Waktu terus berjalan, tak terasa sudah satu tahun di sini, di Negeri Singa. Singapura. Aku bahkan berusaha untuk melupakan semuanya dengan kerja pagi, siang dan malam. Namun, tetap saja wajahnya, suaranya dan semua tentangnya terus hadir tanpa bisa aku hentikan.Aku bekerja sebagai akuntan di salah satu perusahaan di sini atas rekomendasi teman kuliahku yang menetap di Singapura. Meski sudah bekerja begitu rajin, aku belum bisa melupakan satu nama yang membuat makan dan tidurku terganggu. Siapa lagi kalau bukan satu nama. Alya."Sampai kapan kamu begini terus, Dave?" tanya Faisal yang mengajakku ke sini. Dia sudah memiliki istri dan dua orang anak."Bayangan wajah bahkan segala hal yang pernah dia lakukan denganku terpampang jelas, Bro," jawabku."Meski kita pergi menjauh tetap saja belum bisa menghapus bayangannya," ucap Faisal men
Apakah dikesempatan kedua ini aku masih memiliki waktu denganmu. Berbagi apa yang aku rasakan saat ini. Merasakan cinta meski sebentar. Walau kutahu itu mungkin hanya mimpi bagiku. ~Dave Abimanyu***Wajah ibu langsung berubah bahagai melihat Alya yang masuk. Alya terkejut, tapi tidak menyapaku. Dia langsung mengangkat dan menyiapkan obat untuk ibu."Masih berputar-putar rasanya, Bu?" tanya Alya dengan lembut, aku mendadak diam melihat mereka peduli satu sama lain."Baru sampai, Bang?" tanyanya. Rasanya seperti mimpi dia menyapaku."Iya, Al." Aku sampai kehilangan kosakata.Bolehkah aku meminta dia menyapaku lagi. Rasanya ini mimpi, suara setahun yang membuat tidurku tidak nyenyak ada di depanku.Alya memberi obat dan kembali menidurkan ibu lagi."Jangan banyak pikiran, Bu. Anak kesayangannya ibu sudah pulang," ucap Alya lembut sambil membelai tangan ibu. Aku mendadak diam seperti patung. Mendadak bisu melihat Alya seperti anak kandung ibu. Efek obat yang diminum, ibu tertidur pula
Pulang dari masjid ibu sudah bangun, wajahnya lebih segar mungkin efek obat yang diminum."Ibu ...." Aku mencium tangannya berkali-kali. Kali ini lebih terasa karena ibu lebih terlihat segar."Dave ...." Ibu terisak memelukku."Maafkan Dave, Bu." Ibu menggeleng. Kami menangis tersedu-sedu."Yang penting kamu sehat, Nak," ucap Ibu memelukku dengan erat."Alya mana? Apa Alya belum datang?" tanyanya. Maksud ibu?"Iya, Bu. Kan sudah ada Dave," jawabku. Namun, ibu menggeleng."Ibu maunya ada Alya di sini," balas ibu.Sekarang aku yang bingung mau jawab apa."Nanti Dave panggil Alya, ya," jawabku. Kenapa ibu sangat manja pada Alya."Hanya dia yang paham takaran makan minum ibu," ucap ibu.Aku semakin bingung dengan kondisi ibu. Apa selama ini Alya selalu dat
Kamu tahu hal yang membuatmu dijauhi orang lain adalah kamu tidak bisa mengontrol ucapanmu, membiarkan setiap bait yang keluar dari mulutmu adalah bahwa apa yang kamu ucapkan semuanya benar, tanpa kamu sadari bahwa itu bisa melukai orang lain. ~Alya_Putri ***"Abang kira mudah menjadi aku?" Alya mulai membuka suaranya."Abang bahkan tahu prinsipku, jika harga diriku terluka dan ideologi tidak sama denganmu, maka jangan salahkan aku jika aku pergi meninggalkanmu." "Abang kira mudah begitu saja bagiku memaafkan, ha? Kurasa orang yang paling egois di sini itu adalah abang." "Menghilang, tapi memberi harapan." Lagi, dia menekan suaranya membuatku semakin bersalah.Kubiarkan dia mengeluarkan segala yang ada di hatinya, mungkin itu membuatnya lebih tenang. Cukup lama kami saling menatap, meski titik-titik air itu terus turun tanpa diminta. Aku bahkan menghapus air yang terus turun dari matanya. "Maafkan aku, Al.""Aku benci, Abang. Sangat benci!" teriaknya sambil menangis dan memukulku.
Terbuat dari apa hatimu yang begitu tenang, setenang air. _Dave"Tenanglah, do'a anak yang soleh itu sampai ke langit ketujuh," ucap Alya menasehatiku. Dia begitu tenang, sementara aku jangan ditanya debaran di dada ini."Ibu sakit sejak enam bulan yang lalu, beberapa kali ibu mengeluhkan kepalanya yang sakit." Alya menceritakanku dengan suara yang begitu tenang."Setelah diperiksa beliau hipertensi dan gula darahnya juga tinggi.""Tapi mengapa kalian tidak mengabariku?""Ibu yang minta, sebagian dari pikiran orang tua selalu tentang kenyamanan anaknya, meskipun mengabaikan diri sendiri. Ibu kulihat seperti itu, beda dari orang tua yang lainnya yang kadang egoisnya lebih tinggi, " sambung Alya. Seperti pukulan telak bagiku yang menelantarkan ibu."Sifat
"Jangan siksa dirimu, Nak. Jika kamu tidak sanggup melanjutkan pernikahan dengan Dave, ibu terima apa pun keputusanmu," balas ibu."Iya, Bu. Istirahatlah," balas Alya sopan. Tidak mengiyakan atau menolak ucapan ibu, dia hanya membalas dengan senyuman.Aku benar-benar merasa tidak percaya diri. Sejauh apa pun aku melangkah dan kembali, tidak ada yang bisa memaksa keadaan. Begitu pun dengan Alya, dia berhak bahagia dengan siapa pun yang dia mau.Aku mundur teratur membiarkan ibu dengan Alya. Aku memang anak yang tidak berguna membiarkan ibu lebih merasa nyaman dengan Alya, dibandingkan dengan aku, anaknya.Ibu bahkan lebih fokus dengan Alya tanpa melihatku di sampingnya. Tangan Alya terus dipegang. Orang akan memperlakukanmu seperti caramu memperlakukannya. Ibu lebih nyaman dengan Alya, mengajaknya bicara dari hati ke hati.
Aku selalu berharap ada ruang untuk kita bisa bersama, merangkai rindu yang pernah hilang. Merangkai banyak cerita yang pernah sulit kita lalui, meski aku sadar diri untuk tidak berharap lebih dari dirimu. ~Dave_Abimanyu****"Kenapa senyum-senyum gitu, Bang?" tanya Alya."Aku bahagia, Al. Cinta yang kurasakan berbalas." Dia tersenyum, andai aku serakah mungkin aku langsung memeluknya. Namun, aku sadar diri bahwa luka yang kutoreh tidak sedikit. Harus diobati perlahan-lahan. "Ayo kita masuk, Bang. Angin malam tidak terlalu baik," ajak Alya. Aku hanya membalas dengan anggukan meski rasa canggung ini jangan ditanya.Aku memilih tidur di luar dengan pak Sahmat sementara Alya bersama bik Inah ada di dalam."Kenapa senyum-senyum gitu mas Dave. Ciyee, ada yang CLBK," kata pak Sahmat meledekku. Ada-ada aja pak Sahmat."Tipis harapan pak Mat," balasku. Meski begitu aku bahagia karena kami saling mencintai. Rasanya seperti jatuh cinta lagi seperti anak muda."Harapan itu selalu ada selagi ki
Cukup lama aku memeluknya, merasakan cinta yang terus bersemi dan bermekar di hati ini. Cinta ini terus tumbuh tanpa bisa kutahan. "Bang, kapan selesainya kalau dipeluk terus?" tanya Alya menyadarkanku. Duh, sekarang terasa malunya. Aku membenci diriku yang mengatakan bahwa dia layak bahagia dengan yang lainnya, padahal aku sendiri begitu terluka. Lidah memang tak bertulang, gampang berucap sulit untuk dilakukan."Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutku.Alya hanya membalas dengan senyuman. Dengan telaten dia menyiapkan sarapan untukku. Makanan yang disajikan simpel, tapi rasanya begitu enak di lidah. Namun, entah mengapa aku tak tertarik kali ini. Pikiranku isinya hanya Ilham dan Alya. Apa Ilham akan tetap berjuang atau sebaliknya. Aku membenci segala prasangka ini. "Makan yang banyak, ibu sedang sakit jangan sampai kita lemah," jelasnya.Benar, harusnya kata-kata itu diucapkan oleh suami. Namun, ini justru sebaliknya. Aku akui, aku memang lemah. "Terima kasih, Al." Aku menyan