Dua hari setelah kejadian dengan teman Meri, sebuah kabar mengejutkan datang. Meri harus pergi ke luar kota selama dua minggu karena urusan keluarga yang mendesak.
Ia meminta tolong pada sahabatnya, Maya, untuk menjaga rumah kos selama kepergiannya. "Maya, tolong jaga rumah kos selama aku pergi," kata Meri melalui telepon, suaranya terdengar cemas. "Aku khawatir meninggalkan Johan sendirian." "Tentu saja, Meri," jawab Maya, suaranya lembut namun penuh percaya diri. "Aku akan menjaga semuanya dengan baik. Jangan khawatir." Maya adalah sahabat Meri sejak lama. Ia seorang wanita paruh baya yang menarik, dengan rambut lurus pendek sebahu dan kulit putih yang mulus. Tubuhnya berisi, dengan payudara yang besar dan pinggul yang menggoda. Ia memiliki pesona yang sulit ditolak, dan ia tahu bagaimana menggunakannya. Ketika Maya tiba di rumah kos, Johan sedang berada di kamarnya. Ia mendengar suara langkah kaki di luar, dan ketika ia membuka pintu, ia melihat seorang wanita yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. "Anda siapa?" tanya Johan, sedikit terkejut. "Aku Maya, teman Meri," jawab wanita itu, tersenyum manis. "Meri memintaku untuk menjaga rumah kos selama ia pergi." Johan mengangguk, merasa sedikit lega. "Oh, baiklah," katanya. "Saya Johan, anak kos di sini." "Senang bertemu denganmu, Johan," kata Maya, matanya menatap Johan dengan tatapan yang sulit diartikan. "Meri sering bercerita tentangmu." Johan merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan Maya, tetapi ia berusaha bersikap sopan. "Oh ya?" katanya. "Semoga yang baik-baik saja." "Tentu saja," jawab Maya, tersenyum misterius. "Meri selalu mengatakan hal-hal yang baik tentangmu." Maya kemudian menjelaskan beberapa hal tentang rumah kos, seperti jadwal pembayaran kos dan aturan-aturan yang berlaku. Johan mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya melayang pada Meri. Ia merindukan Meri, dan ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Maya. Setelah selesai berbicara, Maya mengajak Johan untuk berkeliling rumah kos. Ia menunjukkan kamar-kamar yang kosong, dapur, dan ruang tamu. Ketika mereka melewati kamar Meri, Maya berhenti sejenak dan menatap pintu kamar itu dengan tatapan yang aneh. "Ini kamar Meri," katanya, suaranya berbisik. "Dia memiliki selera yang bagus." Johan mengangguk, merasa tidak nyaman dengan komentar Maya. Ia merasa Maya memiliki ketertarikan yang aneh pada Meri, atau mungkin padanya. Malam itu, Johan tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Meri, dan ia merasa gelisah dengan kehadiran Maya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh tentang wanita itu, sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Keesokan paginya, Johan bangun dengan perasaan lelah dan gelisah. Ia pergi ke dapur untuk membuat kopi, dan ia terkejut melihat Maya sudah ada di sana, mengenakan gaun tidur sutra yang tipis. "Selamat pagi, Johan," sapa Maya, tersenyum menggoda. "Tidur nyenyak?" "Lumayan," jawab Johan, berusaha mengalihkan pandangannya dari gaun tidur Maya. "Aku membuatkan sarapan," kata Maya, menunjuk ke arah meja makan. "Duduklah, kita sarapan bersama." Johan merasa tidak nyaman, tetapi ia tidak ingin bersikap kasar. Ia duduk di meja makan, dan Maya menyajikan sarapan untuknya. Selama sarapan, Maya terus menatap Johan dengan tatapan yang menggoda. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan pribadi, dan ia berusaha untuk menyentuh tangan Johan setiap kali ada kesempatan. Johan merasa semakin tidak nyaman. Ia merasa Maya sedang mencoba untuk menggodanya, dan ia tidak tahu bagaimana menghadapinya. Setelah sarapan, Johan pamit untuk pergi ke kamarnya. Ia merasa lega bisa menjauh dari Maya, tetapi ia juga merasa khawatir. Ia tahu, ia harus berhati-hati dengan wanita itu. Hari-hari berlalu, dan Johan merasa semakin tertekan dengan kehadiran Maya. Wanita itu terus menggodanya, dan ia merasa tidak aman di rumah kos. Ia merindukan Meri, dan ia berharap Meri segera kembali. Suatu malam, ketika Johan sedang berada di kamarnya, ia mendengar ketukan pintu. Ia membuka pintu, dan terkejut melihat Maya berdiri di depannya, mengenakan gaun tidur yang sangat tipis. "Johan," bisik Maya, suaranya serak. "Aku tidak bisa tidur. Bisa aku menemanimu?" Johan merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ia