Apa mendongak, menatapnya bingung. Apa yang harus kujelaskan? Sedangkan aku sendiri tak paham kenapa Mas Gaza bisa tiba-tiba murka bahkan kini menjatuhkan talaknya, tepat setelah dia membuka ponsel dari saku celananya. Aku hanya bisa menghela napas lalu kembali menunduk. Menyeka air mata yang semakin deras mengalir ke pipi.
"Rania! Apa sekarang kamu mendadak tuli?" Bentak Gaza lagi. Aku menutup telinga seketika saat mendengar bentakan Mas Gaza kedua kalinya.
"Apa salahku, Mas? Hingga kamu tega menjatuhkan talak di hari yang sama saat kamu mengucap qabul. Hari yang seharusnya diisi dengan tawa, canda dan bahagia, kenapa justru kamu tabur dengan luka? Apa salahku? Apa yang harus kujelaskan? Sementara aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi bahkan membuatmu seperti ini. Kenapa kamu tak tabayyun dulu? Kenapa ucapan talak seolah begitu ringan bagimu?" cecarku kemudian. Kuungkapkan segala pertanyaan yang ada di benak lalu kembali memeluk Ummi dan tergugu di pundaknya.
Ummi. Dialah wanita paruh baya yang baru tadi pagi bergelar sebagai mertuaku. Air matanya masih bercucuran sepertiku. Aku tahu, Ummi pasti juga sedih dan terluka mendengar talak yang begitu lantang diucapkan anak lelakinya.
"Kamu masih bertanya apa salahmu, Ran? Apa urat malumu sudah putus?" Mas Gaza kembali memberondongku dengan dugaan-dugaannya yang aku sendiri masih tak mengerti apa maksudnya.
"Aku benar-benar nggak paham apa salahku, Mas," jawabku lagi. Berusaha tegar meski dada terasa begitu sakit.
"Bahkan aku sendiri malu untuk menceritakannya," ucap Mas Gaza. Sorot mata yang sedari tadi begitu tajam, kini mulai terlihat rapuh. Ada kecewa, duka dan benci yang tersirat di kedua netranya.
Serapuh itukah Mas Gaza? Apa yang sebenarnya terjadi hingga membuatnya seperti ini? Selama hampir enam bulan mengenal dia, aku belum pernah melihatnya sekecewa ini. Apa yang sebenarnya dia lihat di ponselnya tadi? Kenapa juga harus malu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?
Aku dan Mas Gaza memang belum lama saling mengenal, tapi orang tua kami sudah sejak lama bersahabat. Awalnya mereka memang berniat menjodohkan aku dengan Mas Gaza, tapi belum sampai diadakan pertemuan keluarga untuk membahas itu, kami sudah saling jatuh cinta. Cinta itu datang begitu saja saat ketiga kali aku dan dia bertemu di tempat yang sama.
Pertemuan ketiga yang begitu istimewa. Saat itu aku dan dia sama-sama berada di sebuah rumah makan. Aku ingin pulang sementara dia sepertinya baru saja datang bersama ketiga temannya. Dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang tak asing bagiku. Laki-laki yang pernah menjadi teman sekolahku saat SMA dulu. Ahda namanya. Aku juga tak menyangka bisa bertemu kembali dengannya di sini, apalagi dia bersama Mas Gaza dan terlihat begitu akrab layaknya sahabat dekat.
"Rania anaknya tante Erita, kan?" tanya Mas Gaza saat melihatku kebingungan karena ban motor yang bocor. Seketika senyum itu terlukis di kedua sudut bibirnya.
"Iya, dia Rania," ucap laki-laki di sebelah Mas Gaza. Ahdan-- teman putih abu-abuku itu. Dia pun tersenyum ramah menatapku lalu menganggukkan kepalanya saat tak sengaja kedua mata kami bertemu. Sejak dulu, Ahdan memang begitu sopan pada setiap perempuan.
"Oh, kalian sudah saling kenal?" tanya Mas Gaza kemudian. Aku dan Ahdan mengangguk bersamaan.
"Dunia begitu sempit rupanya, ya," ucap Mas Gaza lagi, lalu dia tertawa kecil. Tawa yang membuatku tak bisa tidur berhari-hari manakala mengingatnya. Mungkin itulah yang dinamakan cinta pada pandangan ketiga.
"Ohya, Ran. Ini Ahdan sahabat dekatku. Sedangkan mereka berdua, Windy dan Yoanda. Sahabat kami juga. Kami bersahabat sejak masuk bangku perkuliahan hingga kini, hampir empat tahun lamanya," ucap Mas Gaza lagi. Dia memperkenalkan ketiga sahabatnya padaku.
"Bagaimana kabarmu, Dan?" tanyaku basa-basi pada Ahdan yang masih menatapku tak berkedip beberapa saat lamanya.
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri kenapa akhir-akhir ini nggak pernah posting di media sosialmu, sibuk?" tanyanya tiba-tiba, membuatku mengerutkan alis seketika.
Berulang kali kueja pertanyaan Ahdan, tapi masih saja tak mengerti. Apa selama ini dia mengikutiku di media sosial hingga dia tahu kapan aku on dan kapan aku off? Namun buat apa dia mengikutiku? Bahkan selama menjadi teman sekelasnya dulu, aku dan dia juga tak terlalu akrab.
"Eh ... iya aku agak sibuk akhir-akhir ini," balasku kemudian sedikit gugup dan terbata.
"Ohya, maaf aku harus segera pulang. Ibu pasti sudah menunggu pesanannya," ucapku lagi. Aku memang sengaja mampir ke rumah makan ini untuk membelikan nasi kebuli pesanan ibu.
"Tapi ban motor kamu bocor, Ran. Aku antar pulang aja gimana?" Mas Gaza menawarkan jasa. Namun aku menolak. Meski ibu sudah mengenal baik orang tua Mas Gaza, tapi ibu pasti tak suka jika aku pulang diantar laki-laki bukan mahram.
"Maaf, Mas. Aku pulang sendiri saja. Mau cari bengkel dulu," ucapku lagi.
Di saat yang sama, dua sahabat wanita Mas Gaza pamit untuk masuk lebih dulu. Perempuan bernama Yoanda itu menatapku sinis, seolah tak suka jika aku berlama-lama dengan sahabatnya. Entah karena apa. Padahal aku juga bersikap biasa, tak ada niat tebar pesona.
"Kalau begitu biar aku yang dorong motornya, ya? Ada bengkel tak jauh dari sini tapi lewat gang sebelah. Kamu pasti nggak tahu tempatnya," ucap Mas Gaza lagi. Tanpa kuiyakan dia sudah memintaku untuk menyerahkan stang motor ke tangannya.
"Dan, kamu masuk dulu sama si Windy dan Yoanda. Nanti kususul. Pesan saja suka- suka kalian, oke?"
Kulihat Ahdan hanya mengangguk pelan, membiarkanku pergi bersama sahabatnya. Sampai di belokan iseng kumenoleh ke belakang, masih ada Ahdan dengan tatapannya yang begitu sulit kuartikan.
Sejak saat itu, hubunganku dengan Mas Gaza kian dekat hingga dia mengungkapkan kekagumannya padaku. Tanpa menunggu waktu lama, dia melamarku sebulan lalu. Ibu begitu terharu saat itu, karena setelah menikah Mas Gaza akan memboyongku ke rumah Ummi.
Waktu yang begitu mendebarkan buatku dan ibu yang sejak dulu hampir tak pernah berpisah. Mas Alif pun menitikkan air mata, melihatku begitu bahagia menerima pinangan laki-laki yang kucinta.
Kuseka kembali air mata yang menitik di pipi. Ah momen bahagia yang tak lama kurengkuh, karena detik ini semua senyum bahagia itu pun luruh.
"Katakan saja di sini, Mas. Apa salahku hingga kamu tega menjatuhkan talak itu," ucapku lirih. Dadaku sesak karena terus menangis sedari tadi. Sekarang aku pasrah, apapun yang akan terjadi setelah ini.
"Dengan siapa dan kapan kamu melakukan ini, Ran?" tanya Mas Gaza tiba-tiba. Dia menatapku begitu tajam sembari mengulurkan ponselnya.
Betapa terkejutnya aku saat melihat video yang ada di ponselnya itu. Kepalaku mendadak pening, mata berkunang-kunang hingga semua gelap seketika dan aku tak sadar apa yang terjadi setelah itu.
***
Kubuka mata perlahan. Tampak orang-orang yang begitu kusayang berjejer di tepi ranjang. Ranjang yang seharusnya menjadi ranjang kenangan indah bersama pasangan, kini hanya menanggalkan sesak dan luka terdalam. Luka yang kupastikan tak bisa dengan mudah hilang dari ingatan. Begitu membekas dalam dada, sebab saat itulah aku merasa tak ada harganya dan dicampakkan begitu saja. Terlalu menyakitkan. Mas Gaza masih sibuk bicara dengan ibu dan umi di sudut ruangan. Mungkin membicarakan video yang tadi kulihat sekilas di ponselnya. Benar-benar hanya beberapa detik karena aku tak sanggup melanjutkan untuk menonton lebih lama. Kepalaku mendadak pening dan sakit melihat tayangan di layar bening itu. Sebuah video mengerikan tampil di sana. Jauh lebih mengerikan lagi sebab menampilkan wajahku di sana. Aku benar-benar shock. Cukup histeris dan pingsan begitu saja. Aku yakin itu tak benar dan sebatas editan, tapi sekilas memang tak tampak jika itu sebuah
Aku mencoba bangkit, mengejar Mas Gaza yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Kubersimpuh di kakinya, meminta dia untuk tak main-main dengan talaknya. Apalagi hari ini adalah hari pertama kami menikah. Apa kata orang nanti jika aku langsung mendapatkan talak di hari pertama pernikahanku. Aku tak mungkin tega membuat dua keluarga yang saling memeluk mesra bahkan bersahabat sejak lama pecah dan hancur seketika. Sekali pun nanti Mas Gaza akan menutupi penyebab talaknya, tapi siapa yang bisa menjamin kabar yang beredar di luar sana? Aku justru takut, semakin ditutupi, opini liar di luar justru akan semakin mengular. Mereka akan mengira-ngira dan menebak apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa baru sehari menikah langsung dijatuhkan talak? Jika sudah seperti itu, sama saja akan membuatku malu di depan umum. Mereka pasti akan berpikir macam-macam tentangku, sebab perempuan baik-baik tak mungkin akan dijatuhkan talak di malam pertama pernikahannya. Begitulah opini mere
Aku tak menyangka bahkan seakan masih tak percaya jika keputusan Mas Gaza untuk bercerai denganku benar-benar sudah bulat. Siapa pun termasuk Abah dan Umi tak bisa mencegah keinginannya. Dia tetap bersikukuh untuk berpisah. Tak peduli berulang kali kukatakan bahwa aku tak bersalah dalam hal ini. Mau tak mau aku juga harus merelakan semuanya. Aku pun harus ikhlas pergi dari sini karena tak lagi menjadi menantu dalam keluarga ini. Air mata tak jua terhenti meski berulang kali aku menyekanya. Sesak di dada belum jua sirna meski aku sudah berulang kali berusaha menata hati untuk lapang dada. Perih yang tertoreh tak bisa hilang begitu saja. Benar-benar sakit selaksa tertusuk sembilu berkali-kali. Berulang kali kucoba menghela napas panjang seraya beristighfar, berharap semua hilang perlahan. Namun nyatanya sakit ini seolah makin terasa menyesakkan. "Ran, kita pulang saja. Sepertinya hati Gaza memang sudah membatu. Tak perlud itangisi, Mas percaya kam
Muhammad Azka Ramadhan. Saudara kembar Mas Gaza yang tiba-tiba membuat hatiku bergetar seketika. Laki-laki sederhana yang mau menerimaku apa adanya, tanpa pernah mencela apalagi mengungkit video panas yang Mas Gaza bilang akulah pelakunya. Kedua mataku mulai menghangat lagi. Ada perasaan yang tak bisa kugambarkan di sana. Sementara Mas Gaza terpaku dari tempatnya. Berdiri di ambang pintu, sesekali melirikku tanpa kata. "Bagaimana Rania? Apa kamu bersedia?" tanya laki-laki itu lagi. Semua orang yang masih berdiri di halaman rumah cukup mewah ini pun terdiam beberapa saat lamanya. Saling pandang tak mengerti, bahkan Umi kembali dalam tangisnya. "Ah iya, aku lupa memperkenalkan diri padamu. Aku Azka, adik kembar Mas Gaza. Tak banyak hal yang dapat kuceritakan padamu, Rania. Karena aku memang bukan seorang yang istimewa. Aku jauh berbeda dengan Mas Gaza. Karena itu pula, aku tak memaksamu untuk menerima pinanganku." Kepalaku mendongak ke arahnya.
Perjalanan hidup yang tak mudah. Kadang mulus, lurus kadang terjal dan berliku. Kupikir, Mas Gaza adalah laki-laki pertama dan terakhir dalam hidupku, tapi ternyata takdir berkata lain. Siapa yang bisa mendikte takdir? Tak ada yang bisa kecuali Dia. Sekuat apa pun aku menggenggam, jika takdirnya terlepas aku bisa apa? Rasanya, air mata sudah cukup kering untuk sekadar menangisinya. Lelah, capek bahkan seolah merasa paling terluka. Berbagai opini liar mulai menyebar. Tak ada yang membocorkan soal video itu. Karena itulah mereka berpendapat, menerka-nerka apa yang membuatku pulang ke rumah setelah malam pertama. "Rania, istikharah di sini saja. Jika kamu pulang, banyak orang akan menerka-nerka apa yang terjadi. Kamu lebih aman di sini," ucap Mas Azka satu minggu yang lalu. "Biar Rania istikharah di rumah, Ka. Dia akan lebih tenang di sana. Orang-orang hanya akan menerka-nerka, biarkan saja asalkan tak ada yang membocorkan masalah ini. InsyaAllah
POV : RANIA"Rania, kamu mau pernikahan kita digelar biasa atau agak mewah?" tanya Mas Azka sebelum dia pulang. Aku hanya tersenyum tipis."Tak perlu mewah Mas, sederhana saja yang penting langgeng dan bahagia, daripada mewah tapi hanya berjalan sekejap mata. Lagipula apa tanggapan orang-orang jika tahu aku menggelar resepsi lagi," ucapku dengan senyum tipis.Ummi terlihat sedikit sendu saat mendengar ucapanku. Ah Ummi, aku tak bermaksud membuatmu kembali mengingat kejadian itu. Namun memang, acara pernikahanku dengan Mas Gaza kemarin digelar cukup mewah, banyak kolega dan karyawan serta saudara Abah dan Ummi yang datang. Cukup meriah, banyak tawa bahagia meski pada malamnya berakhir dengan derai air mata."Baguslah, Rania. Lagipula aku juga hanya mampu membawamu ke penghulu saja. Untung kamu juga mau yang sederhana, kalau nggak, aku pasti kebingungan soal dana," ucap Mas Azka dengan tawanya.Tawanya. Ya ... tawa yang begitu ketara menyimpan luka. Bagiamana tidak? Siapa yang tak menge
Aku kembali ke rumah ini. Rumah cukup mewah tingkat dua dengan cat biru muda. Mau tak mau kembali mengingat masa itu, di saat aku mendapatkan tamparan memalukan dari orang yang begitu kusayang. Genggaman tangan Mas Azka belum jua terlepas saat aku melewati ruang keluarga, dimana Mas Gaza asyik ngobrol dengan sahabat-sahabatnya. Ketiga sahabatnya yang waktu itu sempat dia kenalkan padaku. Mereka tampak sangat kaget saat melihat kami datang. Apalagi saat sadar Mas Azka semakin erat menggenggam tanganku. "Rania." Sebuah panggilan menghentikan langkah kami. Mas Azka pun membalikkan badan ke sumber suara. "Ada apa, Mas?" Mas Ahdan sudah berdiri menatapku beberapa saat lamanya. "Kamu-- "Apa Mas Gaza belum cerita?" "Soal?" "Rania sah menjadi istriku," ucap Mas Azka begitu tenang. Ada gurat keterkejutan di sana. Laki-laki yang kukenal beberapa tahun silam itu seolah tak percaya apa yang dia dengar. Apa Mas Gaza belum ce
Malam pertama pasca menikah yang begitu mendebarkan. Aku pernah melewati malam seperti ini. Malam yang sama, dimana kulewati dengan tangis dan luka. Namun kini, aku melewatinya dengan hati yang lebih tenang dan bahagia. Kulihat Mas Azka keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos oblong dengan celana kolor si bawah lutut. Dia menatapku beberapa saat lalu tersenyum. Senyum yang begitu menenangkan tiap kali kumemandang. "Tidurlah, Dek. Kamu pasti capek," ucapnya pelan lalu menjatuhkan badannya ke sofa kamar. Aku masih menatap beberapa saat. "Kenapa?" Kedua kalinya aku menggeleng pelan. "Tidurlah di ranjang, biar mas tidur di sofa ini," ucapnya lagi. "Kenapa begitu? Apa mas masih ragu-- Kedua mataku kembali menghangat. Tak mampu kulanjutkan kalimat yang terpotong itu. "Nggak. Bukan karena itu, justru karena aku mencintaimu hingga tak ingin memaksamu melakukan sesuatu
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak