"Om, ciumnya lagi dong!"
Darius terkekeh. Gadis ini benar-benar di luar nalar. Bukannya marah atau takut, dia malah minta lagi. Sekali lagi Darius memberikan kecupan pada dahi yang merah akibat terkena sentilannya tadi.
Cup! Sekali lagi, Aurora menunjukkan expresi yang sama.
"Sudah, Om?" tanya gadis itu polos.
"Iya. Mau apa lagi kamu?" tanya Darius.
Aurora menggelengkan kepala. Sebenarnya pikiran nakalnya menjelajah ke banyak hal. Seperti tempat lain untuk dicium atau hal nakal lain yang membuat tubuhnya merasa aneh. Seperti yang dia dudukinya sekarang.
Gadis itu cukup tahu tentang hal yang biasa orang dewasa lakukan tapi dia belum pernah melakukannya. Jadi ketika tadi dia naik di atas tubuh Darius dan merasakan sesuatu yang terus terdorong ke atas menimbulkan rasa nikmat yang aneh. Aurora bisa mengira itu benda apa. Dan juga penasaran akan rasa yang selanjutnya.
"Yasudah sekarang turun! Bahaya kamu duduk di situ. Lain kali jangan langsung begitu!" pinta Darius.
Sedari tadi Darius berusaha menahan. Jika lebih lama lagi entah akan bagaimana bentuk dinding pertahanannya. Terlebih selama duduk Aurora terus bergerak-gerak. Menimbulkan rasa yang enak tapi berbahaya.
"Turun ya, Om?"
Aurora sedikit berat hati pergi dari tempat itu. Sedangkan Darius belum segila itu untuk melakukannya dengan gadis di bawah umur.
"Iya. Dan turunnya pelan-pelan."
Aurora terkekeh. Ide jahil muncul di benaknya ketika gadis itu akan turun dari posisinya. Bukannya pelan-pelan. Tapi Aurora justru menekan dan sedikit menggerakkan tubuhnya ketika akan turun.
Akhh ... Darius mengerutkan dahi. Walaupun umurnya tiga puluh delapan tahun. Tapi dia belum pernah melakukan hal seperti tadi. Rasanya panas dingin tapi tidak ingin berhenti. Andai saja gadis ini lebih dewasa sedikit. Mungkin Darius tidak akan sungkan. Tapi melihat kelakuannya. Aurora sungguh memang berniat menguji imannya.
"Benar kan aku bilang. Nggak semua laki-laki itu brengsek," celetuk Aurora begitu dia turun.
'Belum. Belum jadi brengsek. Kalau diuji terus seperti itu. Siapa yang bisa tahan untuk tidak jadi brengsek,' batin Darius.
"Ra, kamu biasa kayak tadi itu ke teman cowokmu?" tanya Darius.
'Itu bahaya. Jangan seperti itu,' batin Darius.
"Nggak pernah. Om yang pertama tadi. Kiss nya juga."
Aurora menunjuk pada dahinya sekarang. Darius tersenyum. Entah kenapa dia senang mendengar itu. Ada rasa bangga terselip dalam hati. Apa dia benar-benar akan menjadi yang pertama bagi semuanya? Entahlah. Darius tidak ingin berpikir terlalu jauh. Jika sampai dia kebablasan dan gadis ini hamil. Maka akan hancur sudah masa depan Aurora.
"Terus kok bisa tadi langsung main duduk gitu aja di sana?"
Darius sedang berusaha mencari tahu senakal apa Aurora. Dan bagaimana gadis itu bisa memiliki pemikiran seperti ini.
"Di drama-drama kan banyak, Om. Kalau di film itu romantis tapi ternyata kalau di praktekin. Rasanya merinding disko. Punyaku rasanya aneh kena punya Om."
Darius terkejut mendengar pengakuan gamblang Aurora. Gadis ini memang aneh. Tidak takut dan sekarang tidak sungkan. Apa dia juga tidak malu?
"Makanya tadi saya bilang berbahaya kan? Lain kali jangan begitu."
Aurora tersenyum. Dia semakin suka saja pada pria yang ada di depannya. Om bernama Darius ini jelas pria yang baik kan. Tidak apa jika nakal dengan pria ini. Dia pasti akan baik-baik saja.
"Aku nggak menyesal ko, Om. Tadi itu enak. Bahaya yang nikmat."
Darius kehabisan kata-kata menghadapi Aurora. Jika malam ini ia teruskan, mungkin Darius akan menjadi benar-benar gila. Darius tidak tahu akan sampai kapan kewarasannya ini akan tetap terjaga. Aurora yang sejak tadi bersikap sok polos tapi terus-terusan memancingnya.
"Iya enak tapi belum waktunya. Lagi pula jika saya benar-benar melakukannya. Saya jadi seperti pedofil."
"Pedofil itu kalau sama anak balita, Om. Aku kan sudah detik-detik melepas masa remaja dan mulai menjajaki fase dewasa. Aku sudah pernah menstruasi berarti itu menunjukkan kalau sebagai wanita rahimku sehat dan siap diisi seorang bayi. Dan aku juga udah punya SIM. Itu bukti secara dokumen negara kalau aku sekarang udah bener-bener dewasa, Om. Bukan cuma gede badannya doang. Dan banyak umurnya."
Gede badan. Banyak umur. Umur juga belum genap angka dua puluh. Pake acara bilang umur udah banyak segala. Darius terkekeh. Lagi pula, mana ada pembuktian sudah dewasa atau belum hanya dengan punya SIM atau enggak. Terbukti secara dokumen dia bilang. Aurora Aurora. Ada-ada aja.
"Emang kamu udah punya SIM apa? Sepeda roda tiga?" Darius tertawa mengejek. Anak kecil begini sudah punya SIM. Paling setir sepeda motor masih jalan 20km/jam.
"Eiitsss ... ngawur. Mobil dong. Mana bisa aku naik sepeda motor."
Darius makin heran lagi. Bisa jalanin mobil tapi tidak bisa jalanin sepeda motor. Benar-benar unik memang anak ini.
"Ko bisa gitu? Emangnya Ayah kamu nggak ajari naik sepeda motor?"
"Ayah nggak bolehin aku bawa kendaraan sendiri. Ke mana-mana aku diantar sopir, Om."
"Lah terus. Sekarang kok bisa kamu punya SIM mobil. Bohong yaa kamu. Hmm ... berarti belum dewasa nih."
Darius terus saja ikut permainan yang diciptakan Aurora. Mengobrol dengan gadis ini seru juga.
"Eiitsss ... enak aja. Nggak ada yaa di dalam kamus kehidupan Aurora itu berbohong. Mana, mana, tas sama dompet aku."
Aurora mencari-cari keberadaan tasnya. Niatnya untuk membuktikan bahwa dia memang punya SIM. Tapi Aurora lupa kalau dia tidak membawa apa pun saat bertemu Darius kecuali perutnya yang kelaparan.
"Ohh ... iya. Kan ketinggalan di rumah ya. Gini Om ceritanya. Jadi meskipun Ayah nggak bolehin aku bawa kendaraan sendiri. Tapi aku sering minta sopir buat ajarin aku nyetir. Dan akhirnya sampe aku bisa bawa mobil sendiri. Tentunya Ayahku nggak tahu dong. Kalau tau marah-marah dia. Kasihan Pak Sopir kalau dimarahi. Ayah bilang aku nggak boleh bawa kendaraan sendiri takut aku kebut-kebutan. Terus aku langsung buat SIM begitu umurku 17 tahun. Biar gaya dong punya SIM. Hehehe ...."
Aurora ceria sekali bercerita seolah menceritakan kisah petualangan Barbie pada anak TK. Sebagai pria dewasa sejak tadi Darius mendengarkan dengan seksama. Perpaduan kalimat sederhana Aurora diiringi dengan mulutnya yang bergerak-gerak saat berbicara. Terlihat sangat menarik bagi Darius. Gemas rasanya melihat bibir itu.
"Pokoknya gitu deh, Om. Jadi udah jelas kan aku ini benar-benar udah dewasa. Jadi melakukan hal yang orang dewasa lakukan juga nggak apa-apa. Hehehe ...."
Aurora menggerakkan kedua alisnya naik turun memberi Darius kode. Darius keheranan mendengar topik pembicaraan gadis ini. Diawali dengan SIM diakhiri dengan kode.
"Melakukan hal dewasa apa?" Darius berpura-pura tidak tahu.
"Lanjutannya aku naik ke pangkuan Om tadi. Habisnya enak sih, Om. Aku jadi penasaran sama rasa selanjutnya."
Darius menghela nafas besar. Tidak menyangka bahwa Aurora benar-benar ingin melakukannya.
"Terus kalau kamu hamil gimana? Kamu nggak jadi kuliah? Rusak masa depanmu, Ra."
"Kan bisa pakai alat kontrasepsi, Om. Lagian kalau hamil kan tinggal menikah. Om juga udah mapan. Apa yang perlu dikhawatirkan?"
Sekarang Darius yakin bahwa Aurora tidak benar-benar polos. Lebih ke sableng tepatnya. Bisa sampai tahu alat kontrasepsi belajar dari mana coba. Tapi tadi Aurora begitu meyakinkan kalau dirinya masih segelan. Entahlah. Yang perlu dikuatkan oleh Darius sekarang adalah kewarasannya.
"Kewarasan kamu tuh yang perlu dikhawatirkan. Kamu ini belajar dari mana tahu alat kontrasepsi segala."
"Di sekolah lah, Om. Lagian itu kan ilmu pengetahuan umum. Om gimana sih."
Hmmhh ... Darius menghela nafas.
"Udah-udah. Sana kamu tidur aja. Bisa gila saya lama-lama ngobrol sama kamu. Belum waktunya buat melakukan itu, Ra."
"Terus waktunya kapan?" Aurora menatap Darius seperti anak kecil menunggu diberi permen.
Darius benar-benar dibikin pusing. Bisakah mulut itu berhenti bertanya. Sejak terakhir memiliki Kekasih, ini adalah pertama kalinya dia kembali mengecup wanita.
Dari sejak pertama Darius lahir. Belum pernah ada yang duduk di atas pangkuannya seperti tadi. Aurora terus bertanya, juga melakukan hal-hal yang tidak disangka-sangka. Gadis itu tidak tahu akibatnya. Atau memang sengaja menyerahkan diri. Jika Darius kalap lalu akan bagaimana jadinya?
"Menurutmu kapan?" Darius balik bertanya. Ingin tahu apakah Aurora benar-benar tidak tahu.
"Sekarang." Jawab Aurora.
Kedua mata beradu. Wajah Aurora yang begitu cantik. Sekilas mengingatkan Darius pada seseorang yang sudah lama lalu sangat ia damba. Darius rindu akan sosok mendamba itu. Dan Aurora bisa menjadi pelipurnya.
"Setelah menikah, Ra. Setelah menikah baru bisa melakukan itu."Darius memegang wajah Aurora. Gadis itu mengerucutkan bibir tanda kecewa.Aurora benar-benar tidak tahu. Atau memang benar-benar sableng. Kok bisa-bisanya dia seperti kecewa begitu.Bibirnya monyong seperti itu, kan membuat Darius ingin mencicipinya. Tapi lagi-lagi sikap dewasa Darius menyadarkan. Darius belum benar-benar brengsek untuk melakukan hal itu dengan gadis yang baru ditemuinya selama beberapa jam.**Darius menatap langit-langit kamar. Akhirnya dia benar-benar bisa menghindari godaan iman dari Aurora dan menyuruh gadis itu segera tidur.Namun nyatanya, sekarang Darius lah yang justru tidak bisa tidur karena terbayang-bayang kebersamaan singkatnya tadi bersama Aurora.Sial, bertemu dengan Aurora mungkin adalah hal sial paling menyenangkan. Sial karena gadis itu terus-terusan memancingnya. Tapi Darius tidak mau berbuat sesuatu yang tidak benar.Menyenangkan, karena baru beberapa jam saja bertemu dengan Aurora. Da
Darius sudah selesai mandi. Ia ke luar dari kamar dan langsung menuju dapur. Barangkali jika di sana ada Aurora, ia akan ikut membantu gadis itu memasak. Tadi malam saat Aurora meminta sabun dan shampo, Darius sekalian membeli bahan-bahan makanan untuk memasak pagi ini.Sesampainya di dapur, tidak ada siapa pun di sana. Darius terkekeh sendiri, berpikir apa dia. Aurora jelas nona besar di rumahnya. Bagaimana gadis itu akan memasak. Lihat saja dari caranya meminta sabun dan shampo semalam. Pasti harus dituruti. Dan jangan lupakan lilin wangi. Itu jelas menggambarkan bagaimana hidup Aurora di rumahnya.Okey, apakah sekarang Darius pula yang akan menyiapkan sarapan untuk Aurora. Hmm ... baiklah. Anggap saja sedang menyiapkan makanan untuk calon istri. Ehh ... calon anak. Ahh ... entahlah.Sayur kembang kol, jagung muda, wortel, dada ayam. Semua sudah tersedia di atas meja. Darius mulai memasak. Darius sudah terbiasa masak sendiri seperti ini. Dahulu dia bukan pria kaya seperti sekarang.
"Sini!! Siniin bibirnya!!! Nih ... aku buktiin kalo mulutku nggak bau iler. Enak aja bilang ilerku mengalir sampe jauh. Dikira mulut aku sungai Nil. Kalo emang aku bau iler. Siniiii!!!!! Kesiniin mulutnya!!! Biar Om kenak iler aku juga.""Wkwkwkw ... iya iya. Ampun. Saya cuma becanda, Ra." Darius terkekeh sembari terus menghindari cengkraman tangan Aurora pada wajahnya.Jika sampai Aurora berhasil memegang wajah Darius. Sudah pasti bibir gadis itu akan dengan mudah landing pada bibir Darius.Bukan Darius tak suka. Siapa orang bodoh yang menolak hal seperti itu dari gadis secantik Auora. Tapi Darius tak mau mencoba. Takut jika dia tahu rasa awalnya maka Darius akan terus melakukan sampai akhirnya. Namun, semakin Darius menghindar. Semakin Auora berniat untuk mendapatkan wajah pria itu."Diemm!!! Om, diem!!! Diem aku bilang!!! Jangan gerak!!!"Aurora terus memaksa. Ia memegang leher Darius, mengapit tubuh Darius dengan kakinya agar pria itu tidak bisa melarikan diri."Ra, lepasin!! Kamu
"Gimana-gimana itu tadi? Coba ulangi!!" ucap Darius. Mungkin dia salah dengar. Darius tidak percaya pada pendengarannya sendiri."Pake celana dalam Om kayak gini, aku ngerasa kayak burung kutilangnya Om Darius menyatu dengan sarangnya. Wkwkwk ..." Aurora menurut begitu saja. Ia mengulangi ucapannya dan diakhiri dengan tertawa sendiri.Darius yang mendengarnya dua kali masih terheran-heran. Bagaimana bisa ada anak gadis seperti ini. Apa anak ini benar-benar polos? Atau justru sebenarnya Aurora tahu banyak hal tentang wilayah dewasa itu dan bersikap sok polos."Masak ya berasa gitu, Ra. Burung kutilang saya masih nyaman bertengger dengan santai di tempatnya lo, Ra."'Sekarang kamu gitu malah dia jadi nggak nyaman bertenggernya. Gerak aja kayak pengen lepas,' batin Darius. Dia geleng-geleng kepala heran mendengar ucapan Aurora."Pikiranku, Om. Pikirannya yang kayak gitu. Berasa punya Om ada di sana juga berdampingan dengan punya aku. Wkwkwk ...."Bukannya berhenti. Aurora malah terus saj
"Yeayy ... asikkk ... beli bajuuu ..." Aurora berlari dan berteriak kegirangan masuk ke dalam mall."Kayak orang dusun yang nggak pernah beli baju di mall aja kamu, Ra." Ejek Darius tertawa melihat tingkah Aurora seperti anak kecil."Biarin. Emang udah lama banget aku nggak ngemall. Ada semingguan."Hadee ... iya sih. Lupa kalau nona besar. Semingguan baginya begitu lama."Yaudah sekarang pilih mau baju yang mana. Sekalian cari buat satu minggu. Habis itu kita pulang.""Oke, Om."Sebenarnya dari pada seperti sugar daddy yang pacaran dengan sugar baby. Darius lebih merasa seperti tiba-tiba memungut anak angkat yang nemu di jalanan. Darius mengasuh dan menuruti semua keinginan Aurora tapi anehnya dia merasa senang.Di dalam mall, Aurora bertingkah seperti anak kecil. Ia meminta dibelikan apa pun yang dia lihat. Es krim, cemilan, jepit rambut, alat make up. Darius membelikan semua yang Aurora mau. Mengikuti gadis itu ke mana pun berjalan sembari memakan sosis jumbo dan es krim. Makanan a
"Loh, Ra. Kamu ngomong apa?" Darius terkejut Aurora tidak mengakuinya."Enggak, Pak. Enggak. Dia berbohong. Saya ini_ saya ini pacar dia," lanjut Darius menjelaskan.Security yang mendengar penjelasan Darius menatap Darius aneh. Tentu saja Security ini tidak percaya, Darius dan Aurora lebih mirip ayah dan anak dari pada seperti sepasang kekasih."Wah, Pak. Anda ini keterlaluan. Saya mengerti daun muda itu lebih menarik. Tapi jangan seperti itu juga. Kan kasihan adek ini kalau anda berbicara seperti itu. Lagian nggak malu sama umur, Pak. Adek ini lebih cocok jadi anak Bapak."Darius membuang muka. Bingung bagaimana lagi harus menjelaskan. Karena memang seperti itu lah kenyataannya. Di sisi lain, Aurora ingin tertawa melihat reaksi Security ini."Ya saya tau. Tapi memang dia pacar saya. Dia datang ke sini bareng saya. Dia bahkan pakai uang saya seratus juta buat belanja." Darius menuding pada tas belanjaan Aurora yang tergeletak di lantai."Pak, Anda jangan mengada-ada. Kalau gadis ini
Aurora mengambil satu helai roti. Ia tambahkan selai lalu berjalan menuju sofa. Mengambil gagang telpon, Aurora menelfon Darius.Darius baru saja berangkat. Belum setengah jalan pria itu pergi menuju tempat kerjanya. Ponselnya berbunyi, Darius langsung mengangkat panggilan telfon itu."Halo. Apa, Ra?" ucap Darius. Pria itu sudah tahu jika yang menelfon adalah Aurora karena nomor yang tertera adalah nomor rumahnya sendiri."Aku nelfon, Om." Jawab Aurora singkat."Ya saya tau kamu nelfon, Ra. Lah ini saya lagi bicara sama kamu. Kamu gimana sih. Ada apa?" tanya Darius. Belum lama ia pergi, tapi Aurora sudah menghubunginya saja. Apakah terjadi sesuatu?"Ishh ... judes amat. Jangan judes-judes Om ntar cepet laper loo ...."Hmmhhh ... di dalam mobil Darius menghela nafas besar. Ia menyiapkan kesabaran ekstra untuk menghadapi obrolan dengan Aurora."Yaa Raaa ... ada apa?" tanya Darius berbicara dengan nada lebih lembut."Hehehe ... gitu dong. Nggak ada, Om. Cuma pengen denger suara Om Darius
Sudah beberapa hari Aurora tinggal di rumah Darius. Gadis itu begitu menikmati meskipun ia mulai bosan karena tidak melakukan apa pun.Darius sudah berangkat kerja 1 jam lalu. Sekarang Aurora mulai bingung harus melakukan apa. Ternyata jika tidak sekolah. Aurora tidak mempunyai kegiatan apa pun. Tapi jika dia berangkat ke kampus, Ayah Aurora pasti akan mencarinya di sana.Aurora duduk bersandar dengan malas di atas sofa depan televisi. Ia terus memencet remote televisi itu mencari tayangan televisi yang mungkin cocok untuk dia lihat."Aaaa ... boring banget. Ya ampun, enaknya ngapain ini akuuu ..." Aurora mengeluh seolah kegiatannya itu begitu berat.Gadis itu mengangkat gagang telepon hendak menghubungi Darius. Namun ia urungkan karena baru beberapa saat lalu dia sudah menghubungi sugar daddynya itu. Aurora tidak mau terus-menerus mengganggu Darius bekerja. Ternyata Aurora sadar juga jika kelakuannya itu mengganggu Darius.Terus memencet remote televisi. Aurora mendapati sebuah tayan
Saat pulang ke arah rumah Darius berpikir. Mungkin nanti saat sampai rumah ia akan lelah karena harus menyiapkan kebutuhan Aurora.Namun begitu sampai rumah, melihat Aurora justru menyambutnya layaknya seorang istri. Darius justru berpikir bahwa ada Aurora di rumah tidak buruk juga.Apalagi ia melihat rumah begitu rapi dan bersih. Padahal tadi sepanjang perjalanan Darius sudah mengira bahwa rumah akan berantakan karena tingkah Aurora.Selesai mandi Darius mengenakan kaos putih dan boxer hitam. Lalu duduk di sofa depan televisi untuk bersantai. Aurora yang sudah lebih dulu ada di sana. Terus melihat Darius dengan wajah sok imut dan lucu. Senyuman memabukkan juga terus dipasang oleh gadis itu."Kenapa kamu senyum-senyum gitu, Ra? Udah gila beneran." Tanya Darius heran melihat tingkah Aurora.Mendengar ucapan Darius. Senyuman Aurora yang semula manis dan berseri. Berubah menjadi bibir mengerucut maju 5 cm."Ishh ... Om ini. Aku tahu Om udah menuju tua jadi mulai suka lupa. Kan kemarin Om
Sudah beberapa hari Aurora tinggal di rumah Darius. Gadis itu begitu menikmati meskipun ia mulai bosan karena tidak melakukan apa pun.Darius sudah berangkat kerja 1 jam lalu. Sekarang Aurora mulai bingung harus melakukan apa. Ternyata jika tidak sekolah. Aurora tidak mempunyai kegiatan apa pun. Tapi jika dia berangkat ke kampus, Ayah Aurora pasti akan mencarinya di sana.Aurora duduk bersandar dengan malas di atas sofa depan televisi. Ia terus memencet remote televisi itu mencari tayangan televisi yang mungkin cocok untuk dia lihat."Aaaa ... boring banget. Ya ampun, enaknya ngapain ini akuuu ..." Aurora mengeluh seolah kegiatannya itu begitu berat.Gadis itu mengangkat gagang telepon hendak menghubungi Darius. Namun ia urungkan karena baru beberapa saat lalu dia sudah menghubungi sugar daddynya itu. Aurora tidak mau terus-menerus mengganggu Darius bekerja. Ternyata Aurora sadar juga jika kelakuannya itu mengganggu Darius.Terus memencet remote televisi. Aurora mendapati sebuah tayan
Aurora mengambil satu helai roti. Ia tambahkan selai lalu berjalan menuju sofa. Mengambil gagang telpon, Aurora menelfon Darius.Darius baru saja berangkat. Belum setengah jalan pria itu pergi menuju tempat kerjanya. Ponselnya berbunyi, Darius langsung mengangkat panggilan telfon itu."Halo. Apa, Ra?" ucap Darius. Pria itu sudah tahu jika yang menelfon adalah Aurora karena nomor yang tertera adalah nomor rumahnya sendiri."Aku nelfon, Om." Jawab Aurora singkat."Ya saya tau kamu nelfon, Ra. Lah ini saya lagi bicara sama kamu. Kamu gimana sih. Ada apa?" tanya Darius. Belum lama ia pergi, tapi Aurora sudah menghubunginya saja. Apakah terjadi sesuatu?"Ishh ... judes amat. Jangan judes-judes Om ntar cepet laper loo ...."Hmmhhh ... di dalam mobil Darius menghela nafas besar. Ia menyiapkan kesabaran ekstra untuk menghadapi obrolan dengan Aurora."Yaa Raaa ... ada apa?" tanya Darius berbicara dengan nada lebih lembut."Hehehe ... gitu dong. Nggak ada, Om. Cuma pengen denger suara Om Darius
"Loh, Ra. Kamu ngomong apa?" Darius terkejut Aurora tidak mengakuinya."Enggak, Pak. Enggak. Dia berbohong. Saya ini_ saya ini pacar dia," lanjut Darius menjelaskan.Security yang mendengar penjelasan Darius menatap Darius aneh. Tentu saja Security ini tidak percaya, Darius dan Aurora lebih mirip ayah dan anak dari pada seperti sepasang kekasih."Wah, Pak. Anda ini keterlaluan. Saya mengerti daun muda itu lebih menarik. Tapi jangan seperti itu juga. Kan kasihan adek ini kalau anda berbicara seperti itu. Lagian nggak malu sama umur, Pak. Adek ini lebih cocok jadi anak Bapak."Darius membuang muka. Bingung bagaimana lagi harus menjelaskan. Karena memang seperti itu lah kenyataannya. Di sisi lain, Aurora ingin tertawa melihat reaksi Security ini."Ya saya tau. Tapi memang dia pacar saya. Dia datang ke sini bareng saya. Dia bahkan pakai uang saya seratus juta buat belanja." Darius menuding pada tas belanjaan Aurora yang tergeletak di lantai."Pak, Anda jangan mengada-ada. Kalau gadis ini
"Yeayy ... asikkk ... beli bajuuu ..." Aurora berlari dan berteriak kegirangan masuk ke dalam mall."Kayak orang dusun yang nggak pernah beli baju di mall aja kamu, Ra." Ejek Darius tertawa melihat tingkah Aurora seperti anak kecil."Biarin. Emang udah lama banget aku nggak ngemall. Ada semingguan."Hadee ... iya sih. Lupa kalau nona besar. Semingguan baginya begitu lama."Yaudah sekarang pilih mau baju yang mana. Sekalian cari buat satu minggu. Habis itu kita pulang.""Oke, Om."Sebenarnya dari pada seperti sugar daddy yang pacaran dengan sugar baby. Darius lebih merasa seperti tiba-tiba memungut anak angkat yang nemu di jalanan. Darius mengasuh dan menuruti semua keinginan Aurora tapi anehnya dia merasa senang.Di dalam mall, Aurora bertingkah seperti anak kecil. Ia meminta dibelikan apa pun yang dia lihat. Es krim, cemilan, jepit rambut, alat make up. Darius membelikan semua yang Aurora mau. Mengikuti gadis itu ke mana pun berjalan sembari memakan sosis jumbo dan es krim. Makanan a
"Gimana-gimana itu tadi? Coba ulangi!!" ucap Darius. Mungkin dia salah dengar. Darius tidak percaya pada pendengarannya sendiri."Pake celana dalam Om kayak gini, aku ngerasa kayak burung kutilangnya Om Darius menyatu dengan sarangnya. Wkwkwk ..." Aurora menurut begitu saja. Ia mengulangi ucapannya dan diakhiri dengan tertawa sendiri.Darius yang mendengarnya dua kali masih terheran-heran. Bagaimana bisa ada anak gadis seperti ini. Apa anak ini benar-benar polos? Atau justru sebenarnya Aurora tahu banyak hal tentang wilayah dewasa itu dan bersikap sok polos."Masak ya berasa gitu, Ra. Burung kutilang saya masih nyaman bertengger dengan santai di tempatnya lo, Ra."'Sekarang kamu gitu malah dia jadi nggak nyaman bertenggernya. Gerak aja kayak pengen lepas,' batin Darius. Dia geleng-geleng kepala heran mendengar ucapan Aurora."Pikiranku, Om. Pikirannya yang kayak gitu. Berasa punya Om ada di sana juga berdampingan dengan punya aku. Wkwkwk ...."Bukannya berhenti. Aurora malah terus saj
"Sini!! Siniin bibirnya!!! Nih ... aku buktiin kalo mulutku nggak bau iler. Enak aja bilang ilerku mengalir sampe jauh. Dikira mulut aku sungai Nil. Kalo emang aku bau iler. Siniiii!!!!! Kesiniin mulutnya!!! Biar Om kenak iler aku juga.""Wkwkwkw ... iya iya. Ampun. Saya cuma becanda, Ra." Darius terkekeh sembari terus menghindari cengkraman tangan Aurora pada wajahnya.Jika sampai Aurora berhasil memegang wajah Darius. Sudah pasti bibir gadis itu akan dengan mudah landing pada bibir Darius.Bukan Darius tak suka. Siapa orang bodoh yang menolak hal seperti itu dari gadis secantik Auora. Tapi Darius tak mau mencoba. Takut jika dia tahu rasa awalnya maka Darius akan terus melakukan sampai akhirnya. Namun, semakin Darius menghindar. Semakin Auora berniat untuk mendapatkan wajah pria itu."Diemm!!! Om, diem!!! Diem aku bilang!!! Jangan gerak!!!"Aurora terus memaksa. Ia memegang leher Darius, mengapit tubuh Darius dengan kakinya agar pria itu tidak bisa melarikan diri."Ra, lepasin!! Kamu
Darius sudah selesai mandi. Ia ke luar dari kamar dan langsung menuju dapur. Barangkali jika di sana ada Aurora, ia akan ikut membantu gadis itu memasak. Tadi malam saat Aurora meminta sabun dan shampo, Darius sekalian membeli bahan-bahan makanan untuk memasak pagi ini.Sesampainya di dapur, tidak ada siapa pun di sana. Darius terkekeh sendiri, berpikir apa dia. Aurora jelas nona besar di rumahnya. Bagaimana gadis itu akan memasak. Lihat saja dari caranya meminta sabun dan shampo semalam. Pasti harus dituruti. Dan jangan lupakan lilin wangi. Itu jelas menggambarkan bagaimana hidup Aurora di rumahnya.Okey, apakah sekarang Darius pula yang akan menyiapkan sarapan untuk Aurora. Hmm ... baiklah. Anggap saja sedang menyiapkan makanan untuk calon istri. Ehh ... calon anak. Ahh ... entahlah.Sayur kembang kol, jagung muda, wortel, dada ayam. Semua sudah tersedia di atas meja. Darius mulai memasak. Darius sudah terbiasa masak sendiri seperti ini. Dahulu dia bukan pria kaya seperti sekarang.
"Setelah menikah, Ra. Setelah menikah baru bisa melakukan itu."Darius memegang wajah Aurora. Gadis itu mengerucutkan bibir tanda kecewa.Aurora benar-benar tidak tahu. Atau memang benar-benar sableng. Kok bisa-bisanya dia seperti kecewa begitu.Bibirnya monyong seperti itu, kan membuat Darius ingin mencicipinya. Tapi lagi-lagi sikap dewasa Darius menyadarkan. Darius belum benar-benar brengsek untuk melakukan hal itu dengan gadis yang baru ditemuinya selama beberapa jam.**Darius menatap langit-langit kamar. Akhirnya dia benar-benar bisa menghindari godaan iman dari Aurora dan menyuruh gadis itu segera tidur.Namun nyatanya, sekarang Darius lah yang justru tidak bisa tidur karena terbayang-bayang kebersamaan singkatnya tadi bersama Aurora.Sial, bertemu dengan Aurora mungkin adalah hal sial paling menyenangkan. Sial karena gadis itu terus-terusan memancingnya. Tapi Darius tidak mau berbuat sesuatu yang tidak benar.Menyenangkan, karena baru beberapa jam saja bertemu dengan Aurora. Da