harus menolak Maya. Tetapi, ada sesuatu dalam tatapan mata wanita itu yang membuatnya tidak bisa berkata tidak. "Baiklah," kata Johan, suaranya bergetar. Maya masuk ke kamar Johan, dan ia duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap Johan dengan tatapan yang penuh hasrat, dan ia mulai mendekatkan diri pada Johan. Johan merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. Ia tahu, ia harus menghentikan Maya. Tetapi, ia juga merasa tergoda oleh pesona wanita itu. Maya mencium Johan, ciuman yang dalam dan penuh gairah. Johan membalas ciuman itu, dan ia merasa seperti kehilangan kendali. Malam itu, Johan melakukan kesalahan besar. Ia menyerahkan dirinya pada godaan Maya, dan ia mengkhianati Meri. Ia merasa bersalah dan malu, tetapi ia juga merasa puas dan terpuaskan. Keesokan paginya, Johan bangun dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah pada Meri, tetapi ia juga merasa tergoda oleh Maya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Maya tersenyum padanya, seolah tidak terjadi apa-apa. "Selamat pagi, Johan," katanya, suaranya ceria. "Tidur nyenyak?" Johan tidak menjawab. Ia merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. Ia tahu, ia telah melakukan kesalahan besar.Johan terperangkap dalam labirin rasa bersalah. Bayang-bayang malam bersama Maya terus menghantuinya, menggerogoti ketenangan yang tersisa. Setiap sudut rumah kos kini terasa asing, dipenuhi bisikan-bisikan godaan yang memecah konsentrasinya. Maya, dengan intuisi tajamnya, seolah menikmati kegelisahan Johan. Ia bermain-main dengan batas kesopanan, menyentuh, berbisik, dan menatap dengan cara yang membuat Johan merasa seperti mangsa yang diincar.Senja itu, langit Jakarta memerah, menandakan akhir dari hari yang panjang. Johan duduk di ruang tamu, berusaha menenggelamkan diri dalam lembaran buku, namun pikirannya melayang, terganggu oleh kehadiran Maya yang terasa semakin dekat. Langkah kaki ringannya terdengar, dan aroma parfumnya yang manis memenuhi udara."Johan," panggil Maya, suaranya lembut seperti beludru. Ia berdiri di ambang pintu, siluet tubuhnya yang menggoda terlihat jelas di balik cahaya senja. Ia mengenakan gaun tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, seolah sengaja
Meri pulang dengan wajah letih, namun senyumnya merekah saat melihat Johan di ruang tamu. "Terima kasih, Johan, sudah menemaniku," ucapnya tulus. "Aku tidak tahu apa jadinya jika tidak ada kamu."Johan tersenyum tipis, merasa bersalah karena telah mengkhianati kepercayaan Meri."Sama-sama, Meri. Aku senang bisa membantu."Maya, yang juga ikut mengantar Meri, menatap Johan dengan senyum menggoda. "Aku juga senang bisa membantu," ujarnya, suaranya sarat makna.Meri tidak menyadari ketegangan yang terjadi di antara Johan dan Maya. Ia terlalu lelah dan sedih untuk memperhatikan hal-hal kecil. "Aku akan istirahat sebentar," katanya, berjalan menuju kamarnya. "Kalian mengobrol saja dulu."Setelah Meri masuk ke kamar, Maya menoleh pada Johan dengan tatapan penuh minat. "Jadi, bagaimana malammu?" tanyanya, suaranya berbisik.Johan mengalihkan pandangannya, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. "Seperti biasa," jawabnya singkat.Maya terkekeh pelan. "Benarkah? Aku yakin malammu sangat
Johan tenggelam dalam lautan buku, berusaha keras membenamkan ingatan tentang Maya dan Meri. Ujian semester sudah di depan mata, dan ia harus fokus. Namun, konsentrasinya buyar oleh bayang-bayang masa lalu dan bisikan-bisikan godaan yang terus menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang menggelegar memecah keheningan kamar kos. Johan terlonjak kaget, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik jam dinding, menunjukkan pukul lima sore. Meri sedang keluar berbelanja, jadi siapa yang mengetuk pintu sekeras itu?Dengan ragu, Johan melangkah menuju pintu dan membukanya. Seorang pria berbadan besar dengan wajah merah padam berdiri di hadapannya. Matanya menyala marah, dan rahangnya mengeras."Mana Meri?" bentaknya, suaranya menggelegar seperti guntur.Johan terkejut, tidak menyangka akan menghadapi orang yang begitu kasar. "Meri sedang keluar," jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.Pria itu mendengus, lalu mendorong Johan hingga terhuyung ke belakang. "Jangan bohong!
Beberapa hari telah berlalu, namun bayang-bayang kehadiran Andre masih menghantui Meri. Wanita itu semakin sering merenung, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kenangan yang tak diinginkannya. Johan menyadari perubahan itu, namun ia memilih untuk tidak mengganggu. Meri tampak tak ingin diganggu siapapun. Ia lebih sering duduk di teras rumah kos, menatap kosong ke arah langit.Senja mulai turun ketika akhirnya Meri memanggil Johan. Mahasiswa itu yang sedari tadi memperhatikannya, segera menghampiri. Wajah Meri terlihat letih, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Johan terdiam. Kesedihan yang mendalam.Meri mulai bercerita, suara lirihnya mengalir seperti angin yang menyapu dedaunan. Ia berbicara tentang Andre, tentang carut-marut hubungan mereka."Aku tak pernah benar-benar bahagia bersamanya, Johan," ucapnya dengan mata menerawang. "Aku menikah dengannya bukan karena cinta, tapi karena perjodohan. Orang tuaku yang memilihnya untukku."Johan terdiam. Ia mencoba memahami situasi
Johan menatap ke sekeliling kamar barunya. Ruangan itu sederhana namun nyaman, dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil di belakang rumah kos. Baru beberapa hari ia tinggal di sini, tetapi ada sesuatu yang membuatnya gelisah—lebih tepatnya, seseorang.Meri, ibu kosnya, adalah seorang wanita paruh baya dengan pesona yang sulit diabaikan. Rambut panjangnya selalu terurai dengan rapi, kulitnya putih terawat, dan cara berbicaranya selalu lembut namun menggoda. Johan merasa ada sesuatu dalam sorot mata perempuan itu yang terus mengusiknya.Saat ia tengah sibuk menata buku di rak, terdengar ketukan pelan di pintu.“Johan, boleh ibu masuk?” Suara Meri terdengar dari luar.Johan segera membetulkan kaosnya yang sedikit berantakan. “Silakan, Bu.”Pintu terbuka perlahan, dan Meri masuk dengan senyum khasnya. Ia mengenakan daster sutra berwarna biru muda yang membalut tubuhnya dengan pas, memperlihatkan lekuk tubuh yang membuat Johan menelan ludah tanpa sadar.“Apa kamarmu sudah rapi?”
Johan menelan ludah, tenggorokannya terasa kering seperti gurun pasir. "Tante..." suaranya tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Kata-kata itu seolah tersangkut di tenggorokannya, tidak mampu keluar.Meri tersenyum tipis, matanya menatap Johan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kilatan menggoda di matanya, seolah menantang Johan untuk mengambil langkah selanjutnya."Masuklah, Johan. Jangan berdiri di sana seperti patung. Aku tidak menggigit."Dengan langkah ragu, Johan melangkah masuk ke dalam kamar Meri. Kamar itu remang-remang, hanya diterangi oleh lampu tidur di nakas. Cahaya lembut itu menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding, menambah suasana intim dan misterius. Aroma parfum Meri yang khas bercampur dengan aroma sabun mandi yang segar, menciptakan suasana yang intim dan menggoda. Johan merasa jantungnya berdebar semakin kencang, setiap langkahnya terasa berat.Meri duduk di tepi tempat tidur, kakinya yang jenjang menyentuh lantai. Daster putihnya yan
Johan terbangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa puas dan bahagia atas malam yang baru saja dilaluinya.Di sisi lain, ia dihantui rasa bersalah dan takut akan konsekuensi yang mungkin timbul. Ia menoleh ke samping, melihat Meri yang masih tertidur pulas.Wajahnya tampak damai, tanpa beban. Johan mengagumi kecantikan Meri, tetapi hatinya diliputi keraguan.Perlahan, Johan bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia menatap Meri sekali lagi, lalu keluar dari kamar dengan hati-hati. Saat ia melewati ruang tamu, ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.00 pagi. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya, berharap bisa merenungkan apa yang telah terjadi.Di kamarnya, Johan duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya dipenuhi bayangan Meri, sentuhan lembutnya, ciuman panasnya. Ia tidak menyangka akan terlibat dalam hubungan terlarang dengan ibu kosnya sendiri. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin,
