tidak yakin. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, takut untuk melompat.

Meri seolah bisa membaca pikirannya. Ia tersenyum tipis, lalu dengan gerakan tiba-tiba, ia menarik Johan mendekat dan menciumnya.

Ciuman itu bukan kecupan biasa, melainkan ciuman yang dalam dan penuh gairah, membuat Johan kehilangan semua kendali.

Ia membalas ciuman Meri, tangannya melingkari pinggang wanita itu, menariknya lebih dekat.

Meri melepaskan ciuman itu, napasnya terengah-engah.

"Kau menginginkanku, Johan," bisiknya. "Akui saja. Jangan berbohong pada dirimu sendiri."

Johan menatap mata Meri, matanya yang berkilat penuh hasrat. Ia tidak bisa berbohong lagi. Ia menginginkan Meri, lebih dari yang pernah ia bayangkan.

"Ya," bisiknya, suaranya serak. "Aku menginginkanmu, Meri."

Meri tersenyum puas. "Kalau begitu, jangan tahan dirimu lagi," bisiknya, lalu menarik Johan ke tempat tidur. Ia mendorong Johan hingga berbaring diatas tempat tidur.

Malam itu, di kamar Meri, batas-batas yang selama ini dijaga Johan runtuh. Ia menyerahkan dirinya pada hasrat yang membara, pada godaan yang tak tertahankan.

Meri dengan lembut membuka kancing kemeja Johan, sentuhan jarinya yang halus membuat kulit Johan meremang. Johan membalas dengan melepaskan ikatan rambut Meri, membiarkan rambut hitamnya tergerai indah di bahu.

Ciuman mereka semakin dalam, semakin menuntut. Tangan Johan menjelajahi tubuh Meri, merasakan lekuk tubuhnya yang indah di balik daster tipis. Meri mendesah pelan, menikmati sentuhan Johan. Desahan Meri membangunkan gairah Johan yang sedari tadi ia tahan.

Daster Meri meluncur ke lantai, memperlihatkan tubuhnya yang telanjang. Johan menatap Meri dengan kagum, kecantikannya mempesona. Meri tersenyum, lalu menarik Johan mendekat, menyatukan tubuh mereka.

Malam itu, mereka menyatu dalam hasrat yang membara, melupakan segala batasan dan aturan. Mereka menjelajahi kenikmatan yang tak terduga, saling memberi dan menerima dalam keintiman yang mendalam.

Suara desahan dan bisikan cinta memenuhi kamar Meri, menciptakan simfoni hasrat yang membara.

Namun, di balik kenikmatan yang memabukkan itu, ada rasa bersalah yang menggerogoti hati Johan. Ia tahu, ia telah melangkah terlalu jauh. Dan ia tidak yakin apakah ia bisa kembali.

Ia merasa seperti pengkhianat, mengkhianati kepercayaan orang-orang yang dicintainya.

Keesokan paginya, Johan terbangun di kamar Meri, tubuhnya terasa lelah namun puas.

Meri masih tertidur di sebelahnya, wajahnya yang cantik terlihat damai. Johan menatap Meri, hatinya diliputi perasaan campur aduk.

Ia merasa bingung, bersalah, dan terpesona sekaligus.

Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah malam itu. Ia telah memasuki dunia yang berbahaya, dunia yang penuh dengan godaan dan hasrat terlarang.

Dan ia tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapi konsekuensinya. Ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut jatuh ke dalam jurang penyesalan.