Muhammad Azka Ramadhan. Saudara kembar Mas Gaza yang tiba-tiba membuat hatiku bergetar seketika. Laki-laki sederhana yang mau menerimaku apa adanya, tanpa pernah mencela apalagi mengungkit video panas yang Mas Gaza bilang akulah pelakunya.
Kedua mataku mulai menghangat lagi. Ada perasaan yang tak bisa kugambarkan di sana. Sementara Mas Gaza terpaku dari tempatnya. Berdiri di ambang pintu, sesekali melirikku tanpa kata.
"Bagaimana Rania? Apa kamu bersedia?" tanya laki-laki itu lagi.
Semua orang yang masih berdiri di halaman rumah cukup mewah ini pun terdiam beberapa saat lamanya. Saling pandang tak mengerti, bahkan Umi kembali dalam tangisnya.
"Ah iya, aku lupa memperkenalkan diri padamu. Aku Azka, adik kembar Mas Gaza. Tak banyak hal yang dapat kuceritakan padamu, Rania. Karena aku memang bukan seorang yang istimewa. Aku jauh berbeda dengan Mas Gaza. Karena itu pula, aku tak memaksamu untuk menerima pinanganku."
Kepalaku mendongak ke arahnya. Banyak pertanyaan yang lalu lalang di benakku detik ini. Kenapa dia bilang sangat berbeda? Apanya yang beda? Bahkan wajah mereka pun terlihat sama.
"Aku hanya punya cinta. Cinta untuk umi sebagai kunci surga dan cinta untukmu, karena kamulah kunci ummi bahagia. Tak ada yang patut dibanggakan dariku, Rania. Tak ada. Namun satu hal yang kamu harus tahu, aku tak akan mengingkari janjiku untuk setia. Itu saja."
Bulir bening kembali menetes di kedua sudut mataku. Kugenggam erat jemari ibu yang sedari tadi berusaha menguatkan dan menenangkan. Entah apa yang laki-laki ini sembunyikan. Mengapa dia terlihat berbeda? Sedikit tertutup, tak banyak bicara bahkan baru kali ini kudengar dia mengucapkan banyak kata.
"Jika kamu bersamaku, aku tak menjanjikan kemewahan dunia. Karena lagi-lagi aku tak punya apa-apa. Hanya sebatas cinta yang akan terus kuperjuangkan selama masih mampu membuka mata. Terdengar konyol memang. Tapi begitulah kenyataannya. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk membuat hidupmu nyaman dan mapan karena aku hanya seorang penjual martabak dengan penghasilan tak seberapa. Aku juga tak punya mahar khusus untuk meminangmu, sekadar cincin biasa yang tak terlalu mahal harganya. Itu pun hasil dari menabung sekian minggu dari hasil penjualan martabakku."
Air mataku kian deras menitik. Kenapa? Kenapa dia menceritakan semuanya? Kenapa dia berbeda dengan kakak kembarnya? Apa yang salah?
Kutatap lekat wajah sayu ummi. Dia yang sudah luruh ke lantai. Sementara Abah, masih terus berusaha menenangkannya. Ibu kembali menatapku beberapa saat, namun tak kutemukan jawaban dalam sorot matanya.
Sepertinya ibu menyerahkan semua keputusan di tanganku.
Kini, aku terjebak dalam dua pilihan membingungkan. Memilih Mas Azka dengan segala kesederhanaannya atau keluar dari rumah ini dengan menanggung malu. Pasti berita talak itu akan tersebar dengan cepat.
Namun, jika aku menerima lamaran Mas Azka, berita miring yang ada akan terbungkam dengan sendirinya. Hilang begitu saja seperti terkena hembusan angin.
"Aku hanya lulusan sekolah menengah atas, Rania. Tak seperti Mas Gaza yang sarjana. Kamu jangan mencurigai Abah dan Ummi apalagi menganggap mereka pilih kasih. Bukan ... bukan karena itu. Namun karena aku memang tak sanggup mengenyam pendidikan yang lebih daripada itu. Sepertinya memang aku tak layak. Aku tak memiliki prestasi khusus di sekolah, aku juga tak pernah membuat Abah dan Ummi bangga. Karena itulah Rania, aku ingin membuat mereka bangga kali ini. Aku ingin menggantikan Mas Gaza untuk menikah denganmu. Aku ingin membuatmu bahagia. Karena hanya kamu yang diharapkan Ummi menjadi menantunya."
Entah mengapa tiap kali Mas Azka mengucapkan sebaris kalimat sederhananya, tiap itu juga Ummi menangis histeris. Kenapa? Aku tak paham apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka.
Kulihat Mas Azka mengangguk pelan lalu tersenyum saat tak sengaja beradu pandang denganku. Mas Alif mengusap pundakku pelan.
"Terserah kamu, Rania. Semua keputusan ada di tanganmu. Kalau memang kamu belum yakin, bisa istikharah dulu."
"Kamu nggak salah akan menikahi Rania?" Pertanyaan Mas Gaza membuyarkan berbagai pertanyaan yang sedari tadi bersemayam dalam benak. Mas Azka menoleh lalu mengangguk yakin.
"Bahkan di saat aku sudah menolaknya? Kamu mempercayainya?" tanyanya lagi begitu datar.
Kulihat tak tampak keakraban dan rasa persaudaraan diantara mereka. Mungkinkah selama ini dua saudara kembar itu memang sekaku ini?
"Ummi percaya jika Rania tak mungkin melakukan itu, Mas. Apalagi yang harus kuragukan? Aku percaya ucapan Ummi adalah benar," ucap laki-laki di hadapanku itu lagi. Mas Gaza menggeleng pelan seolah tak percaya.
"Terserah. Aku tak peduli, yang pasti aku sudah mengingatkanmu, Ka."
Mas Gaza kembali masuk ke dalam rumah, sementara Umi masih saja terisak di pelukan Abah. Entah mengapa Ummi bisa sehisteris ini.
"Ummi ... apa Ummi setuju jika Rania menikah dengan Mas Azka? Apa Ummi masih yakin jika dalam video itu bukan Rania?" Aku duduk di samping Ummi yang masih sesenggukan di pelukan Abah. Ummi mendongak lalu membingkai wajahku. Dia mengangguk perlahan.
"Ummi yakin itu bukan kamu, Nak. Ummi yakin," ucapnya lagi. Isak itu pun masih saja terdengar.
"Kalau Ummi yakin, bolehkah Rania menikah dengan Mas Azka?" Ummi menoleh ke arah anak lelakinya. Bulir-bulir bening itu pun kembali meluncur deras.
"Ummi kenapa? Apa yang salah?" tanyaku lagi, tapi lagi-lagi Ummi hanya menggeleng perlahan.
"Azka tahu Rania adalah calon menantu pilihan Ummi dan Ummi ingin Mas Gaza lah yang menikahi Rania, bukan Azka. Tapi--
Laki-laki itu tak melanjutkan kalimatnya.
"Tapi Mas Gaza tak menginginkan Rania, Mi. Mas Gaza menolak pernikahan ini. Bolehkah Mas Azka yang menggantikan posisi kakaknya?" tanyaku lagi.
Kuseka air mata yang berjatuhan ke pipi. Entah bagaimana rasanya hatiku detik ini. Campur aduk tak karuan. Aku sendiri tak menyangka jika pada akhirnya kisah cintaku akan serumit ini.
"Apa kamu mencintai Azka, Nia?" Aku terdiam sejenak lalu kembali menatap wajah Ummi.
"Bukankah Ummi dan Ibu pernah bilang, jika cinta akan datang karena terbiasa bersama?" Kulihat Ummi dan Ibu saling pandang. Hanya isyarat mata yang mereka tunjukkan.
"Kamu benar mau menerima Azka? Meski Azka--
"Azka tak seistimewa Gaza?" tanyaku lagi. Ummi hanya diam saja tak menjawab. Sepertinya memang benar ucapan Mas Azka, sejujurnya Ummi ingin Mas Gaza yang menikah denganku bukan dia.
"Jika Rania menerima segala kekurangan dan kelebihan Mas Azka, apa Ummi setuju pernikahan ini nantinya?"
Ummi kembali mendongak. Ada gurat kecewa di wajahnya, tapi lagi-lagi dia kembali menitikkan air mata. Perempuan yang berusia lebih dari setengah abad itu tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku dan Mas Azka bergantian lalu kembali menyeka kedua pipinya hang basah.
Akankah Ummi setuju aku menikah dengan Mas Azka? Atau Ummi justru akan menolaknya?
***
Perjalanan hidup yang tak mudah. Kadang mulus, lurus kadang terjal dan berliku. Kupikir, Mas Gaza adalah laki-laki pertama dan terakhir dalam hidupku, tapi ternyata takdir berkata lain. Siapa yang bisa mendikte takdir? Tak ada yang bisa kecuali Dia. Sekuat apa pun aku menggenggam, jika takdirnya terlepas aku bisa apa? Rasanya, air mata sudah cukup kering untuk sekadar menangisinya. Lelah, capek bahkan seolah merasa paling terluka. Berbagai opini liar mulai menyebar. Tak ada yang membocorkan soal video itu. Karena itulah mereka berpendapat, menerka-nerka apa yang membuatku pulang ke rumah setelah malam pertama. "Rania, istikharah di sini saja. Jika kamu pulang, banyak orang akan menerka-nerka apa yang terjadi. Kamu lebih aman di sini," ucap Mas Azka satu minggu yang lalu. "Biar Rania istikharah di rumah, Ka. Dia akan lebih tenang di sana. Orang-orang hanya akan menerka-nerka, biarkan saja asalkan tak ada yang membocorkan masalah ini. InsyaAllah
POV : RANIA"Rania, kamu mau pernikahan kita digelar biasa atau agak mewah?" tanya Mas Azka sebelum dia pulang. Aku hanya tersenyum tipis."Tak perlu mewah Mas, sederhana saja yang penting langgeng dan bahagia, daripada mewah tapi hanya berjalan sekejap mata. Lagipula apa tanggapan orang-orang jika tahu aku menggelar resepsi lagi," ucapku dengan senyum tipis.Ummi terlihat sedikit sendu saat mendengar ucapanku. Ah Ummi, aku tak bermaksud membuatmu kembali mengingat kejadian itu. Namun memang, acara pernikahanku dengan Mas Gaza kemarin digelar cukup mewah, banyak kolega dan karyawan serta saudara Abah dan Ummi yang datang. Cukup meriah, banyak tawa bahagia meski pada malamnya berakhir dengan derai air mata."Baguslah, Rania. Lagipula aku juga hanya mampu membawamu ke penghulu saja. Untung kamu juga mau yang sederhana, kalau nggak, aku pasti kebingungan soal dana," ucap Mas Azka dengan tawanya.Tawanya. Ya ... tawa yang begitu ketara menyimpan luka. Bagiamana tidak? Siapa yang tak menge
Aku kembali ke rumah ini. Rumah cukup mewah tingkat dua dengan cat biru muda. Mau tak mau kembali mengingat masa itu, di saat aku mendapatkan tamparan memalukan dari orang yang begitu kusayang. Genggaman tangan Mas Azka belum jua terlepas saat aku melewati ruang keluarga, dimana Mas Gaza asyik ngobrol dengan sahabat-sahabatnya. Ketiga sahabatnya yang waktu itu sempat dia kenalkan padaku. Mereka tampak sangat kaget saat melihat kami datang. Apalagi saat sadar Mas Azka semakin erat menggenggam tanganku. "Rania." Sebuah panggilan menghentikan langkah kami. Mas Azka pun membalikkan badan ke sumber suara. "Ada apa, Mas?" Mas Ahdan sudah berdiri menatapku beberapa saat lamanya. "Kamu-- "Apa Mas Gaza belum cerita?" "Soal?" "Rania sah menjadi istriku," ucap Mas Azka begitu tenang. Ada gurat keterkejutan di sana. Laki-laki yang kukenal beberapa tahun silam itu seolah tak percaya apa yang dia dengar. Apa Mas Gaza belum ce
Malam pertama pasca menikah yang begitu mendebarkan. Aku pernah melewati malam seperti ini. Malam yang sama, dimana kulewati dengan tangis dan luka. Namun kini, aku melewatinya dengan hati yang lebih tenang dan bahagia. Kulihat Mas Azka keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos oblong dengan celana kolor si bawah lutut. Dia menatapku beberapa saat lalu tersenyum. Senyum yang begitu menenangkan tiap kali kumemandang. "Tidurlah, Dek. Kamu pasti capek," ucapnya pelan lalu menjatuhkan badannya ke sofa kamar. Aku masih menatap beberapa saat. "Kenapa?" Kedua kalinya aku menggeleng pelan. "Tidurlah di ranjang, biar mas tidur di sofa ini," ucapnya lagi. "Kenapa begitu? Apa mas masih ragu-- Kedua mataku kembali menghangat. Tak mampu kulanjutkan kalimat yang terpotong itu. "Nggak. Bukan karena itu, justru karena aku mencintaimu hingga tak ingin memaksamu melakukan sesuatu
POV : RANIA Awan gelap menggantung di angkasa. Rintik hujan mulai membasahi bumi. Kini, langit tak lagi menampakkan sisi cerahnya. Mungkin sama gelapnya dengan perasaan Ummi kali ini. Dengan berurai air mata mau tak mau, rela tak rela harus melepas kepergian anak lelaki kesayangannya. "Jangan terlalu bersedih, Mi. Kalau ada waktu libur, Gaza pasti akan pulang. Atau kalau Umi terlalu rindu, datang saja menjenguk Gaza ke sana," pamit laki-laki itu dengan senyum tipis. "Umi pasti akan sangat merindukanmu, Za. Pasti." Perempuan tengah baya dengan jilbab lebarnya itu berulang kali menyeka kedua sudut matanya yang basah. Berulang kali pula dia memeluk anak laki-laki kesayangannya itu. "Makanya doakan Gaza biar lekas dapat calon istri, Mi. Biar nanti bisa di rumah terus menemani umi." "Iya. Umi selalu mendoakan kamu setiap waktu, Za." "Umi bilang mau menantu yang cantik, kan? Di sana pasti banyak calon menantu yang cantik seperti keinginan umi." Lagi, laki-laki itu mencoba untuk te
Flashback on (Pov : IBU) Sahabat adalah seseorang yang memahami seluk beluk kehidupan kita, baik suka maupun duka. Seperti air mata dengan telapak tangan, yang selalu setia bersama saat berada di titik kesedihan. Seperti teh dengan gula yang saling mengikat membuat kebersamaan terasa lebih manis dan hangat. Ah, entah. Yang pasti, persahabatanku dengan Nadia memang terjalin cukup lama dan erat. Tak pernah berselisih, bahkan semakin saling sayang dan penuh kasih. Tak hanya sekadar sahabat dekat, namun hubunganku dengannya bisa dibilang lebih dari itu. Seperti saudara sendiri. Apalagi aku yang memang tak punya saudara lagi semenjak kepergian kakak kandungku belasan tahun silam. Nadia, sudah kuanggap sahabat sekaligus kakakku sendiri. Aku tahu saat Nadia begitu terpuruk, pun saat dia sudah berada di pucuk. Dia tak pernah melupakan aku karena lagi-lagi dia sudah menganggapku bagian dari keluarga. Meski begitu, tak lantas aku terus ikut mencampuri kehidupan pribadinya, tetap ada cela
Pov : RANIA Dering ponsel terdengar begitu nyaring. Mas Azka mengambil ponsel itu dari atas meja lalu menatap layarnya dengan sedikit ternganga. "Siapa, Mas?" Aku ikut mengernyitkan dahi saat melihat ekspresi Mas Azka. "Ibu," jawabnya lirih sembari menempelkan telunjuk ke bibirnya. Aku hanya mengangguk pelan. "Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana kabarnya? Ibu sehat?" tanya Mas Azka memulai pembicaraan. "Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah sehat, Ka. Kamu sama Rania bagaimana? Sehat juga?" Suara ibu terdengar cukup keras sebab Mas Azka menyalakan loud speaker handphonenya. "Alhamdulillah kami sehat, Bu. Ini Rania juga belum tidur. Baru saja ngobrol ngalor-ngidul," ucap Mas Azka sembari tersenyum tipis. "Alhamulillah kalau begitu. Ibu boleh ngobrol sebentar dengan Rania?" tanya ibu kemudian. "Boleh dong, Bu. Masa mau ngobrol sama anak kesayangan nggak boleh," ucap Mas Azka lagi. Terdengar suara tawa renyah ibu dari seberang, pun Mas Azka. Dia berikan ponselnya ke tanganku lalu pami
Pov : Azka "Assalamu'alaikum." Aku dan Rania menyapa ummi yang masih sibuk merapikan pot-pot bunga hiasnya. "Wa'alaikumsalam." Ummi balik badan, seketika memeluk Rania begitu erat. Kedua matanya yang basah menandakan ada kekhawatiran dan rindu yang dia simpan cukup dalam. Rindu pada menantu kesayangannya. Aku dan Rania bergantian mencium punggung tangan ummi. Ummi menatap Rania cukup intens lalu tersenyum kecil. Senyum yang begitu menenangkan. "Gimana kabarmu, Rania? Baik-baik saja, kan? Ummi sangat mengkhawatirkanmu," ucapnya kemudian. Tangan kanan ummi mengusap pelan punggung Rania. Sementara padaku, ummi hanya melirik sekilas dengan ekspresi datar seperti biasanya. Setelah cuci tangan, Ummi mengajak kami masuk ke rumah. Seperti tamu yang begitu ditunggu, ummi meminta Rania duduk di sofa sebelahnya lalu menanyakan apa saja kegiatannya di kontrakan bersamaku. "Pagi-pagi Nia dan Mas Azka membuat sarapan, Mi. Membuat adonan martabak, sebelum ashar kami sudah sampai di tempa
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak