Aku tak menyangka bahkan seakan masih tak percaya jika keputusan Mas Gaza untuk bercerai denganku benar-benar sudah bulat. Siapa pun termasuk Abah dan Umi tak bisa mencegah keinginannya.
Dia tetap bersikukuh untuk berpisah. Tak peduli berulang kali kukatakan bahwa aku tak bersalah dalam hal ini. Mau tak mau aku juga harus merelakan semuanya. Aku pun harus ikhlas pergi dari sini karena tak lagi menjadi menantu dalam keluarga ini.
Air mata tak jua terhenti meski berulang kali aku menyekanya. Sesak di dada belum jua sirna meski aku sudah berulang kali berusaha menata hati untuk lapang dada. Perih yang tertoreh tak bisa hilang begitu saja. Benar-benar sakit selaksa tertusuk sembilu berkali-kali.
Berulang kali kucoba menghela napas panjang seraya beristighfar, berharap semua hilang perlahan. Namun nyatanya sakit ini seolah makin terasa menyesakkan.
"Ran, kita pulang saja. Sepertinya hati Gaza memang sudah membatu. Tak perlud itangisi, Mas percaya kamu akan jauh lebih bahagia jika pergi dari laki-laki seegois ini," ucap Mas Alif kemudian.
Abah dan umi tak bisa berbuat banyak. Karena bagi mereka, Mas Gaza sudah dewasa yang harusnya bisa mengambil keputusan terbaik, tidak grusa-grusu atau buru-buru meski kenyataannya Mas Gaza tak sedewasa usianya.
Aku tahu, Abah dan Umi juga sudah berusaha meyakinkan Mas Gaza untuk menimbang kembali keputusannya namun nyatanya sia-sia. Mas Gaza tak pernah mau menarik kembali apa yang sudah diucapkannya. Karena itu pula Abah dan Umi angkat tangan, tak ingin terlalu ikut campur soal pernikahanku dengan anak sulungnya.
Berulang kali Abah dan Ummi minta maaf pada ibu, Mas Alif dan aku. Berulang kali umi memintaku untuk tinggal sementara di rumahnya, namun Mas Alif tak mengijinkan. Dia tetap memintaku untuk pulang karena aku sudah bukan bagian dari keluarga ini, katanya.
"Kamu tak hanya menyakiti hati Rania dan keluarganya, Za. Tapi juga menyakiti hati Abah dan Ummi," ucap Ummi di sela isaknya.
"Kamu tahu sendiri, kan? Dari dulu Ummi sangat berharap kamu bisa menikah dengan Rania. Ummi ingin memiliki menantu seperti Rania tapi apa nyatanya? Kamu justru melukai hatinya. Ummi yakin ini fitnah, Za. Kamu pasti akan menyesal nantinya," ucap Ummi lagi.
"Kenapa Ummi justru membela Rania? Kenapa Ummi tak membela anak Ummi sendiri? Bagaimana jika video itu memang benar? Apa Ummi masih tetap begitu ingin memiliki menantu seperti Rania yang memiliki video panas di luar sana?"
Plakkk. Abah kembali menampar pipi anak lelakinya, membuat Ummi kembali ternganga.
"Sudah cukup, Za. Makin lama kata-katamu makin nggak jelas. Menyakitkan dan memalukan!" Bentak Abah kemudian.
"Kamu bilang akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan Ummi, kan, Za? Bagaimana kalau Ummi bilang bahwa Rania lah kebahagiaan Ummi?" Mas Gaza menoleh cepat lalu menggelengkan kepalanya.
"Nggak, Ummi. Jangan itu, tolong minta yang lain saja. Karena sampai kapan pun Gaza nggak bisa membuat Ummi bahagia jika kebahagiaan Ummi adalah Rania," ucap Mas Gaza lagi.
"Tapi Ummi ingin Rania menjadi menantu di rumah ini, Za. Kenapa kamu mengambil keputusan sepihak begini, tanpa mau cari tahu kebenaran video itu lebih dulu?" Ummi kembali tergugu di sebelahku.
Mas Alif keluar dari kamar dengan membawa koperku. Sementara ibu masih begitu lemas di samping Ummi.
"Ayo pulang, Ran. Jikalaupun dia mau rujuk kembali, Mas sudah mati rasa. Nggak rela kamu memiliki suami seegois dia," ucap Mas Alif sembari menarik pergelangan tanganku perlahan.
Ummi semakin histeris saat aku menyalaminya. Apalagi saat ibu memeluk dan mengusap punggungnya perlahan. Ibu terlihat jauh lebih tegar, meski kekesalan bercampur kepedihan tetap tampak di raut wajahnya.
