"Om, mau jadi pacarku nggak?"
Tanya Aurora berani. Entah setan apa yang menempel pada gadis itu sehingga dia berani mengajak Darius Edmund, pria berumur tiga puluh delapan tahun yang baru dikenalnya itu untuk berpacaran dengannya. Darius Edmund sendiri lebih pantas menjadi Ayahnya Aurora ketimbang pacarnya. Ya walaupun wajah Darius bisa dibilang sangat tampan dan mempesona.
Darius tertawa kecil. "Pacar? Kamu yakin? Saya ini lebih cocok jadi Ayah kamu loo ketimbang jadi pacar."
Jawab Darius enteng. Dia duduk pada sofa panjang berwarna pastel di apartementnya. Batinnya sedikit terkejut mendengar ajakan dari gadis kecil yang baru saja di temuinya itu. Anak kecil seumur jagung ini, bagaimana bisa seberani itu mengajaknya pacaran. Otak generasi sekarang memang berbeda.
"Ya nggak apa-apa, Om. Kan pacaran sama Sugar Daddy lagi musim," sahut Aurora.
Gadis itu sedang duduk di sebelah Darius saat mengatakan bahwa dia ingin berpacaran dengan pria tersebut. Aurora duduk bersila atas sofa. Tubuhnya menghadap Darius dengan memasang mimik wajah selucu boneka salju.
"Sugar Daddy. Memangnya kamu tidak tahu Sugar Daddy itu apa? Sugar Daddy itu laki-laki dewasa nakal yang suka sama gadis kecil genit kaya kamu."
Darius mencoba menjelaskan agar gadis itu sedikit takut. Jika dibilang mengerti, sepertinya Aurora sedikit banyak sudah tahu tentang apa itu istilah Sugar Daddy. Tidak mungkin anak jaman sekarang tidak tahu tentang istilah itu.
Darius hanya memperjelas kondisi jika hubungan antara Sugar Daddy dan Sugar Baby itu masuk dalam ranah dewasa. Namun respon tidak terduga justru datang dari Aurora setelah Darius mengatakannya lebih jelas. Tiba-tiba saja Aurora merubah posisinya menjadi duduk di atas pangkuan Darius. Tubuhnya dia hadapkan ke arah Darius hingga kini keduanya menempel dan berhadapan.
Darius merasa tidak nyaman? Sudah jelas. Tapi bukan posisi dan wajah cantik Aurora yang paling menganggu Darius sekarang. Melainkan adik kecilnya yang di duduki Aurora secara tiba-tiba sekarang sedang berproses berubah menjadi adik besar karena tekanan dari tempat sensitive milik gadis itu.
"Iya, aku nggak keberatan jadi gadis kecil yang genit. Nahh ... Om mau nggak jadi laki-laki dewasa yang nakal?" tanya Aurora.
Aurora tidak terlihat takut sama sekali. Justru Darius yang sekarang menjadi takut. Takut akan terlena pada kenakalan dari gadis yang sekarang ada di atas pangkuannya itu, lalu melakukan hal yang tidak-tidak.
Masalahnya, sudah sembilan belas tahun Darius tidak menyentuh seorang wanita. Sejak berpisah dengan pacarnya semasa sekolah dahulu. Darius belum menyukai gadis lain. Dan jika tiba-tiba dihadapkan dalam kondisi kritis seperti ini. Kucing mana yang tidak menggarong jika diberi ikan. Terlebih ikannya begitu cantik dan segar.
"Kamu kenapa berani seperti ini? Saya ini laki-laki normal. Kalau saya kalap kamu bisa saya makan, Ra."
Darius terbata. Detakan jantungnya mulai berdebar tidak beraturan. Tubuhnya menikmati perlakuan ini namun otaknya masih terlalu sadar untuk tidak mengikuti hasratnya. Darius tidak mau dianggap sebagai pedofil.
"Kenapa aku harus takut? Om Darius orang yang baik," jawab Aurora santai.
Bahkan mata gadis itu terus menatap pada manik coklat terang milik Darius. Kedua telapak tangannya yang mungil juga dengan berani membelai bulu wajah Darius yang mulai tumbuh. Bagaimana Darius tidak semakin terlena?
"Orang baik kalau dihadapkan dengan hal seperti ini bagaimana bisa jadi baik? Kamu terus berusaha memancing ikan."
"Hmm ... benar. Kuharap aku dapat ikan yang besar," sahut Aurora dengan tertawa kecil.
Darius juga tertawa kecil. Belum setengah malam dia bersama dengan gadis ini, tapi otaknya sudah beberapa kali dikejutkan oleh ucapan dan tingkah laku Aurora yang nakal. Setelah tertawa sejenak, Darius terdiam, bukan karena hanyut dalam pusaran hasrat yang sedang berusaha menariknya ke dalam. Melainkan dia sedang berusaha mempertahankan akal sehatnya untuk tidak mengikuti alur yang sedang dibuat oleh gadis kecil di depannya.
**
Empat jam yang lalu, Darius baru saja datang kembali dari luar negeri setelah dua puluh tahun lamanya pergi. Perut yang lapar membawanya menuju salah satu restaurant steak terkenal di kota itu. Hujan turun sangat deras, beberapa kilat juga terlihat menyambar. Sebelum menuju apartement yang sudah dia siapkan sebulan sebelum dia datang. Darius memilih mengisi perutnya dahulu dari pada nanti dia harus ke luar lagi cari makan.
Setelah ke luar dari mobil, dengan terburu Darius berlari kecil menuju teras restaurant. Setelah berada di teras, tangannya menyapu air yang membasahi jaz hitamnya sebelum masuk ke dalam restaurant. Saat melakukan itu ujung mata Darius tertarik oleh sesuatu yang aneh di ujung beranda. Seorang gadis sedang duduk berjongkok di lantai teras restaurant. Baju dan rambutnya basah kuyup. Maskara yang dia pakai juga tampak luntur membentuk lingkaran bundar di sekitar matanya. Karena kasihan, Darius mendekati gadis itu.
"Dek, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya setelah menepuk ringan pundak gadis itu.
"Aku laper, Om. Mau makan tapi nggak punya uang," jawab gadis itu tersenyum sedih.
Oo ... kasihan sekali batin Darius. Tapi jika tidak punya uang kenapa dia memilih restaurant mahal seperti ini. Gadis yang aneh. Entahlah, Darius tidak mau berpikir banyak. Mungkin dia memang sangat pemilih.
"Ayo masuk! Saya belikan kamu makan," ajak Darius.
"Makasih, Om." Senyuman mendadak muncul pada raut wajah gadis itu begitu Darius mengajaknya makan.
Darius dan gadis yang belum dia ketahui namanya tersebut sudah duduk pada salah satu meja di dalam restaurant. Tak lama kemudian pelayan membawakan makanan yang sudah mereka pesan sebelumnya. Seperti manusia yang belum makan satu bulan, gadis itu langsung memakan steak yang ada di depannya. Darius menatapnya aneh. Beberapa pertanyaan sederhana muncul di kepalanya saat ini.
"Enak ya?" tanya Darius. Gadis itu hanya mengangguk. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan.
"Rumah kamu di mana? Setelah ini saya antar kamu pulang?" lanjut pria itu lagi.
Setelah mendengar kata pulang. Gadis itu berhenti makan. Selera makannya seperti tiba-tiba sirna.
"Aku nggak punya rumah, Om."
Tidak punya rumah? Bagaimana bisa begitu. Darius saja tahu jika baju yang dikenakan gadis itu adalah brand mahal walaupun hanya sekedar kaos putih dan rok pendek berwarna denim. Dilihat dari separuh tubuhnya, bisa terlihat jika gadis ini anak dari orang kaya. Kulit putih cerah terawat. Hanya wajahnya saja tidak terlihat bagus karena make up yang luntur.
"Saya tahu kamu punya. Kenapa kamu ada di sini saat hujan lebat begini? Orang tuamu nggak nyariin?" tanya Darius.
"Enggak akan. Pokoknya aku nggak mau pulang. Titik, " jawab gadis itu tegas.
"Lalu?" Darius balik bertanya.
Kini gadis itu memandang dengan raut wajah kasihan. Sebentar dia mengangkat kedua pundaknya pertanda bahwa gadis itu juga tidak tahu mau ke mana. Darius menghela nafas, dia bingung harus bersikap apa.
Kenapa dia harus terjebak dalam situasi seperti ini? Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Di luar hujan deras. Gadis ini tidak membawa tas atau apa pun. Dengan tubuh yang dirasa cukup lumayan ini, kalau berada sendirian di luar sana. Entah apa yang akan terjadi padanya. Darius bernafas besar sebelum akhinya kembali bertanya.
"Nama kamu siapa?"
"Aurora, Om."
"Kamu mau ikut pulang sama saya?"
Aurora tersenyum simpul. Tidak ada rasa takut akan apa pun, gadis itu langsung bersedia ikut ke rumah Darius."Mau, Om. Makasih yaa, Om. Oh yaa nama Om siapa?" gini giliran Aurora yang balik bertanya."Darius.""Hmm ... nama Om bagus."Aurora kembali meneruskan makannya dengan riang. Gadis jaman sekarang memang aneh. Tidak ada rasa takut dan khawatir sama sekali. Dengan mudahnya ikut bersama pria tidak dikenal. Padahal bisa saja pria ini berniat buruk padanya. Untung saja Darius tidak seperti itu. Setidaknya ini yang terjadi sekarang. Untuk beberapa jam kedepan, siapa tahu?Selesai menghabiskan makanan. Keduanya langsung pergi menuju apartement milik Darius. Beberapa pertanyaan masih berkeliling di kepala Darius. Seperti kenapa gadis ini tidak ingin pulang? Namun dia tidak ingin bertanya sekarang. Darius menunggu saat yang tepat untuk bertanya, lalu kemudian dia akan mengantarkan gadis ini pulang begitu dia mendapatkan jawabannya. Setelah itu maka gadis ini akan aman. Sebagai manusia
"Sudah selesai mandinya?" tanya Darius. Aurora mengangguk."Sudah seger?" Aurora kembali mengangguk."Sudah enak badannya?" tanya Darius lagi.Matanya berpura-pura melihat layar televisi. Namun ujungnya mencoba melihat gadis muda segar yang ada di sampingnya. Aurora tersenyum mendengar pertanyaan Darius yang bertubi-tubi."Iyaaaa Ooommm ... Om sendiri nggak mandi?" tanya Aurora balik."Tadi sudah mandi sebelum naik pesawat. Singapore nggak terlalu jauh. Jadi saya juga baru mandi," jawab Darius jelas."Iya, iya, lagian nggak usah mandi juga Om sudah ganteng."Darius menoleh. Apa sekarang gadis ini sedang mencoba menggodanya?"Benarkah saya ganteng?""Tentu saja. Jelas tidak perlu diragukan."Darius tertawa kecil. "Kamu juga cantik," pujinya balik.Kini giliran Aurora yang tersenyum."Tapi Om ganteng gini kenapa belum punya Istri? Melihat apartement ini sepertinya Om juga kaya. Masak nggak laku sih Om," celetuk Aurora.Gadis itu merasa sayang ada pria tampan kaya dan baik seperti ini ti
"Om, ciumnya lagi dong!"Darius terkekeh. Gadis ini benar-benar di luar nalar. Bukannya marah atau takut, dia malah minta lagi. Sekali lagi Darius memberikan kecupan pada dahi yang merah akibat terkena sentilannya tadi.Cup! Sekali lagi, Aurora menunjukkan expresi yang sama."Sudah, Om?" tanya gadis itu polos."Iya. Mau apa lagi kamu?" tanya Darius.Aurora menggelengkan kepala. Sebenarnya pikiran nakalnya menjelajah ke banyak hal. Seperti tempat lain untuk dicium atau hal nakal lain yang membuat tubuhnya merasa aneh. Seperti yang dia dudukinya sekarang.Gadis itu cukup tahu tentang hal yang biasa orang dewasa lakukan tapi dia belum pernah melakukannya. Jadi ketika tadi dia naik di atas tubuh Darius dan merasakan sesuatu yang terus terdorong ke atas menimbulkan rasa nikmat yang aneh. Aurora bisa mengira itu benda apa. Dan juga penasaran akan rasa yang selanjutnya."Yasudah sekarang turun! Bahaya kamu duduk di situ. Lain kali jangan langsung begitu!" pinta Darius.Sedari tadi Darius ber
"Setelah menikah, Ra. Setelah menikah baru bisa melakukan itu."Darius memegang wajah Aurora. Gadis itu mengerucutkan bibir tanda kecewa.Aurora benar-benar tidak tahu. Atau memang benar-benar sableng. Kok bisa-bisanya dia seperti kecewa begitu.Bibirnya monyong seperti itu, kan membuat Darius ingin mencicipinya. Tapi lagi-lagi sikap dewasa Darius menyadarkan. Darius belum benar-benar brengsek untuk melakukan hal itu dengan gadis yang baru ditemuinya selama beberapa jam.**Darius menatap langit-langit kamar. Akhirnya dia benar-benar bisa menghindari godaan iman dari Aurora dan menyuruh gadis itu segera tidur.Namun nyatanya, sekarang Darius lah yang justru tidak bisa tidur karena terbayang-bayang kebersamaan singkatnya tadi bersama Aurora.Sial, bertemu dengan Aurora mungkin adalah hal sial paling menyenangkan. Sial karena gadis itu terus-terusan memancingnya. Tapi Darius tidak mau berbuat sesuatu yang tidak benar.Menyenangkan, karena baru beberapa jam saja bertemu dengan Aurora. Da
Darius sudah selesai mandi. Ia ke luar dari kamar dan langsung menuju dapur. Barangkali jika di sana ada Aurora, ia akan ikut membantu gadis itu memasak. Tadi malam saat Aurora meminta sabun dan shampo, Darius sekalian membeli bahan-bahan makanan untuk memasak pagi ini.Sesampainya di dapur, tidak ada siapa pun di sana. Darius terkekeh sendiri, berpikir apa dia. Aurora jelas nona besar di rumahnya. Bagaimana gadis itu akan memasak. Lihat saja dari caranya meminta sabun dan shampo semalam. Pasti harus dituruti. Dan jangan lupakan lilin wangi. Itu jelas menggambarkan bagaimana hidup Aurora di rumahnya.Okey, apakah sekarang Darius pula yang akan menyiapkan sarapan untuk Aurora. Hmm ... baiklah. Anggap saja sedang menyiapkan makanan untuk calon istri. Ehh ... calon anak. Ahh ... entahlah.Sayur kembang kol, jagung muda, wortel, dada ayam. Semua sudah tersedia di atas meja. Darius mulai memasak. Darius sudah terbiasa masak sendiri seperti ini. Dahulu dia bukan pria kaya seperti sekarang.
"Sini!! Siniin bibirnya!!! Nih ... aku buktiin kalo mulutku nggak bau iler. Enak aja bilang ilerku mengalir sampe jauh. Dikira mulut aku sungai Nil. Kalo emang aku bau iler. Siniiii!!!!! Kesiniin mulutnya!!! Biar Om kenak iler aku juga.""Wkwkwkw ... iya iya. Ampun. Saya cuma becanda, Ra." Darius terkekeh sembari terus menghindari cengkraman tangan Aurora pada wajahnya.Jika sampai Aurora berhasil memegang wajah Darius. Sudah pasti bibir gadis itu akan dengan mudah landing pada bibir Darius.Bukan Darius tak suka. Siapa orang bodoh yang menolak hal seperti itu dari gadis secantik Auora. Tapi Darius tak mau mencoba. Takut jika dia tahu rasa awalnya maka Darius akan terus melakukan sampai akhirnya. Namun, semakin Darius menghindar. Semakin Auora berniat untuk mendapatkan wajah pria itu."Diemm!!! Om, diem!!! Diem aku bilang!!! Jangan gerak!!!"Aurora terus memaksa. Ia memegang leher Darius, mengapit tubuh Darius dengan kakinya agar pria itu tidak bisa melarikan diri."Ra, lepasin!! Kamu
"Gimana-gimana itu tadi? Coba ulangi!!" ucap Darius. Mungkin dia salah dengar. Darius tidak percaya pada pendengarannya sendiri."Pake celana dalam Om kayak gini, aku ngerasa kayak burung kutilangnya Om Darius menyatu dengan sarangnya. Wkwkwk ..." Aurora menurut begitu saja. Ia mengulangi ucapannya dan diakhiri dengan tertawa sendiri.Darius yang mendengarnya dua kali masih terheran-heran. Bagaimana bisa ada anak gadis seperti ini. Apa anak ini benar-benar polos? Atau justru sebenarnya Aurora tahu banyak hal tentang wilayah dewasa itu dan bersikap sok polos."Masak ya berasa gitu, Ra. Burung kutilang saya masih nyaman bertengger dengan santai di tempatnya lo, Ra."'Sekarang kamu gitu malah dia jadi nggak nyaman bertenggernya. Gerak aja kayak pengen lepas,' batin Darius. Dia geleng-geleng kepala heran mendengar ucapan Aurora."Pikiranku, Om. Pikirannya yang kayak gitu. Berasa punya Om ada di sana juga berdampingan dengan punya aku. Wkwkwk ...."Bukannya berhenti. Aurora malah terus saj
"Yeayy ... asikkk ... beli bajuuu ..." Aurora berlari dan berteriak kegirangan masuk ke dalam mall."Kayak orang dusun yang nggak pernah beli baju di mall aja kamu, Ra." Ejek Darius tertawa melihat tingkah Aurora seperti anak kecil."Biarin. Emang udah lama banget aku nggak ngemall. Ada semingguan."Hadee ... iya sih. Lupa kalau nona besar. Semingguan baginya begitu lama."Yaudah sekarang pilih mau baju yang mana. Sekalian cari buat satu minggu. Habis itu kita pulang.""Oke, Om."Sebenarnya dari pada seperti sugar daddy yang pacaran dengan sugar baby. Darius lebih merasa seperti tiba-tiba memungut anak angkat yang nemu di jalanan. Darius mengasuh dan menuruti semua keinginan Aurora tapi anehnya dia merasa senang.Di dalam mall, Aurora bertingkah seperti anak kecil. Ia meminta dibelikan apa pun yang dia lihat. Es krim, cemilan, jepit rambut, alat make up. Darius membelikan semua yang Aurora mau. Mengikuti gadis itu ke mana pun berjalan sembari memakan sosis jumbo dan es krim. Makanan a
Saat pulang ke arah rumah Darius berpikir. Mungkin nanti saat sampai rumah ia akan lelah karena harus menyiapkan kebutuhan Aurora.Namun begitu sampai rumah, melihat Aurora justru menyambutnya layaknya seorang istri. Darius justru berpikir bahwa ada Aurora di rumah tidak buruk juga.Apalagi ia melihat rumah begitu rapi dan bersih. Padahal tadi sepanjang perjalanan Darius sudah mengira bahwa rumah akan berantakan karena tingkah Aurora.Selesai mandi Darius mengenakan kaos putih dan boxer hitam. Lalu duduk di sofa depan televisi untuk bersantai. Aurora yang sudah lebih dulu ada di sana. Terus melihat Darius dengan wajah sok imut dan lucu. Senyuman memabukkan juga terus dipasang oleh gadis itu."Kenapa kamu senyum-senyum gitu, Ra? Udah gila beneran." Tanya Darius heran melihat tingkah Aurora.Mendengar ucapan Darius. Senyuman Aurora yang semula manis dan berseri. Berubah menjadi bibir mengerucut maju 5 cm."Ishh ... Om ini. Aku tahu Om udah menuju tua jadi mulai suka lupa. Kan kemarin Om
Sudah beberapa hari Aurora tinggal di rumah Darius. Gadis itu begitu menikmati meskipun ia mulai bosan karena tidak melakukan apa pun.Darius sudah berangkat kerja 1 jam lalu. Sekarang Aurora mulai bingung harus melakukan apa. Ternyata jika tidak sekolah. Aurora tidak mempunyai kegiatan apa pun. Tapi jika dia berangkat ke kampus, Ayah Aurora pasti akan mencarinya di sana.Aurora duduk bersandar dengan malas di atas sofa depan televisi. Ia terus memencet remote televisi itu mencari tayangan televisi yang mungkin cocok untuk dia lihat."Aaaa ... boring banget. Ya ampun, enaknya ngapain ini akuuu ..." Aurora mengeluh seolah kegiatannya itu begitu berat.Gadis itu mengangkat gagang telepon hendak menghubungi Darius. Namun ia urungkan karena baru beberapa saat lalu dia sudah menghubungi sugar daddynya itu. Aurora tidak mau terus-menerus mengganggu Darius bekerja. Ternyata Aurora sadar juga jika kelakuannya itu mengganggu Darius.Terus memencet remote televisi. Aurora mendapati sebuah tayan
Aurora mengambil satu helai roti. Ia tambahkan selai lalu berjalan menuju sofa. Mengambil gagang telpon, Aurora menelfon Darius.Darius baru saja berangkat. Belum setengah jalan pria itu pergi menuju tempat kerjanya. Ponselnya berbunyi, Darius langsung mengangkat panggilan telfon itu."Halo. Apa, Ra?" ucap Darius. Pria itu sudah tahu jika yang menelfon adalah Aurora karena nomor yang tertera adalah nomor rumahnya sendiri."Aku nelfon, Om." Jawab Aurora singkat."Ya saya tau kamu nelfon, Ra. Lah ini saya lagi bicara sama kamu. Kamu gimana sih. Ada apa?" tanya Darius. Belum lama ia pergi, tapi Aurora sudah menghubunginya saja. Apakah terjadi sesuatu?"Ishh ... judes amat. Jangan judes-judes Om ntar cepet laper loo ...."Hmmhhh ... di dalam mobil Darius menghela nafas besar. Ia menyiapkan kesabaran ekstra untuk menghadapi obrolan dengan Aurora."Yaa Raaa ... ada apa?" tanya Darius berbicara dengan nada lebih lembut."Hehehe ... gitu dong. Nggak ada, Om. Cuma pengen denger suara Om Darius
"Loh, Ra. Kamu ngomong apa?" Darius terkejut Aurora tidak mengakuinya."Enggak, Pak. Enggak. Dia berbohong. Saya ini_ saya ini pacar dia," lanjut Darius menjelaskan.Security yang mendengar penjelasan Darius menatap Darius aneh. Tentu saja Security ini tidak percaya, Darius dan Aurora lebih mirip ayah dan anak dari pada seperti sepasang kekasih."Wah, Pak. Anda ini keterlaluan. Saya mengerti daun muda itu lebih menarik. Tapi jangan seperti itu juga. Kan kasihan adek ini kalau anda berbicara seperti itu. Lagian nggak malu sama umur, Pak. Adek ini lebih cocok jadi anak Bapak."Darius membuang muka. Bingung bagaimana lagi harus menjelaskan. Karena memang seperti itu lah kenyataannya. Di sisi lain, Aurora ingin tertawa melihat reaksi Security ini."Ya saya tau. Tapi memang dia pacar saya. Dia datang ke sini bareng saya. Dia bahkan pakai uang saya seratus juta buat belanja." Darius menuding pada tas belanjaan Aurora yang tergeletak di lantai."Pak, Anda jangan mengada-ada. Kalau gadis ini
"Yeayy ... asikkk ... beli bajuuu ..." Aurora berlari dan berteriak kegirangan masuk ke dalam mall."Kayak orang dusun yang nggak pernah beli baju di mall aja kamu, Ra." Ejek Darius tertawa melihat tingkah Aurora seperti anak kecil."Biarin. Emang udah lama banget aku nggak ngemall. Ada semingguan."Hadee ... iya sih. Lupa kalau nona besar. Semingguan baginya begitu lama."Yaudah sekarang pilih mau baju yang mana. Sekalian cari buat satu minggu. Habis itu kita pulang.""Oke, Om."Sebenarnya dari pada seperti sugar daddy yang pacaran dengan sugar baby. Darius lebih merasa seperti tiba-tiba memungut anak angkat yang nemu di jalanan. Darius mengasuh dan menuruti semua keinginan Aurora tapi anehnya dia merasa senang.Di dalam mall, Aurora bertingkah seperti anak kecil. Ia meminta dibelikan apa pun yang dia lihat. Es krim, cemilan, jepit rambut, alat make up. Darius membelikan semua yang Aurora mau. Mengikuti gadis itu ke mana pun berjalan sembari memakan sosis jumbo dan es krim. Makanan a
"Gimana-gimana itu tadi? Coba ulangi!!" ucap Darius. Mungkin dia salah dengar. Darius tidak percaya pada pendengarannya sendiri."Pake celana dalam Om kayak gini, aku ngerasa kayak burung kutilangnya Om Darius menyatu dengan sarangnya. Wkwkwk ..." Aurora menurut begitu saja. Ia mengulangi ucapannya dan diakhiri dengan tertawa sendiri.Darius yang mendengarnya dua kali masih terheran-heran. Bagaimana bisa ada anak gadis seperti ini. Apa anak ini benar-benar polos? Atau justru sebenarnya Aurora tahu banyak hal tentang wilayah dewasa itu dan bersikap sok polos."Masak ya berasa gitu, Ra. Burung kutilang saya masih nyaman bertengger dengan santai di tempatnya lo, Ra."'Sekarang kamu gitu malah dia jadi nggak nyaman bertenggernya. Gerak aja kayak pengen lepas,' batin Darius. Dia geleng-geleng kepala heran mendengar ucapan Aurora."Pikiranku, Om. Pikirannya yang kayak gitu. Berasa punya Om ada di sana juga berdampingan dengan punya aku. Wkwkwk ...."Bukannya berhenti. Aurora malah terus saj
"Sini!! Siniin bibirnya!!! Nih ... aku buktiin kalo mulutku nggak bau iler. Enak aja bilang ilerku mengalir sampe jauh. Dikira mulut aku sungai Nil. Kalo emang aku bau iler. Siniiii!!!!! Kesiniin mulutnya!!! Biar Om kenak iler aku juga.""Wkwkwkw ... iya iya. Ampun. Saya cuma becanda, Ra." Darius terkekeh sembari terus menghindari cengkraman tangan Aurora pada wajahnya.Jika sampai Aurora berhasil memegang wajah Darius. Sudah pasti bibir gadis itu akan dengan mudah landing pada bibir Darius.Bukan Darius tak suka. Siapa orang bodoh yang menolak hal seperti itu dari gadis secantik Auora. Tapi Darius tak mau mencoba. Takut jika dia tahu rasa awalnya maka Darius akan terus melakukan sampai akhirnya. Namun, semakin Darius menghindar. Semakin Auora berniat untuk mendapatkan wajah pria itu."Diemm!!! Om, diem!!! Diem aku bilang!!! Jangan gerak!!!"Aurora terus memaksa. Ia memegang leher Darius, mengapit tubuh Darius dengan kakinya agar pria itu tidak bisa melarikan diri."Ra, lepasin!! Kamu
Darius sudah selesai mandi. Ia ke luar dari kamar dan langsung menuju dapur. Barangkali jika di sana ada Aurora, ia akan ikut membantu gadis itu memasak. Tadi malam saat Aurora meminta sabun dan shampo, Darius sekalian membeli bahan-bahan makanan untuk memasak pagi ini.Sesampainya di dapur, tidak ada siapa pun di sana. Darius terkekeh sendiri, berpikir apa dia. Aurora jelas nona besar di rumahnya. Bagaimana gadis itu akan memasak. Lihat saja dari caranya meminta sabun dan shampo semalam. Pasti harus dituruti. Dan jangan lupakan lilin wangi. Itu jelas menggambarkan bagaimana hidup Aurora di rumahnya.Okey, apakah sekarang Darius pula yang akan menyiapkan sarapan untuk Aurora. Hmm ... baiklah. Anggap saja sedang menyiapkan makanan untuk calon istri. Ehh ... calon anak. Ahh ... entahlah.Sayur kembang kol, jagung muda, wortel, dada ayam. Semua sudah tersedia di atas meja. Darius mulai memasak. Darius sudah terbiasa masak sendiri seperti ini. Dahulu dia bukan pria kaya seperti sekarang.
"Setelah menikah, Ra. Setelah menikah baru bisa melakukan itu."Darius memegang wajah Aurora. Gadis itu mengerucutkan bibir tanda kecewa.Aurora benar-benar tidak tahu. Atau memang benar-benar sableng. Kok bisa-bisanya dia seperti kecewa begitu.Bibirnya monyong seperti itu, kan membuat Darius ingin mencicipinya. Tapi lagi-lagi sikap dewasa Darius menyadarkan. Darius belum benar-benar brengsek untuk melakukan hal itu dengan gadis yang baru ditemuinya selama beberapa jam.**Darius menatap langit-langit kamar. Akhirnya dia benar-benar bisa menghindari godaan iman dari Aurora dan menyuruh gadis itu segera tidur.Namun nyatanya, sekarang Darius lah yang justru tidak bisa tidur karena terbayang-bayang kebersamaan singkatnya tadi bersama Aurora.Sial, bertemu dengan Aurora mungkin adalah hal sial paling menyenangkan. Sial karena gadis itu terus-terusan memancingnya. Tapi Darius tidak mau berbuat sesuatu yang tidak benar.Menyenangkan, karena baru beberapa jam saja bertemu dengan Aurora. Da