Beberapa hari telah berlalu, namun bayang-bayang kehadiran Andre masih menghantui Meri. Wanita itu semakin sering merenung, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kenangan yang tak diinginkannya. Johan menyadari perubahan itu, namun ia memilih untuk tidak mengganggu. Meri tampak tak ingin diganggu siapapun. Ia lebih sering duduk di teras rumah kos, menatap kosong ke arah langit.Senja mulai turun ketika akhirnya Meri memanggil Johan. Mahasiswa itu yang sedari tadi memperhatikannya, segera menghampiri. Wajah Meri terlihat letih, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Johan terdiam. Kesedihan yang mendalam.Meri mulai bercerita, suara lirihnya mengalir seperti angin yang menyapu dedaunan. Ia berbicara tentang Andre, tentang carut-marut hubungan mereka."Aku tak pernah benar-benar bahagia bersamanya, Johan," ucapnya dengan mata menerawang. "Aku menikah dengannya bukan karena cinta, tapi karena perjodohan. Orang tuaku yang memilihnya untukku."Johan terdiam. Ia mencoba memahami situasi
Johan tenggelam dalam lautan buku, berusaha keras membenamkan ingatan tentang Maya dan Meri. Ujian semester sudah di depan mata, dan ia harus fokus. Namun, konsentrasinya buyar oleh bayang-bayang masa lalu dan bisikan-bisikan godaan yang terus menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang menggelegar memecah keheningan kamar kos. Johan terlonjak kaget, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik jam dinding, menunjukkan pukul lima sore. Meri sedang keluar berbelanja, jadi siapa yang mengetuk pintu sekeras itu?Dengan ragu, Johan melangkah menuju pintu dan membukanya. Seorang pria berbadan besar dengan wajah merah padam berdiri di hadapannya. Matanya menyala marah, dan rahangnya mengeras."Mana Meri?" bentaknya, suaranya menggelegar seperti guntur.Johan terkejut, tidak menyangka akan menghadapi orang yang begitu kasar. "Meri sedang keluar," jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.Pria itu mendengus, lalu mendorong Johan hingga terhuyung ke belakang. "Jangan bohong!
Meri pulang dengan wajah letih, namun senyumnya merekah saat melihat Johan di ruang tamu. "Terima kasih, Johan, sudah menemaniku," ucapnya tulus. "Aku tidak tahu apa jadinya jika tidak ada kamu."Johan tersenyum tipis, merasa bersalah karena telah mengkhianati kepercayaan Meri."Sama-sama, Meri. Aku senang bisa membantu."Maya, yang juga ikut mengantar Meri, menatap Johan dengan senyum menggoda. "Aku juga senang bisa membantu," ujarnya, suaranya sarat makna.Meri tidak menyadari ketegangan yang terjadi di antara Johan dan Maya. Ia terlalu lelah dan sedih untuk memperhatikan hal-hal kecil. "Aku akan istirahat sebentar," katanya, berjalan menuju kamarnya. "Kalian mengobrol saja dulu."Setelah Meri masuk ke kamar, Maya menoleh pada Johan dengan tatapan penuh minat. "Jadi, bagaimana malammu?" tanyanya, suaranya berbisik.Johan mengalihkan pandangannya, merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. "Seperti biasa," jawabnya singkat.Maya terkekeh pelan. "Benarkah? Aku yakin malammu sangat
Johan terperangkap dalam labirin rasa bersalah. Bayang-bayang malam bersama Maya terus menghantuinya, menggerogoti ketenangan yang tersisa. Setiap sudut rumah kos kini terasa asing, dipenuhi bisikan-bisikan godaan yang memecah konsentrasinya. Maya, dengan intuisi tajamnya, seolah menikmati kegelisahan Johan. Ia bermain-main dengan batas kesopanan, menyentuh, berbisik, dan menatap dengan cara yang membuat Johan merasa seperti mangsa yang diincar.Senja itu, langit Jakarta memerah, menandakan akhir dari hari yang panjang. Johan duduk di ruang tamu, berusaha menenggelamkan diri dalam lembaran buku, namun pikirannya melayang, terganggu oleh kehadiran Maya yang terasa semakin dekat. Langkah kaki ringannya terdengar, dan aroma parfumnya yang manis memenuhi udara."Johan," panggil Maya, suaranya lembut seperti beludru. Ia berdiri di ambang pintu, siluet tubuhnya yang menggoda terlihat jelas di balik cahaya senja. Ia mengenakan gaun tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, seolah sengaja
Dua hari setelah kejadian dengan teman Meri, sebuah kabar mengejutkan datang. Meri harus pergi ke luar kota selama dua minggu karena urusan keluarga yang mendesak. Ia meminta tolong pada sahabatnya, Maya, untuk menjaga rumah kos selama kepergiannya."Maya, tolong jaga rumah kos selama aku pergi," kata Meri melalui telepon, suaranya terdengar cemas. "Aku khawatir meninggalkan Johan sendirian.""Tentu saja, Meri," jawab Maya, suaranya lembut namun penuh percaya diri. "Aku akan menjaga semuanya dengan baik. Jangan khawatir."Maya adalah sahabat Meri sejak lama. Ia seorang wanita paruh baya yang menarik, dengan rambut lurus pendek sebahu dan kulit putih yang mulus. Tubuhnya berisi, dengan payudara yang besar dan pinggul yang menggoda. Ia memiliki pesona yang sulit ditolak, dan ia tahu bagaimana menggunakannya.Ketika Maya tiba di rumah kos, Johan sedang berada di kamarnya. Ia mendengar suara langkah kaki di luar, dan ketika ia membuka pintu, ia melihat seorang wanita yang belum pernah
Johan terbangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa puas dan bahagia atas malam yang baru saja dilaluinya.Di sisi lain, ia dihantui rasa bersalah dan takut akan konsekuensi yang mungkin timbul. Ia menoleh ke samping, melihat Meri yang masih tertidur pulas.Wajahnya tampak damai, tanpa beban. Johan mengagumi kecantikan Meri, tetapi hatinya diliputi keraguan.Perlahan, Johan bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia menatap Meri sekali lagi, lalu keluar dari kamar dengan hati-hati. Saat ia melewati ruang tamu, ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.00 pagi. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya, berharap bisa merenungkan apa yang telah terjadi.Di kamarnya, Johan duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya dipenuhi bayangan Meri, sentuhan lembutnya, ciuman panasnya. Ia tidak menyangka akan terlibat dalam hubungan terlarang dengan ibu kosnya sendiri. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin,
Johan menelan ludah, tenggorokannya terasa kering seperti gurun pasir. "Tante..." suaranya tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Kata-kata itu seolah tersangkut di tenggorokannya, tidak mampu keluar.Meri tersenyum tipis, matanya menatap Johan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kilatan menggoda di matanya, seolah menantang Johan untuk mengambil langkah selanjutnya."Masuklah, Johan. Jangan berdiri di sana seperti patung. Aku tidak menggigit."Dengan langkah ragu, Johan melangkah masuk ke dalam kamar Meri. Kamar itu remang-remang, hanya diterangi oleh lampu tidur di nakas. Cahaya lembut itu menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding, menambah suasana intim dan misterius. Aroma parfum Meri yang khas bercampur dengan aroma sabun mandi yang segar, menciptakan suasana yang intim dan menggoda. Johan merasa jantungnya berdebar semakin kencang, setiap langkahnya terasa berat.Meri duduk di tepi tempat tidur, kakinya yang jenjang menyentuh lantai. Daster putihnya yan
Johan menatap ke sekeliling kamar barunya. Ruangan itu sederhana namun nyaman, dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil di belakang rumah kos. Baru beberapa hari ia tinggal di sini, tetapi ada sesuatu yang membuatnya gelisah—lebih tepatnya, seseorang.Meri, ibu kosnya, adalah seorang wanita paruh baya dengan pesona yang sulit diabaikan. Rambut panjangnya selalu terurai dengan rapi, kulitnya putih terawat, dan cara berbicaranya selalu lembut namun menggoda. Johan merasa ada sesuatu dalam sorot mata perempuan itu yang terus mengusiknya.Saat ia tengah sibuk menata buku di rak, terdengar ketukan pelan di pintu.“Johan, boleh ibu masuk?” Suara Meri terdengar dari luar.Johan segera membetulkan kaosnya yang sedikit berantakan. “Silakan, Bu.”Pintu terbuka perlahan, dan Meri masuk dengan senyum khasnya. Ia mengenakan daster sutra berwarna biru muda yang membalut tubuhnya dengan pas, memperlihatkan lekuk tubuh yang membuat Johan menelan ludah tanpa sadar.“Apa kamarmu sudah rapi?”