"Rania memang tak lagi menjadi menantumu, Nad. Tapi dia tetap menjadi anakmu," ucap Ibu di sela isaknya.
Ummi mencoba mengangguk pelan. Aku tahu maksud ibu. Selama ini, Ummi memang selalu menganggap aku dan Mas Alif sebagai anaknya juga. Anak angkatnya. Ummi seringkali mengirimkan makanan atau pun pakaian untuk kami tanpa kami minta. Ummi bilang, hanya ingin membelikan sesuatu untuk anak-anaknya. Ya ... anak Ummi lainnya, aku dan Mas Alif.
"Bagaimana tanggapan orang kalau aku pergi dari rumah ini, Mas. Aku takut mendapat bullyan banyak orang." Kututup wajahku lagi. Ketakutan ini kembali menyesaki hati.
Ya Allah ... kupikir, hari ini adalah awal dari kebahagiaanku. Namun ternyata, inilah awal dari kepedihan dalam hidupku. Pernikahan yang kuharap akan berujung bahagia, tapi ternyata hanya meninggalkan luka.
Hanya dalam hitungan jam aku mengecap bahagia, namun akan bertahun-tahun kutelan luka dan nestapa karena ditalak saat malam pertama itu benar-benar menyakitkan. Apalagi jika ditalak tanpa tahu apa kesalahannya. Ditalak karena fitnah yang sengaja dibuat untuk menghancurkan pernikahanku dengannya. Entah siapa pelakunya.
Kulihat Mas Gaza masih diam di sofa sembari menatap layar ponselnya. Entah dengan siapa dia bertukar pesan, namun sejak tadi kulihat dia tak jua berhenti mengetik. Atau mungkin dengan pengirim video itu? Entahlah. Aku sudah tak ingin tahu lagi urusannya.
"Abah dan Ummi akan mengantar Rania pulang. Kamu nggak ikut, Za?" tanya Ummi dengan tatapan penuh kecewa pada anak sulungnya.
"Sudah malam, Mi. Apa nggak besok saja dia pergi?"
"Nggak. Aku nggak akan membiarkan Rania di sini. Biar dia beradaptasi dengan status dan hidupnya yang baru. Itu lebih baik daripada harus diundur besok pagi."
Mas Alif menimpali. Aku tahu Mas Alif adalah sosok yang tegas. Dia nggak akan rela adiknya direndahkan oleh siapa pun termasuk suaminya sendiri.
Sebelum membuka pintu mobil, kulihat tangan kekar seseorang menahan pintu yang akan kubuka. Seketika aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum tipis menatapku lalu menundukkan wajahnya.
Laki-laki pendiam yang sejak tadi sedikit pun tak mengeluarkan suaranya. Dia hanya diam, mendengarkan kekisruhan yang ada. Tanpa bicara atau bahkan sekadar memberi saran.
"Umi, Ibu, izinkan Azka menikahi Rania. Sejak dulu Azka belum pernah membuat Ummi dan Abah bangga. Ijinkan kali ini Azka sedikit membuat Ummi bahagia. Meski tetap saja itu tak seberapa dibandingkan kebahagiaan dan kebanggaan yang pernah Mas Gaza berikan," ucap laki-laki itu begitu yakin.
Laki-laki yang wajahnya begitu mirip dengan Mas Gaza itu pun menganggukkan kepalanya padaku begitu sopan. Umi dan Abah membelalakkan mata seolah tak percaya jika anak lelakinya yang selama ini begitu pendiam itu ikut angkat bicara. Menengahi permasalahan yang ada.
"Tapi, Ka. Apa kamu mencintai Rania?"
"Iya. Azka mencintainya, jikalau pun belum sepenuhnya, Azka akan berusaha menyayanginya dan membuat dia bahagia dengan cara Azka sendiri, meski mungkin sangat sederhana. Karena mulai saat ini, kebahagiaan Rania sama halnya dengan kebahagiaan Ummi, yang menjadi impian pertama Azka di tiap bergantinya hari."
***
Muhammad Azka Ramadhan. Saudara kembar Mas Gaza yang tiba-tiba membuat hatiku bergetar seketika. Laki-laki sederhana yang mau menerimaku apa adanya, tanpa pernah mencela apalagi mengungkit video panas yang Mas Gaza bilang akulah pelakunya. Kedua mataku mulai menghangat lagi. Ada perasaan yang tak bisa kugambarkan di sana. Sementara Mas Gaza terpaku dari tempatnya. Berdiri di ambang pintu, sesekali melirikku tanpa kata. "Bagaimana Rania? Apa kamu bersedia?" tanya laki-laki itu lagi. Semua orang yang masih berdiri di halaman rumah cukup mewah ini pun terdiam beberapa saat lamanya. Saling pandang tak mengerti, bahkan Umi kembali dalam tangisnya. "Ah iya, aku lupa memperkenalkan diri padamu. Aku Azka, adik kembar Mas Gaza. Tak banyak hal yang dapat kuceritakan padamu, Rania. Karena aku memang bukan seorang yang istimewa. Aku jauh berbeda dengan Mas Gaza. Karena itu pula, aku tak memaksamu untuk menerima pinanganku." Kepalaku mendongak ke arahnya.
Perjalanan hidup yang tak mudah. Kadang mulus, lurus kadang terjal dan berliku. Kupikir, Mas Gaza adalah laki-laki pertama dan terakhir dalam hidupku, tapi ternyata takdir berkata lain. Siapa yang bisa mendikte takdir? Tak ada yang bisa kecuali Dia. Sekuat apa pun aku menggenggam, jika takdirnya terlepas aku bisa apa? Rasanya, air mata sudah cukup kering untuk sekadar menangisinya. Lelah, capek bahkan seolah merasa paling terluka. Berbagai opini liar mulai menyebar. Tak ada yang membocorkan soal video itu. Karena itulah mereka berpendapat, menerka-nerka apa yang membuatku pulang ke rumah setelah malam pertama. "Rania, istikharah di sini saja. Jika kamu pulang, banyak orang akan menerka-nerka apa yang terjadi. Kamu lebih aman di sini," ucap Mas Azka satu minggu yang lalu. "Biar Rania istikharah di rumah, Ka. Dia akan lebih tenang di sana. Orang-orang hanya akan menerka-nerka, biarkan saja asalkan tak ada yang membocorkan masalah ini. InsyaAllah
POV : RANIA"Rania, kamu mau pernikahan kita digelar biasa atau agak mewah?" tanya Mas Azka sebelum dia pulang. Aku hanya tersenyum tipis."Tak perlu mewah Mas, sederhana saja yang penting langgeng dan bahagia, daripada mewah tapi hanya berjalan sekejap mata. Lagipula apa tanggapan orang-orang jika tahu aku menggelar resepsi lagi," ucapku dengan senyum tipis.Ummi terlihat sedikit sendu saat mendengar ucapanku. Ah Ummi, aku tak bermaksud membuatmu kembali mengingat kejadian itu. Namun memang, acara pernikahanku dengan Mas Gaza kemarin digelar cukup mewah, banyak kolega dan karyawan serta saudara Abah dan Ummi yang datang. Cukup meriah, banyak tawa bahagia meski pada malamnya berakhir dengan derai air mata."Baguslah, Rania. Lagipula aku juga hanya mampu membawamu ke penghulu saja. Untung kamu juga mau yang sederhana, kalau nggak, aku pasti kebingungan soal dana," ucap Mas Azka dengan tawanya.Tawanya. Ya ... tawa yang begitu ketara menyimpan luka. Bagiamana tidak? Siapa yang tak menge
Aku kembali ke rumah ini. Rumah cukup mewah tingkat dua dengan cat biru muda. Mau tak mau kembali mengingat masa itu, di saat aku mendapatkan tamparan memalukan dari orang yang begitu kusayang. Genggaman tangan Mas Azka belum jua terlepas saat aku melewati ruang keluarga, dimana Mas Gaza asyik ngobrol dengan sahabat-sahabatnya. Ketiga sahabatnya yang waktu itu sempat dia kenalkan padaku. Mereka tampak sangat kaget saat melihat kami datang. Apalagi saat sadar Mas Azka semakin erat menggenggam tanganku. "Rania." Sebuah panggilan menghentikan langkah kami. Mas Azka pun membalikkan badan ke sumber suara. "Ada apa, Mas?" Mas Ahdan sudah berdiri menatapku beberapa saat lamanya. "Kamu-- "Apa Mas Gaza belum cerita?" "Soal?" "Rania sah menjadi istriku," ucap Mas Azka begitu tenang. Ada gurat keterkejutan di sana. Laki-laki yang kukenal beberapa tahun silam itu seolah tak percaya apa yang dia dengar. Apa Mas Gaza belum ce
