Saatnya untuk belajar agar menerima kenyataan bahwa Alya sudah tidak menerimaku lagi.
"Kok anak ibu, lemes gitu, tadi pagi sudah seperti orang kasmaran," ucap ibu menyambutku."Lapar, Bu. Ada sarapan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Ada, sudah Bik Inah siapkan," jawab ibu."Ada apa lagi?" tanya ibu yang masih penasaran."Gak ada, Bu. Dave akan ikhlas dengan semua yang Alya inginkan. Cinta memang tak harus memiliki, daripada Alya terus tersiksa denganku." Ibu hanya mengangguk tersenyum mendengar penjelasanku."Alya berhak bahagia dengan siapa yang dia inginkan, Bu," jelasku lagi. Walau rasa tida rela meihatnya sangat akrab denga Ilham."Anak ibu makin dewasa ternyata ...." Ibu mengacak-acak rambutku. Aku dibuat seperti anak kecil."Nanti malam Dave balik ke rumah, Bu. Kasihan sudah ditinggal dua hari.""Ibu ikut saja maumu, nak." Senyum ibu seperti tetesan air di ta"Aku tidak ingin bercerai, Al. Bisakah kamu cabut gugatan itu, Al?" dia memberontak kupeluk, tapi kutahan. Kali ini aku tak ingin lepas darinya. Aku memeluknya dengan tulus, memberikan atmosfer cinta bahwa yang kurasakan ini bukan main-main."Abang tau namanya sebuah kepercayaan? Ketika itu sirna maka tak ada lagi yang dapat diperjuangkan."Hening. Alya mulai mengeluarkan semua perasaannya. Aku sadar bahwa sebenarnya kami sama-sama terluka."Aku sadar aku salah, Al. Manusia yang banyak khilaf seperti aku ini harus banyak belajar." Aku semakin memeluknya erat."Nyatanya hatiku masih sakit, bang. Bagaimana cara abang menyembuhkan luka ini. Aku juga manusia biasa yang jika disakiti sulit untuk bangkit lagi."Aku terisak. Cara apalagi agar Alya kembali padaku. Dia masih belum membuka hati
Andai waktu bisa kuulang, aku akan menyayangimu sepenuh hati. Menjadikanmu ratu di hatiku karena darimu, aku belajar bahwa mencintai itu tanpa syarat. ~Dave***Aku masuk kantor dengan hati yang berbunga-bunga. Rasanya seperti muda kembali. Jatuh cinta yang tak biasanya. Andai saja Alya seperti wanita yang lainnya, merasa terenyuh jika didekati dengan penuh cinta seperti itu mungkin beda lagi ceritanya. Namun, sayangnya Alya tipe orang yang teguh dengan pendiriannya. Sekali terluka akan berbekas sampai nanti."Kelihatannya lebih segar, bro," sambut Fery di depan loby kantor."Biasa aja, bro," jawabku singkat. Sebenarnya sedikit kesal dengannya yang ternyata adalah temannya Alya ketika SD."Jangan kecut gitu, bro. Aku dan Alya baru menyadari kami ini satu SD dua hari sebelum kamu curhat." Dia tahu
"Kenapa abang panik seperti itu?" tanya Alya."Roy baru mengabari kemungkinan kamu bisa jadi tersangka, Al." Suaraku lemah, aku masih tidak percaya jika Alya yang jadi tersangkanya."Lalu?" tanyanya lagi.Aku hanya diam. Apalagi melihat kondisi Alya sudah babak belur begitu."Abang percaya?" Dia bertanya, aku hanya diam. Isi pikiranku sudah kemana-mana."Kelemahan abang terlalu cepat percaya dengan orang lain. Siapa pun yang ada di lokasi pasti akan dipanggil polisi, tapi yang jelas aku tidak membunuhnya," jawabnya dengan tenang."Sudah, Al. Ini antibiotiknya agar tidak terlalu nyeri," jelas dokter Nugroho. Mengapa aku tidak
"Baik, Pak. Saya akan membantu bapak dalam menangani kasus ini. Namun, sebelumnya saya mau bertanya sebelum saya ikut," ucapnya."Apa bu Alya?""Apa surat ini asli?" tanyanya lagi. Aduh mengapa aku jadi gemetar."Ini asli bu Alya.""Kalau menurut saya ini terlalu cepat untuk saya diberikan surat pemanggilan sebagai tersangka, sementara saya baru sampai rumah. Dan anehnya lagi media begitu cepat meliput berita ini. Para wartawan bisa mendekat agar ucapan saya bisa didengar." Ya Allah Alya, mengapa kamu begitu tenang "Saya bisa melaporkan balik terhadap media yang meliput wajah saya malam ini dengan pencemaran nama baik, aku akan menerima surat ini dan akan datang ke kantor kepolisian sebagai warga negara yang baik. Namun, ini sedikit aneh, keningku baru diperban, tanganku baru saja diobati oleh dokter, kalau pun aku jadi tersangka kenapa aku tidak melarikan diri malah justru pulang ke apartemen sendiri." Dua Poli
"Terima kasih kami ucapkan untuk Bu Alya yang telah memberikan barang bukti. Kami akan bertanggung jawab sepenuhnya atas berita yang tidak benar hari ini." Begitu ucapan salah satu dari polisi yang menemani Alya keluar.Pak Rahman dan beberapa pengacara kondang turut mendampingi Alya. Aku mundur satu langkah karena diantara mereka aku benar-benar merasa insecure. Kurasa Alya tidak lagi membutuhkanku."Kenapa mundur?" tanya dokter Nugroho."Aku sadar diri, sepertinya Alya tidak membutuhkanku lagi," jawabku singkat."Harusnya dari dulu pak Dave sadar," bisiknya lagi. Jujur aku sedih. Aku suami yang seperti tidak berguna. Semakin sedih lagi mendengar ucapan dokter Nugroho yang memang ada benarnya.Di tengah keramaian banyak orang, aku meninggalkan Alya tanpa pamitan. Mungkin saatnya aku
"Kenapa kamu diam, Dave? Apa kamu pikir Alya Adikku? Kamu salah besar Alya bukan adikku." Si Ilham memang pintar buat emosi.Aku menatap Alya penuh dengan permohonan. Berharap dia tetap mempertahankan pernikahan ini. Mencoba mengulang lagi dari awal."Pergilah Ilham, ini urusanku dengan suamiku." Dia ingin maju, tapi langsung mundur teratur mendengar Alya bicara demikian."Tapi, Al ....""Pergilah, Ilham! Ini urusanku dengan suamiku, kamu paham kan maksudku!" Alya berteriak membuat Ilham mundur teratur.Kini tinggal kami berdua."Adakah kesempatan itu, Al?" Pertanyaan yang selalu berulang-ulang walau menyakitkan, tapi harus aku pertegas lagi dan lagi."Mari kita berpisah saja, bang. Itu kurasa hal yang baik. Kit
POV AUTHORDave dan Alya cukup lama saling pandang hingga Dave undur diri. Alya pun kembali ke ruangannya untuk menangkan diri. Air matanya keluar tak bisa dibendung."Kenapa kamu bertahan dengan laki-laki seperti dia, Al? Dia tidak cocok denganmu," ucap dokter Nugroho yang datang ke kantor Alya. Dokter Nugroho adalah sepupu sekaligus ajudan Alya, sudah lama dia menyukai Alya, tapi Alya tidak membuka dirinya sama sekali. Alya salah satu orang yang selalu siap siaga membantu Nugroho hingga menjadi dokter. "Al, lupakan dia, laki cemen seperti dia tidak akan paham maksud dan tujuanmu." Alya hanya diam, jauh dilubuk hatinya dia ingin mempertahankan pernikahan ini. Sebagai seorang wanita tentunya dia tidak ingin pernikahannya kandas begitu saja, meski sakit hati dan kecewa sering dia rasakan."Percayalah, Al. Keputusanmu sudah benar." Dokter Nugroho menyakinkan Alya, dia tahu Alya sedang mengalami kebingungan dalam memutuskan pernikahannya ini.Di seberang sana Dave pulang merapikan semua
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah satu tahun di sini, di Negeri Singa. Singapura. Aku bahkan berusaha untuk melupakan semuanya dengan kerja pagi, siang dan malam. Namun, tetap saja wajahnya, suaranya dan semua tentangnya terus hadir tanpa bisa aku hentikan.Aku bekerja sebagai akuntan di salah satu perusahaan di sini atas rekomendasi teman kuliahku yang menetap di Singapura. Meski sudah bekerja begitu rajin, aku belum bisa melupakan satu nama yang membuat makan dan tidurku terganggu. Siapa lagi kalau bukan satu nama. Alya."Sampai kapan kamu begini terus, Dave?" tanya Faisal yang mengajakku ke sini. Dia sudah memiliki istri dan dua orang anak."Bayangan wajah bahkan segala hal yang pernah dia lakukan denganku terpampang jelas, Bro," jawabku."Meski kita pergi menjauh tetap saja belum bisa menghapus bayangannya," ucap Faisal men