"Setelah menikah, Ra. Setelah menikah baru bisa melakukan itu."
Darius memegang wajah Aurora. Gadis itu mengerucutkan bibir tanda kecewa.
Aurora benar-benar tidak tahu. Atau memang benar-benar sableng. Kok bisa-bisanya dia seperti kecewa begitu.
Bibirnya monyong seperti itu, kan membuat Darius ingin mencicipinya. Tapi lagi-lagi sikap dewasa Darius menyadarkan. Darius belum benar-benar brengsek untuk melakukan hal itu dengan gadis yang baru ditemuinya selama beberapa jam.
**
Darius menatap langit-langit kamar. Akhirnya dia benar-benar bisa menghindari godaan iman dari Aurora dan menyuruh gadis itu segera tidur.
Namun nyatanya, sekarang Darius lah yang justru tidak bisa tidur karena terbayang-bayang kebersamaan singkatnya tadi bersama Aurora.
Sial, bertemu dengan Aurora mungkin adalah hal sial paling menyenangkan. Sial karena gadis itu terus-terusan memancingnya. Tapi Darius tidak mau berbuat sesuatu yang tidak benar.
Menyenangkan, karena baru beberapa jam saja bertemu dengan Aurora. Darius sudah menikmati hidup yang beraneka rasa.
Di kamar sebelahnya, Darius sadar betul ada Aurora yang mungkin sudah tertidur pulas.
Sekarang Darius membayangkan. Andai tiba-tiba saja Aurora masuk ke dalam kamarnya. Lalu memancingnya seperti tadi. Apakah Darius bisa menghindari lagi. Mengingat untuk kali ini tempatnya sangat pas dan Darius memang sedang terbayang-bayang. Memikirkan itu Darius jadi malu sendiri.
Memikirkan setan kecil. Setan kecil pun datang.
Tok ... Tok ... Tok ...
Tiba-tiba pintu kamar Darius diketuk. Dan tidak perlu menunggu Darius menjawab. Sekarang pintu itu sudah terbuka.
Aurora muncul dengan kemeja putih kedodoran milik Darius yang sedang dipakainya tadi.
"Om," panggil Aurora.
"Ra, kamu ngapain ke sini. Udah malam ini. Sana kamu tidur di kamarmu."
Darius terkejut. Tidak menyangka jika tiba-tiba pikirannya menjadi kenyataan. Gadis bernama Aurora ini benar-benar tidak bisa disangka-sangka.
"Aku takut tidur sendiri, Om."
Aurora berjalan mendekat, masuk ke dalam bad cover dan langsung berbaring di samping Darius. Memeluk pria itu dengan erat.
"Ra, kamu gila. Sana pergi. Jangan di sini. Berbahaya."
'Berbahaya, Ra. Saya takut nggak bisa berpikir jernih kalau terus-terusan dipancing begini,' batin Darius.
"Ihh ... apaan sih, Om. Dari tadi terus bilang ini berbahaya itu berbahaya. Memangnya kita lagi melakukan apa. Pedang-pedangan. Orang kita cuma berbaring begini. Aku cuma peluk Om Darius. Aku tuh takut Om tidur sendirian."
Aurora tidak bergeming. Ia justru mengeratkan pelukannya. Darius yang dipeluk jadi gelabakan sendiri. Disentuh tanpa peringatan begitu membuat darahnya mendesir tiba-tiba.
"Lah memangnya kalau di rumah kamu dikelonin Ayah kamu. Kok bisa takut tidur sendirian."
Darius mencoba membantah. Darius takut tapi ini juga menyenangkan.
"Ya enggak, Om. Tapi kan kalau di rumah itu rumahku. Kalau di sini kan tempat baru bagiku. Jadi aku takut. Imajinasiku tinggi, Om. Nanti kalau pas aku tidur tiba-tiba ada yang grayangin aku gimana?"
"Hehh ... mana ada. Sekarang yang ada justru kamu yang grayangin saya, Ra." Bantah Darius mencoba menahan keinginan syaraf-syaraf yang meremang dahsyat.
"Ehh ... masak sih. Aku kan cuma peluk doang. Bukan grayang-grayang. Lagian meluk pacar sendiri masak nggak boleh. Udah ya diem. Om Darius udah setuju jadi pacar aku jadi sekarang manut aku mau apain juga. Punya pacar itu harus disenengin Om pacarnya."
"Aduhh ... kamu itu gila. Tapi nggak gini caranya, Ra. Kamu itu mancing-mancing."
"Mancing apa sih, Om. Orang aku cuma pelukin doang. Kalo mancing-mancing tuh kayak gini nih."
Tiba-tiba saja tangan Aurora melesat memegang senjata Darius yang belum pernah difungsikan itu.
"Aduhh ... burung kutilangku. Kenapa kamu pegang, Ra. Jangan dipegang!!"
"Eehhh ... jadi ini to namanya burung kutilang. Aku baru tau, Om. Ternyata bentukannya kenyal."
"Aduhh ... Ra, Ra, lepas. Saya bilang jangan dipegang. Kamu malah tambah ditekan-tekan."
Darius jadi belingsatan sendiri. Setelah dianggurkan selama tiga puluh delapan tahun. Malam ini tanpa rencana, burung kutilang Darius terus-terusan dipancing untuk bisa berfungsi semestinya.
"Lohh ... saya kan cuma mau tau burung kutilang, Om. Kirain burung kutilang itu yang hinggap di pohon-pohon. Ternyata ini to. Eh Om, Om. Kok sekarang jadi keras gitu. Enakan pas keras Om dipegangnya."
"Aduhh Raaa ... lepas. Kok malah kamu mainin."
"Kenapa, Om. Sakit ya??" Aurora sok polos. Sok tidak tahu tapi dia terus memainkan burung kutilang Darius dari luar celana boxer.
"Ya enggak. Enak Raa ... bukan sakit."
"Oh ... enak. Hehehe ... bagus dong."
Aurora masih tidak berhenti. Gadis itu justru memeta pada bagian-bagian lain. Seperti pada telur burung kutilang itu. Darius panas dingin. Darahnya mendesir. Akal sehatnya mulai tidak berfungsi beralih menjadi panas tubuh yang ingin segera dituntaskan.
"Ra, saya sebenarnya nggak mau melakukan ini. Tapi dari tadi kamu terus yang mancing-mancing saya. Sekarang saya nggak bisa tahan lagi."
"Maksudnya, Om?"
"Kamu mau tau burung kutilang kan? Sekarang saya kasih tau kamu burung kutilang itu lengkap."
Hmm ... sekarang kenak kau. Batin Darius lega. Tidak mungkin kan Aurora benar-benar tidak tahu kalau burung kutilang itu yang memang ada di pohon-pohon. Bukan yang ada di dalam celananya. Itu tadi kan cuma sebutan. Masak iya langsung disebut namanya gitu. Sarkas sekali.
Darius memegang tangan Aurora. Mengarahkannya masuk ke dalam boxer celananya sendiri.
Emhhh ... Darius menghela nafas besar saat tangan Aurora memegang secara langsung burung kutilang miliknya. Sedang mata Aurora membulat sempurna setelah memegang burung kutilang Darius.
"Kenapa mata kamu begitu?" tanya Darius berusaha menahan tawa melihat reaksi wajah Aurora.
"Ternyata burung kutilang itu nggak berbulu."
Darius menutup mata kaget mendengar kalimat pertama Aurora. Dia pikir gadis ini akan takut atau menyesal tapi sepertinya sama sekali tidak. Sekarang Aurora malah seperti mempelajari.
"Om, teksturnya seperti pentol bakso berotot yaa. Tapi ini bentuknya lonjong bukan bulat. Tapi kerasan ini, Om. Enak Om ditangan. Anget. Hehehe. Ini kalau digigit gimana rasanya ya. Sama kayak makan bakso nggak itu ya."
Darius kepanasan sendiri. Aurora memegang burung kutilangnya naik turun. Terus gadis itu juga penasaran gimana rasanya kalau digigit. Membuat Darius tidak bisa berpikir lagi. Kalau mau tahu, coba dimakan aja.
"Ra, kamu mau tau rasanya?"
"Iya, Om."
"Oke. Saya kasih tau kamu rasanya sekarang."
Darius sudah tidak sungkan. Rasa panas yang merebas-rebas ingin ia ikuti sampai tuntas. Darius yang berbaring di samping Aurora mulai bergerak ingin menindih tubuh gadis itu untuk memulai semua.
Bug. Tiba-tiba Darius terjatuh dari tempat tidur. Ia membuka mata dan melihat ke sekeliling dengan bingung. Ia lihat di atas tempat tidur. Tidak ada Aurora di sana. Ternyata semuanya cuma mimpi.
Yahh ... Darius. Sok-sokan nolak pancingan Aurora. Nyatanya dia yang ke bawa sampai mimpi juga.
Darius tersenyum malu. Bisa-bisanya dia mimpi seperti itu dengan gadis yang baru saja ia temui selama beberapa jam. Bangkit dari posisi jatuh, Darius langsung bergegas menuju kamar mandi. Hari sudah siang. Mungkin Aurora juga sudah bangun dan mulai menyiapkan sarapan untuk mereka.
Darius sudah selesai mandi. Ia ke luar dari kamar dan langsung menuju dapur. Barangkali jika di sana ada Aurora, ia akan ikut membantu gadis itu memasak. Tadi malam saat Aurora meminta sabun dan shampo, Darius sekalian membeli bahan-bahan makanan untuk memasak pagi ini.Sesampainya di dapur, tidak ada siapa pun di sana. Darius terkekeh sendiri, berpikir apa dia. Aurora jelas nona besar di rumahnya. Bagaimana gadis itu akan memasak. Lihat saja dari caranya meminta sabun dan shampo semalam. Pasti harus dituruti. Dan jangan lupakan lilin wangi. Itu jelas menggambarkan bagaimana hidup Aurora di rumahnya.Okey, apakah sekarang Darius pula yang akan menyiapkan sarapan untuk Aurora. Hmm ... baiklah. Anggap saja sedang menyiapkan makanan untuk calon istri. Ehh ... calon anak. Ahh ... entahlah.Sayur kembang kol, jagung muda, wortel, dada ayam. Semua sudah tersedia di atas meja. Darius mulai memasak. Darius sudah terbiasa masak sendiri seperti ini. Dahulu dia bukan pria kaya seperti sekarang.
"Sini!! Siniin bibirnya!!! Nih ... aku buktiin kalo mulutku nggak bau iler. Enak aja bilang ilerku mengalir sampe jauh. Dikira mulut aku sungai Nil. Kalo emang aku bau iler. Siniiii!!!!! Kesiniin mulutnya!!! Biar Om kenak iler aku juga.""Wkwkwkw ... iya iya. Ampun. Saya cuma becanda, Ra." Darius terkekeh sembari terus menghindari cengkraman tangan Aurora pada wajahnya.Jika sampai Aurora berhasil memegang wajah Darius. Sudah pasti bibir gadis itu akan dengan mudah landing pada bibir Darius.Bukan Darius tak suka. Siapa orang bodoh yang menolak hal seperti itu dari gadis secantik Auora. Tapi Darius tak mau mencoba. Takut jika dia tahu rasa awalnya maka Darius akan terus melakukan sampai akhirnya. Namun, semakin Darius menghindar. Semakin Auora berniat untuk mendapatkan wajah pria itu."Diemm!!! Om, diem!!! Diem aku bilang!!! Jangan gerak!!!"Aurora terus memaksa. Ia memegang leher Darius, mengapit tubuh Darius dengan kakinya agar pria itu tidak bisa melarikan diri."Ra, lepasin!! Kamu
"Gimana-gimana itu tadi? Coba ulangi!!" ucap Darius. Mungkin dia salah dengar. Darius tidak percaya pada pendengarannya sendiri."Pake celana dalam Om kayak gini, aku ngerasa kayak burung kutilangnya Om Darius menyatu dengan sarangnya. Wkwkwk ..." Aurora menurut begitu saja. Ia mengulangi ucapannya dan diakhiri dengan tertawa sendiri.Darius yang mendengarnya dua kali masih terheran-heran. Bagaimana bisa ada anak gadis seperti ini. Apa anak ini benar-benar polos? Atau justru sebenarnya Aurora tahu banyak hal tentang wilayah dewasa itu dan bersikap sok polos."Masak ya berasa gitu, Ra. Burung kutilang saya masih nyaman bertengger dengan santai di tempatnya lo, Ra."'Sekarang kamu gitu malah dia jadi nggak nyaman bertenggernya. Gerak aja kayak pengen lepas,' batin Darius. Dia geleng-geleng kepala heran mendengar ucapan Aurora."Pikiranku, Om. Pikirannya yang kayak gitu. Berasa punya Om ada di sana juga berdampingan dengan punya aku. Wkwkwk ...."Bukannya berhenti. Aurora malah terus saj
"Yeayy ... asikkk ... beli bajuuu ..." Aurora berlari dan berteriak kegirangan masuk ke dalam mall."Kayak orang dusun yang nggak pernah beli baju di mall aja kamu, Ra." Ejek Darius tertawa melihat tingkah Aurora seperti anak kecil."Biarin. Emang udah lama banget aku nggak ngemall. Ada semingguan."Hadee ... iya sih. Lupa kalau nona besar. Semingguan baginya begitu lama."Yaudah sekarang pilih mau baju yang mana. Sekalian cari buat satu minggu. Habis itu kita pulang.""Oke, Om."Sebenarnya dari pada seperti sugar daddy yang pacaran dengan sugar baby. Darius lebih merasa seperti tiba-tiba memungut anak angkat yang nemu di jalanan. Darius mengasuh dan menuruti semua keinginan Aurora tapi anehnya dia merasa senang.Di dalam mall, Aurora bertingkah seperti anak kecil. Ia meminta dibelikan apa pun yang dia lihat. Es krim, cemilan, jepit rambut, alat make up. Darius membelikan semua yang Aurora mau. Mengikuti gadis itu ke mana pun berjalan sembari memakan sosis jumbo dan es krim. Makanan a
"Loh, Ra. Kamu ngomong apa?" Darius terkejut Aurora tidak mengakuinya."Enggak, Pak. Enggak. Dia berbohong. Saya ini_ saya ini pacar dia," lanjut Darius menjelaskan.Security yang mendengar penjelasan Darius menatap Darius aneh. Tentu saja Security ini tidak percaya, Darius dan Aurora lebih mirip ayah dan anak dari pada seperti sepasang kekasih."Wah, Pak. Anda ini keterlaluan. Saya mengerti daun muda itu lebih menarik. Tapi jangan seperti itu juga. Kan kasihan adek ini kalau anda berbicara seperti itu. Lagian nggak malu sama umur, Pak. Adek ini lebih cocok jadi anak Bapak."Darius membuang muka. Bingung bagaimana lagi harus menjelaskan. Karena memang seperti itu lah kenyataannya. Di sisi lain, Aurora ingin tertawa melihat reaksi Security ini."Ya saya tau. Tapi memang dia pacar saya. Dia datang ke sini bareng saya. Dia bahkan pakai uang saya seratus juta buat belanja." Darius menuding pada tas belanjaan Aurora yang tergeletak di lantai."Pak, Anda jangan mengada-ada. Kalau gadis ini
Aurora mengambil satu helai roti. Ia tambahkan selai lalu berjalan menuju sofa. Mengambil gagang telpon, Aurora menelfon Darius.Darius baru saja berangkat. Belum setengah jalan pria itu pergi menuju tempat kerjanya. Ponselnya berbunyi, Darius langsung mengangkat panggilan telfon itu."Halo. Apa, Ra?" ucap Darius. Pria itu sudah tahu jika yang menelfon adalah Aurora karena nomor yang tertera adalah nomor rumahnya sendiri."Aku nelfon, Om." Jawab Aurora singkat."Ya saya tau kamu nelfon, Ra. Lah ini saya lagi bicara sama kamu. Kamu gimana sih. Ada apa?" tanya Darius. Belum lama ia pergi, tapi Aurora sudah menghubunginya saja. Apakah terjadi sesuatu?"Ishh ... judes amat. Jangan judes-judes Om ntar cepet laper loo ...."Hmmhhh ... di dalam mobil Darius menghela nafas besar. Ia menyiapkan kesabaran ekstra untuk menghadapi obrolan dengan Aurora."Yaa Raaa ... ada apa?" tanya Darius berbicara dengan nada lebih lembut."Hehehe ... gitu dong. Nggak ada, Om. Cuma pengen denger suara Om Darius
Sudah beberapa hari Aurora tinggal di rumah Darius. Gadis itu begitu menikmati meskipun ia mulai bosan karena tidak melakukan apa pun.Darius sudah berangkat kerja 1 jam lalu. Sekarang Aurora mulai bingung harus melakukan apa. Ternyata jika tidak sekolah. Aurora tidak mempunyai kegiatan apa pun. Tapi jika dia berangkat ke kampus, Ayah Aurora pasti akan mencarinya di sana.Aurora duduk bersandar dengan malas di atas sofa depan televisi. Ia terus memencet remote televisi itu mencari tayangan televisi yang mungkin cocok untuk dia lihat."Aaaa ... boring banget. Ya ampun, enaknya ngapain ini akuuu ..." Aurora mengeluh seolah kegiatannya itu begitu berat.Gadis itu mengangkat gagang telepon hendak menghubungi Darius. Namun ia urungkan karena baru beberapa saat lalu dia sudah menghubungi sugar daddynya itu. Aurora tidak mau terus-menerus mengganggu Darius bekerja. Ternyata Aurora sadar juga jika kelakuannya itu mengganggu Darius.Terus memencet remote televisi. Aurora mendapati sebuah tayan
Saat pulang ke arah rumah Darius berpikir. Mungkin nanti saat sampai rumah ia akan lelah karena harus menyiapkan kebutuhan Aurora.Namun begitu sampai rumah, melihat Aurora justru menyambutnya layaknya seorang istri. Darius justru berpikir bahwa ada Aurora di rumah tidak buruk juga.Apalagi ia melihat rumah begitu rapi dan bersih. Padahal tadi sepanjang perjalanan Darius sudah mengira bahwa rumah akan berantakan karena tingkah Aurora.Selesai mandi Darius mengenakan kaos putih dan boxer hitam. Lalu duduk di sofa depan televisi untuk bersantai. Aurora yang sudah lebih dulu ada di sana. Terus melihat Darius dengan wajah sok imut dan lucu. Senyuman memabukkan juga terus dipasang oleh gadis itu."Kenapa kamu senyum-senyum gitu, Ra? Udah gila beneran." Tanya Darius heran melihat tingkah Aurora.Mendengar ucapan Darius. Senyuman Aurora yang semula manis dan berseri. Berubah menjadi bibir mengerucut maju 5 cm."Ishh ... Om ini. Aku tahu Om udah menuju tua jadi mulai suka lupa. Kan kemarin Om
Saat pulang ke arah rumah Darius berpikir. Mungkin nanti saat sampai rumah ia akan lelah karena harus menyiapkan kebutuhan Aurora.Namun begitu sampai rumah, melihat Aurora justru menyambutnya layaknya seorang istri. Darius justru berpikir bahwa ada Aurora di rumah tidak buruk juga.Apalagi ia melihat rumah begitu rapi dan bersih. Padahal tadi sepanjang perjalanan Darius sudah mengira bahwa rumah akan berantakan karena tingkah Aurora.Selesai mandi Darius mengenakan kaos putih dan boxer hitam. Lalu duduk di sofa depan televisi untuk bersantai. Aurora yang sudah lebih dulu ada di sana. Terus melihat Darius dengan wajah sok imut dan lucu. Senyuman memabukkan juga terus dipasang oleh gadis itu."Kenapa kamu senyum-senyum gitu, Ra? Udah gila beneran." Tanya Darius heran melihat tingkah Aurora.Mendengar ucapan Darius. Senyuman Aurora yang semula manis dan berseri. Berubah menjadi bibir mengerucut maju 5 cm."Ishh ... Om ini. Aku tahu Om udah menuju tua jadi mulai suka lupa. Kan kemarin Om
Sudah beberapa hari Aurora tinggal di rumah Darius. Gadis itu begitu menikmati meskipun ia mulai bosan karena tidak melakukan apa pun.Darius sudah berangkat kerja 1 jam lalu. Sekarang Aurora mulai bingung harus melakukan apa. Ternyata jika tidak sekolah. Aurora tidak mempunyai kegiatan apa pun. Tapi jika dia berangkat ke kampus, Ayah Aurora pasti akan mencarinya di sana.Aurora duduk bersandar dengan malas di atas sofa depan televisi. Ia terus memencet remote televisi itu mencari tayangan televisi yang mungkin cocok untuk dia lihat."Aaaa ... boring banget. Ya ampun, enaknya ngapain ini akuuu ..." Aurora mengeluh seolah kegiatannya itu begitu berat.Gadis itu mengangkat gagang telepon hendak menghubungi Darius. Namun ia urungkan karena baru beberapa saat lalu dia sudah menghubungi sugar daddynya itu. Aurora tidak mau terus-menerus mengganggu Darius bekerja. Ternyata Aurora sadar juga jika kelakuannya itu mengganggu Darius.Terus memencet remote televisi. Aurora mendapati sebuah tayan
Aurora mengambil satu helai roti. Ia tambahkan selai lalu berjalan menuju sofa. Mengambil gagang telpon, Aurora menelfon Darius.Darius baru saja berangkat. Belum setengah jalan pria itu pergi menuju tempat kerjanya. Ponselnya berbunyi, Darius langsung mengangkat panggilan telfon itu."Halo. Apa, Ra?" ucap Darius. Pria itu sudah tahu jika yang menelfon adalah Aurora karena nomor yang tertera adalah nomor rumahnya sendiri."Aku nelfon, Om." Jawab Aurora singkat."Ya saya tau kamu nelfon, Ra. Lah ini saya lagi bicara sama kamu. Kamu gimana sih. Ada apa?" tanya Darius. Belum lama ia pergi, tapi Aurora sudah menghubunginya saja. Apakah terjadi sesuatu?"Ishh ... judes amat. Jangan judes-judes Om ntar cepet laper loo ...."Hmmhhh ... di dalam mobil Darius menghela nafas besar. Ia menyiapkan kesabaran ekstra untuk menghadapi obrolan dengan Aurora."Yaa Raaa ... ada apa?" tanya Darius berbicara dengan nada lebih lembut."Hehehe ... gitu dong. Nggak ada, Om. Cuma pengen denger suara Om Darius
"Loh, Ra. Kamu ngomong apa?" Darius terkejut Aurora tidak mengakuinya."Enggak, Pak. Enggak. Dia berbohong. Saya ini_ saya ini pacar dia," lanjut Darius menjelaskan.Security yang mendengar penjelasan Darius menatap Darius aneh. Tentu saja Security ini tidak percaya, Darius dan Aurora lebih mirip ayah dan anak dari pada seperti sepasang kekasih."Wah, Pak. Anda ini keterlaluan. Saya mengerti daun muda itu lebih menarik. Tapi jangan seperti itu juga. Kan kasihan adek ini kalau anda berbicara seperti itu. Lagian nggak malu sama umur, Pak. Adek ini lebih cocok jadi anak Bapak."Darius membuang muka. Bingung bagaimana lagi harus menjelaskan. Karena memang seperti itu lah kenyataannya. Di sisi lain, Aurora ingin tertawa melihat reaksi Security ini."Ya saya tau. Tapi memang dia pacar saya. Dia datang ke sini bareng saya. Dia bahkan pakai uang saya seratus juta buat belanja." Darius menuding pada tas belanjaan Aurora yang tergeletak di lantai."Pak, Anda jangan mengada-ada. Kalau gadis ini
"Yeayy ... asikkk ... beli bajuuu ..." Aurora berlari dan berteriak kegirangan masuk ke dalam mall."Kayak orang dusun yang nggak pernah beli baju di mall aja kamu, Ra." Ejek Darius tertawa melihat tingkah Aurora seperti anak kecil."Biarin. Emang udah lama banget aku nggak ngemall. Ada semingguan."Hadee ... iya sih. Lupa kalau nona besar. Semingguan baginya begitu lama."Yaudah sekarang pilih mau baju yang mana. Sekalian cari buat satu minggu. Habis itu kita pulang.""Oke, Om."Sebenarnya dari pada seperti sugar daddy yang pacaran dengan sugar baby. Darius lebih merasa seperti tiba-tiba memungut anak angkat yang nemu di jalanan. Darius mengasuh dan menuruti semua keinginan Aurora tapi anehnya dia merasa senang.Di dalam mall, Aurora bertingkah seperti anak kecil. Ia meminta dibelikan apa pun yang dia lihat. Es krim, cemilan, jepit rambut, alat make up. Darius membelikan semua yang Aurora mau. Mengikuti gadis itu ke mana pun berjalan sembari memakan sosis jumbo dan es krim. Makanan a
"Gimana-gimana itu tadi? Coba ulangi!!" ucap Darius. Mungkin dia salah dengar. Darius tidak percaya pada pendengarannya sendiri."Pake celana dalam Om kayak gini, aku ngerasa kayak burung kutilangnya Om Darius menyatu dengan sarangnya. Wkwkwk ..." Aurora menurut begitu saja. Ia mengulangi ucapannya dan diakhiri dengan tertawa sendiri.Darius yang mendengarnya dua kali masih terheran-heran. Bagaimana bisa ada anak gadis seperti ini. Apa anak ini benar-benar polos? Atau justru sebenarnya Aurora tahu banyak hal tentang wilayah dewasa itu dan bersikap sok polos."Masak ya berasa gitu, Ra. Burung kutilang saya masih nyaman bertengger dengan santai di tempatnya lo, Ra."'Sekarang kamu gitu malah dia jadi nggak nyaman bertenggernya. Gerak aja kayak pengen lepas,' batin Darius. Dia geleng-geleng kepala heran mendengar ucapan Aurora."Pikiranku, Om. Pikirannya yang kayak gitu. Berasa punya Om ada di sana juga berdampingan dengan punya aku. Wkwkwk ...."Bukannya berhenti. Aurora malah terus saj
"Sini!! Siniin bibirnya!!! Nih ... aku buktiin kalo mulutku nggak bau iler. Enak aja bilang ilerku mengalir sampe jauh. Dikira mulut aku sungai Nil. Kalo emang aku bau iler. Siniiii!!!!! Kesiniin mulutnya!!! Biar Om kenak iler aku juga.""Wkwkwkw ... iya iya. Ampun. Saya cuma becanda, Ra." Darius terkekeh sembari terus menghindari cengkraman tangan Aurora pada wajahnya.Jika sampai Aurora berhasil memegang wajah Darius. Sudah pasti bibir gadis itu akan dengan mudah landing pada bibir Darius.Bukan Darius tak suka. Siapa orang bodoh yang menolak hal seperti itu dari gadis secantik Auora. Tapi Darius tak mau mencoba. Takut jika dia tahu rasa awalnya maka Darius akan terus melakukan sampai akhirnya. Namun, semakin Darius menghindar. Semakin Auora berniat untuk mendapatkan wajah pria itu."Diemm!!! Om, diem!!! Diem aku bilang!!! Jangan gerak!!!"Aurora terus memaksa. Ia memegang leher Darius, mengapit tubuh Darius dengan kakinya agar pria itu tidak bisa melarikan diri."Ra, lepasin!! Kamu
Darius sudah selesai mandi. Ia ke luar dari kamar dan langsung menuju dapur. Barangkali jika di sana ada Aurora, ia akan ikut membantu gadis itu memasak. Tadi malam saat Aurora meminta sabun dan shampo, Darius sekalian membeli bahan-bahan makanan untuk memasak pagi ini.Sesampainya di dapur, tidak ada siapa pun di sana. Darius terkekeh sendiri, berpikir apa dia. Aurora jelas nona besar di rumahnya. Bagaimana gadis itu akan memasak. Lihat saja dari caranya meminta sabun dan shampo semalam. Pasti harus dituruti. Dan jangan lupakan lilin wangi. Itu jelas menggambarkan bagaimana hidup Aurora di rumahnya.Okey, apakah sekarang Darius pula yang akan menyiapkan sarapan untuk Aurora. Hmm ... baiklah. Anggap saja sedang menyiapkan makanan untuk calon istri. Ehh ... calon anak. Ahh ... entahlah.Sayur kembang kol, jagung muda, wortel, dada ayam. Semua sudah tersedia di atas meja. Darius mulai memasak. Darius sudah terbiasa masak sendiri seperti ini. Dahulu dia bukan pria kaya seperti sekarang.
"Setelah menikah, Ra. Setelah menikah baru bisa melakukan itu."Darius memegang wajah Aurora. Gadis itu mengerucutkan bibir tanda kecewa.Aurora benar-benar tidak tahu. Atau memang benar-benar sableng. Kok bisa-bisanya dia seperti kecewa begitu.Bibirnya monyong seperti itu, kan membuat Darius ingin mencicipinya. Tapi lagi-lagi sikap dewasa Darius menyadarkan. Darius belum benar-benar brengsek untuk melakukan hal itu dengan gadis yang baru ditemuinya selama beberapa jam.**Darius menatap langit-langit kamar. Akhirnya dia benar-benar bisa menghindari godaan iman dari Aurora dan menyuruh gadis itu segera tidur.Namun nyatanya, sekarang Darius lah yang justru tidak bisa tidur karena terbayang-bayang kebersamaan singkatnya tadi bersama Aurora.Sial, bertemu dengan Aurora mungkin adalah hal sial paling menyenangkan. Sial karena gadis itu terus-terusan memancingnya. Tapi Darius tidak mau berbuat sesuatu yang tidak benar.Menyenangkan, karena baru beberapa jam saja bertemu dengan Aurora. Da