Malam pertama pasca menikah yang begitu mendebarkan. Aku pernah melewati malam seperti ini. Malam yang sama, dimana kulewati dengan tangis dan luka. Namun kini, aku melewatinya dengan hati yang lebih tenang dan bahagia. Kulihat Mas Azka keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos oblong dengan celana kolor si bawah lutut. Dia menatapku beberapa saat lalu tersenyum. Senyum yang begitu menenangkan tiap kali kumemandang. "Tidurlah, Dek. Kamu pasti capek," ucapnya pelan lalu menjatuhkan badannya ke sofa kamar. Aku masih menatap beberapa saat. "Kenapa?" Kedua kalinya aku menggeleng pelan. "Tidurlah di ranjang, biar mas tidur di sofa ini," ucapnya lagi. "Kenapa begitu? Apa mas masih ragu-- Kedua mataku kembali menghangat. Tak mampu kulanjutkan kalimat yang terpotong itu. "Nggak. Bukan karena itu, justru karena aku mencintaimu hingga tak ingin memaksamu melakukan sesuatu
POV : RANIA Awan gelap menggantung di angkasa. Rintik hujan mulai membasahi bumi. Kini, langit tak lagi menampakkan sisi cerahnya. Mungkin sama gelapnya dengan perasaan Ummi kali ini. Dengan berurai air mata mau tak mau, rela tak rela harus melepas kepergian anak lelaki kesayangannya. "Jangan terlalu bersedih, Mi. Kalau ada waktu libur, Gaza pasti akan pulang. Atau kalau Umi terlalu rindu, datang saja menjenguk Gaza ke sana," pamit laki-laki itu dengan senyum tipis. "Umi pasti akan sangat merindukanmu, Za. Pasti." Perempuan tengah baya dengan jilbab lebarnya itu berulang kali menyeka kedua sudut matanya yang basah. Berulang kali pula dia memeluk anak laki-laki kesayangannya itu. "Makanya doakan Gaza biar lekas dapat calon istri, Mi. Biar nanti bisa di rumah terus menemani umi." "Iya. Umi selalu mendoakan kamu setiap waktu, Za." "Umi bilang mau menantu yang cantik, kan? Di sana pasti banyak calon menantu yang cantik seperti keinginan umi." Lagi, laki-laki itu mencoba untuk te
Flashback on (Pov : IBU) Sahabat adalah seseorang yang memahami seluk beluk kehidupan kita, baik suka maupun duka. Seperti air mata dengan telapak tangan, yang selalu setia bersama saat berada di titik kesedihan. Seperti teh dengan gula yang saling mengikat membuat kebersamaan terasa lebih manis dan hangat. Ah, entah. Yang pasti, persahabatanku dengan Nadia memang terjalin cukup lama dan erat. Tak pernah berselisih, bahkan semakin saling sayang dan penuh kasih. Tak hanya sekadar sahabat dekat, namun hubunganku dengannya bisa dibilang lebih dari itu. Seperti saudara sendiri. Apalagi aku yang memang tak punya saudara lagi semenjak kepergian kakak kandungku belasan tahun silam. Nadia, sudah kuanggap sahabat sekaligus kakakku sendiri. Aku tahu saat Nadia begitu terpuruk, pun saat dia sudah berada di pucuk. Dia tak pernah melupakan aku karena lagi-lagi dia sudah menganggapku bagian dari keluarga. Meski begitu, tak lantas aku terus ikut mencampuri kehidupan pribadinya, tetap ada cela
Pov : RANIA Dering ponsel terdengar begitu nyaring. Mas Azka mengambil ponsel itu dari atas meja lalu menatap layarnya dengan sedikit ternganga. "Siapa, Mas?" Aku ikut mengernyitkan dahi saat melihat ekspresi Mas Azka. "Ibu," jawabnya lirih sembari menempelkan telunjuk ke bibirnya. Aku hanya mengangguk pelan. "Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana kabarnya? Ibu sehat?" tanya Mas Azka memulai pembicaraan. "Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah sehat, Ka. Kamu sama Rania bagaimana? Sehat juga?" Suara ibu terdengar cukup keras sebab Mas Azka menyalakan loud speaker handphonenya. "Alhamdulillah kami sehat, Bu. Ini Rania juga belum tidur. Baru saja ngobrol ngalor-ngidul," ucap Mas Azka sembari tersenyum tipis. "Alhamulillah kalau begitu. Ibu boleh ngobrol sebentar dengan Rania?" tanya ibu kemudian. "Boleh dong, Bu. Masa mau ngobrol sama anak kesayangan nggak boleh," ucap Mas Azka lagi. Terdengar suara tawa renyah ibu dari seberang, pun Mas Azka. Dia berikan ponselnya ke tanganku lalu pami
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak